Bireuen dan Hembusan Angin Surga Jilid Dua


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 19 Juni 2012

Sebenarnya tulisan dengan judul yang sama sudah pernah penulis tulis pada tahun 2007 lalu ketika Nurdin Abdul Rahman-Busmadar Ismail (Bupati-Wakil Bupati Periode 2007-2012) melakukan kampanye terakhir di Lapangan Blang Asan Matang Glumpang Dua. Tulisan tersebut dimuat di media internal bernama ‘Tabloid Suwa”. Ketika itu pasangan ini belum secara resmi di umumkan oleh KIP Bireuen sebagai pemenang pilkada Bupati Bireuen. Namun ketika itu ada keyakinan dalam hati penulis bahwa pasangan Nurdin - Busmadar akan memenangkan pesta demokrasi tersebut. 

Pasangan Nurdin-Busmadar yang kala itu di beri nama dengan “Seuramoe Nurdin-Busmadar” dan di singkat dengan “Seunura” berhasil mengalahkan rivalnya dan memenangkan Pilkada Bupati tahun 2007 dengan perolehan suara 62,27% (http://acehkita.wordpress.com). Pasangan ini (baca: Seunura) ketika itu di usung oleh KPA (Komite Peralihan Aceh) yang merupakan lembaga tempat bernaungnya para combatan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Selain di dukung oleh KPA, pasangan ini juga turut mendapat dukungan dari para aktivis SIRA (Sentral Informasi Referendum Aceh) dan beberapa eleman mahasiswa yang ada di Bireuen. Meskipun tidak secara resmi beberapa organisasi profesi, diantaranya organisasi yang memperjuangkan nasib guru seperti KOBAR - GB nampaknya juga memberi dukungan yang luar biasa kepada pasangan ini. Disamping dukungan yang datang secara beruntun kala itu, baik dari kelompok-kelompok masyarakat dan beberapa lembaga tertentu yang diantaranya sudah penulis sebutkan diatas, pasangan ini juga turut mendapat sambutan hangat dari mayoritas masyarakat Bireuen. Dukungan tersebut dalam pandangan penulis lahir secara spontan mengingat kedua pasangan ini di usung oleh Gerakan Aceh Merdeka yang ketika itu masih dianggap sebagai simbol perlawanan rakyat Aceh terhadap Jakarta. Gema perjuangan masih sangat terasa ketika itu, apalagi masyarakat Aceh, khususnya masyarakat Bireuen baru saja menikmati udara damai setelah melewati peliknya perang dan konflik panjang selama 30 (tiga puluh) tahun yang ledakan pertamanya telah lahir pada tahun 1976 ketika sang Wali Negara mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka di Gunung Halimun.

Kemenangan pasangan Seunura lima tahun lalu tidak terlepas dari dukungan ikhlas masyarakat Bireuen dengan harapan pasangan tersebut mampu membawa perubahan yang berpihak kepada rakyat setelah tiga puluh tahun Aceh bergoyang mengikuti irama konflik yang liriknya menyakitkan dan merenggut kebebasan “bansa Aceh”. Apalagi pasangan ini dalam setiap kampaye senantiasa mendengungkan akan adanya perubahan nyata khususnya dalam hal kesejahteraan rakyat. 

Hembusan Angin Surga

Tanpa terasa, tahun telah berganti, bulan telah berlalu dan hari-hari terus melaju, kalender kekuasaan telah sampai ke tapal batas tapi sejuta janji yang dulu terpatri belum juga terpenuhi. Jangankan untuk mensejahterakan rakyat, rekening listrik saja dikabarkan masih menunggak. Susah memang untuk mencari kambing hitam atas tragedi ini. Namun demikian tak ada gunanya kita menyudutkan Bupati-Wakil Bupati yang ada sekarang, apalagi keduanya juga sempat dikabarkan sudah “tidak harmonis” -- sebuah proses peneladanan yang tidak patut ditiru. 

Ilustrasi. Sumber: srabahyudi.blogspot.com
Seperti kata pepatah “penyesalan selalu datang terlambat”. Tak ada gunanya masyarakat Bireuen menyesali fenomena Bireuen hari ini yang terkesan bagaikan bahtera kehilangan kompas. Menyalahkan nahkoda bukanlah solusi bijak, toh kita sendiri yang “batat” (baca: bandel) berebut menumpangi bahtera yang sebelum berangkat saja sudah nampak oleng. 

