tag:blogger.com,1999:blog-35478787152240276222024-03-13T23:51:52.674-07:00SATU KESAN ABADISatu Kesan Abadi Khairil Miswar's Library. Berisi tulisan-tulisan yang sudah dimuat di media dengan topik pemikiran Islam, seperti aliran sesat, isu-isu tentang pemikiran Wahabi, pemikiran Aswaja, syariat Islam, isu-isu Aceh, politik daerah dan nasional dan juga biografi singkat tokoh tertentu. Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.comBlogger410125tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-67319338240409302642023-09-22T06:28:00.000-07:002023-09-22T06:28:00.298-07:00Kekerasan Seksual di Pesantren <p>Oleh: <b>Khairil Miswar </b></p><p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_d-LjFyeN6_P1Fhhh9i3hS5dc1TwiKM5p2bG2zZyGC3zavBA6OAXa0V-0VqTGEyBfXh_tnnvG3tKk9-8k1gFho5t44LFl6qulS49xs4zGTWNzI34VMuVlxNu6e7tm5A_dA-ZaFCUDOXxjOg1A-_gG4KAlYO6r7yERChQrsBQk5EBYsxvTLwRSjZkjod5B/s1600/41c0e0c8d0d9d84d473d529ebb61eb22.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1200" data-original-width="1600" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh_d-LjFyeN6_P1Fhhh9i3hS5dc1TwiKM5p2bG2zZyGC3zavBA6OAXa0V-0VqTGEyBfXh_tnnvG3tKk9-8k1gFho5t44LFl6qulS49xs4zGTWNzI34VMuVlxNu6e7tm5A_dA-ZaFCUDOXxjOg1A-_gG4KAlYO6r7yERChQrsBQk5EBYsxvTLwRSjZkjod5B/w400-h300/41c0e0c8d0d9d84d473d529ebb61eb22.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><b>Foto: Media Indonesia </b></td></tr></tbody></table><b><br /></b></p><p><i>Bireuen, 23 Mei 2023</i></p><p>Pfaus dan Scepkowski dalam The Biologic Basic for Libido (2005) mendefinisikan libido sebagai dorongan untuk melakukan aktivitas seksual. Pendefinisian ini tampak selaras dengan pemaknaan yang dibuat KBBI, di mana terma tersebut diartikan sebagai berahi yang bersifat naluri. Namun, dalam konteks psikologis, sebagaimana dikemukakan Freud, definisi libido tidak hanya terfokus pada persoalan seksualitas, tapi berdampak pada semua perilaku. </p><p>Dalam beberapa kasus, libido yang abnormal kerap kali diasosiasikan dengan kekerasan seksual. Kuatnya libido ini sering pula disebut-sebut sebagai dampak dari pornografi. Namun secara faktual, pornografi tidak selamanya inheren dengan peningkatan libido. Seperti disebut Davy Rothbart dalam tulisannya di majalah New York sebagaimana dikutip kompas.com bahwa akses pornografi yang terlalu intens justru menyebabkan sulitnya mencapai klimaks ketika berhubungan seksual.</p><p><b>Seks dan Agama</b></p><p>Sebagai sesuatu yang naturalistik, seksualitas adalah entitas yang tidak bisa dipisahkan dari eksistensi manusia sebab secara faktual kelahiran dan perkembangan manusia berawal dari peristiwa seksual. Demikian pula dengan entitas agama juga inheren dengan kemanusiaan. Karena itu, meskipun dianggap tabu dan berada dalam dimensi yang berbeda, namun hampir semua agama mengandung ajaran tentang seksualitas. Dengan kata lain, seksualitas memiliki basis teologis dalam semua agama.</p><p>Islam sebagai agama yang menolak kerahiban juga terbilang akrab dengan ajaran seksualitas. Dalam Islam, hubungan seksual (jimak) yang sah dan mendapat legitimasi syariat dianggap sebagai bagian dari ibadah. Bahkan nilai ibadah dari aktivitas seksual ini disebut-sebut lebih tinggi dari sekadar puasa sunnah. Karena itu penjelasan tentang hubungan seksual dalam Islam terlihat begitu detail dan mendapat porsi tersendiri dalam kajian fiqh Islam.</p><p><b>Agama dan Kekerasan Seksual</b></p><p>Meskipun seksualitas memiliki basis teologis dalam setiap agama, namun hubungan seksual yang tidak sah (di luar nikah) justru mendapat penolakan dari otoritas agama. Dalam tradisi agama-agama Semit misalnya, aktivitas ini dianggap sebagai bentuk dari perzinaan di mana pelaku-pelakunya bukan saja dihukum, tapi juga dikucilkan dari pergaulan sosial. Demikian pula dengan praktik penyimpangan, pelecehan dan kekerasan seksual juga bertentangan dengan prinsip semua agama.</p><p>Lantas kenapa aksi kekerasan seksual kerap terjadi di ruang-ruang keagamaan semisal gereja dan pesantren? Dalam konteks ini mesti dibedakan antara agama sebagai doktrin teologis yang merujuk pada teks-teks suci berdimensi spiritual dan agama sebagai fenomena sosiologis yang mengacu pada perilaku penganutnya. Berdasarkan dikotomi ini, dapat diketahui bahwa kekerasan seksual berada pada domain sosiologis (realitas), bukan pada domain teologis (normatif).</p><p>Meskipun berada dalam domain sosiologis, namun dalam faktanya para pelaku kekerasan seksual ini kerap menggunakan argumen-argumen teologis semisal ketaatan dan keberkahan guna memengaruhi korbannya. Hal inilah yang kemudian memberikan kesempatan bagi pelaku untuk menyalurkan libido seksualnya melalui pelecehan dan kekerasan di ruang keagamaan semisal pesantren atau gereja.</p><p><b>Kekerasan Seksual di Pesantren </b></p><p>Pebriasisyah dkk (2022) menyebut lembaga pendidikan keagamaan seperti pesantren kerap dikaitkan dengan budaya patriarki, di mana laki-laki dikonstruksi sebagai subjek sementara perempuan sebagai objek. Di pesantren juga terdapat relasi kuasa yang timpang di mana posisi seorang kiai dan gus lebih tinggi daripada santri sehingga para santriwati yang dilecehkan tidak memiliki kuasa untuk melawan sebab berada pada hierarki yang rendah.</p><p>Bruinessen (1994) menggambarkan posisi seorang kiai sebagai otoritas tunggal di pesantren yang ucapan dan tindakan-tindakannya dianggap sebagai kebenaran sehingga memungkinkan ia melakukan dominasi terhadap para santri. Faktanya, kondisi demikian tidak hanya terjadi di pesantren-pesantren di Jawa, tapi juga di lembaga pendidikan keagamaan semisal dayah di Aceh di mana seorang guru (teungku) kerap diposisikan sebagai sosok maksum (suci) yang tidak pernah berbuat salah dan dosa. Ketidakpatuhan kepada guru diyakini akan menjadi salah satu sebab masuk neraka. Dalam konteks yang lebih luas, seorang teungku (kiai) juga memiliki pengaruh kuat di tengah masyarakat, di mana sosok tersebut dianggap mampu mendatangkan keberkahan dan juga petaka (Shabri dkk, 2005).</p><p>Dalam konteks sosiologis, kuatnya posisi dan karisma seorang tokoh agama semisal teungku dan kiai disebabkan oleh tradisi kultus yang juga merupakan salah satu ciri khas yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan modern semisal sekolah dan madrasah. Dalam konteks psikologis, kultus ini terbentuk dari keterpesonaan santri kepada figur kiai yang didasarkan pada emosional (perasaan), bukan rasional (pikiran).</p><p>Di sisi lain, seperti dikemukakan Huda (2011), sistem pembelajaran di pesantren yang bersifat satu arah juga telah memosisikan kiai sebagai sumber primer yang secara otomatis menempatkan santri dalam heirarki paling bawah dan pasif. Kondisi ini menjadi dasar utama munculnya sikap kultus berbasis emosional kepada sosok kiai (teungku). Tradisi kultus inilah yang kemudian melahirkan relasi kuasa (power relation) yang timpang di dunia pesantren. </p><p>Eksistensi relasi kuasa yang timpang ini membuka peluang bagi oknum-oknum tokoh agama semisal teungku, kiai dan gus untuk menyalurkan libido seksualnya kepada para santri dan santriwati yang telah larut dalam keterpesonaan dan ketundukan emosional akibat tradisi kultus. Secara psikologis, kondisi ini telah memberikan rasa nyaman kepada pelaku kekerasan seksual untuk melakukan aksinya di pesantren tanpa adanya rasa takut.</p><p>Akibat tradisi kultus dan libido seksual oknum tokoh agama yang tak terkendali, kasus pelecahan dan kekerasan seksual di pesantren tampak kian menjamur. Menurut data Komnas Perempuan seperti dikutip PMB LIPI, selama 2015-2020, kasus kekerasan seksual di pesantren menduduki posisi tertinggi kedua setelah perguruan tinggi. Beberapa waktu lalu, publik Indonesia pernah dikejutkan dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di salah satu pesantren di Jombang. Sebelumnya kejadian hampir serupa pernah terjadi di Bandung, Ogan Hilir, Trenggalek, Mojokerto, Lhokseumawe dan Pinrang Sulsel. Belum lama ini kejadian tersebut juga terjadi di Aceh, di mana seorang oknum guru pesantren diduga melakukan sodomi kepada sejumlah santri. Kejadian teranyar muncul di Pidie Jaya, di mana seorang oknum teungku melakukan pelecehan kepada tujuh santri laki-laki.</p><p>Menyikapi fenomena demikian, pesantren harus segera melakukan langkah-langkah strategis agar lembaga tersebut tidak ditinggalkan masyarakat. Salah satunya dengan melakukan transformasi sistem pendidikan dari pola doktrinal dan kultus (dominasi) berbasis emosionalyang menyebabkan santri menjadi pasifmenuju sistem pembelajaran kritis berbasis rasional dengan pola hubungan dinamis—agar santri dapat berpikir mandiri.</p><p>Kemandirian berpikir (tanpa adanya dominasi) dan sikap kritis dari santri akan menutup peluang bagi terulangnya kejadian ini di kemudian hari. Tidak mudah memang, tapi ini penting. </p><p><br /></p><p>Artikel ini sudah terbit di Harian <b>Serambi Indonesia </b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj49rd_pufUbe5CbSyLUkZGWKnJk4q65rhXRCwRgdrGJku3LE0KMCqhaOs_ueVRhh_b--uzKhxM09fKvK0Gkqcy0jQg-kcSIg50mxyVpgXmdBCT4lN69vPHHIZoPW2iQ4iRGDonyxcstCuzhMtm4BYlkbxsHs3PaVQU2jd7pgXZh7nSla9MvEPj0SOqxtnZ/s991/FB_IMG_1695388567069.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="991" data-original-width="718" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj49rd_pufUbe5CbSyLUkZGWKnJk4q65rhXRCwRgdrGJku3LE0KMCqhaOs_ueVRhh_b--uzKhxM09fKvK0Gkqcy0jQg-kcSIg50mxyVpgXmdBCT4lN69vPHHIZoPW2iQ4iRGDonyxcstCuzhMtm4BYlkbxsHs3PaVQU2jd7pgXZh7nSla9MvEPj0SOqxtnZ/w290-h400/FB_IMG_1695388567069.jpg" width="290" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-22001635005182985252023-08-17T07:04:00.000-07:002023-08-17T07:04:10.784-07:00Daud Beureueh dalam Ingatan<h4 style="text-align: left;">(Mengenang 36 Tahun Wafatnya Daud Beureueh)</h4><p>Oleh: <b>Khairil Miswar </b></p><p><i>Banda Aceh, 19 Juni 2023</i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGD1ac6v9NLiRwlr04dfRcs_7WMyS6IIAYjPywv2gzeC_2fn1CftUSJOw1N8AWvhh-iYP-i3s1xW-5suASQtEEJYObDQU9_JdmAW1xTAifl1KoPj4ygJ1UgzxlkNohTxj4ghlTcvSJSj5cRLQeiTQnCEVfqm5cjFqEmF2u3yXNwqrXzOpVULZgcxqIGw_A/s720/FB_IMG_1692280974418.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="465" data-original-width="720" height="259" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGD1ac6v9NLiRwlr04dfRcs_7WMyS6IIAYjPywv2gzeC_2fn1CftUSJOw1N8AWvhh-iYP-i3s1xW-5suASQtEEJYObDQU9_JdmAW1xTAifl1KoPj4ygJ1UgzxlkNohTxj4ghlTcvSJSj5cRLQeiTQnCEVfqm5cjFqEmF2u3yXNwqrXzOpVULZgcxqIGw_A/w400-h259/FB_IMG_1692280974418.jpg" width="400" /></a></div><p><br /></p><p>“Daud Beureueh adalah pemberontak.” Hingga hari ini, label demikian terus saja diulang-ulang oleh segelintir anak negeri. Sepintas, memang tidak dapat disalahkan, karena Sejarah Nasional selama ini telah menempatkan Daud Beureueh dalam posisi yang sangat tidak tepat, sebagai pemberontak—hanya karena ijtihad politiknya yang kala itu memperjuangkan Negara Islam, mengikut jejak Kartosuwiryo di Jawa Barat.</p><p>Sadisnya, label pemberontak kepada Daud Beureueh terus saja diwariskan dari generasi ke generasi. Akhirnya cap yang tidak adil ini terus tertancap di sanubari generasi penerus bangsa ini, khususnya di Aceh, tanah yang pernah bergetar ketika Daud memegang kendali politik di masa silam. Selalu ada upaya dari “sisa-sisa feodal” dan “kelompok konservatif” agar nama besar Daud Beureueh hilang dari panggung sejarah, bahkan hilang dalam perbincangan publik.</p><p>Dalam Sejarah Nasional, Daud Beureueh diposisikan sebagai pemberontak yang ingin menumbangkan Pancasila, sementara dalam sejarah Aceh kontemporer, Daud Beureueh dicap sebagai pengkhianat karena mempertahankan semangat Republiken ketika Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Pemberontak (versi RI) dan pengkhianat (versi sebagian masyarakat Aceh) adalah dua label antagonistis yang disematkan secara tidak sah kepada Daud Beureueh, seorang mujahid agung yang memaklumkan jihad melawan kolonial—dan bahkan menyelamatkan Indonesia ketika Belanda ingin kembali.</p><p>Daud Beureueh yang pada era 1947-1949 menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo telah memberikan kontribusi besar bagi tegaknya Republik Indonesia yang pada saat itu berada dalam keadaan “koma.” Adalah naïf, jika seorang investor republik kemudian melakukan pemberontakan tanpa didasari oleh alasan-alasan yang cukup kuat dan mendesak.</p><p><b>Gerakan Koreksi</b></p><p>Dalam beberapa perbincangan bersama Alkaf, dia menyebut tindakan Daud Beureueh sebagai sebuah koreksi terhadap Republik dan bukan pemberontakan. Namun, dengan meminjam Alkaf, saya merasa lebih tepat menyebut gerakan 1953 yang dipimpin Daud Beureueh sebagai “gerakan koreksi bersenjata.” Kenapa bersenjata? Jawabannya adalah karena kondisi yang sangat-sangat mendesak. Dan penggunaan senjata adalah salah satu simbol keseriusan, setelah sebelumnya diawali dengan berbagai macam diskusi dan upaya diplomasi yang gagal.</p><p>Gerakan koreksi yang dilakukan oleh Daud Beureueh pada 1953 bukanlah tujuan, tapi hanya salah satu bentuk bakti beliau demi kebaikan Republik Indonesia yang menurut beliau telah “melenceng” dari jalan yang benar. Jika memang pemberontakan adalah tujuan, tentu Daud Beureueh akan melakukan gerakan tersebut jauh sebelumnya, tepatnya pada 1947- 1949, bukan pada 1953. Kita tahu bahwa pada era tersebut, Daud Beureueh memegang kendali politik secara penuh di Aceh. Pada tahun-tahun itu, jangankan untuk memberontak, bahkan Daud Beureueh bisa saja memproklamirkan Aceh Raya sebagai negara yang berdaulat dan terpisah dari rangkaian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tapi sejarah telah membuktikan, Daud Beureueh tidak melakukan itu—walau godaan dari Sumatera Timur begitu kuat.</p><p><b>Sikap Politik Daud Beureueh</b></p><p>Tidak hanya sebagai pemimpin politik, Daud Beureueh juga seorang ulama besar di Aceh. Hal ini setidaknya dibuktikan dengan terpilihnya beliau sebagai ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) pada 5 Mei 1939. Demikian pula ketika diadakan Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia di Medan pada 1953, beliau juga terpilih sebagai pemimpinnya. Fakta-fakta sejarah ini sudah cukup membuktikan kepada kita semua bahwa Daud Beureueh adalah ulama yang punya pengaruh besar di Nusantara. Bahkan menurut Ali Hasjmi, nama Daud Beureueh juga bergetar di Asia Tenggara.</p><p>Daud Beureueh dikenal sebagai sosok yang sangat konsisten terhadap syariat Islam. Di masa mudanya, setelah menyelesaikan pendidikannnya di beberapa dayah, Daud Beureueh juga mengajar dan berdakwah di berbagai daerah di Aceh. Sebagai penganut Islam murni, Daud Beureueh dalam kesehariannya juga menolak segala bentuk kesyirikan, bid’ah dan khurafat yang tidak memiliki landasan dalam agama. Daud Beureueh juga sempat melakukan pembersihan terhadap berbagai praktik salik buta di seluruh Aceh. Menurut catatan Ali Hasjmi, berkat kerja keras dan dakwah yang dilakukan Daud Beureueh, pada tahun 1930-an tidak ada lagi praktik sulok (salik buta) di Aceh.