Dinasti Al-Banditiyah


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 30 Juni 2012

Mendengar istilah Dinasti pikiran kita lebih tertuju kepada kerajaan-kerajaan yang tumbuh dan berkembang di daratan Cina, seperti Dinasti Ming, Dinasti Qing, Dinasti Yuan, dll. Hal ini disebabkan karena dalam tulisan-tulisan sejarah berbahasa Indonesia untuk menyebut kerajaan-kerajaan di Cina sering dipakai istilah Dinasti yang rajanya dikenal dengan sebutan Kaisar. Meskipun jika merujuk dalam catatan sejarah istilah Kaisar itupun bukanlah istilah yang lahir di Cina melainkan istilah yang muncul di negeri Romawi kuno ketika dipimpin oleh seorang raja yang masyhur ketika itu – Julius Caesar. Kata dinasti, jika dirujuk dalam beberapa kamus sering diartikan sebagai keturunan, kerabat atau keluarga raja. 

Sebenarnya penyebutan Dinasti juga sering kita dapati dalam penulisan sejarah Islam dan juga sejarah-sejarah lainnya. Ada sebagian buku sejarah yang menggunakan istilah Dinasti untuk menyebut sebuah pemerintahan, ada juga yang memakai istilah kerajaan dan daulah. Namun dalam penulisan sejarah Islam pada umumnya sering digunakan istilah Daulah, seperti Daulah Umayyah, Daulah Abbasiyah, Daulah Turki Utsmani, dll. 

Namun dalam tulisan singkat ini, penulis tak hendak membahas dinasti-dinasti tersebut di atas. Penjelasan singkat tersebut hanyalah untuk memberi penjelasan sederhana tentang pengertian Dinasti secara umum agar tidak terjadi kekaburan ketika membaca tulisan ini.

Istilah Al Banditiyah sebenarnya tidak ada dalam kamus, baik kamus berbahasa Indonesia maupun kamus ‘Arab. Penggunaan kata Al Banditiyah hanyalah sebagai istilah saja dengan maksud penisbahan kepada orang-orang yang berperilaku seperti bandit. Ketika kata-kata “bandit” disebut kita pasti teringat kepada aktor-aktor jahat yang ada di film-film. Istilah bandit memiliki makna yang negatif karena perannya yang terkesan bengis dan buruk. Istilah “Bandit” itu sendiri berasal dari bahasa latin yakni bandere artinya brigand, perampok, perusak atau pelanggar hukum diluar perlindungan hukum (Suhartono ;2008).

Aksi Bandit di Aceh

Salah satu tragedi mencengangkan yang masih hangat di bicarakan di warung – warung kopi saat ini adalah aksi pemukulan terhadap mantan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, yang menurut Thamren Ananda dilakukan oleh Satgas Partai Aceh di luar Gedung DPRA (Atjehlink, 25/06/12). Dikabarkan juga bahwa aksi pemukulan ini terjadi ketika Irwandi baru saja selesai menghadiri acara Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur baru yang di usung oleh Partai Aceh yaitu Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf (Zikir), akibat pemukulan tersebut Irwandi mengalami lebam di bawah mata dan kaca matanya juga pecah.

Ilustrasi Bandit. Sumber: kotabalikpapan.net
Pada pemberitaan selanjutnya Kapolda Aceh, setelah menangkap seorang pelaku pemukulan, mengumumkan ke publik dan menyatakan bahwa pelaku tersebut adalah masyarakat biasa dan tidak ada hubungan dengan organisasi apapun [PA]. Sedangkan menurut pengakuan Irwandi sendiri dan dari beberapa pemberitaan menyebutkan bahwa ada satgas PA yang terlibat dalam pemukulan tersebut. Wajar saja jika Thamren Ananda menyatakan bahwa Kapolda telah membohongi publik. Dan menurut penulis pembohongan tersebut dilakukan secara terang-terangan dan sama sekali tidak logis serta merupakan pengkhianatan terhadap kebenaran. 

