Atheisme dan Perilaku Atheistik


Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 28 September 2013

Kedustaan Atheisme
Sumber: jon1ali.wordpress.com
Secara garis besar manusia terbagi ke dalam dua kelompok; pertama, kelompok yang percaya kepada Tuhan (theisme), kedua, kelompok yang tidak percaya kepada Tuhan (atheisme). Jika kelompok pertama butuh kepada agama, sebaliknya kelompok kedua tidak membutuhkan agama. Bahkan salah seorang tokoh materialis bernama Lenin menyatakan bahwa agama adalah candu masyarakat (Praja, 2010: 55).

Paham tidak mengakui Tuhan (atheisme) telah muncul jauh sebelum abad modern dimulai. Dalam literatur Islam, sebagaimana dikemukakan oleh Madjid (2000: 106) bahwa kaum atheis disebut juga dengan kaum Dahriyun atau kaum pemuja zaman. Mereka adalah kaum yang tidak percaya kepada Tuhan. Mereka hanya percaya kepada kekuatan alam dan hanya meyakini bahwa hidup ini cuma di dunia serta mengingkari kehidupan setelah mati. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "atheis" muncul pada abad ke-18.

Perbicangan tentang atheisme tidak akan terlepas dari sebuah idiologi yang populer di awal abad ke-19, yakni komunisme. Paham komunisme pada awal kelahirannya adalah sebagai sebuah koreksi terhadap faham kapitalisme (http://wawan-junaidi.blogspot.com). Atheisme sebagai faham anti Tuhan merupakan faham yang sangat berbahaya bagi umat beragama, khususnya umat Muslim. Pada prinsipnya idiologi atheisme-komunisme, meskipun dalam kehidupannya mereka tidak percaya kepada eksistensi Tuhan, tapi pada kenyataannya sebagaimana disebutkan oleh Madjid (2000) bahwa kaum atheis secara tidak langsung telah mengkultuskan pemimpin-pemimpin mereka (baca: pemimpin komunis) sebagai orang-orang suci yang kedudukannya disetarakan dengan Tuhan. Mereka (kaum komunis) juga telah menjadikan faham (idiologi) mereka sebagai keyakinan dan agama baru untuk mereka anut dalam kehidupannya. 

Ajaran komunisme itu sendiri tidak akan terlepas dari fatwa-fatwa Karl Marx. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Karl Marx (1818-1883) adalah ibu kandung dari paham Marxisme dan juga nabi bagi Komunisme modern. Menurut Marx agama adalah candu bagi masyarakat, karena agama membius masyarakat untuk tidak mengatasi kesulitan ekonominya (Praja, 2010: 152-167). 

Syaikh Muhammad Al-Ghazali (2005: 137), dalam bukunya mengungkapkan bahwa sasaran komunisme adalah memerangi kapitalisme dan mengubur agama, sebaliknya sasaran kapitalisme adalah menyingkirkan agama dan memusuhi komunisme. Namun dalam prakteknya, kapitalisme terkadang menunjukkan toleransinya kepada ajaran agama dengan tujuan agar dia bisa hidup di bawah ketiak agama. Demikian juga komunisme, terkadang ia ikut dalam ritual keagamaan dengan tujuan agar selamat dari ancaman agama.

Di samping itu, dalam kajian sosiologi, disebutkan bahwa orang-orang komunis sama sekali tidak menghormati apalagi mengagungkan wujud-wujud supranatural. Orang-orang komunis melarang pengamalan agama supranatural dan justru mengembangkan paham atheisme dan materialisme ilmiah. Namun dalam kenyataannya, komunisme juga merupakan keyakinan akan kebenaran ajaran “dialektika Marxisme “yang menghasilkan suatu masyarakat tanpa kelas. Banyak orang komunis yang rela bekerja keras, menderita dan bahkan bersedia mati membela keyakinan ini. Dengan demikian, dalam pandangan sosiologi, komunisme juga sebuah agama meskipun bukan agama supranatural (Nottingham, terj. Naharong, 1993: 28).