</p><p>Daud Beureueh memimpikan agar Indonesia menerapkan syariat Islam, karena perjuangan yang dilakukan oleh Daud Beureueh adalah didorong oleh semangat jihad fi sabilillah sebagaimana digagas Teungku Chik Di Tiro. Ketika menjabat sebagai Gubernur Militer pada masa-masa revolusi, Daud Beureueh pernah mengeluarkan beberapa maklumat kepada masyarakat agar menerapkan syariat Islam dan menjauhi segala bentuk maksiat. Dan bahkan dalam maklumat tersebut Daud Beureueh mengancam akan menghukum siapa pun yang melanggar syariat Islam.</p><p>Ketika Soekarno berkunjung ke Aceh, Daud Beureueh juga meminta agar di Aceh bisa diterapkan syariat Islam, tetapi janji Soekarno ini tidak terealisasi sehingga Daud Beureueh dengan sangat terpaksa melakukan perlawanan terhadap pemerintah dengan tujuan syariat Islam bisa tegak di Aceh. Setelah beberapa lama berada di gunung untuk berjuang bersama Darul Islam, akhirnya Daud Beureueh bersedia kembali kepada masyarakat setelah beliau mendengar bahwa pemerintah akan mengizinkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh. Pasca turun gunung, beliau kembali berdakwah dan memberi pengajian kepada masyarakat di Masjid Baitul A’la Lil Mujahidin.</p><p>Ketika Gerakan Aceh Merdeka diproklamirkan, Daud Beureueh juga sempat memberi restunya “secara tertutup” dengan syarat perjuangan tersebut harus didasarkan pada Islam. Namun, karena GAM mengusung dasar nasionalisme Aceh bagi perjuangannya, akhirnya Daud Beureueh tidak memberikan dukungan secara terang-terangan kepada GAM, atau mungkin saja beliau telah mencabut dukungannya kepada mereka. Di sini terdapat satu poin, bahwa Daud Beureueh hanya menginginkan Islam, bukan nasionalisme atau etno nasionalisme sebagaimana diusung oleh GAM. </p><p>Bagi Daud Beureueh, seperti disampaikan Tan Sri Sanusi Juned dalam satu seminar di Banda Aceh (30/11/16)—syariat Islam harus diterapkan. Tan Sri menegaskan bahwa Daud Beureueh, bukanlah pemberontak, tapi pejuang Islam. Hal terpenting bagi Daud Beureueh adalah tegaknya syariat Islam dan hukum-hukum Allah. Jika syariat Islam tersebut tidak mungkin diterapkan di Indonesia, maka sekurang-kurangnya bisa diterapkan di Aceh. Jika memang di Aceh juga “terhalang” untuk menerapkan syariat Islam karena Aceh adalah bagian dari Indonesia, maka solusi terakhir adalah mendirikan negara sendiri. </p><p>Dengan demikian, diproklamirkannya Republik Islam Aceh (RIA) pada tahun 1961 harus dipahami sebagai sebagai sebuah “ijtihad politik” Daud Beureueh guna menegakkan syariat Islam ketika penegakan syariat itu sudah tidak mungkin lagi terlaksana di bumi Indonesia. Demikian pula dengan dukungan beliau kepada GAM di awal-awal munculnya gerakan itu juga didasari oleh Islam. Artinya, gerakan Darul Islam, pendeklarasian RIA dan restu Daud Beureueh kepada GAM bukanlah tujuan, tapi hanya wasilah demi terlaksananya syariat Islam di bumi Aceh—sebagaimana itu menjadi cita-citanya sejak dahulu—sebelum Indonesia tegak berdiri.</p><p>Tentu saja, apa yang ada di pikiran dan kemudian diperjuangkan Daud Beureueh kala itu tidak lagi relevan dengan kondisi hari ini. Namun, kita tidak bisa secara serta merta menghukumi gagasan-gagasan Daud Beureueh dengan menggunakan perspektif kita hari ini. Pemikiran politik Daud Beureueh mestilah diletakkan secara tepat dalam konteks zamannya sendiri—ketika perdebatan terhadap ideologi negara masih berlangsung. </p><p>Dan, terlepas dari berbagai kontroversi yang melingkupinya, Daud Beureueh adalah pahlawan, tidak saja bagi Aceh, tapi bagi Indonesia; sebab tanpa kehadiran laki-laki itu di gelanggang perang saat Agresi Militer Belanda, maka nama Indonesia mungkin hanya tersisa di novel-novel.</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Serambi Indonesia </b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxgTx8ufRjhkwZlTXtBOMHnmjlJIqEr4ykKq8JkSWgEtVUFgXyUjm3EwdTQq2ZLJ0FdvC-TModR1_KDyQdz2zaukfxKb3Afcn-P1SiVort-M4gdH9IuHAN4JH33ngAkwmXH7Ko5fxHVI61LPaS69DD8nIFvfgRUi7dHFb7n2VIXrhgzn8UP2k--e7vjX5y/s903/FB_IMG_1692280241032.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="903" data-original-width="692" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgxgTx8ufRjhkwZlTXtBOMHnmjlJIqEr4ykKq8JkSWgEtVUFgXyUjm3EwdTQq2ZLJ0FdvC-TModR1_KDyQdz2zaukfxKb3Afcn-P1SiVort-M4gdH9IuHAN4JH33ngAkwmXH7Ko5fxHVI61LPaS69DD8nIFvfgRUi7dHFb7n2VIXrhgzn8UP2k--e7vjX5y/w306-h400/FB_IMG_1692280241032.jpg" width="306" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-89357587113952812362023-08-17T06:49:00.004-07:002023-08-17T06:49:39.232-07:00Melawan Monopoli Bank (Berlabel) Syariah<p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b></p><p><i>Bireuen, 30 Mei 2023</i></p><p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSaTfIcG7HkSlKZb2jCwY_muir_ElPuGt4Shl6wVDvwwVKOdiXYhV_quTJm3TNJKXCep4s3X-hSww_gjNwygoklMjzKBx9lCQZONTUcZ_8iq5k28r76fhgLwVEEHUafSi5X88-RY8SrRKIpOPQtlGuNQTdDNnaygyaJRtSnlMvBLSWUsZEdm10knnR_La9/s640/Islamic-Banking.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="480" data-original-width="640" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSaTfIcG7HkSlKZb2jCwY_muir_ElPuGt4Shl6wVDvwwVKOdiXYhV_quTJm3TNJKXCep4s3X-hSww_gjNwygoklMjzKBx9lCQZONTUcZ_8iq5k28r76fhgLwVEEHUafSi5X88-RY8SrRKIpOPQtlGuNQTdDNnaygyaJRtSnlMvBLSWUsZEdm10knnR_La9/w400-h300/Islamic-Banking.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><b>Islamiceconomics</b></td></tr></tbody></table><br />Kehadiran Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang disahkan pada 31 Desember 2018 dan berlaku sejak 4 Januari 2019 telah berhasil mengubah wajah Aceh di sektor perbankan. Keberadaan qanun tersebut membuka babak baru bagi pertumbuhan perbankan syariah dengan mewajibkan seluruh lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh menjalankan prinsip syariah. Dampak dari pemberlakukan qanun ini semua bank konvensional harus hengkang dari Aceh.</p><p>Ironisnya, sejak awal kemunculannya bank-bank berlabel syariah yang mendapat legitimasi dari qanun ini justru tidak mampu memberikan pelayanan yang benar-benar berstandar syariah kepada para nasabah di Acehyang dalam faktanya tidak punya pilihan lain setelah bank-bank konvensional yang selama ini menjadi pilihan masyarakatkeluar dari Aceh. Dalam hal ini, qanun telah memaksa masyarakat Aceh untuk beralih menjadi nasabah bank berlabel syariah dengan cara-cara yang justru jauh dari kesan syariah.</p><p>Hal ini dapat dilihat dari proses peralihan saat awal-awal penerapan qanun, di mana para nasabah yang dulunya menggunakan bank konvensional harus melakukan penutupan rekening di bank tersebut (BRI, BNI dan Mandiri) dan kemudian membuka rekening baru di unit syariah: BRI Syariah (BRIS), BNI Syariah (BNIS) dan Bank Syariah Mandiri (BSM). Tidak berhenti di sana, unit-unit syariah dari bank konvensional tersebut kemudian juga mengalami merger sehingga para nasabah kembali dipaksa beralih kepada Bank Syariah Indonesia (BSI).</p><p>Kondisi demikian hanya menyisakan dua pilihan kepada masyarakat Aceh. Pertama, menjadi nasabah BSI pasca merger BRIS, BNIS dan BSM. Kedua, menjadi nasabah bank daerah: Bank Aceh Syariah (BAS). Kedua bank inilah yang memiliki jaringan paling luas dan bisa diakses oleh seluruh masyarakat di Aceh. Sementara keberadaan beberapa unit syariah lainnya, seperti BCA Syariah dan Bank Muamalat, tidak begitu efektif mengingat jaringan mereka yang terbatas dan hanya terfokus di beberapa kota saja.</p><p>Kondisi ini membuka peluang terjadinya monopoli dalam dunia perbankan di Aceh karena kedua bank tersebutlah (BSI dan BAS) yang memiliki nasabah terbanyak. Dalam faktanya pelayanan kedua bank tersebut, khususnya BSIhingga saat ini sama sekali belum sesuai ekspektasi, untuk tidak menyebut buruk. Akibatnya sebagian nasabah kecewa. Namun, ketiadaan bank konvensional sebagai alternatif membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa sehingga pelayanan seburuk apa pun tetap saja harus diterima dengan lapang dada.</p><p><b>Sistem BSI Down</b></p><p>Beberapa waktu lalu para nasabah tidak bisa melakukan transaksi apa pun di BSI karena bank tersebut mengalami down system. Pihak BSI mengklaim bahwa kejadian tersebut disebabkan oleh maintenance system. Namun, anehnya kelumpuhan sistem tersebut justru melebihi tiga hari sehingga komplain para nasabah pun terus meluas. Dalam kondisi demikian, Menteri BUMN, Eric Thohir, justru menyampaikan pernyataan mengejutkan. Dia menyebut ada serangan siber terhadap sistem BSI (kontan.co.id).</p><p>Terlepas dari apa pun yang terjadi, lumpuhnya layanan BSI telah menyebabkan kerugian yang cukup besar bagi masyarakat Aceh karena tidak adanya bank-bank alternatif sebagaimana di daerah lain. Ketua Ikatan Saudagar Muslim Indonesia (ISMI) Aceh bahkan menyebut gangguan layanan BSI tersebut sebagai sejarah terburuk dalam pelayanan perbankan di Aceh yang menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat dan pengusaha karena tidak bisa melakukan transaksi keuangan (beritasatu.com).</p><p>Akibatnya, kutukan terhadap BSI di Aceh terlihat begitu masif. Namun demikian, dalam konteks Aceh, fokus tidak hanya tertuju pada down system yang dialami BSIyang disebut-sebut sebagai serangan siber, tapi juga adanya harapan yang memberi peluang bagi hadirnya bank-bank alternatif di kemudian hari. Kehadiran bank-bank alternatif ini menjadi penting dalam menghindari terjadinya upaya monopoli perbankan” di Aceh</p><p><b>Revisi Qanun LKS</b></p><p>Secara faktual, keberadaan Qanun LKS telah membuka ruang terjadinya monopoli perbankan di Aceh. Ketiadaan bank-bank konvensional sebagai alternatif telah menutup peluang terjadinya kompetisi antarbank. Akibatnya bank-bank berlabel syariah (sebagai satu-satunya pilihan) tidak pernah termotivasi untuk memperbaiki layanannya, karena seburuk apa pun layanan mereka, toh akan tetap diterima (meskipun terpaksa).</p><p>Kondisi semakin parah ketika terjadi down system seperti dialami BSI yang menyebabkan transaksi keuangan seluruh nasabah lumpuh total. Kondisi ini menyebabkan masyarakat kelimpungan. Demikian juga dengan kerugian yang dialami nasabah, tidak ada satu pihak pun yang menyatakan bertanggung jawab membayar kompensasi.</p><p>Menyikapi problem tersebut, pemerintahdalam hal ini Menteri BUMNharus melakukan upaya-upaya strategis dan konkret untuk memperbaiki kerusakan sistem layanan bank berlabel syariah plat merah tersebut yang membuat nasabah, khususnya warga Aceh, mengalami penderitaan selama berhari-hari. Selain itu, pemerintah daerah dan DPR Aceh selaku pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kondisi Aceh hari ini harus segera melakukan kajian ulang terhadap Qanun LKS yang sedang berjalan.</p><p>Dalam hal ini Qanun LKS harus segera direvisi agar tidak ada lagi lembaga keuangan yang seenaknya menggunakan label syariah, tapi dalam kenyataannya memberikan pelayanan yang tidak sesuai prinsip syariah. Selain itu, qanun yang direvisi nantinya juga harus memberi peluang bagi hadirnya bank-bank alternatif di Aceh, seperti bank konvensional agar terjadi kompetisi sehat antarbank sehingga layanan bank berlabel syariahsebagai bank prioritas di Acehakan semakin baik. </p><p>Hadirnya kembali bank konvesional juga akan menutup ruang terjadinya monopoli perbankan sehingga para nasabah di Aceh bisa merasakan kenyamanan dalam bertransaksi, sebagaimana dirasakan nasabah di daerah lain. Selain itu, keberadaan bank konvensional sebagai bank alternatif akan mempermudah para wisatawan dan investor dalam melakukan transaksi keuangan Aceh.</p><p>Seandainya bank konvensional tidak memungkinkan untuk dikembalikan sebagai bank alternatif, maka satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah mendorong bank berlabel syariah yang ada di Aceh untuk memperbaiki layanannya. Selain itu, untuk menghindari terjadinya monopoli, pemerintah juga harus melakukan upaya agar unit-unit bank syariah di Aceh diperluas dan tidak hanya terbatas di beberapa kota saja sehingga layanan perbankan kepada masyarakat Aceh menjadi lebih maksimal. Artinya, pemerintah harus membebaskan masyarakat Aceh dari ketergantungan kepada BSI dan BAS dengan mengundang bank-bank syariah alternatif.</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada</b> </p><p><br /></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDf8hxPs7m5BTvlCncxH0gF4IS5wv5IRiINpIg7PT1aTpSUPm5AzQyJTmB7OaVyvP70ERFUHjFaj150M3RsivaYfPoltbzSyeQRwOocqE8KjuBoW9vWi51162yUKqAEDeu8o1dcm7r3zdbZJkvaPYYbWrZNOg5D_XF-1oxTyGYcmHMq-q7UsN5OtkmzRyb/s864/FB_IMG_1692279441970.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="864" data-original-width="719" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjDf8hxPs7m5BTvlCncxH0gF4IS5wv5IRiINpIg7PT1aTpSUPm5AzQyJTmB7OaVyvP70ERFUHjFaj150M3RsivaYfPoltbzSyeQRwOocqE8KjuBoW9vWi51162yUKqAEDeu8o1dcm7r3zdbZJkvaPYYbWrZNOg5D_XF-1oxTyGYcmHMq-q7UsN5OtkmzRyb/w333-h400/FB_IMG_1692279441970.jpg" width="333" /></a></div>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-21155790593776507782023-06-06T05:56:00.001-07:002023-06-06T05:56:15.900-07:00Kebebasan Anas dan Euforia HMI<p>Oleh: <b>Khairil Miswar </b></p><p><i>Bireuen, 15 April 2023</i></p><p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiyqiqfFuCcqVnHuK_6oCfmBYP-pYCqQDB1HWRqXo1hEUVM8wTest2V7-SWxO32VrymlRJtIsAf6XmvIDoalAGYj6Cp74Slx-sUvwEncviR8aRZRltM2n_pRljeHNwdEQaKu243QnH4Vsy3LRYm4G6MlQfuO4Ac7LeK3FSNig8euGo7ktgXeoBycOKGw/s750/Anas-Urbaningrum%20(1).jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="500" data-original-width="750" height="266" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjiyqiqfFuCcqVnHuK_6oCfmBYP-pYCqQDB1HWRqXo1hEUVM8wTest2V7-SWxO32VrymlRJtIsAf6XmvIDoalAGYj6Cp74Slx-sUvwEncviR8aRZRltM2n_pRljeHNwdEQaKu243QnH4Vsy3LRYm4G6MlQfuO4Ac7LeK3FSNig8euGo7ktgXeoBycOKGw/w400-h266/Anas-Urbaningrum%20(1).jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Foto: <b>Times Malang</b></td></tr></tbody></table><br />Kebebasan terpidana kasus korupsi proyek Hambalang, Anas Urbaningrum disambut dengan gegap gempita oleh pendukung-pendukungnya. Uniknya, kebebasan bekas ketua umum Partai Demokrat itu juga diramaikan dengan lantunan selawat Badar dan pekikan takbir. Pemandangan demikian seolah mengesankan bahwa kebebasan sosok tersebut tak ubahnya seperti kebebasan pemimpin yang dipenjara karena memperjuangkan bangsa dan agamanya, padahal semua orang tahu bahwa kasus yang menjerat Anas sama sekali tidak memiliki kaitan dengan bangsa dan agama sehingga lantunan selawat Badar saat kebebasan Anas membuat orang-orang waras bergidik.</p><p>Dalam pernyataannya yang dirilis tempo.co, Anas menyebut ada yang menyusun skenario besar untuk menjebloskannya ke dalam penjara demi menghancurkan karier politiknya. Namun, dia mengaku tidak berminat melakukan balas dendam kepada pihak-pihak yang memosisikan dirinya sebagai musuh politik. Dia juga menyebut penjara yang mengurungnya selama ini sama sekali tidak membuat ia patah semangat dalam merebut keadilan.