Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh; Sang Revolusioner dan Mujaddid Tanah Rencong




Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 30 April 2013

A. Pendahuluan

Rasanya tidak ada orang Aceh yang tidak mengenal nama Tgk. Muhammad Daud Beureueh, sosok karismatik Aceh yang pernah membuat pemerintah Jakarta panik dan kalang kabut khususnya di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Biasanya, ketika menyebut nama Daud Beureueh, memori orang-orang tua kita di Aceh langsung tertuju kepada peristiwa sejarah yang dikenal dengan Pemberontakan DI TII. 

Jika kalangan tua di Aceh "kenal baik" dengan nama Daud Beureueh, lantas bagaimana tanggapan kalangan muda di Aceh hari ini tentang sosok Daud Beureueh? Tentunya kalangan muda memiliki pandangan yang berbeda disebabkan kalangan pemuda hari ini tidak hidup di zamannya Daud Beureueh. Tgk. Daud Beureueh hidup di zaman ayah dan kakek kita dulu – jauh sebelum kita lahir.

Bagi kalangan muda yang peduli tentang sejarah Aceh tentu sedikit banyaknya telah mengenal siapa Daud Beureueh, baik melalui buku-buku sejarah atau pun lewat cerita lisan. Berbeda halnya dengan pemuda-pemuda kita yang kurang respek terhadap sejarah, mungkin mendengar nama Daud Beureueh saja tidak pernah.

Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa Daud Beureueh adalah sosok pejuang yang memiliki kontribusi besar terhadap kemerdekaan Republik ini. Di samping itu, Daud Beureueh juga merupakan sosok yang sangat mencintai tanah kelahirannya, Aceh. Kepedulian Daud Beureueh terhadap Aceh tidak perlu diragukan lagi oleh orang-orang yang mengaku dirinya sebagai bangsa Aceh. Selain sebagai pejuang, Daud Beureueh juga terkenal sebagai sosok ulama karismatik di Aceh yang dikagumi oleh pengikutnya dan disegani oleh segenap musuh-musuhnya.

Namun demikian, amat disayangkan ada sebagian pihak di Aceh yang justru menganggap Daud Beureueh sebagai pengkhianat. Tentunya anggapan ini sangat naif dan absurd serta bertentangan dengan fakta sejarah.

Untuk menepis segala tudingan miring terhadap sang Revolusioner, sangat penting rasanya bagi kita untuk membuka kembali lembar-lembar sejarah guna memperkenalkan kembali sosok Daud Beureueh kepada anak negeri ini. Daud Beureueh adalah pahlawan yang terzalimi dan sudah mulai dilupakan oleh para pemuda Tanah Rencong. 

B. Biografi Singkat Tgk. Daud Beureu-eh

1. Kelahiran Tgk. Muhammad Daud Beureueh

Tentang kapan persisnya Tgk. Muhammad Daud Beureueh lahir tampaknya tidak ada catatan yang pasti. Hal ini dapat dimengerti, mungkin zaman dulu belum ada tradisi untuk mencatat tanggal lahir dan belum ada akte kelahiran layaknya zaman kita ini. Namun dalam Wikipedia disebutkan bahwa Daud Beureueh lahir pada tanggal 17 September 1899.[1] 
Teungku Muhammad Daud Beureueh


M. Nur El Ibrahimy, dalam bukunya mengutip sebuah tulisan yang ditulis oleh Anggraini dengan judul “Siapa Teungku Daud Beureueh, bekas Gubernur Aceh yang Memberontak”. Tulisan ini dikutip oleh Ibrahimy dari Majalah Indonesia Merdeka No. 214 yang terbit di Banjarmasin pada tanggal 1 Oktober 1953. Dalam tulisan tersebut Anggraini memperkirakan umur Daud Beureueh ketika itu (tahun 1953) adalah 50 tahun. Namun di catatan kaki nomor 246 dalam bukunya tersebut Ibrahimy mencantumkan bahwa Daud Beureueh pada tahun 1953 telah berusia 55 tahun.[2]

Jika Daud Beureu-eh pada tahun 1953 berusia 50 tahun sebagaimana dugaan Anggraini maka dapat diperkirakan beliau lahir pada tahun 1903. Namun jika kita merujuk kepada catatan yang dibuat Ibrahimy bahwa Daud Beureu-eh pada tahun 1953 berusia 55 tahun, maka berdasarkan hitungan mundur dapat disimpulkan bahwa Daud Beureueh lahir pada tahun 1898. Dalam hal kelahiran Daud Beureu-eh ini penulis cenderung kepada pendapat Ibrahimy, mengingat beliau (M. Nur El Ibrahimy) adalah menantunya Tgk. Daud Beureueh, sehingga pendapat Ibrahimy lebih kuat karena adanya hubungan kekeluargaan antara keduanya.

Namun anehnya di bagian akhir bukunya tersebut Ibrahimy mencantumkan bahwa Daud Beureu-eh lahir pada tanggal 23 September 1899[3]wallahu a’lam

2. Latar Belakang Pendidikan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh

Tentang latar belakang pendidikan Daud Beureueh, Anggraini dalam tulisannya menyebutkan bahwa Daud Beureueh tidak pernah masuk sekolah formal, tetapi meskipun demikian beliau tidak buta huruf dan mengenal huruf latin.[4]

Ibrahimy mengisahkan bahwa Daud Beureueh menempuh pendidikannya di pesantren. Pertama sekali beliau belajar di Pesantren Titeu yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Hamid selama enam bulan. Kemudian beliau belajar di Pesantren Iie Leumbeu di bawah pimpinan Tgk. Ahmad Harun. Setelah menyelesaikan pendidikannya selama 4,5 tahun di pesantren tersebut, beliau sudah mantap pengetahuannya dan menjadi ulama.[5]

Sebagaimana uraian singkat di atas dapat diketahui bahwa Abu Daud Beureueh adalah ulama lepasan pesantren dan tidak pernah mengecap pendidikan di lembaga formal. Meskipun beliau dididik di dayah yang notabene merupakan lembaga pendidikan tradisional, namun pemikiran keagamaan beliau terbilang maju dan moderat. Dari sisi keilmuan Daud Beureueh cenderung sepaham, dan seirama dengan pemikir-pemikir terkemuka di Indonesia semisal HAMKA. Cuma saja Abu Beureueh dalam kehidupannya tidak meniggalkan karya tulis seperti halnya Ali Hasjimy dan tokoh-tokoh Aceh lainnya sehingga sebagian besar pemikirannya hilang digerus zaman.