Penulis sedikit keberatan dengan tulisan yang ditulis oleh saudara kita Auzir Pahlevi, Ketua LSM Gempar yang dimuat di Atjeh Link, dengan tajuk “Meretas Damai Dibalik Pemukulan Irwandi”. Dalam tulisannya tersebut saudara Auzir menyatakan bahwa aksi pemukulan yang dilakukan oleh sekelompok orang itu adalah wajar dan terjadi secara spontanitas dan merupakan sebuah bentuk kekecewaan dari pelaku pemukulan tersebut terhadap Irwandi. Pernyataan ini menurut penulis adalah pernyataan yang tidak masuk akal dan merupakan bentuk justifikasi (pembenaran) terhadap kejahatan yang dilakukan para pelaku-meskipun saudara Auzir sendiri mengelak dari maksud tersebut. Menurut penulis pernyataan tersebut lebih pantas disebut sebagai “Trik Politik Kancil”.

Penulis menulis tulisan ini bukan bermaksud hendak membela Irwandi, penulis tidak kenal dengan Irwandi, tak pernah bertemu dan tak ada hubungan apapun baik hubungan darah maupun hubungan organisasi dengan mantan Gubernur Aceh tersebut. Penulis juga bukan penggemar Irwandi – apalagi jika hendak disebut sebagai pengikut.

Menurut penulis, aksi kekerasan yang dilakukan oleh segerombolan orang tersebut di depan Gedung DPRA beberapa hari lalu adalah aksi – aksi bandit yang sama sekali tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun juga. Apalagi aksi tersebut terjadi pasca pelantikan Pemimpin baru (Zikir) yang seharusnya menjadi babak baru pelestarian demokrasi di Aceh. Undang-undang kafir saja tidak akan membenarkan perilaku tersebut apalagi hukum Islam yang katanya akan dijalankan di Aceh. 

Yang menang telah menang dan yang kalahpun telah menerima kekalahannya. Tidak ada gunanya lagi kita memelihara bibit kebencian terhadap sesama anak negeri di tanah endatu ini. Sudah saatnya kita memelihara perdamaian ini agar abadi demi kesejahjteraan masyarakat Aceh. Perlu juga diketahui oleh anak bangsa bahwa prosesi pemilihan kepala daerah (Pilkada) bukanlah arena jihad fi sabilillah. Kita tidak sedang berperang melawan kafir, jadi sangat tidak pantas jika kita menyebut orang – orang yang berseberangan politik dengan kita sebagai “pengkhianat, awak lhab darah, awak laboe darah, cu’ak” dan segudang stigma-stigma buruk lainnya terhadap sesama (maaf) “Ie Kreh Aceh”. Tanah Aceh adalah tanah kita bersama, endatu Aceh adalah endatu kita bersama. Aceh bukanlah milik segolongan orang, bukan milik kelompok apalagi milik perorangan.

Gubernur dan Wakil Gubernur baru, Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf adalah pemimpin bagi seluruh rakyat Aceh baik muslim maupun kafir (non muslim yang menetap dan ber-KTP Aceh). Zikir bukan milik kelompok tertentu meskipun keduanya di usung oleh kelompok tersebut. Aceh bukanlah Kerajaan Monarki Absolut yang bisa melakukan apa saja sekehendak hati. Perbedaan pandangan dan sikap politik dalam negeri demokrasi adalah wajar dan sah-sah saja. Dalam agama saja yang ajarannya turun dari langit terdapat khilafiyah (perbedaan pendapat dalam memahami dalil-dalil). Hendaknya perbedaan tersebut menjadi warna tersendiri dalam kancah demokrasi, bukan malah menjadi senjata untuk saling melontarkan klaim dan stigma-stigma buruk terhadap sesama “biek Aceh”. 

Di akhir tulisan ini kita mengajak seluruh masyarakat Aceh untuk bersatu dan tidak terpecah-belah yang akhirnya akan melahirkan bibit permusuhan sesama Aceh. Terkait kasus-kasus kekerasan yang terjadi di Aceh kita berharap kepada pihak Kepolisian untuk lebih serius dan lebih jantan dalam mengungkap kasus tersebut agar “Gelar Perwira” yang disandang tidak sia-sia. Jika aksi ini di biarkan yakinlah suatu saat Aceh yang plural ini akan menjelma menjadi “Dinasti Banditiyah” yang keputusan tertinggi berada ditangan para bandit. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink.com
loading...

No comments