Paham atheisme dan idiologi komunisme-marxisme sangat berbahaya bagi umat beragama, khususnya umat Islam. Ketidakpercayaan mereka kepada eksistensi Tuhan akan melahirkan konsekwensi penolakan terhadap norma-norma agama yang akhirnya membuat mereka (penganut atheisme-komunisme-marxisme) menjadi makhluk liar tanpa peradaban. Sejarah hitam komunisme yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 dan 1965 menjadi catatan penting untuk diingat – di mana kaum atheis-Komunis telah berusaha menguburkan agama dengan perilaku yang melanggar batas-batas kemanusiaan. 

Secara tidak langsung, dapat dikatakan bahwa kaum atheis-komunis tidak pernah merindukan surga dan tidak pula menakuti neraka. Bagi mereka surga hanyalah impian kosong, begitu pula neraka hanyalah gertak sambal yang tidak logis. Ketidaktakutan mereka terhadap ancaman Allah (neraka) membuat mereka berani melakukan tindakan apa saja yang mereka anggap sebagai tindakan praktis demi memperoleh keuntungan bersifat material duniawi. Demikian pula, ketidakpercayaan mereka kepada surga akhirat, membuat mereka berlomba-lomba menciptakan surga duniawi, karena bagi mereka hidup hanya sekali.

Secara kelembagaan, dapat dikatakan bahwa paham atheism-komunisme telah punah di Indonesia seiring dengan hukuman dari pemerintah dan penolakan rakyat yang terjadi pasca pemberontakan G30 September 1965. Namun dalam konteks negara demokrasi, paham-paham tersebut meskipun tidak lagi terwujud dalam sebuah gerakan, tapi tentunya masih berkembang dan dianut secara personal oleh masyarakat kita. Tragisnya, oleh sebagian pihak fenomena ini dianggap sebagai hal yang wajar, terlebih lagi oleh para pegiat HAM. Menurut mereka, setiap manusia berhak menganut paham apa saja yang sesuai dengan jiwanya tanpa adanya campur tangan orang lain. 

Sebagaimana telah penulis terangkan di atas, bahwa atheisme murni yang anti Tuhan mungkin sudah tidak ada lagi di Indonesia, mengingat negara tidak memberikan peluang kepada ajaran atheism, karna bertentangan dengan Pancasila. Namun demikian, perilaku atheistik akan tetap ada di mana pun dan sampai kapan pun. Perilaku atheistik yang penulis maksud adalah perilaku yang dilakoni oleh orang-orang beragama yang pada prinsipnya bertentangan dengan ajaran agama. Kaum atheis komunis (atheis murni) secara terang-terangan menolak keberadaan agama. Sedangkan penganut atheistik justru tidak menolak agama dan dalam kesehariaanya justru mengaku sebagai pemeluk agama, meskipun sikap dan tindak-tanduknya bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya tersebut. Sikap atheistik secara tidak langsung juga telah mengabaikan eksistensi Tuhan – di mana ketakutan kepada ancaman Tuhan menjadi sirna.

Dalam pandangan penulis, sikap atheistik yang dipraktekkan oleh sebagian umat beragama di Indonesia tidak jauh berbeda dengan praktek-praktek yang dilakukan oleh penganut paham atheisme yang cenderung mencari kenikmatan duniawi dan mengabaikan janji dan ancaman Tuhan yang termaktub dalam kitab suci, maupun yang disampaikan melalui lisan para Nabi-Nya.

Telah kita saksikan bersama, berbagai aksi kejahatan dan pelanggaran hukum yang semakin marak di negeri ini. Lihat saja aksi korupsi yang dilakukan oleh koruptor di negeri ini, meskipun berbagai langkah telah dilakukan oleh pemerintah, namun praktek tersebut terus merajalela. Terlepas dari hukum duniawi yang telah diatur oleh undang-undang, apakah para koruptor tersebut tidak pernah berfikir akan adanya hukuman yang lebih dahsyat di akhirat kelak? Terkait dengan hukum duniawi mungkin kita masih bisa berkilah dengan berbagai dalih dan argumen. Namun pernahkah kita ingat bahwa di akhirat kelak tidak akan ada satu orang pengacara handal-pun yang mampu memperdaya Tuhan. 

Sikap mengabaikan ancaman dan janji Tuhan sebagaimana telah penulis sebutkan merupakan ciri khas dari perilaku atheistik yang sudah sepatutnya ditinggalkan oleh orang-orang yang mengakui dirinya sebagai umat beragama. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah di Publikasikan di Kompasiana
loading...

No comments