3. Tokoh Yang Mempengaruhi Pemikiran Tgk. Muhammad Daud Beureueh

Terus terang, penulis belum melakukan penelitian mendalam tentang siapa tokoh yang mempengaruhi pemikiran politik dan keagamaan Tgk. Muhammad Daud Beureueh. Kendala utama karena Daud Beureueh sepengetahuan penulis tidak meninggalkan karya tulis yang memuat pokok-pokok pikirannya, baik tentang agama maupun politik. Tgk Daud Beureueh terkenal sebagai singa podium yang sering menyampaikan pikiran-pikirannya secara lisan. Dengan demikian pemikiran-pemikiran beliau hanya terekam dalam memori para pendengarnya dan sulit untuk dilacak.

Namun demikian, berdasarkan kajian penulis dari beberapa literatur, penulis berani menduga bahwa Tgk. Daud Beureueh adalah sosok ulama yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dari Saudi Arabiya dan juga pemikiran Jamaluddin Al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir dan juga ulama-ulama lain yang semisal mereka.

Kesimpulan ini lahir, berdasarkan penulusuran penulis dari beberapa referensi terkait dengan gaya kepemimpinan dan pandangannya tentang agama. Gerakan revolusioner yang dilakukan oleh Abu Beureu-eh dan kebenciannya kepada kolonialisme hampir menyerupai dengan gaya-gaya Jamaluddin Al-Afghani. Sedangkan dalam hal pendidikan modern, Daud Beureu-eh tampaknya terpengaruh dengan pemikiran Abduh dari Mesir. Dalam hal ketauhidan, penulis punya asumsi bahwa keyakinan Abu Daud Beureueh hampir menyerupai dan bahkan seirama dengan Muhammad bin Abdul Wahab yang sangat anti kepada syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul.

C. Kondisi Sosial Politik di Aceh Pasca Kemerdekaan RI dan Meletusnya Perang Cumbok

1. Kondisi Politik Pasca Kemerdekaan.

Sejak diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika itu Daerah Aceh masih termasuk dalam salah satu keresidenan dari Provinsi Sumatra yang dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1945. Pada saat itu Residen Aceh berkedudukan di Koetaradja (sekarang Banda Aceh).[6]

Insider, dalam bukunya “Atjeh Sepintas lalu”, menyebutkan bahwa maklumat kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Augustus 1945 baru diketahui oleh rakyat Aceh pada pertengahan bulan September 1945.[7] Ketika itu, rakyat Aceh terpecah ke dalam dua kubu, yaitu kubu Ulama dan kubu Ulee Balang. Pertentangan antara dua golongan ini bukanlah pertantangan yang baru timbul pada masa itu, tetapi merupakan sebuah pertentangan yang sudah lama terpendam. Menurut Insider pertentangan antara dua kubu ini menyerupai pertentangan antara adat dan hukum.[8]

Kedua pihak yang saling bertentangan (Uleebalang dan Ulama) terlihat menyusun kekuatan masing-masing. Kelompok pertama terdiri dari para Uleebalang dan para pengikutnya, sedangkan kelompok kedua terdiri dari alim ulama, pemuda dan masyarakat yang tidak menyukai kekuasaan Uleebalang. Jumlah kelompok ulama ini lebih banyak jika dibanding dengan pengikut Ulee balang.[9]

Pada perkembangan selanjutnya pertentangan antara kedua kelompok ini semakin memuncak. Menurut Insider, baik pihak Uleebalang maupun ulama tidak menghendaki penyelesaian dengan cara-cara damai, kedua kelompok ini menginginkan penyelesaian dengan kekerasan dan senjata.[10]

Pada suatu malam di bulan November 1945, para pengikut Uleebalang dengan bersenjata pedang, rencong, parang dan beberapa senjata api memasuki Kota Sigli yang bertempat di rumah Uleebalang Pidie. Mereka melakukan persiapan untuk menguasai Kota Sigli. Mereka juga melakukan pemeriksaan di jalan-jalan Kota Sigli dan menangkap serta menahan orang-orang yang terindikasi sebagai pengikut Kaum Ulama. Aksi yang dilakukan oleh pihak Uleebalang ini langsung mendapat reaksi dari Kaum Ulama. Tidak lama setelah Kota Sigli diduduki oleh Uleebalang, pihak ulama dengan disertai ribuan pengikutnya melakukan demonstrasi dengan persenjataan lengkap. Mereka memasuki Kota Sigli dengan menyebut nama Allah dan Rasul. Akhirnya terjadilah pertempuran hebat antara pengikut Uleebalang dengan Kaum Ulama selama tiga hari tiga malam. Tentara pemerintah (TKR) yang ketika itu dipimpin oleh Kolonel Syamaun Gaharu terlihat tidak mampu mengendalikan situasi. Namun setelah pihak pemerintah melakukan negosiasi dengan kedua pihak, akhirnya kedua pihak bersedia meninggalkan Kota Sigli.[11]

2. Revolusi Sosial dan Meletusnya Perang Cumbok

a. Sebab-Sebab Terjadinya Perang Cumbok

Di antara sebab-sebab yang menjadi pemicu terjadinya pertentangan antara Uleebalang dan Ulama, menurut El-Ibrahimy adalah disebabkan oleh sikap Uleebalang yang telah banyak melakukan kejahatan dan pemerasan terhadap rakyat. Melihat kondisi ini pihak ulama melancarkan dakwah guna memerangi perbuatan maksiat yang dilakukan oleh pihak Uleebalang di Aceh. Gerakan dakwah yang dilakukan oleh para ulama ini mendapat dukungan besar dari rakyat Aceh ketika itu.[12]

Namun sayangnya pihak Uleebalang ketika itu salah paham dengan gerakan dakwah yang dilakukan oleh para ulama. Pihak Uleebalang beranggapan bahwa aksi yang dilakukan oleh Kaum Ulama ini dapat membahayakan posisi mereka dan juga merusak pendapatan mereka. Pada tahapan selanjutnya, pihak Uleebalang menuduh Kaum Ulama ingin merebut kekuasaan mereka. Menurut Ibrahimy faktor inilah yang menjadi sebab utama lahirnya pertentangan antara Uleebalang dengan ulama.[13]