</p><p>Pernyataan Anas yang terkesan memosisikan diri sebagai korban dari skenario besar tersebut mendapat sanggahan dari mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto. Dia menyebut narasi yang dibangun Anas hanyalah sebagai upaya membersihkan diri.” Bambang juga mengungkit janji Anas yang sebelumnya sempat berjanji akan loncat dari Monas apabila ia terbukti melakukan korupsi. Akibat pernyataannya tersebut, Anas juga mendapat peringatan dari Kemenkumham agar tidak mengeluarkan pernyataan yang berpotensi melahirkan kegaduhan. </p><p><b>Pernyataan Aneh</b></p><p>Pernyataan Anas seusai keluar dari penjara terbilang aneh dan kontradiktif. Jika memang benar ada pihak yang menyusun skenario besar untuk membunuh karier politiknya, kenapa pula dia tidak berminat membongkarnya? Bukankah dengan membongkar skenario itu namanya akan bersih di muka hukum? Lalu apa pula maksudnya bahwa ia tidak patah semangat dalam merebut keadilan jika dalam waktu bersamaan ia mengaku tidak berniat membalas dendam kepada pihak yang mendhaliminya?</p><p>Secara psikologis, bisa saja pernyataan tersebut dimaksudkan untuk menanamkan kepercayaan publik kepada dirinya selepas ia mendapat hukuman dan hilang dalam perbincangan politik hampir satu dasawarsa. Bisa pula untuk meneguhkan loyalitas para pendukungnya sehingga mereka benar-benar percaya bahwa dia adalah korban” dari sebuah konspirasi.</p><p>Namun, apa pun itu, dalam memori publik yang masih waras, Anas tetaplah mantan terpidana korupsisampai kemudian ia bisa membuktikan sebaliknya. Ada pun kicauan-kicauannya selepas keluar dari penjara tak lebih dari sekadar hiburan untuk melepas kepenatan dan kegalauan hatinya selama ia dikurung di Sukamiskin.</p><p><b>Kegagapan Loyalis</b></p><p>Selain pernyataan yang kontradiktif, jika dicermati, sikap loyalis-loyalis Anas juga terbilang unik dan bahkan aneh, di mana seorang terpidana kasus korupsi disambut dengan begitu meriah layaknya pahlawan besar sambil melemparkan narasi-narasi bernuansa dukungan yang seolah ingin memberi kesan bahwa Anas adalah sosok yang sangat didambakan. Di media sosial, dukungan kepada Anas ini lumayan menyemak, di mana kebebasan Anas disebut-sebut sebagai penanda munculnya harapan baru. Seolah-olah masyarakat Indonesia begitu mendambakan kebebasan Anas.</p><p>Sikap PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang secara terang-terangan menyatakan akan menyambut kebebasan Anas dapat dipandang sebagai bentuk solidaritas yang sulit dimengerti, bahkan oleh mereka yang secara diam-diam mencintai korupsi, di mana sambutan yang demikian telah menyentakkan kesadaran kita semuabahwa kebencian sebagian kita kepada korupsi hanyalah isapan jempol belaka.</p><p>Kondisi ini setidaknya dapat dilihat dari munculnya pembelaan-pembelaan yang lumayan unik dari kader-kader HMI. Memang benar, Anas Urbaningrum tidak bisa begitu saja dilepaskan dari HMIsebab dari sanalah dia berangkat, namun hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil untuk kemudian melakukan pembelaan-pembelaan buta sembari menafikan kenyataan hukum, bahwa Anas telah terbukti melakukan tindakan korupsi.</p><p>HMI Cabang Blitar misalnya, menyebut kebebasan Anas sebagai harapan politik baru yang luhur. Kader HMI tersebut juga menegaskan bahwa Anas adalah korban dari buramnya praktik penegakan hukum di Indonesia yang menurut mereka dipengaruhi oleh politik kekuasaan. Bahkan kader HMI Blitar itu juga menyebut tindakan korupsi Hambalang bukanlah murni perbuatan Anas, tetapi sebuah upaya kriminalisasi.</p><p>Dalam konteks akal sehat, pernyataan pengurus HMI tersebut sama sekali sulit dimengerti. Bagaimana mungkin tindakan korupsi bisa menciptakan keluhuran? Jika benar korupsi mampu menciptakan politik yang luhur, maka pastinya kondisi Indonesia saat ini sudah sangat luhur, mengingat tindakan korupsi terus menyemak dari tahun ke tahun. Andai logika tersebut bisa dibenarkan, lantas untuk apa pula kita mengutuk tindakan korupsi jika di waktu yang sama kita membanggakan seorang koruptor?</p><p>Pernyataan HMI Blitar menjadi semakin konyol ketika menyebut Anas sebagai sosok pemimpin yang ideal dan patut diteladani. Apakah karena Anas pernah menjadi kader HMI lantas ia dengan otomatis menjadi teladan, bahkan ketika ia sudah terbukti melakukan tindakan korupsi? Seharusnya HMI Blitar memiliki argumentasi yang lebih masuk akal dan tidak terkesan membela koruptor dengan membabi-buta melalui logika-logika dangkal yang membuat publik tertawa, atau mungkin terpingkal. Memangnya apa yang bisa diteladani dari seorang koruptor?</p><p>Seharusnya HMI menjadi salah satu benteng dalam menjaga kewarasan bangsa, bukan justru menghabiskan energi membela terpidana korupsi dengan narasi-narasi spekulatif hanya untuk menunjukkan kemesraan sesama kader dalam hubungan kandadinda yang terkesan feodalistik” sembari menafikan semangat melawan koruptor yang telah merusak kehidupan bangsa. Hubungan emosional sesama kader dalam bentuk solidaritas tentu tidak terlarang selama dalam batas-batas yang dapat dimengertibukan justru menjadikannya sebagai alat untuk menutupi kejahatan yang sudah terbukti di muka hukum.</p><p>Kita berharap, kader-kader HMI tetap menjaga kewarasan dan tidak terjebak dalam kepentingan pihak lain yang dapat merusak citra HMI di mata publik.</p><p>Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjQxtdZRuVsgyJ3hSjCMIuHeHnfPshJm8iBSiD6ItlWItBZEekVpwB_zLo8CEVUi9SeDKR0D3z73COpjbnguLo0Ksun55OIdCYhEBXmzhhYCdXEFLcyBorkBifdcYYcRHGbZxk4cT6kqDn4RnWNU9QTzYM4p4vdG5ekYafeClhgSvLg12vkoPo1mHbag/s999/FB_IMG_1686055889891.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="999" data-original-width="719" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgjQxtdZRuVsgyJ3hSjCMIuHeHnfPshJm8iBSiD6ItlWItBZEekVpwB_zLo8CEVUi9SeDKR0D3z73COpjbnguLo0Ksun55OIdCYhEBXmzhhYCdXEFLcyBorkBifdcYYcRHGbZxk4cT6kqDn4RnWNU9QTzYM4p4vdG5ekYafeClhgSvLg12vkoPo1mHbag/w288-h400/FB_IMG_1686055889891.jpg" width="288" /></a></div>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-48669413217299540882023-04-16T09:07:00.004-07:002023-04-16T09:07:43.724-07:00Pesantren Diintai Para Predator<p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b></p><p><i>Bireuen, 12 Maret 2023</i></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOxGurAFucZ2rwgWVZ70mjPInMCUmbdUJ71_odbtZpYAW3Pie-EyNim9BIqd8QjTiNRKQgHAQnBrbhKyctCwf-psc_7psvJKIejTnpg8_K9UrM7HZjRHkvV4iYv7_hFU6OCoC3ab9_BxMwKv9KlNqwXIS61Dl6JwWcJFPFZB-vAXDIW8XyNe9GTUVSdg/s1200/jaga-kesehatan-santri-pesantren-sehat-digelar-selama-ramadhan-di-bogor-zMH9Q3wSLw.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="712" data-original-width="1200" height="238" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOxGurAFucZ2rwgWVZ70mjPInMCUmbdUJ71_odbtZpYAW3Pie-EyNim9BIqd8QjTiNRKQgHAQnBrbhKyctCwf-psc_7psvJKIejTnpg8_K9UrM7HZjRHkvV4iYv7_hFU6OCoC3ab9_BxMwKv9KlNqwXIS61Dl6JwWcJFPFZB-vAXDIW8XyNe9GTUVSdg/w400-h238/jaga-kesehatan-santri-pesantren-sehat-digelar-selama-ramadhan-di-bogor-zMH9Q3wSLw.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><b>Okezone</b></td></tr></tbody></table><p>Pesantren atau dayah adalah lembaga pendidikan pertama yang ada di Nusantara. Fakta ini selain memiliki kebenaran historis juga kerap digunakan sebagai argumen untuk mempertahankan eksistensi pesantren di tengah variasi model lembaga pendidikan modern yang terus bermunculan. Secara faktual pesantren memang masih mampu bertahan hingga saat ini – sebagai episentrum pendidikan agama paling otoritatif, setidaknya bagi mayoritas masyarakat rural. Dalam mengimbangi perkembangan zaman, pesantren juga terus beradaptasi dan melahirkan berbagai inovasi sehingga bermunculan berbagai varian pesantren akhir-akhir ini.</p><p>Dalam konteks kekinian, minat masyarakat urban terhadap lembaga pendidikan pesantren juga kian meningkat. Hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat kota yang tampak berlomba-lomba mengantarkan anak-anak mereka ke pesantren, meskipun harus mengeluarkan biaya yang tak kalah “mahal” dibanding sekolah-sekolah swasta yang dianggap bermutu tinggi. Kondisi ini menggambarkan bahwa pesantren tidak lagi sekadar diminati oleh masyarakat rural yang dikenal tradisional, tapi telah merambah kepada masyarakat urban yang lebih modern.</p><p>Namun sayangnya, di tengah kebangkitan dan pertumbuhan pesantren yang kian menggembirakan itu, kita disuguhkan dengan berabagai berita dan informasi yang tampak “menyudutkan” pesantren di mata publik. Ironisnya ketersudutan ini justru dipicu oleh oknum-oknum yang “bermukin” di pesantren, bukan oleh aktor luar. Artinya, ada problem internal nan pelik yang sedang dihadapi sejumlah pesantren di tanah air, termasuk Aceh, mulai dari kekerasan sampai dengan pelecehan seksual. Kasus-kasus demikian terus berulang dan bermunculan di sejumlah pesantren di tanah air sehingga memicu keresahan publik yang tentunya dapat berdampak pada turunnya kepercayaan publik kepada lembaga tersebut.</p><p><b>Evaluasi Internal</b></p><p>Untuk mengubah wajah pesantren yang kian tercoreng tentu kita tidak bisa sepenuhnya berharap pada pihak luar, tapi harus dimulai dari dalam. Artinya, pesantren mesti melakukan langkah-langkah strategis guna mempertahankan kepercayaan publik yang kini mulai tergerus akibat perilaku-perilaku oknum yang minus moral. Dalam hal ini pesantren harus berani mengambil sikap untuk melakukan evaluasi internal, tidak saja soal pola rekrutmen para pengajar, tapi juga harus bergerak lebih “radikal” dengan melakukan perubahan pada sistem pembelajaran.</p><p>Kita tahu hingga saat ini pesantren masih mempertahankan sistem pembelajaran yang terpusat pada guru. Dalam konteks kekinian, sistem ini harus diubah agar pembelajaran di pesantren tidak lagi “kaku” dan satu arah. Pola pembelajaran demikian memang sudah menjadi ciri khas pesantren di mana sosok guru menjadi pihak yang paling dominan dalam pembelajaran, Namun begitu, mempertahankan sistem tersebut tentu sudah tidak lagi relevan, sebab sistem pembelajaran yang demikian menyebabkan para santri menjadi pasif, tidak kritis, tidak kreatif dan kurang responsif.</p><p>Kita tidak mengatakan bahwa pesantren harus mengadopsi sistem pembelajaran di sekolah atau pun madrasah secara penuh yang mana hal demikian bisa menghilangkan karakteristik pesantren yang memiliki khas tersendiri, namun memosisikan para santri sebagai pihak yang aktif dalam pembelajaran tentu sangat penting dilakukan agar pembelajaran tidak hanya berjalan satu arah. </p><p>Dalam hal ini, pola pembelajaran yang monolog sudah semestinya diperbarui dengan membuka dialog sehingga diskursus dalam pembelajaran dapat terbangun.</p><p>Dengan terciptanya diskursus dalam pembelajaran, para santri akan terlihat aktif dan tidak lagi menjadi “gelas kosong” yang menunggu “tuangan air” dari guru. Dalam hal ini, pola pembelajaran selama ini yang terkesan “doktrinal” sudah semestinya ditinggalkan karena telah terbukti “membunuh” nalar kritis para santri. Akibat tidak adanya nalar kritis, selama ini para santri tidak memiliki kesempatan untuk berpikir sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka kecuali <i>sami’na wa atha’na</i> (mendengar dan taat) terhadap apa pun yang dikatakan oleh guru yang kononnya tidak boleh dikritik. </p><p>Dalam hal ini setiap penyampaian, permintaan dan perintah dari oknum guru akan dianggap sebagai sesuatu yang absolut dan final.</p><p>Secara psikologis, kondisi demikian akan menyebabkan para santri menjadi sulit mengambil keputusan terhadap berbagai problem kehidupan yang akan mereka temui di kemudian hari. Selain itu, kondisi ini juga memberi peluang bagi terjadinya kejahatan seksual di pesantren itu sendiri, di mana ketiadaan nalar kritis ditambah dengan adanya kultus terhadap sosok guru akan memosisikan santri sebagai subordinat yang sama sekali tidak memiliki daya dan sikap mandiri sehingga menjadi sangat mudah “diperalat” dan dijadikan objek kejahatan, khususnya kejahatan seksual.</p><p>Sebaliknya, dengan adanya nalar kritis pada diri santri akan memberi kesempatan kepada mereka untuk mengambil sikap mandiri yang bebas dari pengaruh luar, termasuk oknum guru dan siapa pun yang ingin melakukan kejahatan. Jika pun kejahatan seksual itu tidak bisa dihindari dan kemudian terjadi, maka nalar kritis akan mendorong para santri untuk melakukan perlawanan atau setidaknya melaporkan kejahatan tersebut kepada orangtua mereka.</p><p>Nalar kritis ini tidak akan pernah bisa muncul jika pembelajaran di pesantren masih bersifat doktrinal dan berfokus pada guru. Karena itu pesantren harus segera menggagas sistem pembelajaran bersifat “egaliter” yang memosisikan santri tidak hanya sebagai objek, tapi juga sebagai subjek pembelajaran melalui diskursus sehingga santri menjadi aktif dan tidak lagi pasif.</p><p><b>Regulasi</b></p><p>Selain evaluasi internal, pemerintah juga harus mengambil peran untuk menyelamatkan pesantren dari intaian para predator seks yang terus berkeliaran. Dalam konteks Aceh, kita berharap regulasi dalam bentuk qanun yang khusus mengatur tentang pesantren (dayah) bisa segera dirancang sebagai rambu-rambu dalam menyelesaikan segala problem yang dihadapi pesantren, khususnya di Aceh. Qanun ini nantinya harus benar-benar komprehensif dan memuat segala aspek yang terkait dengan pesantren, mulai dari perizinan, sistem pembelajaran, keuangan, kompetensi guru, larangan eksploitasi santri, kejahatan seksual dan hal-hal lain yang dianggap perlu. Qanun ini juga harus memastikan bahwa setiap pelanggaran memiliki konsekuensi hukum sampai dengan pencabutan izin.</p><p>Pengaturan demikian dibutuhkan agar wajah pesantren tidak lagi terkotori oleh ulah oknum yang menyaru sebagai guru, teungku atau bahkan pimpinan pesantren demi menyalurkan hasrat seksual kepada para santri yang merupakan generasi penerus bangsa di masa depan. Dalam hal ini pesantren harus dikembalikan pada posisi semula, sebagai episentrum pendidikan agama yang tetap menjaga nilai-nilai religius dan terbebas dari anasir-anasir yang ingin merusak moral generasi. Karena itu semua pihak harus bersinergi guna menyelamatkan para santri dari predator seksual yang ingin menjadikan pesantren sebagai lahan empuk memuaskan berahi. <i>Wallahul Musta’an.</i></p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsyRgrvCQHWNw_1kHmxeWf1nCijkAz6lyaaQd4ZKyzqSud5ST5ZM65sb_EgrE70YZUcUrO6Y1kjAJ4oUGLkEUJI2PEgEHT2sFnAfBoNIa8v-uSrBA_QCU9hcUZeLd_s5gn_86g1N6zbEVSgeB8k-s_wG65IVtTs6YP4E8ppAFh8QxHq0ToK9_OLpOLcA/s874/FB_IMG_1681660289987.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="874" data-original-width="718" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsyRgrvCQHWNw_1kHmxeWf1nCijkAz6lyaaQd4ZKyzqSud5ST5ZM65sb_EgrE70YZUcUrO6Y1kjAJ4oUGLkEUJI2PEgEHT2sFnAfBoNIa8v-uSrBA_QCU9hcUZeLd_s5gn_86g1N6zbEVSgeB8k-s_wG65IVtTs6YP4E8ppAFh8QxHq0ToK9_OLpOLcA/w329-h400/FB_IMG_1681660289987.jpg" width="329" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-57373327674122638622023-03-02T06:57:00.000-08:002023-03-02T06:57:09.663-08:00Menyelamatkan Remaja dari Anarki<p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b></p><p><i>Bireuen, 23 Februari 2023</i></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUwhe62TJcWE0-9lJvi9qmAOY_IVhvgTuJO3YqHZA8EjAezjtsB2tf1C2iRlUz_AU1kWXYVVgtjQTJ3kxCeJG6wif50tvPY1Tn5OKEhECJsYS_vQIfQklPRbmM2iti9VNdSioEeLziR7qX7qb0P5-jLD_lLLPgaqhGnL8Jwr7twkuENDlKt4BsrZiMOQ/s780/image-143-780x470.