Tak lama lagi, (maaf) proyek pemilihan pemimpin baru akan kembali digelar di Bireuen, tepatnya pada tanggal 25 Juni 2012 mendatang. Masyarakat Bireuen sudah menyaksikan sendiri beragamnya model kampanye yang di lakoni oleh para kandidat. Ada kandidat yang menurut penulis “kePEDEan” dan terlalu optimis mampu membangun Bireuen dengan hanya berbekal gelar “Doktor” yang disandangnya. Ada juga kandidat yang menciptakan isu-isu “khayali” akan adanya ribuan rumah bantuan jika dirinya nanti terpilih kembali, sebuah “produk sakaratul maut” yang muncul ketika mahkota emas telah pudar warnanya. Selain itu ada juga kandidat yang tak kalah menarik dengan model kampanye berapi-api ala “pasukan tempur”, seolah-olah prosesi pemilihan Bupati merupakan arena untuk “jihad fi sabilillah”. 

Dalam pandangan penulis, untuk membangun Bireuen butuh konsep yang jelas dan terarah, tidak cukup dengan propaganda-propaganda murahan dengan maksud “meninabobokkan” masyarakat awam. Sudah saatnya masyarakat Bireuen berfikir rasional untuk memilih pemimpin baru pada 25 Juni mendatang. Mayarakat Bireuen jangan tertipu dengan janji-janji fiktif yang dikemas dalam nuansa “heroik” yang akhirnya akan melahirkan pemilih-pemilih emosional.

Menurut penulis, seseorang itu layak dipilih bukan karena keturunannya, bukan juga karena semangatnya yang menyala-nyala dan bukan pula karena “peunutoeh” yang lahir dari “mitos” atapun “legenda”. Secara sederhana bisa disimpulkan bahwa seseorang itu dipilih karena kemampuan dan kemauannya dalam membangun daerah yang nanti akan dipimpinnya. 

Dalam konteks Bireuen hari ini, menurut penulis ada beberapa kriteria calon pemimpin Bireuen yang boleh dipilih oleh masyarakat Bireuen, diantaranya:

Pertama, calon pemimpin yang memiliki komitmen untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Bireuen dengan program-programnya yang pro masyarakat ekonomi lemah, bukan program yang pro kalangan elit. Para pedagang kaki lima yang mencari penghidupan di Bireuen harus mampu diberdayakan secara bijak, bukannya ditindas dengan kebijakan-kebijakan konyol dari penguasa.

Kedua, calon pemimpin yang memiliki komitmen tegas untuk menerapkan syari’at Islam di Bireuen, mengingat Bireuen adalah Kabupaten pertama yang menerapkan hukum cambuk di Aceh. Penerapan syari’at Islam dimaksud harus mampu dilaksanakan secara komprehensif (kaffah) dan dimulai dari pemimpin itu sendiri dan aparaturnya agar bisa menjadi “prototipe” bagi masyarakat. Jangan ada lagi kepala dinas yang menegakkan shalat di warung kopi ketika azan berkumandang.

Ketiga, calon pemimpin baru harus memiliki komitmen tegas terhadap pemberantasan narkoba di Bireuen agar tidak lahir generasi “lelet” di Bireuen yang terkenal dengan sebutan “Kota Juang”. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa para pejuang Bireuen masa lalu melakukan perjuangannya dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan “mabuk”. Untuk melaksanakan komitmen ini tentunya calon pemimpin tersebut harus terbebas dari pengaruh narkoba.

Menurut penulis, ketiga poin diatas adalah kriteria utama yang harus dimiliki oleh calon pemimpin Bireuen masa depan disamping kriteria penting lainnya yang tidak mungkin semuanya disebut dalam tulisan ini.

Akhirnya kita hanya bisa berharap agar masyarakat Bireuen mampu menggunakan akal sehatnya dalam memilih pemimpin baru dan tidak mengulangi kesalahan masa lalu sehingga nantinya kita akan disebut sebagai “keledai” yang jatuh ke lubang yang sama. Tanggal 25 Juni mendatang merupakan momen penting untuk melahirkan pemilih-pemilih rasional, bukan pemilih-pemilih emosional yang terlena dengan “hembusan angin surga” dari para kandidat. Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah pernah diterbitkan di Atjehlink.com
loading...

No comments