Pertentangan antara Uleebalang dan ulama semakin meruncing ketika pendudukan Jepang. Pada saat itu Abu Beureueh memiliki peran besar untuk membebaskan rakyat Aceh dari tekanan dan kezaliman para Uleebalang. Abu Beureueh ketika itu berhasil membujuk pihak Jepang untuk mencabut hak yudikatif dari tangan Uleebalang yang telah beberapa abad lamanya digunakan oleh pihak Uleebalang untuk menindas rakyat Aceh.[14]

Akhirnya, mungkin karena terpengaruh dengan bujukan Abu Beureueh, pihak Jepang menggantikan kekuasaan peradilan yang dulunya dipegang oleh Uleebalang dan menyerahkan perkara tersebut kepada kaum Ulama dari kalangan PUSA.[15] Dengan demikian sejak itu, peranan penegakan hukum dipegang oleh kaum Ulama, sedangkan para Uleebalang memelihara persoalan adat.[16]

Keberhasilan Tgk. Muhammad Daud Beureueh membujuk pihak Jepang sebagaimana telah disinggung di atas menjadi bukti paling otentik bahwa Abu Beureueh adalah tokoh yang memiliki pengaruh besar dan disegani di Aceh kala itu, termasuk oleh para penjajah sekali pun.

b. Peran Tgk. Muhammad Daud Beureueh dalam Perang Cumbok

Pada 31 Desember, pasukan Uleebalang yang dikenal dengan pasukan Cumbok melakukan penyerangan ke Metarium dan desa-desa di sekitarnya. Tentara Cumbok dengan merajalela melakukan perampokan dan perampasan terhadap harta benda milik rakyat. Dalam penyerangan tersebut mereka juga membakar rumah-rumah rakyat. Melihat kondisi tersebut, Tgk. Muhammad Daud Beureueh untuk kesekian kalinya membawa persoalan Cumbok tersebut kepada Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh. Beliau juga memperlihatkan bukti-bukti penyerangan yang dilakukan oleh Cumbok, seperti pecahan mortir. Sebelas jam kemudian atas inisiatif Syamaun Gaharu diputuskan bahwa persoalan Cumbok tersebut diambil alih oleh Markas Umum Daerah Aceh.[17]

Singkat cerita, pada akhir Desember Tgk. Daud Beureueh mengintruksikan kepada barisan bersenjata yang berada di daerah Bireuen untuk segera berangkat ke Pidie guna membantu barisan rakyat di Garot yang sudah terdesak akibat serangan Cumbok. Jumlah rombongan dari Bireuen yang berangkat ke Pidie waktu itu sekitar seribu orang dengan 100 pucuk senjata.[18]

Bergeraknya rakyat dari Bireuen menuju Pidie setelah mendapat intruksi dari Abu Beureueh ketika itu, mengisyaratkan kepada kita bahwa Abu Beureueh adalah sosok pemimpin yang diikuti dan disegani oleh rakyat.

Tepatnya pada 12 Januari 1946, dilakukanlah serangan umum terhadap Kota Lam Meulo yang merupakan benteng terkuat pihak Cumbok. Keesokan harinya pada tanggal 13 Januari pasukan Barisan Rakyat berhasil memasuki Kota Lam Meulo.[19]

Terkait pertentangan antara Ulama dan Uleebalang ini, Hasan Saleh mengisahkan bahwa ketika situasi telah gawat, seorang Uleebalang dari Glumpang Payong yang dikenal dengan Teuku Hasan Glumpang Payong atau Hasan Dik menghadap kepada Tgk. Daud Beureueh untuk meminta maaf atas perilaku Uleebalang di masa lalu. Dengan berjiwa besar akhirnya Abu Beureueh memaafkan mereka (para Uleebalang), dan keduanya (Hasan Dik dan Daud Beureueh) tampak berpelukan.[20] 

Kisah di atas lagi-lagi menjadi bukti bahwa Tgk. Muhammad Daud Beureueh adalah pemimpin besar yang tidak menaruh dendam kepada lawan-lawannya meskipun kesalahan yang mereka lakukan sangat besar, namun sebagai seorang muslim yang taat, Abu Beureueh menerima permohonan maaf mereka. 

Padahal sebelumnya antara Hasan Dik dan Abu Beureu-eh pernah bersitegang, dan Hasan Dik pernah membentak Abu Beureueh di depan polisi Jepang sambil menuduh bahwa Abu Beureueeh adalah pengkhianat, namun dengan pembawaan tenang Abu Beureueh menolak tuduhan tersebut.[21]

D. Pola Kepemimpinan Tgk. Muhammad Daud Beureueh

1. Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dan berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)

Organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) berdiri pada tahun 1939 yang diketuai oleh Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh.[22] Sebelum kelahiran PUSA perkembangan agama di Aceh belum menunjukkan gejala yang menggembirakan. Tidak semua rakyat Aceh memahami agama Islam secara intensif dan korelasi antara pengetahuan agama dengan pengetahuan umum masih sangat kurang. Aqidah orang Aceh sebelum berdirinya PUSA masih banyak dipengaruhi oleh khurafat dan bid’ah.[23]

Kelahiran PUSA sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh pembaharuan yang dilakukan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabiya yang pada pekembangan selanjutnya melahirkan tokoh-tokoh reformis semisal Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir. 

Paham pembaharuan di Aceh dikembangkan oleh ulama-ulama yang terpengaruh dengan paham tersebut. Di antara tokoh pembaharu tersebut adalah Syekh Al-Kalaly yang merupakan guru dari Hasbi Ash-Siddiqie.[24]

Setelah ulama-ulama Aceh sadar akan pentingnya persatuan ulama untuk mewujudkan cita-cita rakyat Aceh, maka ketika itu beberapa orang ulama Aceh, di antaranya Tgk. Muhammad Daud Beureueh dan Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucap bersepakat untuk melaksanakan musyawarah alim ulama seluruh Aceh.[25]

Musyawarah Besar Alim Ulama Seluruh Aceh berlangsung dari tanggal 5 s/d 8 Mei 1939 bertempat di gedung Madrasah Al-Muslim Peusangan Matangglumpangdua.[26] Sejak hari itu ditetapkan bahwa tanggal 5 Mei 1939 sebagai hari lahirnya Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh yang disingkat dengan P.Oe.S.A. Dalam musyawarah selama empat hari tersebut Tgk. Muhammad Daud Beureueh terpilih sebagai ketua PUSA.[27]

Tgk. Daud Beureueh adalah salah seorang tokoh yang memiliki peran besar dalam melahirkan organisasi PUSA. Beliau dianggap sebagai orang kuat yang mampu melaksanakan ide pembaharuan pendidikan di Aceh.[28] Terpilihnya Abu Beureueh sebagai ketua PUSA juga mengisyaratkan kepada kita bahwa beliau benar-benar tokoh besar yang digandrungi oleh para ulama yang ada di Aceh kala itu.