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="470" data-original-width="780" height="241" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUwhe62TJcWE0-9lJvi9qmAOY_IVhvgTuJO3YqHZA8EjAezjtsB2tf1C2iRlUz_AU1kWXYVVgtjQTJ3kxCeJG6wif50tvPY1Tn5OKEhECJsYS_vQIfQklPRbmM2iti9VNdSioEeLziR7qX7qb0P5-jLD_lLLPgaqhGnL8Jwr7twkuENDlKt4BsrZiMOQ/w400-h241/image-143-780x470.jpeg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sumber: <b>HjmAngle</b></td></tr></tbody></table><br /><p>Aksi premanisme yang dilakoni sejumlah remaja di Lhokseumawe beberapa waktu lalu telah mengejutkan semua pihak, mulai dari orangtua, lembaga pendidikan dan bahkan pihak kepolisian. Akibat aksi yang meresahkan tersebut para remaja itu pun ditangkap pihak kepolisian. Tiga dari tiga belas remaja tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka. Kabarnya para preman remaja itu berusia 14-16 tahun dan sebagiannya berstatus sebagai pelajar, sementara sebagian lainnya adalah anak-anak putus sekolah.</p><p>Dalam konteks Aceh, aksi kenakalan remaja dalam bentuk tawuran ini bukanlah hal baru. Sebelumnya, pada 2022 aksi tawuran juga pernah terjadi di Aceh Tamiang yang melibatkan siswa SMA dan SMK di mana saat itu sejumlah pelajar dan masyarakat mengalami luka-luka akibat lemparan batu. Pada tahun yang sama aksi tawuran juga terjadi di Takengon, Aceh Tengah, di mana siswa MAN dan SMA terlibat bentrokan. Tawuran antarpelajar juga terjadi pada 2011 di Banda Aceh. Hanya karena hal sepele siswa dari dua sekolah terlibat aksi saling lempar batu.</p><p>Aksi tawuran yang tak kalah parah terjadi pada 2012 yang melibatkan pelajar dan mahasiswa dari dua kabupaten dalam ajang POPDA Aceh. Saat itu sejumlah 46 sepeda motor hangus dibakar oleh pelajar dan mahasiswa yang disulut amarah. Sementara di kabupaten Bireuen aksi tawuran semisal ini juga sudah sangat sering terjadi. Pada 2015 aksi tawuran antara siswa SMK dan SMA di Bireuen yang merupakan musuh bebuyutan sempat memacetkan jalan nasional sehingga aparat kepolisian terpaksa menyiagakan panser yang ternyata tidak dipedulikan oleh para pelajar. Akibatnya pihak kepolisian terpaksa menembakkan gas air mata untuk membubarkan perang antarsiswa.</p><p>Beberapa aksi tawuran tersebut hanya cuplikan dari sekian banyaknya tawuran para remaja di Aceh. Merujuk pada data-data tersebut, kita bisa berkesimpulan bahwa kondisi remaja-remaja kita masih diliputi sejumlah masalah yang kemudian berdampak pada munculnya tindakan anarki yang notabene adalah manifestasi dari kenakalan mereka. Lalu siapa yang salah dan siapa pula yang harus bertanggung jawab atas munculnya insiden-insiden tersebut?</p><p>Tentunya tidak ada jawaban tunggal untuk pertanyaan demikian, sebab kenakalan remaja adalah problem yang kompleks. Dalam hal ini, semua pihak memiliki peran dan bertanggung jawab atas apa yang terjadi, mulai dari orangtua, lembaga pendidikan, masyarakat dan bahkan negara. Jika dirinci; kelalaian orangtua, lengahnya lembaga pendidikan, abainya masyarakat dan absennya negara adalah beberapa faktor yang bisa memicu munculnya kenakalan remaja yang berbuah anarki.</p><p><b>Mengelola Gejolak Remaja</b></p><p>Dalam perspektif pendidikan, masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Dalam hal ini, munculnya berbagai gejolak dalam jiwa remaja adalah wajar belaka, mengingat mereka juga bersentuhan dengan faktor yang berasal dari luar dirinya untuk kemudian mengalami proses pematangan. Dalam kondisi demikian dibutuhkan bimbingan yang intens dari semua pihak, khususnya orangtua dan lembaga pendidikan agar proses pematangan bisa berjalan sesuai harapan.</p><p>Pola asuh orangtua adalah hal terpenting yang tidak bisa diabaikan begitu saja, sebab pembentukan karakter remaja pertama kali berasal dari orangtua melalui pendidikan dalam keluarga. Dari orangtualah para remaja pertama sekali belajar tentang kehidupan, tentang hal-hal baik dan buruk. Peran selanjutnya berada di pundak lembaga pendidikan sebagai lembaga resmi yang memiliki sistem pendidikan dan kurikulum yang lebih terstruktur dan sistematis plus tenaga profesional. Pendisiplinan dan pengenalan terhadap norma-norma yang dilakukan lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam membentuk karakter seorang remaja.</p><p>Sebagai makhluk sosial, dalam kehidupannya remaja juga akan bersentuhan dengan lingkungan yang lebih luas. Dalam hal ini masyarakat juga merupakan elemen penting yang mesti menaruh perhatian terhadap perkembangan karakter remaja. Kita tahu bahwa aksi-aksi kenakalan remaja kerap muncul dalam lingkungan masyarakat sebab di sanalah mereka bisa berinteraksi secara lebih bebas dengan berbagai pihak. Dalam hal ini kondisi lingkungan dan masyarakat memiliki kontribusi tersendiri dalam membentuk karakter seorang remaja. Karena itu kontrol sosial dari masyarakat sangat dibutuhkan.</p><p>Pihak lainnya yang memiliki peran yang tak kalah penting adalah negara sebagai otoritas tertinggi yang bertanggung jawab atas nasib warganya. Dalam hal ini, regulasi yang dilahirkan oleh negara mestilah kompatibel dengan pembentukan karakter remaja. Munculnya regulasi yang mengabaikan pembentukan karakter tentu akan menjadi problem tersendiri bagi orangtua, lembaga pendidikan dan masyarakat dalam membentuk karakter para remaja.</p><p><b>Problem Kekinian</b></p><p>Dalam konteks kekinian kenakalan remaja juga bisa dipicu oleh perkembangan teknologi informasi dan digitalisasi. Dalam hal ini akses terhadap berbagai tayangan kekerasan yang dilakukan para remaja dalam kondisi tertentu bisa berdampak pada perubahan perilaku mereka. Sebagai sosok yang berada pada fase transisi dari anak-anak ke dewasa, remaja sangat rentan terpengaruh dengan hal-hal yang berada di luar dirinya, termasuk tayangan dan bacaaan yang mereka peroleh dari internet. Karena itu pengawasan terhadap remaja dari orangtua, lembaga pendidikan dan masyarakat sangat dibutuhkan, terlebih lagi saat ini fasilitas wifi sudah merebak hingga ke pelosok kampung.</p><p>Hal lainnya yang menjadi problem saat ini adalah melemahnya pendisiplinan oleh lembaga pendidikan. Kita tahu, kemunculan UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di satu sisi memang dibutuhkan, namun di sisi lain telah melumpuhkan tindakan penertiban terhadap para siswa yang mengalami kebandelan ekstrem. Kita tahu bahwa kebandelan ekstrem memerlukan penanganan khusus, tidak saja bimbingan tapi juga punishment. Namun sayangnya keberadaan UU tersebut telah menyebabkan para guru tidak berani menerapkan punishment sehingga kenakalan remaja pun semakin liar.</p><p>Konyolnya, ketika guru tidak melakukan apa-apa dan membiarkan siswa memamerkan ekspresi liarnya, guru justru menjadi pihak yang kerap disalahkan, bukan saja oleh publik, tetapi juga oleh oknum dinas pendidikan sendiri. Dalam kondisi inilah muncul dilema dalam dunia pendidikan, di mana di satu sisi guru dituntut untuk membentuk karakter siswa serta melakukan usaha preventif terhadap tindakan anarki para remaja, namun di sisi lain tindakan demikian terhalangi oleh pasal-pasal yang ada dalam regulasi. Jika kondisinya sudah begini, lalu siapa lagi yang bisa menyelamatkan para remaja dari kenakalan yang berbuah anarki?</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-n_LEyrQFQEi9oMhrp8SNIqlkPPvcSByOaF4yA6b5MiR-qGk6p3HHl4MvAIeaVt36HQ3e9JMnLanRshWuVrZGYc4AqSK2M16rVUplYZhBKGjqmXN7o7vVm7Gin62XHDJQ6DVIpwDnWizujpMymYtD6W_AJ-AIPQxMJQvOFfJQUltj-ymQOkxQPVVNsA/s719/camera720_20230302_204420.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="656" data-original-width="719" height="365" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg-n_LEyrQFQEi9oMhrp8SNIqlkPPvcSByOaF4yA6b5MiR-qGk6p3HHl4MvAIeaVt36HQ3e9JMnLanRshWuVrZGYc4AqSK2M16rVUplYZhBKGjqmXN7o7vVm7Gin62XHDJQ6DVIpwDnWizujpMymYtD6W_AJ-AIPQxMJQvOFfJQUltj-ymQOkxQPVVNsA/w400-h365/camera720_20230302_204420.jpg" width="400" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-20256387082088121642023-01-27T02:19:00.001-08:002023-01-27T02:19:12.731-08:00Menggugat Frasa Ulama Karismatik<p>Oleh: <b>Khairil Miswar </b></p><p>Bireuen, 24 Januari 2023</p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhI-B4JMmS1USb-SodkhGXXw_dgxauHkR45oV-sqGSEsjh3odWp7XgwHyWPiB8a5QHwCzzM__XiFMSAxSxrai3KwEG1IvQlqwBWI4lONeoa2qM1jkzSXDQGI_IMNmN98t1bwXof4-WiMYc2lZBoGvb6eDGBeO1gNbvSdc_mmCBfkXt4CFxuKIr1vtD2SQ/s1000/shutterstock_281731709-1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="659" data-original-width="1000" height="264" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhI-B4JMmS1USb-SodkhGXXw_dgxauHkR45oV-sqGSEsjh3odWp7XgwHyWPiB8a5QHwCzzM__XiFMSAxSxrai3KwEG1IvQlqwBWI4lONeoa2qM1jkzSXDQGI_IMNmN98t1bwXof4-WiMYc2lZBoGvb6eDGBeO1gNbvSdc_mmCBfkXt4CFxuKIr1vtD2SQ/w400-h264/shutterstock_281731709-1.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><b>Sumber: TLNT </b></td></tr></tbody></table><br /><p>Dalam konteks sosiologis, karisma dipandang sebagai suatu daya pikat yang dimiliki seseorang. Dalam konteks ini, karisma kerap melekat pada sosok tertentu yang dianggap berpengaruh, baik dalam ruang sosial politik, maupun agama. Berbeda dengan kewibawaan yang dapat dibentuk melalui strategi tertentu, karisma justru terkesan seperti anugerah yang tidak bisa didapatkan melalui latihan atau pun seminar. Menurut Weber, seseorang disebut karismatik apabila ia memiliki otoritas dan kemampuan dalam menciptakan loyalitas dari para pengikutnya.</p><p>Dalam hal ini, sosok karismatik dianggap memiliki kualitas luar biasa (adikodrati) yang berbeda dengan orang pada umumnya.</p><p>Sementara itu, dalam Teologi Kristen, karisma diyakini sebagai karunia Roh Kudus yang diberikan kepada orang beriman untuk melayani umat. Seperti disebut Manurung (2019), dalam Kristen juga terdapat istilah gereja karismatik yang menekankan pengalaman supranatural dengan Roh Kudus yang dipenuhi dengan keajaiban dan mukjizat. Dalam hal ini, karisma menjadi medium kasih sayang Tuhan kepada umat Kristen.</p><p>Berbeda dengan karisma dalam konteks sosiologis yang bersifat sekular, karisma teologis, khususnya dalam ajaran Kristen dianggap sebagai sesuatu yang sakral sebab diberikan langsung oleh Tuhan kepada sosok tertentu dari kalangan Kristiani untuk kemudian melayani umat demi menegakkan kerajaan Tuhan melalui eksistensi gereja.</p><p>Karisma dalam teologi Kristen juga kerap dikaitkan dengan fenomena keajaiban yang dipraktikkan oleh sosok-sosok karismatik di kalangan mereka.</p><p><b>Teologi Islam</b></p><p>Meskipun konsep karisma ini populer di kalangan Kristen, namun secara faktual upaya karismatisasi secara serampangan juga kerap dilakukan oknum-oknum Muslim dengan memunculkan istilah ulama karismatik yang sebenarnya tidak memiliki akar dalam teologi Islam. Kita tahu Islam adalah agama yang sama sekali berbeda dengan Kristen dan Yahudi, di mana Islam tidak mengenal Lembaga Kepausan seperti Kristen dan tidak pula Lembaga Kerahiban seperti Yahudi. Adapun lembaga keulamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Indonesia atau pun Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) di Aceh tentunya memiliki peran dan otoritas yang sangat berbeda dengan Lembaga Kepausan atau pun Lembaga Kerahiban.</p><p>Karena itu penggunaan istilah-istilah asing semisal karismatik seperti dalam konsep teologi Kristen tentunya tidak relevan dengan teologi Islam, sebab tradisi demikian tidak dikenal dalam Islam, baik secara normatif, maupun historis. Tidak begitu jelas sejak kapan istilah ulama karismatik ini muncul di Indonesia, namun dalam faktanya karismatisasi ini terus membiak di kalangan Muslim. Seolah penyebutan kata ulama saja menjadi tidak lengkap jika tidak disertai diksi karismatik.</p><p>Namun demikian, seperti dikemukakan di awal bahwa istilah karismatik tidak saja dipakai dalam teologi Kristen, tetapi juga digunakan secara sosiologis kepada tokoh-tokoh politik, tokoh publik dan juga pemimpin gerakan sosial atau pun seniman. Sosok semisal Napoleon Bonaparte, Fidel Castro, Mahatma Gandhi, Adolf Hitler, Nelson Mandela, Eva Peron, Soekarno, Putri Diana, Marilyn Monroe, Michael Jackson, Muhammad Ali dan Barack Obama adalah contoh dari sekian tokoh yang dianggap sebagai sosok karismatik dalam konteks sosiologis.</p><p>Dalam hal ini karisma yang mereka miliki berada dalam ruang sosiologis, bukan karisma teologis seperti yang melekat pada Paus Fransiskus.</p><p><b>Frasa Ulama Karismatik di Aceh </b></p><p>Lalu bagaimana dengan frasa ulama karismatik? Apakah sebutan itu dimaksudkan sebagai fakta sosiologis atau justru masuk dalam kategorisasi teologis? Di titik inilah kebingungan itu muncul. Jika memang sebutan ulama karismatik dimaksudkan sebagai fakta sosiologis, maka sepatutnya ia hanya melekat pada sosok yang benar-benar berpengaruh dalam masyarakat dalam kurun waktu tertentu, bukan justru melekat pada semua orang yang hanya memiliki pengaruh kecil, atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali.</p><p>Dalam konteks Aceh, sebut saja Daud Beureueh. Dia adalah salah seorang tokoh karismatik yang hidup di Aceh pada abad 20. Disebut karismatik karena ia sukses menampilkan diri sebagai tokoh paling disegani dan paling berpengaruh dalam periode 1920-an sampai dengan 1960-an, dan bahkan sampai sekarang namanya masih disebut-sebut ketika memperbincangkan modernisme di Aceh.</p><p>Dalam hal ini, meskipun ia juga dikenal sebagai tokoh agama, namun karisma Daud Beureueh menemukan wujudnya dalam realitas sosiologis, bukan dalam ruang teologis. Demikian pula dengan Thayib Adamy yang memiliki pendukung militan di kalangan PKI Aceh juga bisa disebut tokoh karismatik dalam konteks sosiologis.</p><p>Ada pun label karismatik dalam konteks kekinian justru secara dominan dilekatkan hanya pada tokoh-tokoh agama dengan pertimbangan akademis sehingga pelabelan tersebut terkesan sangat teologis dan bukan lagi sosiologis, sebab yang dilihat hanya aspek kualitas keagamaan dengan menafikan aspek kepemimpinan dan keterpengaruhan yang menjadi substansi karisma sosiologis. Buktinya ramai sosok-sosok yang disebut sebagai karismatik, meskipun memiliki kualitas keagamaan pada level mumtaz, namun secara sosiologis justru tidak begitu dikenal publik. Kondisi inilah yang kemudian kita sebut sebagai karismatisasi serampangan sehingga istilah karismatik itu sendiri menjadi tidak karismatik lagi, sebab bisa didapatkan oleh semua orang.</p><p>Jika upaya karismatisasi terhadap tokoh agama hanya karena pertimbangan akademis ini terus dilestarikan, maka penggunaan frasa ulama karismatik menjadi mirip-mirip dengan konsep karisma dalam teologi Kristen. Hal ini tentunya tidak kita inginkan sebab tidak sesuai dengan konsep teologi Islam yang kita anut.</p><p><b>Frasa Ulama Besar</b></p><p>Agar istilah karismatik tidak kehilangan nilainya, maka penggunaan frasa ulama karismatik baiknya hanya dilekatkan pada tokoh agama yang memang memiliki karisma sosiologis secara luas. Ada pun tokoh agama yang dikenal secara terbatas di pesantrennya, cukup disebut dengan ulama saja, tanpa diksi karismatik. Hal ini tentunya tidak akan mengurangi derajat keilmuan mereka, sebab semua tokoh agama tetap akan menjadi sosok karismatik di lingkungannya masing-masing.