2. Tgk. Muhammad Daud Beureueh Sebagai Pemimpin Militer

Pada era perjuangan kemerdekaan, Tgk. Daud Beureueh dikenal sebagai pemimpin Laskar Mujahidin yang cukup ditakuti di Aceh. Dikisahkan bahwa pada saat Pemerintah Indonesia ingin menggabungkan laskar-laskar (pasukan) yang ada di Aceh ke dalam TRI, mereka menolak karena revolusi belum selesai dan mereka telah berjasa dalam revolusi kemerdekaan tersebut. Para revolusioner di Aceh ketika itu masih ingin bergerak sendiri-sendiri dan keberatan jika digabungkan ke dalam TRI. Pada saat ketegangan di kalangan laskar-laskar tersebut semakin memuncak, muncullah Tgk. Daud Beureueh sebagai mediator untuk mengatasi ketegangan tersebut. Akhirnya berkat pengaruh dan kewibaan beliau, laskar-laskar bersenjata di Aceh bersedia bergabung dengan TRI yang merupakan cikal bakal dari TNI (Tentara Nasional Indonesia).[29]

Ketika Wakil Presiden Indonesia berada di Bukit Tinggi, atas berbagai pertimbangan beliau mengangkat Tgk. Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor Tituler.[30]

Diangkatnya Abu Beuerue-eh sebagai Gubernur Militer ketika itu adalah atas pertimbangan bahwa beliau merupakan orang yang sangat berpengaruh di Aceh kala itu meskipun beliau tidak pernah mendapatkan pendidikan formal layaknya pimpinan di daerah lain.

Pada saat masih menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Abu Beureueh pernah diajak oleh Wali Negara Sumatra Timur untuk membentuk negara bagian. Abu Beureueh menyatakan bahwa tidak ada perasaan kesukuan di Aceh sehingga tidak perlu membentuk Aceh Raya karena republikan adalah semangat orang Aceh.[31] Seandainya Daud Beureueh gila kekuasaan, tentunya beliau akan menerima ajakan untuk membentuk negara bagian di Aceh. Namun hal tersebut ternyata diabaikan oleh Abu Beureueh, fakta ini menjadi bukti bahwa Abu Beureueh adalah seorang nasionalis yang setia kepada Republik.

Tgk. Daud Beureueh adalah sosok pemimpin yang memiliki karisma dan disegani oleh masyarakat dan tokoh-tokoh di Aceh. Ketika terjadi pemberontakan DI TII di Aceh yang ketika itu dipimpin oleh Abu Beureueh, terlihat jelas bahwa mayoritas rakyat Aceh mendukung aksi yang dilakukan oleh Abu Beureueh tersebut.

A. H. Geulanggang menceritakan bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh Abu Beureu-eh pada tahun 1953 selain mendapat dukungan rakyat juga turut didukung oleh Bupati, Patih, Wedana, Camat, para Kepala Jawatan dan juga para Pegawai Negeri.[32] Fakta ini tentu berbeda dengan pergolakan yang terjadi di Aceh pada era 1976 – 2005 yang pada awalnya justru tidak mendapat respons positif dari masyarakat dan menghabiskan waktu 20 tahun lebih untuk menanamkan idiologinya.

Hasan Saleh, mantan pejuang TII, menceritakan bahwa di bawah kepemimpinan Daud Beureueh semua unsur masyarakat Aceh bersatu, kecuali segelintir orang-orang yang sakit hati kepada beliau. Pihak yang tidak senang dengan kepemimpinan Daud Beureueh hanyalah sisa-sisa keluarga dan kerabat kaum kontrarevolusioner.[33] Mereka adalah para Uleebalang yang sudah terpaut hati dengan Belanda.

E. Pandangan Politik Tgk. Muhammad Daud Beureueh tentang Eksistensi Aceh

1. Janji dan Pengkhianatan Soekarno terhadap Aceh

Pada tahun 1947, Presiden Soekarno dalam kunjungan pertamanya ke Aceh sempat berdialog dengan Abu Beureueh. Dalam dialog tersebut Soekarno meminta bantuan Abu Beureueh agar rakyat Aceh bersedia berjuang bersama Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang ketika itu sedang kewalahan mengahadapi serangan Belanda. Secara tegas Abu Beureueh bersedia menerima ajakan Soekarno asalkan perjuangan yang dilakukan tersebut adalah jihad fisabilillah dan untuk menegakkan agama Allah.[34]

Presiden Soekarno

Dalam dialog tersebut Abu Beureueh juga meminta kepada Soekarno agar setelah perjuangan usai, di Aceh agar diberikan kebebasan untuk melaksanakan Syari’at Islam. Mendengar permintaan Abu Beureueh, Soekarno menjawab dengan diplomatis bahwa hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan oleh Abu Beureu-eh karena 90% rakyat Indonesia beragama Islam dan akhirnya secara lebih tegas Soekarno juga menyanggupi permintaan dari Abu Beureueh tersebut. Mendengar penjelasan Soekarno, Abu Beureueh belum puas, sambil menyodorkan secarik kertas kepada Soekarno, Abu Beureueh meminta Soekarno untuk menuliskan janjinya tersebut.[35]

Karena merasa tidak mendapat kepercayaan dari Abu Beureueh, ketika itu Soekarno langsung menangis terisak-isak dan bersumpah demi nama Allah bahwa ia akan memberikan hak kepada Aceh untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan melaksanakan Syari’at Islam. Setelah mendengar ucapan Soekarno tersebut akhirnya Abu Beureueh percaya saja dengan ucapan tersebut. Menurut Ibrahimy, ketika itu Abu Beureueh merasa iba melihat Soekarno menangis.[36]

Dari kutipan singkat di atas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa Abu Beureueh adalah tipe pemimpin yang tegas. Beliau tidak mudah mempercayai orang lain meskipun orang tersebut adalah tokoh bangsa semisal Soekarno. Menurut Abu Beureueh sebuah janji itu tidak cukup hanya di mulut, tapi mesti ada jaminan hitam di atas putih. Meskipun permintaan Abu Beureueh ketika itu tidak sempat teralisasi, namun bukan berarti bahwa Abu Beureueh mengalah dengan Soekarno. Sikap mundur selangkah yang dipraktikkan oleh Abu Beureueh ketika itu adalah sikap yang dapat dimengerti dan kondisional. Sikap tersebut tidaklah menjatuhkan wibawa beliau, tetapi justru menjadi bukti bahwa Abu Beureueh adalah tipe pemimpin yang bijak. 

Di samping itu kepercayaan Daud Beureueh terhadap Soekarno, menurut penulis disebabkan Soekarno telah bersumpah dengan nama Allah. Sebagai seorang muslim yang taat tentunya Daud Beureueh sangat menghargai sumpah tersebut.

Namun sayangnya, janji Soekarno kepada Abu Beureueh hanya tinggal janji dan tidak pernah ditepati, sehingga pada perkembangan selanjutnya memicu pemberontakan DI TII yang dipimpin langsung oleh Abu Beureueh.

2. Meletusnya Pemberontakan DI TII

Tujuan utama pemberontakan DI TII yang dipimpin oleh Abu Beureueh di Aceh pada 21 September 1953 adalah untuk membentuk Negara Islam. Dalam maklumat pemberontakan tersebut dinyatakan bahwa mereka akan melenyapkan kekuasaan Pancasila di Aceh dan menggantinya dengan Pemerintah Negara Islam.[37]

Dalam naskah proklamasi 21 September 1953, Abu Beureueh menyatakan bahwa Aceh sejak tanggal tersebut menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang didirikan oleh Imam Kartosuwiryo.[38] Dengan demikian sejak tanggal 21 September 1953, Aceh keluar dari rangkaian Negara Pancasila Republik Indonesia, dan sejak tanggal itu pula Aceh resmi menjadi Daerah Negara Islam.[39]

Dalam keterangan politiknya pada tahun 1953 Abu Beureueh menyatakan bahwa pihak Republik Indonesia melalui Kejaksaan Agung pernah melakukan percobaan untuk menghalang-halangi aktivitas beragama masyarakat Aceh. Kejaksaan Agung pernah mencoba mengeluarkan larangan berkhutbah dengan muatan politik di mesjid dan tempat-tempat lainnya. Hal ini membuat Abu Beureueeh menjadi berang, karena menurutnya kegiatan politik adalah bagian dari agama yang tidak dapat dipisahkan.[40]

Dari pernyataan Abu Beureueh dalam keterangan politiknya tersebut dapat dipahami bahwa politik dan agama adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Artinya politik dan agama itu bersifat integral dan saling melengkapi. Pandangan Abu Beureueh tentang politik tersebut mengisyaratkan bahwa beliau sangat anti kepada konsep politik sekular yang memisahkan konsep politik dengan agama.

Sebab lainnya yang turut memicu pemberontakan DI TII di Aceh adalah ucapan Presiden Soekarno yang menyatakan akan mendirikan negara yang berdasarkan kepada dasar kebangsaan dan bukan didasarkan pada agama.[41] Hal ini membuat Abu Beureueh kecewa, apalagi Soekarno pada tahun 1947 –sebagaimana disinggung di atas pernah berjanji kepada Abu Beureueh bahwa Aceh akan diberi kewenangan untuk menjalankan Syari’at Islam.

Hal terpenting lainnya yang turut mendorong Abu Beureu-eh memberontak adalah masalah status otonomi khusus yang memungkinan Aceh memiliki sistem pemerintahan sendiri dengan asas Islam tak kunjung dipenuhi oleh Soekarno.[42]

Abu Beureueh juga menyatakan bahwa pemberontakan yang dilakukannya terhadap Pemerintah Indonesia merupakan ekses dari tidak terealisasinya janji Soekarno. Menurut Abu Beureueh Soekarno adalah orang yang paling bertanggung jawab atas pemberontakan tersebut. Abu Beureueh juga berprinsip bahwa siapa saja yang tidak menjalankan hukum Allah, maka di adalah kafir.[43]

Prinsip yang dipegang oleh Abu Beureueh tersebut bukanlah karangannya sendiri, tetapi merupakan perintah Tuhan yang terdapat dalam Al-Quran, sebagai berikut:

Artinya: Dan janganlah kamu menukar ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir (Q.S. Al-Maidah: 44).[44]

Dari pernyataan Abu Beureueh di atas, bahwa siapa saja yang tidak menjalankan hukum Allah adalah kafir, merupakan cerminan dari sikap beliau yang tetap konsisten dengan ajaran Islam. Namun demikian, hendaknya pernyataan Daud Beureu-eh tentang kafirnya orang yang tidak menjalankan hukum Allah, jangan dipolitisir, sehingga kita menuduh Abu Beureueh sebagai tipe orang yang mudah mengkafirkan semisal Khawarij. 

A. H. Geulanggang dalam bukunya menyimpulkan bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh Abu Beureueh adalah murni untuk menegakkan Syari’at Islam di Aceh dan bukan karena beliau digeser dari kursi pemerintahan[45] sebagaimana dituding oleh sebagian pihak yang anti kepada perjuangan Abu Beureueh. 

Sementara itu Hasan Saleh, mantan pejuang DII TII dalam bukunya menceritakan bahwa di antara sebab-sebab utama pemberontakan Abu Beureueh bersama DI TII adalah karena pembubaran Provinsi Aceh. Hal ini sangat menyakitkan hati Abu Beureueh dan rakyat Aceh, karena dari dulu Aceh memperjuangkan status otonomi di daerahnya.[46]

Sikap Pemerintah RI yang membubarkan Provinsi Aceh adalah sikap yang sangat menyakitkan bagi Abu Beureueh dan rakyat Aceh. Padahal rakyat Aceh memiliki jasa besar terhadap berdirinya Republik ini. Soekarno telah jelas-jelas menipu dan menyakiti hati Abu Beureueh dengan keputusan membubarkan Provinsi Aceh. Soekarno telah membuat Abu Beureueh sakit hati, dan Abu Beureueh kala itu adalah jantung hatinya rakyat Aceh.[47]

Adalah wajar jika Abu Beureueh menjadi berang dan marah besar terhadap keputusan ini, mengingat Soekarno pernah berjanji kepada Abu Beureueh bahwa Aceh diberi kewenangan untuk menjalankan Syariat Islam, dan kewenangan itu tidak akan pernah ada jika hak otonomi tidak diberikan kepada Aceh. 