</p><p>Namun demikian, agar lebih aman dan tidak terkesan menyerupai konsep teologi Kristen, baiknya penggunaan istilah karismatik diganti saja dengan frasa ulama besar yang hanya dilekatkan kepada tokoh agama paling berpengaruh di daerahnya.</p><p>Penggunaan frasa ini tentunya memiliki landasan historis, di mana kita tahu sosok semisal Daud Beureueh, Hasballah Indrapuri, Hasan Krueng Kalee dan Jakfar Siddiq Lamjabat kerap disebut sebagai “ulama besar Aceh” di masa lalu.</p><p>Demikian pula dengan Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniry dan Abdurrauf As-Singkili juga sering disebut sebagai ulama besar, bukan ulama karismatik, meskipun dalam faktanya mereka juga memiliki karisma sosiologis. Hal serupa juga terjadi di negara-negara Arab, di mana istilah yang mereka gunakan adalah Kibarul Ulama atau ulama kibar yang bermakna ulama besar atau ulama senior.</p><p>Dan sejauh ini, kita juga belum pernah mendengar bahwa para peletak mazhab semisal Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Ahmad bin Hanbal disebut sebagai ulama karismatik. <i>Wallahu Alam.</i></p><p>Artikel ini sudah terbit di Harian Waspada</p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNo5VFwNIuI6rZvZRWYr_lxeLWuBtkr7cDUDEsQ52OWOI2dVYdTL2dydHTytMf3J1uhZlPun7chTttOjcgSHCBc_d2xiqudmmrGZu7VivXvDmghCt4nnQyJ3YFj4ow89wp74rhZEDifwRItl75LO-cs7axiLY9YtA-Q-O8R-cowVP-Yikfq6988AVJ3A/s928/received_865694514870191.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="920" data-original-width="928" height="396" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiNo5VFwNIuI6rZvZRWYr_lxeLWuBtkr7cDUDEsQ52OWOI2dVYdTL2dydHTytMf3J1uhZlPun7chTttOjcgSHCBc_d2xiqudmmrGZu7VivXvDmghCt4nnQyJ3YFj4ow89wp74rhZEDifwRItl75LO-cs7axiLY9YtA-Q-O8R-cowVP-Yikfq6988AVJ3A/w400-h396/received_865694514870191.jpeg" width="400" /></a></div>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-35349272787302485532022-12-28T06:49:00.005-08:002022-12-28T06:49:54.637-08:00Tafsir Bias Politik Identitas<p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b> </p><p><i>Bireuen, 24 Desember 2022</i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEih_yjFBc9rs1T9nEmVGG596K2NVl6obSGLp_mG9zJa5CvzOH4nPc1GjLsuV7hD8wQE-45sqvX7PRzYFC9J2TNxG-BcHeB9yHMTEKeOAcxwM_EUmstHnJwvNlZLP2DzO7blFN2IY3-Eb1xgoBI6lEahcdH9TjHFCew2gnovc1hvRkhTgwIUkj91e9ROHw/s721/camera720_20221228_214115.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="498" data-original-width="721" height="276" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEih_yjFBc9rs1T9nEmVGG596K2NVl6obSGLp_mG9zJa5CvzOH4nPc1GjLsuV7hD8wQE-45sqvX7PRzYFC9J2TNxG-BcHeB9yHMTEKeOAcxwM_EUmstHnJwvNlZLP2DzO7blFN2IY3-Eb1xgoBI6lEahcdH9TjHFCew2gnovc1hvRkhTgwIUkj91e9ROHw/w400-h276/camera720_20221228_214115.jpg" width="400" /></a></div><br /><p>Sudah menjadi kesimpulan umum bahwa di satu sisi politik identitas memang bisa mempersatukan orang-orang yang memiliki identitas yang sama, baik agama, suku, ras dan etnis. Sementara di sisi lain, politik identitas juga kerap menjadi bumerang yang dapat merusak relasi sosial antar indentitas berbeda. Dalam kondisi ini, tafsir terhadap politik identitas menjadi paradoksal sehingga penilaian kepada frasa ini pun kian ambigu dan bahkan bias.</p><p>Namun demikian, secara sosiologis kita tidak bisa begitu saja terbebas dari politik identitas sebab rasa primordialisme mayoritas masyarakat Indonesia masih begitu lekat. Hal ini diperparah dengan kondisi sebagian besar masyarakat kita yang masih tergolong dalam pemilih emosional. Fakta ini juga bersesuaian dengan “persepsi umum” bahwa calon presiden “harus” berasal dari suku Jawa. Dalam kondisi inilah tafsir terhadap politik identitas menjadi bias. Di satu sisi kita menolak politik identitas yang berbasis agama, tapi di sisi lain politik identitas berbasis kesukuan justru telah menemani perjalanan bangsa ini 77 tahun lamanya. </p><p><b>Sentimen terhadap Politik Identitas</b></p><p>Musdah Mulia dalam Maarif (2012) menyebut bahwa politik identitas yang berlangsung di Barat sangat berbeda dengan Indonesia. Di Barat, politik identitas memiliki kaitan dengan kepentingan anggota dari kelompok sosial tertentu yang termarjinalkan oleh dominasi mayoritas, sementara di Indonesia politik identitas justru melibatkan kelompok agama mayoritas dengan niat menyingkirkan kelompok minoritas.</p><p>Kesimpulan yang dibuat Musdah Mulia ini tentunya tidak sepenuhnya benar, sebab sejauh ini tidak ada bukti yang bisa menguatkan argumen bahwa mayoritas di Indonesia ingin menyingkirkan minoritas. Selain itu, dalam faktanya isu politik identitas di Indonesia juga tidak melulu soal agama, tapi juga merambah dalam identitas yang bersifat ideologis. Dalam Pilpres 2019 misalnya, kelompok “kampret” kerap diasosiasikan dengan “Islamis” sementara kelompok “cebong” cenderung mengasosiasikan diri sebagai “nasionalis.” Di sini terlihat jelas bahwa bangunan identitas yang kemudian saling berkontestasi ini tidak saja dilandasi oleh soal agama.</p><p>Adapun dalam kasus Ahok tentunya harus dilihat dalam konteks berbeda, sebab gerakan kelompok Muslim kala itu dipicu oleh tindakan Ahok sendiri yang melakukan penistaan terhadap agama. Dalam hal ini menjadi “wajar” jika kelompok Muslim mencoba membangun kesadaran “identitas Keislaman” mereka guna mendorong penegakan hukum terhadap Ahok. Soal isu identitas ini kemudian masuk ke dalam ruang politik, hanyalah efek sosiologis dari pelanggaran hukum yang dilakukan Ahok kala itu.</p><p><b>Anies dan Politik Identitas</b></p><p>Dalam konteks kekinian, menjelang Pilpres 2024, isu politik identitas kembali muncul dengan ditetapkannya Anies Baswedan sebagai calon presiden oleh Partai Nasdem. Keberadaan Anies yang kerap diasosiasikan dengan kelompok “Islamis” memang memberi peluang bagi menguatnya politik identitas dalam pilpres mendatang. Namun uniknya, aksi labeling justru sudah dilakukan sejak dini oleh kelompok “kontra Anies” dengan stigma “kadrun” yang dilekatkan kepada Partai Nasdem.</p><p>Di sini terlihat bahwa stigmatisasi terhadap Anies dan Nasdem ini juga merupakan bagian dari politik identitas yang dijalankan oleh kelompok “kontra Anies.” Artinya, politik identitas tidak selamanya datang dari kelompok agama atau pun kelompok mayoritas seperti disinggung Musdah Mulia, tapi juga bisa muncul dari kelompok identitas lainnya atau pun kelompok yang memosisikan diri sebagai minoritas. Dengan kata lain, menuding pihak mayoritas sebagai satu-satunya kelompok yang memainkan isu politik identitas adalah konklusi yang keliru.</p><p><b>Apakah Politik Identitas Selalu Buruk?</b> </p><p>Ada satu pertanyaan yang muncul ketika saya menjadi pemateri acara sosialisasi pengawasan pemilu partisipatif kepada tokoh masyarakat di kantor Bawaslu Aceh Tamiang: Apakah politik identitas selamanya buruk? Pertanyaan ini diajukan salah seorang tokoh masyarakat yang berprofesi sebagai dai perbatasan. Pertanyaan ini berangkat dari kegelisahan yang bersangkutan dalam melihat fenomena yang menurutnya menyudutkan kelompok Muslim, mengingat dalam ajaran Islam terdapat konsep ukhuwah Islamiyah. Apakah memilih calon tertentu yang berasal dari agama yang sama dengan dasar ukhuwah Islamiyah bisa dikategorikan sebagai politik identitas?</p><p>Pertanyaan ini tentunya menjadi sensitif untuk dijawab sebab konsep ukhuwah Islamiyah memiliki korelasi dengan aspek teologis. Di satu sisi, seorang Muslim memang dituntut untuk bersatu dalam ukhuwah Islamiyah. Selain itu, dalam pendapat maenstream seorang Muslim juga tidak diperbolehkan memilih non Muslim sebagai pemimpin. Sementara di sisi lain, menjaga keutuhan dan stabilitas negara juga menjadi bagian penting dari ajaran Islam.</p><p>Namun secara prinsip dua konsep ini masih bisa dikompromikan, sebab dalam Islam, kita juga mengenal konsep ukhuwah wathaniyah yang menekankan persatuan antarwarga negara demi terjaganya stabilitas. Hal ini setidaknya pernah dipraktikkan oleh Nabi ketika membangun Negara Madinah, di mana hak-hak minoritas dijamin oleh negara. Dalam kondisi demikian ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wathaniyah bisa berjalan beriringan tanpa perlu diperhadap-hadapkan satu sama lain.</p><p>Karena itu, dalam konteks negara demokrasi seperti Indonesia, tanpa menafikan pentingnya ukhuwah Islamiyah dalam aspek tertentu, khususnya terkait hubungan sesama Muslim, mengedepankan ukhuwah wathaniyah bisa menjadi salah satu alternatif untuk menjaga persatuan antar identitas berbeda. Ketika ukhuwah wathaniyah ini sudah kuat, maka penggunaan strategi politik identitas dalam kontestasi politik tidak akan merusak demokrasi selama tidak menghasut, menyerang atau pun memosisikan identitas lain sebagai musuh.</p><p>Namun demikian, masyarakat kita juga harus rasional dan tidak hanya terjebak dalam identitas tanpa melihat kualitas. Artinya, selain faktor identitas yang memang sulit dihindari, kualitas dan gagasan calon pemimpin juga mesti menjadi pertimbangan – agar, seperti kata Betrand Russell, kita tidak memilih orang-orang yang kemudian kita salahkan.</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivdyEPFJR8aEBbPEPfdB2Y8p5OJryL3BLjdEdW9-nLXpZPbRbm_pVFCFB4Mw-qt7t9rNMhlJe5GpEsWZTSPvUAvxvirSv5o8Ec25BqYgNbdnOZ9FHmTfz-YvPUfS9_2IycwG9uyvckorQSrB2zwpCik-NuWQxXXvDG49D22SS2GDKxMPAmoa8zuah5Ig/s1536/camera720_20221228_170842.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1536" data-original-width="1062" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivdyEPFJR8aEBbPEPfdB2Y8p5OJryL3BLjdEdW9-nLXpZPbRbm_pVFCFB4Mw-qt7t9rNMhlJe5GpEsWZTSPvUAvxvirSv5o8Ec25BqYgNbdnOZ9FHmTfz-YvPUfS9_2IycwG9uyvckorQSrB2zwpCik-NuWQxXXvDG49D22SS2GDKxMPAmoa8zuah5Ig/w276-h400/camera720_20221228_170842.jpg" width="276" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-34510309686659164292022-12-06T07:56:00.001-08:002022-12-06T07:59:58.020-08:00Muktamar Surakarta dan “Tragedi” Muhammadiyah Ujung Barat<div>Oleh: <b>Khairil Miswar</b></div><div><i>Bireuen, 2 Desember 2022 </i></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2G9eWNnmQmTt4R2topWL9MhzvEdrhbIGMDyY6qvwABzSWKMECUJcUZGxFY7zTrjEzP85YlrB_lkF41Cu-EAJMNxetikxZs_b2VC84j5cxEffJafQPDL96qlcnMWvVxMEmX6sdWOd2rmwM8TiB_SIv4p--6UFWucqpD2Qbuhbe1yAg8zNePyoJXuKYrw/s1007/camera720_20221206_225432.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="575" data-original-width="1007" height="366" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi2G9eWNnmQmTt4R2topWL9MhzvEdrhbIGMDyY6qvwABzSWKMECUJcUZGxFY7zTrjEzP85YlrB_lkF41Cu-EAJMNxetikxZs_b2VC84j5cxEffJafQPDL96qlcnMWvVxMEmX6sdWOd2rmwM8TiB_SIv4p--6UFWucqpD2Qbuhbe1yAg8zNePyoJXuKYrw/w640-h366/camera720_20221206_225432.jpg" width="640" /></a></div><br /><div>Dalam khutbah iftitah Muktamar Muhammadiyah ke 48 yang digelar di Surakarta, Haedar Nashir, sebagaimana dilansir Republika (21/11), menyebut ada tujuh poin yang akan menjadi arah gerak Muhammadiyah lima tahun ke depan. Melalui arah gerak tersebut diharapkan Muhammadiyah dapat tampil lebih elegan di masa depan sehingga dapat berkontribusi secara maksimal untuk tanah air. Salah satu poin yang disampaikan Haedar Nashir adalah memperkuat dan memperluas basis umat di akar rumput.</div><div><br /></div><div>Dalam konteks penerimaan masyarakat terhadap Muhammadiyah di daerah-daerah tertentu; memperkuat dan memperluas basis umat di akar rumbut menjadi salah satu poin paling penting yang mesti mendapat perhatian. Dengan kata lain, status “minoritas” yang disandang Muhammadiyah di daerah tertentu terkadang membuat keberadaan organisasi ini mendapat “penolakan” secara sosiologis. Karena itu, terma “minoritas” yang dilabelkan oleh oknum masyarakat daerah tertentu terhadap Muhammadiyah harus mampu diantisipasi dengan memperkuat basis di akar rumput. Jika tidak, maka pergerakan Muhammadiyah di daerah dimaksud akan mengalami kendala-kendalan sosiologis.</div><div><b><br /></b></div><div><b>Kasus Aceh</b></div><div>Tidak kuatnya basis Muhammadiyah di daerah tertentu yang mengakibatkan munculnya penolakan secara sosiologis dari komunitas masyarakat tertentu, setidaknya dapat dibuktikan dengan kasus yang terjadi di Samalanga, Aceh. Hingga saat ini usaha pembangunan masjid Muhammadiyah yang direncanakan dibangun di Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh, masih terkendala akibat adanya penolakan dari sekelompok masyarakat di sana. Salah satu alasan penolakan adalah adanya label minoritas terhadap Muhammadiyah sehingga penundaan pembangunan masjid telah berlangsung selama hampir tujuh tahun.</div><div><br /></div><div>Hingga saat ini persoalan tersebut belum terpecahkan, di mana Muhammadiyah seperti “gagal” mengadvokasinya dirinya sendiri, padahal Muhammadiyah adalah organisasi besar dan tertua di Indonesia. Dalam konteks Aceh sendiri, organisasi Muhammadiyah juga sudah berkembang di sana sejak 1923 dan diresmikan pada 1928 sebagai cabang Hindia Timur. Tidak hanya itu, kampus-kampus besar Muhammadiyah juga berdiri kokoh di beberapa tempat di Aceh. Demikian juga dengan sekolah-sekolah Muhammadiyah juga telah berkiprah dalam pencerdasan anak bangsa di Aceh jauh sebelum Indonesia merdeka. Tapi, kenapa kemudian ada sekelompok masyarakat yang menolak pembangunan masjid Muhammadiyah seperti terjadi di Samalanga? Kuat dugaan, jawabannya adalah adanya label minoritas terhadap Muhammadiyah di Aceh.</div><div><br /></div><div>Dalam hal ini, Muhammadiyah di Aceh seperti tidak memiliki bargaining power sehingga dengan mudah “dimarjinalkan” tidak hanya oleh sekolompok masyarakat, tapi juga oleh oknum pemerintah daerah. Dalam kasus masjid Muhammadiyah di Sangso Samalanga misalnya, selain mendapat penolakan dari sekelompok orang yang mengaku mayoritas, pihak Pemkab Bireuen juga terkesan melakukan hal yang sama dengan mempertegas pelarangan pembangunan masjid di sana dengan alasan klasik: untuk menghindari gejolak sosial. Dalam hal ini, tidak terlihat adanya upaya dari pemkab setempat untuk melakukan negosiasi dengan kelompok “intoleran” yang telah menghalangi upaya pembangunan masjid Muhammadiyah selama bertahun-tahun.</div><div><b><br /></b></div><div><b>Beberapa Problem </b></div><div>Dalam studi pemikiran Islam, Muhammadiyah masuk dalam kategori gerakan modernisme dan bahkan purifikasi. Secara faktual, dua aspek ini memang tidak bisa dipisahkan dari persyarikatan Muhammadiyah. Meskipun gerakan purifikasi Muhammadiyah tidak lagi seintens dahulu dan telah mengalami moderasi seiring perkembangan zaman, namun label sebagai “pemberantas TBC (Takhayul, Bidah dan Churafat)” yang disandang Muhammadiyah di masa lalu masih belum lekang dari ingatan masyarakat Islam tradisional. Dengan kata lain, sejauh ini titik perbedaan antara pemikiran keagaman Muhammadiyah dengan komunitas Islam tradisional seperti Nahdatul Ulama (NU) dan pesantren masih begitu kentara dan kerap memicu perdebatan, meskipun dalam skala kecil.</div><div><br /></div><div>Hingga saat ini masih ada sejumlah pihak yang mengaggap Muhammadiyah tidak memiliki otoritas memperbincangkan isu-isu keagamaan. Khususnya di daerah-daerah yang mana Muhammadiyah menjadi “minoritas,” perbincangan soal otoritas keagamaan ini masih menjadi problem yang terkadang merusak harmoni dalam kehidupan sosial masyarakat. Artinya, pemikiran keagamaan yang dikembangkan Muhammadiyah masih kerap dianggap sebagai “ancaman” bagi lestarinya praktik-praktik Islam tradisional, khususnya di wilayah pedesaan.</div><div><br /></div><div>Dalam kasus pelarangan pembangunan masjid Muhammadiyah di Sangso, Samalanga, ketakutan ini sangat jelas terlihat, di mana wilayah Samalanga itu sendiri merupakan basis dayah (pesantren) yang dihuni oleh santri dari berbagai daerah. Ada banyak dayah-dayah besar di sana dan juga sejumlah tokoh agama karismatik dari kalangan Islam tradisional. Secara sosiologis, kondisi inilah yang kemudian mendorong sejumlah pihak melarang pembagunan masjid Muhammadiyah di sana.</div><div><br /></div><div>Ada kekhawatiran bahwa berdirinya masjid Muhammadiyah di wilayah tersebut akan memberi dampak “tidak baik” bagi kelestarian praktik ritual Islam tradisional yang telah berlangsung turun-temurun. Hal ini terjadi karena Muhammadiyah tidak saja dianggap sebagai organisasi yang mengembangkan modernisme, tapi juga purifikasi. Ditambah lagi dengan kondisi sebagian masyarakat Aceh yang fanatik dan sensitif terhadap soal-soal keagamaan, di mana Muhammadiyah sendiri kerap diasosiasikan dengan pemikiran “Wahabi.” Hal ini terbukti dengan hasil penelitian penulis yang mewawancari sejumlah tokoh dayah di Aceh, di mana sebagian mereka menganggap Muhammadiyah sebagai replika dari Wahabi.</div><div><br /></div><div>Kondisi demikian tentu menjadi problem tersendiri yang bisa menghambat perkembangan Muhammadiyah di Aceh. Dalam kondisi tertentu, kenyataan sosiologis ini bahkan bisa mendorong terjadinya tindakan anarkis seperti pembakaran tiang pancang dan fondasi masjid Muhammadiyah di Samalanga. Karena itu, strategi penguatan basis umat, khususnya warga Muhammadiyah di akar rumput menjadi agenda penting pascaMuktamar Surakarta. Dengan kuatnya basis Muhammadiyah di akar rumput, kendala-kendala demikian akan dapat diminimalisasi di kemudian hari.</div><div><br /></div><div>Agar hal itu tercapai, ada dua hal yang mesti dilakukan. Pertama, mengurangi perbincangan teologis di ruang publik, dan kedua kader-kader Muhammadiyah harus mampu menjadi bagian integral dari masyarakat rural.</div><div><br /></div><div>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada Medan</b></div><div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixDpcXLd9WJSa9ks-nim-ACsEd7R-kMy4n7xEfV75IyNEVQggeX13XOhQ4fe21OKaXk-bPURg2rEH4LBV6UAejLVuVZLw9Xocc9j5_JQeZqf08H51n949eXtkfRU06kVXgF0NeP7_vIxqFbKmyhrzKM2ltOkQTSGYwrn4Cj-YtA0UIMiTcFWYkMvaFFg/s1373/camera720_20221206_171212.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1373" data-original-width="1074" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEixDpcXLd9WJSa9ks-nim-ACsEd7R-kMy4n7xEfV75IyNEVQggeX13XOhQ4fe21OKaXk-bPURg2rEH4LBV6UAejLVuVZLw9Xocc9j5_JQeZqf08H51n949eXtkfRU06kVXgF0NeP7_vIxqFbKmyhrzKM2ltOkQTSGYwrn4Cj-YtA0UIMiTcFWYkMvaFFg/w313-h400/camera720_20221206_171212.jpg" width="313" /></a></div></div>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-88961402219980891912022-12-02T19:03:00.000-08:002022-12-02T19:03:02.046-08:00Modernisasi Maksiat<p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: center; white-space: pre-wrap;">Oleh: <b>Khairil Miswar</b></span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: center; white-space: pre-wrap;"><i>Bireuen, 3 November 2022</i></span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: center; white-space: pre-wrap;"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjMupx564wNiToSn86fGzKe57Ts_O06tFPHybN21XP5AqdxQaNKrkK_WHr7LHAZZeayxwJeevudmepEiKPYDDRVp0on9AS48XBzOPLMC4cBK8765xFmQ6h8lofnKaWRjKvSZTHSSxA2jUuOmV5TMraQ4T_gE78bzo1N2gsPGJ3Zwq0ldJC7_aE5EJ11A/s500/hibazoom-5ea16ae8f3047a5bc5df8a1f8bc7d558.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="375" data-original-width="500" height="300" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjjMupx564wNiToSn86fGzKe57Ts_O06tFPHybN21XP5AqdxQaNKrkK_WHr7LHAZZeayxwJeevudmepEiKPYDDRVp0on9AS48XBzOPLMC4cBK8765xFmQ6h8lofnKaWRjKvSZTHSSxA2jUuOmV5TMraQ4T_gE78bzo1N2gsPGJ3Zwq0ldJC7_aE5EJ11A/w400-h300/hibazoom-5ea16ae8f3047a5bc5df8a1f8bc7d558.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Hibazoom</td></tr></tbody></table></span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Sebagian orang meyakini bahwa maksiat di Aceh semakin meningkat dari tahun ke tahun. Keyakinan yang entah dilatari riset atau tidak ini, kemudian disampaikan dalam berbagai forum keagamaan, mulai dari majelis pengajian, khutbah Jumat, ceramah maulid atau bahkan di kedai-kedai kopi. Seketika saja ia menjadi satu simpulan yang diterima begitu saja oleh sebagian orang lainnya, bahwa dunia akan segera kiamat sebab maksiat terus bertumbuh. Alhasil generasi hari ini disalahkan atas maksiat yang kononnya terus berjibun.</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Lantas benarkah demikian? Sebelum pertanyaan ini dijawab, tentunya harus disepakati dulu apa yang dimaksud dengan maksiat. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan maksiat sebagai perbuatan yang melanggar perintah Allah alias perbuatan dosa, tercela dan buruk. Ada pun kata maksiat itu sendiri adalah serapan dari kata </span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">ma’shiyah</span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> dari bahasa Arab yang merupakan </span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">mashdar</span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> dari kata </span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">‘ashaa-ya’shi</span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> yang sering diterjemahkan sebagai membangkang, mendurhakai, menentang atau melanggar. Dengan demikian sebagai kata benda abstrak (</span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">mashdar</span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">) kata </span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">ma’shiyah</span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> dapat dimaknai sebagai pelanggaran, pembangkangan atau tindakan amoral.</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Jika kita sepakat dengan definisi ini maka setiap tindakan pelanggaran seperti korupsi, janji palsu politisi, jual beli jabatan, </span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">money politic</span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> dan berbagai bentuk tindakan amoral lainnya tentu dapat dikategorikan sebagai maksiat. Nah, jika ini yang dimaksudkan, kita nyaris sepakat bahwa maksiat memang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Sebut saja tindakan korupsi yang mati satu tumbuh seribu. Kita tahu, dulu di Indonesia tindakan korupsi hanya bisa dilakukan oleh Soeharto dan kroni-kroninya karena sistem yang sentralistik. Sementara sekarang tindakan korupsi sudah menyebar sampai ke desa-desa dan bisa dilakukan oleh siapa saja, baik kepala desa maupun kepala sekolah. Dalam konteks perilaku-perilaku semacam ini jumlah kasusnya memang semakin banyak dan bervariasi sehingga bolehlah disimpulkan bahwa maksiat semakin meningkat. Artinya, maksiat dalam bentuk korupsi yang dilakukan di masa lalu memang tidak separah hari ini.</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Tetapi, jika yang dimaksud dengan maksiat adalah tindakan amoral yang berkaitan dengan “selangkangan,” maka hampir bisa dipastikan kasus-kasus ini sebenarnya tidak meningkat tetapi masih lumayan stabil dan hanya berevolusi. Artinya jika hendak dikomparasikan dengan maksiat berbentuk korupsi, kasus maksiat “selangkangan” ini sudah ada sejak dulu dan tidak ada penambahan yang signifikan. Yang terjadi hanyalah pengulangan dengan aktor dan tempat berbeda.</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-weight: 700; text-align: justify; white-space: pre-wrap;">Dua Level Maksiat</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Diihat dari dampak, maksiat dapat dikategorikan ke dalam dua level. </span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Pertama,</span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> maksiat yang hanya berdampak kepada si pelaku dan korban secara personal. Yang termasuk dalam maksiat kategori ini di antaranya adalah maksiat seputar “selangkangan” semisal pelecehan seksual, perilaku mesum (khalwat), perkosaan, pelacuran, perzinaan dan tindakan asusila lainnya yang daya rusaknya tidak berdampak secara luas. Tindakan-tindakan semacam ini memang masuk dalam kategori kejahatan dan sebagiannya sudah diatur dalam Qanun Jinayat.</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Kedua,</span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> maksiat yang berdampak luas, baik terhadap stabilitas ekonomi, politik maupun hukum. Di antara maksiat yang masuk dalam kategori ini adalah tindakan korupsi, suap, pungli, </span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">money politic</span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">, jual beli jabatan dan berbagai tindakan lainnya yang umumnya melibatkan para elite. Berbeda dengan maksiat kategori pertama, maksiat model kedua ini memiliki daya rusak yang lebih dahsyat, tidak saja kepada pelaku, tapi kepada publik secara umum dan bahkan bisa mengancam masa depan negara. Sayangnya, dalam konteks Aceh, maksiat semacam ini sama sekali tidak mendapat perhatian dari qanun-qanun Syariat Islam yang ada selama ini.</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Kondisi ini terjadi salah satunya disebabkan oleh masih parsialnya konsep Syariat Islam yang diterapkan di Aceh. Selama dua puluh tahun formalisasi Syariat Islam di Aceh, para elite dan intelektual kita masih terkesan asyik dengan qanunisasi maksiat-maksiat seputar “selangkangan” yang pelakunya didominasi oleh masyarakat “kelas bawah,” sementara maksiat yang melibatkan para elite dan memiliki daya rusak luas justru kurang mendapat perhatian. Alhasil, panggung eksekusi hanya menjadi ajang untuk mempermalukan “jelata” di tengah euforia elite yang terus saja </span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">haha hihi</span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">.</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-weight: 700; text-align: justify; white-space: pre-wrap;">Modernisasi</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Demi kepentingan popularitas dan bahkan elektabilitas, para elite kita kerap melontarkan pernyataan-pernyataan populis, semisal isu maksiat yang semakin meningkat dengan merujuk pada tindakan maksiat kategori pertama yang umumnya berkutat pada soal “selangkangan.” Padahal, jika ditilik, aksi maksiat “selangkangan” tidak mengalami peningkatan yang signifikan dibanding aksi maksiat kategori kedua yang kian menumpuk. Yang terjadi pada maksiat kategori pertama sebenarnya hanyalah “modernisasi” bukan peningkatan.</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Sebut saja aksi mesum misalnya, di mana aksi ini sudah tumbuh dan berkembang di masa-masa awal, jauh sebelum formalisasi Syariat Islam diberlakukan di Aceh. Bahkan aksi maksiat semacam ini telah menemani perjalanan sejarah manusia dari masa ke masa. Bedanya, dulu aksi mesum dilakukan secara “tradisional” tanpa dibarengi oleh kreativitas. Di masa lalu kita tentu ingat sejumlah pelaku mesum ditangkap di hutan, di semak-semak, di sela-sela pohon atau pun di tempat-tempat sunyi lainnya yang jauh dari pantauan publik. Ada pun hari ini, aksi mesum sudah mengalami “modernisasi” sehingga terkesan sedikit beradab. Perilaku mesum saat ini telah berpindah dari semak-semak menuju hotel-hotel, mobil atau café remang-remang.</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Demikian pula dengan maksiat dalam bentuk mengintip orang mandi juga sudah tidak ada lagi dan berganti dalam bentuk yang lebih elegan melalui perangkat atau pun aplikasi pornografi. Pertemuan muda-mudi dalam konteks “pacaran” juga telah mengalami modernisasi pasca munculnya </span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Video Call</span><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> dan aplikasi sejenis lainnya sehingga berdua-duaan dalam WC umum misalnya telah ketinggalan zaman. </span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Secara kuantitas maksiat kategori pertama seperti dikemukakan di atas hampir tidak mengalami penambahan secara signifikan, tapi hanya sekadar berganti pola dari gaya-gaya “tradisional-konservartif” kepada model yang lebih modern dan progresif. Karena itu, pernyataan sebagian kalangan yang menyebut maksiat (selangkangan) di Aceh semakin meningkat adalah keliru dan terlalu mengada-ada. Lagi pula sejumlah qanun telah mengatur maksiat model ini dengan sangat cermat melalui ancaman cemeti.</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Peningkatan justru terjadi pada maksiat kategori kedua yang hingga saat ini belum pernah menjadi perbincangan para elite sehingga regulasi syariah terkait maksiat dimaksud belum menemukan wujudnya. Akibatnya maksiat yang dilakukan elite hanya menjadi catatan kaki yang tak pernah dibaca, sementara maksiat “jelata” terus saja didata.</span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Artikel ini sudah terbit <b>Harian Serambi Indonesia </b></span></p><p><span style="font-family: Calibri, sans-serif; font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEht0FSttVbmuvXWg7QAaZ2uL5orHTnRrn7dLIKBo5UmR3RcH7lyWDvyxu9H_ILhy__Y8OhFr9o0-bSYn_Mrz20X0qgVARAOKiLaKwohpl29mtoTHjHTsMj9EHFbLwgw4kAu-Uh4HOB0OHjhOHkUuLTEFGcN7MOzUeh6kERguwDwjSqAQ1w7SNX9RfQGdA/s1291/camera720_20221124_093934.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1291" data-original-width="1057" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEht0FSttVbmuvXWg7QAaZ2uL5orHTnRrn7dLIKBo5UmR3RcH7lyWDvyxu9H_ILhy__Y8OhFr9o0-bSYn_Mrz20X0qgVARAOKiLaKwohpl29mtoTHjHTsMj9EHFbLwgw4kAu-Uh4HOB0OHjhOHkUuLTEFGcN7MOzUeh6kERguwDwjSqAQ1w7SNX9RfQGdA/w328-h400/camera720_20221124_093934.jpg" width="328" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-55626519992611640122022-11-21T06:09:00.000-08:002022-11-21T06:09:34.635-08:00Anies Baswedan dan Histeria Orang Aceh<p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b></p><p><i>Bireuen, 18 November 2022</i></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv5FFZDb1ZDFhiwCOqSjnkTC7SVH9koYrlquNwtewUEpSPZaKR1nXLwbrtGvox_kYqBLFtyGm3nBJJKBxV0BJUQUK9UZ7byQpFEj1ztr6-xHYtYJxoz0JrE992vdiahm6FBM_6Z4txtWJlwNJuhXXgNbzo8b6ZJaV10OcIZ7_qDTW2tiiU_krDQ5Rd_w/s620/siap-nyapres-2024-anies-baswedan-bakal-sering-sowan-ke-elite-parpol-hmh.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="413" data-original-width="620" height="266" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv5FFZDb1ZDFhiwCOqSjnkTC7SVH9koYrlquNwtewUEpSPZaKR1nXLwbrtGvox_kYqBLFtyGm3nBJJKBxV0BJUQUK9UZ7byQpFEj1ztr6-xHYtYJxoz0JrE992vdiahm6FBM_6Z4txtWJlwNJuhXXgNbzo8b6ZJaV10OcIZ7_qDTW2tiiU_krDQ5Rd_w/w400-h266/siap-nyapres-2024-anies-baswedan-bakal-sering-sowan-ke-elite-parpol-hmh.