Dengan segala daya dan upaya Abu Beureueh terus melakukan usaha-usaha untuk mempertahankan Provinsi Aceh, namun usaha tersebut gagal. Abu Beureueh pernah berkata kepada Wakil Presiden Muhammad Hatta yang berkunjung ke Aceh waktu itu; “Jika besok lusa rakyat Aceh melakukan sesuatu untuk mempertahankan hak hidupnya, maka tanggung jawab sepenuhnya ada di tangan Pemerintah Pusat”.[48]

Dari pernyataan Abu Beureueh di atas dapat disimpulkan bahwa pemberontakan yang dilakukannya terhadap Republik bukanlah atas kepentingan pribadi dan kekuasan, tetapi disebabkan kecintaannya kepada Aceh dan demi tegaknya Syariat Allah di bumi Aceh.

F. Tgk Muhammad Daud Beureueh; Ulama dan Mujaddidnya Tanah Rencong

1. Aqidah Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh

Sebagaimana telah penulis singgung di atas, bahwa menurut penulis, Tgk. Muhammad Daud Beureueh adalah sosok ulama yang murni akidahnya. Beliau sangat membenci segala bentuk kesyirikan. Daud Beureueh adalah tipe ulama yang sangat konsisten memegang Al-Quran dan Hadits, sehingga siapa saja yang menurutnya menolak atau pun mengubah Al-Quran dan Hadits maka orang tersebut menurut beliau adalah kafir.

Dalam kehidupannya Daud Beureueh dikenal sebagai ulama yang sangat gencar memberantas bid’ah dan khurafat yang ketika itu telah merasuki benak sebagian masyarakat Aceh. Kuat dugaan bahwa pemikiran Tauhid Abu Beureueh memiliki kesamaan dengan pemikiran Tauhid Muhammad bin Abdul Wahab yang dikembangkan di Saudi Arabia. 

2. Tgk. Muhammad Daud Bureueh; Ulama Anti Bid’ah dan Maksiat

Dikisahkan bahwa pada saat Tgk. Daud Beureueh tinggal di Kampung Usi, ketika itu penduduk kampung banyak terpengaruh dengan ajaran sufi Al-Hallaj. Berkat usaha dan bimbingan yang dilakukan oleh Tgk. Daud, akhirnya banyak penduduk kampung yang meninggalkan ajaran sesat tersebut dan kembali ke jalan yang benar.[49]

Tgk. Daud Beureueh dikenal sebagai ulama yang keras pendiriannya dalam mempertahankan ajaran Islam. Pernah suatu ketika, pada saat Tgk. Daud Beureueh berkhutbah di Mesjid Raya Kuta Raja, beliau dengan terang-terangan menyatakan bahwa komunis adalah musuhnya umat Islam dan beliau meminta rakyat Aceh untuk menjauhi PKI (Partai Komunis Indonesia) yang pada saat itu sudah mulai masuk ke Aceh.[50]

Daud Beureueh adalah ulama yang sangat ahli berpidato dan mampu berbicara berjam-jam dengan suara keras dan lantang. Beliau pernah berkeliling selama 25 hari dan berpidato sebanyak 70 kali, tapi suaranya tidak parau dan kondisinya tetap sehat.[51]

Dalam hal perbuatan maksiat, Abu Beureue-eh dikenal sebagai tipe pemimpin dan ulama yang sangat anti kepada perilaku maksiat. Dalam sebuah maklumat yang dikeluarkan oleh Abu Beureueh semasa masih menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo pada 18 September 1948, tertulis sebagai berikut:
Barang siapa jang melakukan atau turut berhubungan dengan perbuatan djudi dalam rupa dan tjara jang bagaimana sekalipun, jang melakoekan perbuatan zina atau tjoeri, baik sesudah mendjalankan hukumannja menoeroet kepoetoesan Hakim, maupun tidak ada keputusan Hakim untuk itu, kita, djika merasa perlu akan mengambil ketetapan untuk memindahkan mereka itu dari tempat tinggal asalnja kepada suatu tempat tinggal lain jang ditentukan…[52]
Kutipan di atas sengaja penulis penulis sajikan sebagaimana aslinya agar nuansa sejarahya tidak pudar. Dari kutipan di atas tampak jelas ketegasan Abu Beureueh sebagai pemimpin dalam memberantas perilaku maksiat di wilayah yang dipimpinnya.

Abu Beureueh adalah sosok ulama yang kuat pendirian dan pemahamannya terhadap Al-Quran dan Hadits. Abu Beureueh memandang wajib menjalankan hukum Islam sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. 

Dalam seruan dakwah yang disampaikan oleh Abu Beureu-eh pada tahun 1954, beliau berkata:

Kita dan Ibu Bapa kita adalah umat Islam. Umat Islam wadjib mendjundjung tinggi Quran dan Hadis sebagai dasar hukum dalam pergaulan hidupnja. Mereka jang merobah Quran dan Hadis atau menolak sebahagianja adalah mereka itu “kafir” hukumnja dan putuslah tali nasab (hubungan tali keturunannja) dengan ibu bapanja.[53]
Berdasarkan kutipan di atas dapat dimengerti bahwa Abu Beureueh adalah salah seorang ulama yang sangat konsisten dengan Al-Quran dan Hadits. Beliau menganggap kafir siapa saja yang menolak ataupun mengubah Al-Quran dan Hadits. Sikap konsisten Abu Beureueh terhadap Al-Quran dan Hadits juga terlihat dalam setiap pidatonya, beliau selalu mengiringi pembicaraannya dengan ayat-ayat Al-Quran dan juga hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang beliau gunakan sebagai dalil guna menguatkan pendapatnya tersebut.

Hasanuddin Yusuf Adan dalam bukunya menyebutkan bahwa Daud Beureueh pernah berkata;

”Sudah ratusan tahun syari’at Islam berlaku di Aceh. Tetapi hanya beberapa tahun bergabung dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya syari’at Islam di Aceh.”[54]
Pernyataan yang dikutip oleh Yusuf Adan di atas semakin mempertegas kepada kita bahwa Abu Beureueh adalah tokoh yang sangat kental rasa keagamaannya sehingga bersedia melakukan apa saja – termasuk memberontak demi tegaknya agama Allah.

Dalam sebuah tulisan lain, Yusuf Adan juga menginformasikan kepada kita bahwa Tgk. Muhammad Daud Beureueh juga telah berjaya mengawal dan mengembangkan Islam sehingga Aceh harum dengan syari’ah. Ketika beliau memimpin organisasi Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh (POESA), Islam jaya dan syari’ah semakin berbunga, ’aqidah bertambah kuat dan akhlak juga semakin mantap dalam kehidupan muslim Aceh dalam kurun tahun 1950an.[55]

Cerita menarik lainnya yang mengindikasikan bahwa Abu Beureueh adalah Ulama yang kuat pemahamannya terhadap agama adalah ketika ulama terkenal dari Sumatera Barat, Buya Hamka, berkunjung ke Aceh. Kedatangan Buya Hamka ke Aceh untuk menemui Abu Beureueh kononnya karena diminta oleh pemerintah RI. Informasi ini dikutip dari Majalah Panji Masyarakat no. 543 yang ditulis oleh sekretaris Buya Hamka.

Buya HAMKA. Sumber: inpasonline.com

Dalam pertemuannya dengan Daud Beureueh tersebut, Buya Hamka menjelaskan secara panjang lebar tentang hakikat Pancasila yang menjadi dasar Negara Indonesia. Setelah mendengar penjelasan dari Buya, Abu Beureueh berkata; 

Yang jadi masalah bagi saya ialah keadaan sehari-hari yang jauh berbeda dengan ucapan-ucapan para pemimpin”. Kita percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi kita membiarkan berlakunya perbuatan-perbuatan syirik, memuja kubur, memuja api, bahkan ada pemimpin yang ikut melakukannya. Disebutnya juga perjudian yang semakin meluas. Bukankah itu namanya kita main-main dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.[56]

Jawaban Abu Beureueh setelah mendengar penjelasan HAMKA sebagaimana tersebut di atas menjadi bukti paling valid bahwa Abu Beureueh sangat tidak sepakat dengan azas Pancasila yang digunakan oleh Pemerintah RI sebagai dasar negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Pancasila, menurut Abu Beureueh tidak akan pernah mampu menghilangkan kemaksiatan yang terjadi di Indonesia. Orang-orang mengaku bertuhan dan beragama Islam, tetapi perilaku dan tingkahnya justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

3. Tgk. Muhamamsd Daud Beureueh dan Pembaharuan Pendidikan di Aceh

Diceritakan bahwa setelah menikah dengan Tgk. Halimah di Kampung Usi Meunasah Dayah, Tgk. Daud Beureueh mendirikan pesantren bagi murid-muridnya di desa tersebut. Kemudian pada tahun 1930 beliau membentuk Jami’ah Diniah dan mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Paseh Sigli.[57]

Tgk. Muhammad Daud Beureueh bertindak langsung sebagai pimpinan Madrasah Sa’adah Abadiah yang didirikannya tersebut. Dengan dibukanya Madrasah ini oleh Abu Beureu-eh, maka ramailah pelajar-pelajar di Aceh yang belajar di Madrasah tersebut, sehingga Blang Paseh yang menjadi tempat Madrasah tersebut kian terkenal ke seluruh Aceh. Di samping itu Jami’atuddiniyah Blang Paseh juga memiliki beberapa cabang di Aceh.[58]

Dari kisah singkat di atas dapat diketahui  bahwa Abu Daud Beureueh, selain sebagai pemimpin politik, pemimpin militer dan ulama, beliau juga sosok yang sangat peduli dengan pendidikan. Meskipun pada awalnya beliau berasal dari lembaga pendidikan tradisional (dayah) namun akibat luas pengetahuan dan pergaulannya, terutama dengan tokoh-tokoh pembaru pendidikan di Aceh seperti ayah Hamid, akhirnya beliau mampu mendirikan madrasah yang merupakan cikal bakal pendidikan modern.

G. Hari-Hari Terakhir Sang Revolusioner

1. Kembalinya Tgk. Muhammad Daud Beureueh ke Pangkuan Ibu Pertiwi

Ibrahimy menceritakan dalam bukunya bahwa Tgk. Daud Beureueh pasca kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, beliau hidup sederhana dan tidak pernah meminta fasilitas apa pun kepada pemerintah baik bagi dirinya maupun keluarganya. Bahkan beliau tidak pernah mengurus pensiunnya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Gubernur Aceh, Anggota DPA dan juga anggota DPR. Uniknya lagi, beliau juga menolak bantuan rumah di Kuta Raja yang ditawarkan oleh pemerintah di Aceh ketika itu. [59]

Bisa disimpulkan bahwa pasca kembalinya ke pangkuan Ibu Pertiwi kehidupan Abu Beureueh biasa saja dan tidak ada hal yang istimewa. Padahal hampir seluruh usianya dipergunakan untuk melancarkan revolusi guna mencapai kemerdekaan Indonesia. 

2. Daud Beureueh; Pahlawan yang Terzalimi

Istri Tgk. Daud Beureueh pernah menceritakan kepada Ibrahimy, bahwa ketika Daud Beureueh akan dipindahkan ke Jakarta dalam keadaan mendadak, beliau sempat diperlakukan secara zalim dan tidak manusiawi oleh petugas yang berseragam hijau. Padahal tindakan yang oleh Ibrahimy disebut sebagai “immoral treatment” tersebut tidak pantas diterima oleh Abu Beureueh yang memiliki jasa besar dalam menyelamatkan Republik ini,[60] khususnya pada saat agresi Belanda 1949 yang membuat Indonesia ketika itu jatuh tersungkur akibat serangan Belanda.

Daud Beureueh yang ketika itu (tahun 1949) menjabat sebagai Gubernur Militer memberi pelayanan yang sangat baik kepada perwira-perwira Indonesia yang pada saat itu telah terdesak dan berhijrah ke Aceh. Oleh Daud Beureueh mereka diberikan tempat yang layak di Kuta Raja,[61] tapi ironisnya di akhir-akhir kehidupannya, sang Revolusioner dan pahlawa ini diperlakukan secara tidak pantas oleh aparat di negeri ini.

Ketika itu, tepatnya tanggal 1 Mei 1978, selepas Shalat Shubuh serombongan petugas Republik Indonesia yang dipimpin oleh Komandan Kodim Pidie, Letkol Nyak Umar, seorang jaksa dan seorang dokter beserta beberapa orang tentara datang ke rumah Tgk. Daud Beureueh. Singkat cerita dalam acara penjemputan paksa tersebut, meskipun mengaku sakit dan tidak sanggup pergi ke Surabaya, namun atas perintah Letkol Nyak Umar beliau disergap oleh beberapa orang tentara. Tidak cuma itu, sang dokter juga menyuntikkan jarum berisi narkose di bahu Abu Beureueh. Tragisnya lagi ketika istri Abu Beureueh keluar hendak melihat suaminya, Letkol Nyak Umar malah menodongkan pistol kepada istri Abu Beureueh.[62] Tentunya perlakuan ini sama sekali tidak pantas diterima oleh seorang mantan pemimpin besar sekaliber Daud Beureueh.