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sumber: Sindo News</td></tr></tbody></table><p>Berembusnya nama Anies Baswedan sebagai calon presiden dari Partai Nasdem beberapa waktu lalu disambut dengan penuh histeria oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Kemeriahan ini setidaknya terlihat di beranda media sosial – di mana netizen-netizen Aceh tampak mencurahkan kegembiraan mereka. Seketika itu pula wajah Nasdem yang dulunya sempat “tercemar” karena dukungannya kepada Ahok, tiba-tiba saja bersih kembali di mata orang Aceh yang dikenal fanatik itu. Dalam konteks ini, ada kesan bahwa Nasdem telah diposisikan sebagai penyelamat bagi Anies, salah seorang capres yang dirindukan sebagian orang Aceh.</p><p>Kondisi yang terjadi di Aceh tersebut nyaris memiliki relevansi dengan pernyataan Surya Paloh baru-baru ini, di mana Partai Nasdem yang dulunya sempat dituding sebagai “penista agama” saat mendukung Ahok, kini justru mendapat gelar baru sebagai partainya “kadrun” pascapenetapan Anies sebagai calon presiden. Penetapan Anies sebagai calon presiden telah mengubah wajah Nasdem dalam pandangan pemilih-pemilih Muslim fanatik, baik di Aceh maupun di Indonesia.</p><p>Dalam hal ini, yang menjadi titik fokus bukanlah Nasdem, tapi Anies. Namun demikian kondisi ini tentunya sangat menguntungkan Nasdem dalam kontestasi pilpres nantinya, di mana potensi dukungan dari kelompok Muslim akan semakin meningkat. Di sini terlihat adanya simbiosis mutualisme antara Anies dan Nasdem, di mana Anies membutuhkan kendaraan politik untuk berkontestasi dalam pilpres, sementara Nasdem mengharapkan dukungan loyalis Anies dalam kontestasi pileg ke depan.</p><p><b>Karakter Pemilih Aceh </b></p><p>Hingga saat ini klasifikasi pemilih dalam kelompok pemilih emosional dan rasional tentunya masih relevan digunakan untuk melihat peta politik di tanah air. Kita tahu bahwa pemilih emosional adalah mereka yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan “emosi” alias ketersentuhan perasaan yang dikaitkan dengan identitas, baik yang bersifat ideologis, agama atau pun budaya. Dalam hal ini, kesamaan ideologi, agama dan budaya menjadi faktor penentu yang mendorong seseorang untuk menentukan pilihan politiknya. Sementara pemilih rasional adalah mereka yang menentukan pilihan politiknya berdasarkan alasan-alasan logis yang dapat dijelaskan secara rinci. Dalam hal ini pemilih rasional akan menghimpun data dan menggunakan kekuatan analisisnya untuk kemudian menentukan pilihannya secara tepat dan terukur.</p><p>Secara kuantitas, pemilih emosional di Aceh tentunya lebih banyak dan mendominasi setiap kontestasi politik. Hal ini bisa dilacak dalam sejumlah kontestasi politik di Aceh pascakonflik, di mana emosi pemilih menjadi penentu kemenangan, baik di eksekutif maupun legislatif. Kemenangan Irwandi-Nazar sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh pertama dalam Pilkadasung 2006 menjadi penanda bahwa faktor emosional begitu menghegemonik, di mana kala itu Irwandi-Nazar telah menjelma sebagai simbol “nasionalisme Aceh.”</p><p>Demikian pula kemenangan Zaini-Muzakkir dan Partai Aceh – yang kala itu berhasil menguasai parlemen juga tidak terlepas dari letupan “emosi” para pemilih di mana program-program rasional yang ditawarkan kandidat lain menjadi tidak bernilai. Identitas “partai perjuangan” yang dikampanyekan Partai Aceh saat itu telah sukses memantik emosi publik yang begitu bergelora.</p><p>Dalam konteks pilpres, kemenangan Prabowo-Sandi di Aceh pada 2019 dengan perolehan suara mencapai 85,59 persen adalah fakta paling populer tentang bagaimana pemilih-pemilih emosional memainkan perannya. Isu agama yang kala itu dimainkan Prabowo-Sandi telah sukses mendulang suara dari pemilih-pemilih Muslim Aceh yang dikenal fanatik. Kondisi hampir serupa juga terjadi pada 2014, di mana saat itu Prabowo-Hatta mendapat dukungan 54 persen suara di tengah lesunya partisipasi pemilih karena 1,2 juta alias 39 persen masyarakat memilih golput.</p><p><b>Bagaimana dengan Anies? </b></p><p>Hingga saat ini politik identitas masih dianggap sebagai strategi jitu yang bisa mengikat emosi para pemilih di Indonesia. Khususnya di Aceh, politik identitas berbasis agama terbilang masih cukup kuat. Dalam kontestasi politik di Aceh isu agama telah menjadi jimat pemikat paling laris. Bahkan penggunaan isu-isu agama dalam kontestasi politik di Aceh telah menjadi keniscayaan. Hal ini dapat dilihat dari pengalaman dua kali hasil pilpres di Aceh.</p><p>Merujuk pada dua pengalaman tersebut, kuat dugaan kehadiran Anies juga akan memunculkan fenomena yang sama di Aceh. Sosok Anies pastinya akan disambut dengan histeria yang menyala-nyala. Bahkan keberhasilan Anies menduduki kursi Gubernur DKI kala itu juga mendapat apresiasi yang luar biasa dari sebagian besar masyarakat Aceh. Di sini terlihat seolah ada pertalian emosi antara Anies dan orang Aceh.</p><p>Dalam perspektif psikososial, pertalian emosi antara Anies dan orang Aceh salah satunya dibentuk oleh kesadaran identitas Islam politik, di mana Anies telah diposisikan sebagai prototipe pemimpin Muslim ideal yang tidak hanya cerdas secara intelektual tapi juga religius dan pro-Islam. Selain itu, secara politis Anies juga diyakini “sukses” mengelola Jakarta pascakalahnya Ahok pada Pilkada 2017. Fragmen-fragmen ini kemudian membentuk satu “kesadaran” bagi sebagian besar orang Aceh – bahwa kepemimpinan Anies sebagai presiden di masa depan akan membuka peluang bagi kebangkitan umat Islam di Indonesia.</p><p><b>Koalisi Nasdem-Demokrat</b> </p><p>Wacana koalisi Nasdem-Demokrat-PKS yang menurut Surya Paloh “sedang menyesuaikan frekuensi” tampaknya juga akan memberi dampak tersendiri bagi pemilih-pemilih Muslim di Aceh. Kita tahu bahwa dalam memori orang Aceh Partai Demokrat memiliki tempat tersendiri, di mana partai ini dianggap sangat berjasa dalam mewujudkan perdamaian antara RI dan GAM di masa lalu. Selain itu, sosok SBY telah dianggap sebagai figur “bapak” yang tanpa banyak pertimbangan langsung menuju ke Aceh tidak lama setelah gempa tsunami meluluhlantakkan Aceh. SBY juga memiliki peran besar dalam rekonstruksi Aceh pascagempa tsunami 2004. Atas jasa-jasanya tersebut, pada 2009 SBY berhasil memenangkan pemilu di Aceh dengan perolehan suara mencapai 93,2 persen.</p><p>Berdasarkan pengalaman tersebut bukan tidak mungkin koalisi Nasdem-Demokrat melalui pasangan Anies-AHY akan mengukir kejayaan di Aceh. Kita tahu bahwa selain identitas “Islam” yang melekat pada Anies, jasa-jasa SBY di masa lalu juga akan menjadi pertimbangan bagi orang Aceh untuk memenangkan Anies dalam pilpres mendatang.</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEic_GvYUGQACgWaS4FBxXCC5itzEqjmsBNG3cjRHyeaknqe0e4Cw5S97URtEdPOEIdA36tGrHEZr3tnHJ_wuWVlw2N7T3M3k1ZyXb4KLQw1rN3soqYTyoyEvdTCM8WFe7GwU5GBsepijT93s5ck9PXSCzXCiGow58qVpbknXYxNq7kUYqEuOf6tXgZvzg/s1069/camera720_20221121_134524.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1032" data-original-width="1069" height="386" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEic_GvYUGQACgWaS4FBxXCC5itzEqjmsBNG3cjRHyeaknqe0e4Cw5S97URtEdPOEIdA36tGrHEZr3tnHJ_wuWVlw2N7T3M3k1ZyXb4KLQw1rN3soqYTyoyEvdTCM8WFe7GwU5GBsepijT93s5ck9PXSCzXCiGow58qVpbknXYxNq7kUYqEuOf6tXgZvzg/w400-h386/camera720_20221121_134524.jpg" width="400" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-43826842946508918622022-11-17T02:26:00.004-08:002022-11-17T02:26:45.582-08:00Buruan Terakhir<p>Oleh: <b>Tin Miswary</b></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-svyhEwZy24Rn-PUbjyRnNJ6SAtNtDhrNTyUNjaONWbZNyo40zSeivU3YVUfB9pAM4e1VVppSssC2tcoS_7fF71g-KuHW6bzK0JymgD0U8KSBqFKSdEawB9FV29ypxP0IQ1na_W4OpTfOGKFk59Yr4muEgi5xajj1gXH8C-f_ikZXd1IkBywJa2cvlA/s593/camera720_20221117_172356.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="384" data-original-width="593" height="259" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-svyhEwZy24Rn-PUbjyRnNJ6SAtNtDhrNTyUNjaONWbZNyo40zSeivU3YVUfB9pAM4e1VVppSssC2tcoS_7fF71g-KuHW6bzK0JymgD0U8KSBqFKSdEawB9FV29ypxP0IQ1na_W4OpTfOGKFk59Yr4muEgi5xajj1gXH8C-f_ikZXd1IkBywJa2cvlA/w400-h259/camera720_20221117_172356.jpg" width="400" /></a></div><br /><p>Senja telah menepuk ufuk. Gumpalan mega merah masih tampak berjaga-jaga. Sesaat lagi ia pun segera enyah ditelan malam. Azan Magrib di pucuk-pucuk menara mulai bergema memecah keheningan, memanggil hamba-hamba Tuhan untuk segera bertandang ke rumahNya. Senja pun berakhir dan gelap mulai merayap.</p><p>Sebuah gubuk kecil berdiri congkak di tengah hamparan sawah yang sudah mulai gelap. Seorang laki-laki kurus berambut gondrong tampak duduk di dalam gubuk yang terbuat dari belahan bambu. Gubuk kecil itu adalah markas para petani untuk mengintip pipit pencuri padi. Herman, si lelaki kurus tinggi, berwajah muram dengan janggut terjuntai tampak gelisah. “Jam segini Sofyan belum datang,” keluh Herman sambil menggaruk-garuk kakinya setelah disambar nyamuk nakal.</p><p>Herman dan Sofyan adalah dua sekawan yang cukup dikenal di kampung itu. Dalam lima tahun terakhir mereka telah sukses menjadi pemburu paling ditakuti dan disegani di kampungnya. Mereka tidak berburu rusa, tidak kelinci dan tidak pula kambing hutan. Tidak ada rimba di kampung itu, hanya secuil gerombolan semak di beberapa kebun kecil yang tak terawat.</p><p>“Halo! Salam ‘alaikom,” teriak Sofyan di ujung pematang sawah yang terlihat becek. Dia terus melangkah sembari menyibak daun padi yang sudah mulai meninggi. Dia berjalan hati-hati, takut terperosok ke longsoran pematang yang masih basah. Herman menyambut temannya dengan senyum sinis. “Kenapa kamu terlambat?” Pertanyaan klasik yang sering terucap dari bibir Herman. “Seperti biasa, Man. Aku kan salat Magrib dulu,” sahut Sofyan sembari berusaha naik ke atas gubuk dan kemudian menepuk bahu Herman yang masih saja muram.</p><p>Berbeda dengan Herman yang terkenal jahat dan malas ibadah, Sofyan, seorang pemuda bertubuh sedang, berambut cepak dan berwajah bersih, dikenal sebagai sosok yang saleh. Herman dan Sofyan adalah koalisi maut yang paling menakutkan di kampungnya. Herman dikenal berani dan keras, sementara Sofyan selain taat juga penyabar. Dalam beberapa tahun terakhir mereka telah berhasil menangkap para pelaku mesum di kampungnya untuk kemudian dimandikan air comberan di menasah yang disaksikan masyarakat kampung dengan sorak-sorai. Para korban penangkapan umumnya gadis dan lelaki muda remaja yang tersesat di semak-semak ladang dan kebun warga. Kadang-kadang mereka juga menangkap janda dan duda yang kesepian.</p><p>Di kampung itu, penangkapan terhadap pelaku mesum selalu saja dirayakan layaknya kenduri besar. Hasil buruan Herman dan Sofyan akan diikat di sebuah tiang kayu di menasah. Beberapa warga akan berbondong-bondong mengambil air comberan untuk kemudian disiram ke wajah-wajah muram yang tertunduk layu. Sementara keluarga masing-masing pasangan segera memejam mata mengurut dada.</p><p>“Yan, kamu ingat sudah berapa pasangan berhasil kita tangkap selama ini?” tanya Herman sembari meraba-raba rokok di saku celananya. “Mungkin sudah sepuluh pasang, Man,” jawab Sofyan sambil menyodorkan korek api kepada Herman. “Haha…kamu lupa, Yan. Ada satu lagi. Haha…kamu lupa! Suara tawa Herman tampak bising bercampur gerisik daun padi diembus angin malam yang kian dingin. “Ya, Man. Aku ingat. Satu lagi Pakwa Bollah dan Wa Jamilah. Haha….Sofyan ikut tertawa dengan rahang terkuak. Untung saja tak ada lalat.</p><p>Malam terus bergerak dan bertambah kelam bersama hawa dingin di hamparan sawah yang kian sepi. Sesekali terdengar suara trompet jangkrik bersahut sambut dengan nyanyian cacing tanah. Suara-suara itu bercampur deru angin selaras membentuk irama bersama nyanyian daun-daun padi yang terus bergoyang. Langit malam itu terlihat cerah dengan tarian bintang yang terus berkedip. Sementara bulan mengintip di balik mega.</p><p>Setelah lelah tertawa, Herman berujar kepada sahabatnya, “Malam ini kita berburu lagi. Kita akan bergerak ke waduk di ujung kampung. Ini malam Minggu, tentu akan banyak tangkapan di sana.” Mendapat aba-aba dari Herman, Sofyan segera melompat turun dari gubuk. “Oke, mari kita bergerak.”</p><p>Kedua lelaki itu kemudian berjalan beriringan menapak di pematang sawah yang semakin basah terkena embun. Mereka terus berjalan dan berjalan. Tepat pukul sembilan malam mereka pun tiba di waduk. Ada banyak lampu berkerlap-kerlip di sana. Lampu dari beberapa warung kecil di sekitar waduk yang tampak berjejer rapi. Seperti biasa, malam Minggu waduk itu ramai dikunjungi orang untuk bersantai menghabiskan malam bersama keluarga. Waduk itu juga menjadi saksi pertalian hati beberapa muda-mudi remaja yang dibalut sepi. Bagi pedagang di sekitar waduk, malam Minggu adalah panen raya.</p><p>Di timur waduk terdapat beberapa gubuk mirip tempurung. Sepintas ia memang menyerupai gubuk, tapi tak bertiang dan telungkup rapat ke tanah. Gubuk itu terbuat dari dedaunan kering, entah rumbia entah jerami, tak begitu jelas. Di salah satu bagian dindingnya terdapat pintu kecil. Siapa pun yang masuk harus menunduk sebab ia terlalu rendah untuk tinggi manusia normal. Gubuk itu sangat mirip dengan rumah suku-suku di pedalaman. Ke gubuk inilah Herman dan Sofyan melakukan perburuan.</p><p>“Ada banyak pelaku maksiat di sini,” desis Herman yang diiringi anggukan Sofyan. Lalu keduanya melangkah pelan ke salah satu gubuk yang letaknya hanya beberapa meter dari tempat mereka berdiri. “Ayo!” teriak Herman. Layaknya Bostanji Bashi, mereka pun mempercepat langkahnya.</p><p>“Keluar, keluar, keluar…!” Herman berteriak keras sembari mukanya dirapatkan ke pintu gubuk. “Keluar sekarang. Kurang ajar! sambung Herman. “Ssssst…! Tenang, Man, bisik Sofyan, si penyabar, ke telinga Herman yang sudah terlihat seperti orang kesurupan dan kemasukan setan.</p><p>Setelah gubuk mirip rumah manusia purba itu digoyang dan ditendang Herman, akhirnya penghuninya pun keluar. Keduanya tampak menunduk melewati pintu kecil yang mirip lubang gua. Tiba-tiba saja terlihat dua anak manusia setengah telanjang berdiri gugup menggigil di hadapan Herman. Sofyan tampak berdiri beberapa senti dari Herman dengan tangan dilipatkan di dada. Sofyan tetap berusaha untuk tenang. Dia tidak mau diamuk amarah seperti Herman.</p><p>Tiba-tiba, “Sialan! Kurang Ajar! Berengsek!” seru Herman sembari berbalik ke arah Sofyan. Laki-laki penyabar itu tampak bingung dengan sikap Herman. Bagaimana mungkin dia melepaskan buruan yang sudah dintai sedari tadi, pikir Sofyan. “Mari kita pergi!” Herman kembali berteriak sembari menarik tangan Sofyan. “Kurang ajar, kurang ajar, kurang ajar…” Herman terus berkicau sendiri disaksikan Sofyan dengan wajah keheranan. “Kenapa kita pulang?” tanya Sofyan sambil melepaskan tangannya dari genggaman Herman.</p><p>“Itu Wati, adikku dan Mahdi, adikmu,” jawab Herman pelan. “Kurang ajar!” sahut Sofyan. Kesabaran pemuda itu tiba-tiba saja lenyap tersapu amarah. Hampir saja Sofyan berbalik arah, namun segera dihalangi Herman. “Jangan sampai kita telanjang di hadapan orang-orang. Cepat pergi!” perintah Herman pada Sofyan. </p><p>Malam kian dingin bersama angin yang semilir. Rembulan yang tadinya mengintip telah bersembunyi di balik awan. Mungkin saja dia sedang tertawa melihat Herman dan Sofyan. Malam itu benar-benar gelap. Bahkan lampu-lampu kecil yang sedari tadi menyemarakkan keindahan waduk juga telah padam di mata Herman dan Sofyan. Kelam!