Tgk Daud Beureueh tinggal di Jakarta di bawah pengawasan pemerintah Indonesia sejak 1978 sampai dengan 1982, menurut Ibrahimy, selama di Jakarta Daud Beureueh berstatus sebagai orang buangan. Abu Beureueh baru diizinkan pulang ke Aceh pada tahun 1982. Ketika itu kondisinya sudah sangat uzur, di mana beliau harus dipapah ketika berjalan dan matanya sudah hampir tidak dapat melihat lagi.[63]

3. Wafatnya Tgk. Muhammad Daud Beureueh; Aceh Kehilangan Pemimpin Berani, Pejuang Sejati dan Ulama Besar

Ibrahimy mengisahkan bahwa pada awal-awal kepulangannya ke Aceh, Abu Beureueh tidak dibenarkan shalat di Mesjid Baitul A’la lil Mujahidin dan ketika itu beliau layaknya tahanan rumah. Menjelang tahun kedua kepulangannya, beliau baru diizinkan shalat di Mesjid Baitul A’la tetapi ketika itu beliau masih diawasi secara ketat.[64]

Memasuki tahun ketiga, pengawasan terhadap Tgk. Daud Beureueh sudah mulai longgar, namun sayangnya ketika itu fisik Abu Beureueh sudah sangat lemah dan sudah tidak mampu lagi menjadi imam shalat. Pada tahun 1986 sampai dengan 1987 beliau hanya bisa shalat sambil duduk. Tepatnya tanggal 10 Juni 1987 Abu Beureueh menghembuskan napasnya yang terakhir dan berpulang ke rahmatullah dalam usia 88 tahun. Beliau dimakamkan secara sederhana di halaman sebelah barat Masjid Baitul A’la yang beliau dirikan sendiri.[65] Allahummagfirlahu…

Endnote:

[1]Wikipedia, Daud Beureu’eh, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daud_Beureu'eh pada tanggal 02 Mei 2013. 

[2]M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dalam Pergolakan Aceh, Edisi Revisi (Jakarta: Media Dakwah, 2001), hal. 261. 

[3]Ibid., hal. 282. 

[4]Ibid., hal. 262. 

[5]Ibid. 

[6]T. Ibrahim Alfian, dkk, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1949) (Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh, 1982), hal. 1. 

[7]Insider, Atjeh Sepintas Lalu (Djakarta: FA ARCHAPADA, 1950), hal. 5. 

[8]Ibid., hal. 7. 

[9]Ibid., hal. 8. 

[10]Ibid., hal. 10. 

[11]Ibid., hal. 10 – 11. 

[12]M. Nur El-Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dan Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, cet. 2 (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), hal. 76. 

[13]Ibid. 

[14]Ibid., hal. 84 – 85. 

[15]Ariwiadi, Gerakan Operasi Militer VII Penjelesaian Peristiwa Atjeh (t.t.p: Mega Bookstore, t.t), hal. 1. 

[16]Ibid., hal. 2. 

[17]El-Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dan Peranannya, hal. 97. 

[18]Ibid., hal. 101 – 102. 

[19]Ibid., hal. 104. 

[20]Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hal. 26 – 27. 

[21]Ibid., hal. 29. 

[22]Dada Meuraxa, Peristiwa Berdarah di Atjeh (Medan: Pustaka Sedar, 1956), hal. 18. 

[23]Lembaga Research dan Survey IAIN Jami’ah Ar-Raniry, Laporan Penelitian Pengaruh PUSA Terhadap Reformasi di Aceh (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Darussalam, 1978), hal. 10. 

[24]Ibid., hal. 18 – 19. 

[25]Ibid., hal. 23 – 24. 

[26]Ibid., hal. 27. 

[27]Ibid., hal. 28. 

[28]Ibid., hal. 31. 

[29]Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud, hal. 264. 

[30]Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud, hal. 265. 

[31]Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, hal. 116. 

[32]A. H. Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik MR. S.M. Amin (Kutaradja: Pustaka Murnihati, 1956), hal. 43. 

[33]Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, hal. 122. 

[34]Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dan Peranannya, hal. 64. 

[35]Ibid., hal. 64 – 65. 

[36]Ibid. 

[37]MR. SM. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh (Jakarta: Soeroengan Djakarta, 1956), hal. 48. 

[38]Ibid., hal. 249. 

[39]Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh, hal. 31. 

[40]Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah, hal. 250. 

[41]Ibid. 

[42]Anonim, Pemberontakan Daud Beureueh, artikel diakses pada tanggal 05 Mei 2013 melalui http://elib.rangkang.com/pemberontakan-daud-beureueh/

[43]Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah, hal. 250. 

[44]Mujamma’ Malik Fahd, Al-Quran dan Terjemahannya (ttp: Kementrian Urusan Agama Islam, Waqaf, Dakwah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, tt), hal. 167. 

[45]Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh, hal. 43. 

[46]Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, hal. xvi – xvii. 

[47]Ibid., hal. 128. 

[48]Ibid., hal. 132. 

[49]Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud, hal. 262. 

[50]Ibid., hal. 262 – 263. 

[51]Ibid., hal. 263. 

[52]Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah, hal. 291. 

[53]Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh, hal. 54. 

[54]Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah Etnografi Kekerasan di Aceh (Yogyakarta: Prisma Sophie, 2003), hal. 5. 

[55]Hasanuddin Yusuf Adan, Mengatasi Pendangkalan Akidah dan Aliran Sesat di Aceh, artikel diakses pada tanggal 06 Mei 2013 melalui http://ddii.acehprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=135:mengantisipasi-p..

[56]Anonim, Pada Suatu Hari dengan Daud Beureu-eh, artikel diakses pada tanggal 05 Mei 2013 melalui http://serbasejarah.wordpress.com/2010/05/03/pada-suatu-hari-dengan-daud-beureueh/

[57]Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud, hal. 262. 

[58]Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984), hal. 61. 

[59]Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud, hal. 273 – 274. 

[60]Ibid., hal. 275 – 276. 

[61]Ibid., hal. 276. 

[62]Ibid., hal. 278. 

[63]Ibid., hal. 278 – 279. 

[64]Ibid., hal. 281. 

[65]Ibid., hal. 281 – 282.

Tulisan ini telah diikut sertakan dalam Lomba Penulisan Essay Tentang Daud Beureu-eh yang diselenggarakan oleh KNPI Banda Aceh, dan Alhamdulillah mendapat JUARA I
loading...

No comments