</p><p>Cerpen ini sudah terbit di <b>Harian Suara Merdeka</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgF9I07nN2yxhnSi_UFqABiZUX8_YtzBXHylzEwiSBFB75O5f1U_zATQidkb32GXECP_NcWqFZIeELt4cvhkPHVLZBlKuao2qp_ZR_yCWAujBfU_c3F51IPiN6a_cFR0rbK851JLfU_ibZ6h40LWffA7LSDMsKs3OpRXPX-VhpO6H97aXv841kShrwcbQ/s1920/Screenshot_2022-11-17-05-10-04-00.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1920" data-original-width="1080" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgF9I07nN2yxhnSi_UFqABiZUX8_YtzBXHylzEwiSBFB75O5f1U_zATQidkb32GXECP_NcWqFZIeELt4cvhkPHVLZBlKuao2qp_ZR_yCWAujBfU_c3F51IPiN6a_cFR0rbK851JLfU_ibZ6h40LWffA7LSDMsKs3OpRXPX-VhpO6H97aXv841kShrwcbQ/w225-h400/Screenshot_2022-11-17-05-10-04-00.png" width="225" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-44503686865205080832022-11-02T07:26:00.002-07:002022-11-02T07:26:31.844-07:00Lukas Enembe dan Korupsi di Wilayah Konflik<p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b> </p><p><i>Bireuen, 27 Oktober 2022</i></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1DaxUYBzOJYFCOEORFFB8CG97-xvRkQ4nR0AhypIaS9oi00TbbfGDApmAgilH_Nk46V5S98WHM-1dFFdUNSD7NebtGDEgdE0YZw2ItEldeb5PTbBgVMoFlwYQIfHwKx_U18m-M0tSSf_ZjkzkFNa5DbqdJbivg7vcyolTvnafZlD44pnvPhZKUHXXQA/s1200/profil-lukas-enembe-kini-dicegah-ke-ln-usai-jadi-tersangka_169.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="675" data-original-width="1200" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj1DaxUYBzOJYFCOEORFFB8CG97-xvRkQ4nR0AhypIaS9oi00TbbfGDApmAgilH_Nk46V5S98WHM-1dFFdUNSD7NebtGDEgdE0YZw2ItEldeb5PTbBgVMoFlwYQIfHwKx_U18m-M0tSSf_ZjkzkFNa5DbqdJbivg7vcyolTvnafZlD44pnvPhZKUHXXQA/w400-h225/profil-lukas-enembe-kini-dicegah-ke-ln-usai-jadi-tersangka_169.jpeg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Detik. Com</td></tr></tbody></table><p>Penetapan Gubernur Papua, Lukas Enembe, sebagai tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu telah menuai protes pendukungnya di Papua. Tidak hanya tuduhan korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga melaporkan transaksi tak wajar oleh Lukas, di antaranya setoran ke kasino judi senilai 560 miliar dan juga pembelian jam mewah seharga Rp. 550 juta. Mengutip Mahfud Md sejumlah media menyebut pascapenetapan tersebut kondisi Papua memanas. Bahkan salah seorang tokoh adat Papua meminta kasus Lukas dihentikan guna menghindari polemik, sebab menurutnya Lukas adalah representasi masyarakat Papua.</p><p>Tidak hanya Lukas, KPK juga menetapkan Bupati Mimika dan Bupati Mamberamo Tengah sebagai tersangka dugaan korupsi. Bahkan pada 2018 tercatat ada 97 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Kemudian pada 2021 sebanyak 33 orang juga mengalami nasib yang sama, ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi. Sebelumnya, Mahfud MD juga menyebut ada 10 kasus dugaan korupsi besar yang terjadi di Papua.</p><p><b>Memahami Wilayah Konflik</b></p><p>Melihat Papua tentu tidak bisa disamakan dengan melihat provinsi lain di tanah air. Papua adalah wilayah konflik yang memiliki problem kompleks mulai dari persoalan sumber daya alam, politik dan keamanan. Mungkin hanya Aceh satu-satunya provinsi yang bisa dipandang memiliki kesamaan historis dengan Papua, sebab Aceh pernah mengalami konflik serupa selama hampir tiga puluh tahun (1976-2005). Namun, Aceh sedikit beruntung karena konflik telah usai dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinky antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005. Sementara Papua masih terus bergolak hingga saat ini karena tidak adanya upaya dialog antara Pemerintah RI dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai dua kelompok yang bertikai di sana.</p><p>Karena kondisi politik dan keamanan yang masih bergolak, tentunya menjadi gubernur dan bupati di Papua tidaklah mudah. Kondisi ini setidaknya pernah dirasakan oleh para gubernur dan bupati di Aceh ketika konflik masih berkecamuk, di mana mereka mendapat tekanan dan gangguan keamanan dari pihak kontra NKRI sehingga tugas-tugasnya menjadi tidak maksimal. Artinya, mengharapkan kinerja yang benar-benar prosedural dari pemimpin politik dan birokrat di wilayah konflik adalah utopia. Namun demikian, bukan berarti pemerintah boleh membiarkan praktik korupsi terus terjadi dan bukan pula menegasikan ketidaktaatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan kepala daerah di sana, tapi setidaknya Pemerintah Pusat dapat menggunakan paradigma yang lebih bijak dalam melihat persoalan di wilayah yang didera konflik guna menghindari polemik.</p><p>Meskipun penetapan Lukas Enembe disinyalir tidak terkait kepentingan politik, namun suara-suara sumbang yang menyebut penetapan tersebut sebagai bersifat politis juga wajar belaka, sebab penetapan itu berlangsung tiba-tiba tanpa adanya penjelasan yang memadai. Kejadian hampir serupa pernah dialami Gubernur Aceh periode 2000-2005, Abdullah Puteh, yang kala itu juga ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam kasus pembelian dua unit helikopter oleh KPK. Puteh ditetapkan sebagai tersangka pada saat konflik Aceh sedang berada di puncak. Kala itu juga muncul spekulasi bahwa penetapan Puteh sebagai tersangka sarat dengan nuansa politis. Bahkan ada rumor yang berkembang bahwa Puteh memiliki kedekatan dengan GAM. Meskipun kemudian rumor ini tidak terbukti secara meyakinkan, namun hal-hal semacam ini menjadi “wajar saja” di wilayah konflik.</p><p>Dalam konteks ini, tanpa bermaksud menuduh, hubungan Lukas Enembe dengan kelompok kontra NKRI di Papua juga mesti dilacak. Kajian ini menjadi penting dilakukan sebab hubungan kepala daerah dengan kelompok kontra NKRI di wilayah konflik kerap terjadi sebagai sebuah upaya negosiasi guna menciptakan stabilitas politik di wilayahnya, atau setidaknya sebagai strategi untuk mendapatkan jaminan keamanan. “Hubungan senyap” sebagai strategi mendapatkan jaminan keamanan ini tidak secara serta-merta dapat diterjemahkan sebagai tindakan makar, tapi harus dipandang sebagai <i>win-win solution</i> antara kedua pihak agar roda pemerintahan dan pembangunan bisa tetap berjalan. Untuk menjalin “hubungan senyap” ini tentunya kepala daerah di sana membutuhkan dana yang nantinya disuplai kepada kelompok kontra NKRI. Dalam kondisi inilah kemudian tindakan korupsi menjadi sangat mungkin terjadi.</p><p>Kondisi demikian pernah terjadi dalam konflik Aceh, di mana saat itu GAM mewajibkan kepada masyarakat kelas menengah, perusahaan, pegawai negeri dan juga pejabat pemerintah daerah untuk membayar upeti yang mereka istilahkan dengan pajak nanggroe (pajak negara). Dalam faktanya, penolakan terhadap upeti ini akan berkonsekuensi pada terganggunya jaminan keamanan bagi pihak bersangkutan.</p><p>Hal serupa juga dialami oleh para bupati di Aceh kala itu yang terjebak dalam dilema. Di satu sisi mereka harus setia kepada NKRI, namun di sisi lain juga harus melakukan negosiasi senyap dengan pihak kontra NKRI agar keselamatan mereka terjamin. Meskipun dalam perspektif Pemerintah RI hal ini kerap dianggap sebagai tindakan makar karena membantu kelompok kontra NKRI, namun bagi masyarakat dan tokoh politik yang hidup di sana tentu tidak ada pilihan lain, kecuali bertahan dengan caranya sendiri.</p><p><b>Penyelesaian Bijak</b></p><p>Menyikapi dugaan korupsi yang melibatkan Lukas Enembe dan dua bupati di Papua, Pemerintah RI harus melakukan langkah-langkah bijak guna meminimalisasi polemik. Hal ini penting diperhatikan sebab secara sosiologis dan politis sosok Lukas memiliki pengaruh cukup kuat di tengah masyarakat Papua. Penegakan hukum yang menafikan fakta-fakta sosiologis dan kondisi keamanan tentunya akan merusak kepercayaan masyarakat di sana sehingga kondisi Papua akan semakin memanas.</p><p>Demi kepentingan penegakan hukum, pemerintah mesti melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh adat di sana agar persoalan menjadi jernih sehingga langkah pemerintah nantinya tidak lagi dianggap sebagai kriminalisasi. Selain itu, para pejabat utama RI juga agar tidak banyak berspekulasi karena dapat menambah kegaduhan dan kemarahan masyarakat Papua. Hukum harus tetap ditegakkan, namun dengan cara-cara yang bijak dan elegan. Seperti pepatah Aceh, <i>Uleu beumate, ranteng bek patah</i> (membunuh ular tanpa mematahkan ranting). Artinya, hukum harus ditegakkan dengan tidak merusak stabilitas politik dan keamanan.</p><div>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada</b></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiBByTCt6Up5edn9PRUPWGBz1u-1gqCDAcgaktD1g6mcFNqyaKjQsYy98EkmNYmbqJaOxv-Le0IFqG7tRKZfloR8GihpuwjSqpVo0FgCZTm2YdGImoD3JdziRkMmEN8EttfUKByFAl_RWckbXWaNpuMBzm-zN7miA6u5RRl63-cj-u7LW1oRU5Q1OJMw/s1253/camera720_20221102_140632.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1253" data-original-width="1058" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiiBByTCt6Up5edn9PRUPWGBz1u-1gqCDAcgaktD1g6mcFNqyaKjQsYy98EkmNYmbqJaOxv-Le0IFqG7tRKZfloR8GihpuwjSqpVo0FgCZTm2YdGImoD3JdziRkMmEN8EttfUKByFAl_RWckbXWaNpuMBzm-zN7miA6u5RRl63-cj-u7LW1oRU5Q1OJMw/w338-h400/camera720_20221102_140632.jpg" width="338" /></a></div>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-80387273982006236832022-10-22T03:54:00.006-07:002022-10-22T03:54:50.080-07:00Pesantren dan Pola Pendisiplinan yang Humanis<p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b> </p><p><i>Bireuen, 15 Oktober 2022</i></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDDSS8E4UBasHU_Ur6E87PExNiLK0Z_jx9eGtr579LE-mH3VUmJxhIOvc0PUfQYpfNgenpSMMwtHsJaFJtF97uHbFNaNH21ddyO6RaODaE_yCqewKyXEka371PklLJeRuxD-XB4ANPt39guf0BfcFKHHF5qMt8ZIbaBDuyMgV9czqRUQ91je6hM846yw/s1080/FB_IMG_1666435985155.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="603" data-original-width="1080" height="224" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDDSS8E4UBasHU_Ur6E87PExNiLK0Z_jx9eGtr579LE-mH3VUmJxhIOvc0PUfQYpfNgenpSMMwtHsJaFJtF97uHbFNaNH21ddyO6RaODaE_yCqewKyXEka371PklLJeRuxD-XB4ANPt39guf0BfcFKHHF5qMt8ZIbaBDuyMgV9czqRUQ91je6hM846yw/w400-h224/FB_IMG_1666435985155.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><b>Majalah Santunan, 1980</b></td></tr></tbody></table><p>Di tengah kegaduhan kasus Ferdy Sambo yang belum selesai dan kenaikan harga BBM yang mengejutkan, beberapa waktu lalu publik kembali dibuat heboh dengan meninggalnya seorang santri di salah satu pesantren ternama di Indonesia. Seperti dikabarkan media, seorang santri yang diduga mengalami penganiayaan dari teman-temannya meninggal dunia di Pondok Pesantren Gontor. Informasi awal menyebut pihak pesantren sempat berupaya menutupi kasus penganiayaan ini dengan pernyataan bahwa santri tersebut meninggal karena sakit.</p><p>Menyikapi kasus tersebut, kabarnya Kementerian Agama akan menyusun regulasi guna mengantisipasi berbagai bentuk kekerasan di lembaga pendidikan agama, termasuk pesantren. Sikap responsif dari Kementerian Agama ini tentunya patut diapresiasi sebagai salah satu upaya preventif agar kasus-kasus serupa tidak terulang di masa depan.</p><p>Aksi kekerasan di pesantren bukanlah fenomena baru dan telah berulang kali terjadi. Beberapa hari sebelumnya, seorang santri di Pesantren Darul Qur’an juga meninggal dunia setelah mendapat penganiayaan dari santri senior. Aksi-aksi ini terus terulang dari tahun ke tahun tanpa adanya upaya konkret dari pemangku kebijakan. Bahkan ada sebagian kalangan yang menganggap kekerasan di pesantren hanyalah bagian dari kenakalan remaja biasa. Persepsi seperti ini tentu keliru karena menegasikan prinsip-prinsip pendidikan humanis yang seharusnya dimiliki pesantren.</p><p><b>Akar Kekerasan di Pesantren</b></p><p>Kasus kekerasan fisik dan bullying di pesantren telah menjadi fenomena gunung es yang sekilas tampak sederhana, tapi hakikatnya mengandung bara yang kapan-kapan bisa meledak. Selama ini hanya beberapa kasus yang muncul ke permukaan dan berhasil terekspose media, sementara sejumlah kasus lainnya mungkin masih mengendap dan menunggu waktu untuk meledak.</p><p>Lantas apa yang melatari kekerasan di pesantren? Secara objektif tentunya pertanyaan ini sulit dijawab, namun demikian, pola pendisiplinan di sebagian pesantren yang masih menggunakan pendekatan kekerasan dapat dicurigai sebagai salah satu faktor yang membentuk “tradisi” kekerasan dan bullying di pesantren. Pola pendisiplinan dengan pendekatan kekerasan ini di antaranya terungkap dalam penelitian yang dilakukan Zulfa (2020). Dalam penelitian itu dikemukakan beberapa contoh pola pendisiplinan yang terkesan kurang humanis, di antaranya: hukuman penggundulan rambut, lari mengelilingi lapangan, mencambuk dengan rotan dan menjewer telinga. Bahkan di salah satu pesantren di Jombang ditemukan praktik hukuman cambuk sebanyak 35 kali kepada tiga orang santri yang ditutup matanya dan diikat pada sebuah pohon. Pola hukuman dan pendisiplinan semacam ini bukan saja tidak humanis, tapi juga berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).</p><p>Selain pola pendisiplinan melalui kekerasan, faktor lainnya yang patut diduga turut melatari aksi kekerasan di pesantren adalah relasi yang timpang antara senior-junior. Dalam konteks ini, santri senior kerap memosisikan diri sebagai superior yang memandang santri junior sebagai sosok inferior sehingga berdampak pada tindakan subordinasi. Ironisnya sebagian pesantren tampak membiarkan kondisi ini sehingga aksi bullying dan kekerasan dari santri senior kepada junior seperti mendapat legitimasi. </p><p>Secara psikologis, pola pendisiplinan melalui pendekatan kekerasan dalam bentuk punishment yang tidak humanis dan adanya disparitas senior-junior ini akan berdampak pada munculnya ketimpangan perilaku pada santri. Dari sinilah kemudian potensi kekerasan itu muncul dan berkembang di pesantren. Pengulangan kekerasan yang dialami di pesantren, baik melalui punishment dan juga bullying dari senior akan membentuk pribadi-pribadi yang keras di kemudian hari. Bisa jadi hari ini mereka menjadi korban kekerasan dan di lain waktu justru menjadi pelaku kekerasan.</p><p>Menyikapi kondisi tersebut, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama tampak kurang memiliki legitimasi untuk melakukan intervensi, sebab pesantren kerap memosisikan diri sebagai lembaga otonom yang berhak mengatur dirinya sendiri. Selain itu, sifat ekslusif yang dimiliki sebagian pesantren juga menjadi problem tersendiri di mana tidak semua pelanggaran dan kekerasan di pesantren dapat diketahui publik. Sifat tertutup ini memberi peluang bagi mengendapnya kasus-kasus tersebut dan baru terkuak ketika viral.</p><p><b>Menuju Pesantren Humanis</b></p><p>Menyimak berbagai problem yang muncul di pesantren akhir-akhir ini, sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama bersikap tegas dengan melahirkan regulasi yang secara khusus mengatur tentang pola pendidikan di pesantren. Regulasi ini nantinya bisa menjadi alat “pemaksa” dalam rangka menciptakan pesantren-pesantren yang humanis di masa depan sehingga berbagai bentuk aksi kekerasan tidak lagi tumbuh dan berkembang di pesantren. Ini penting agar muruah pesantren tidak tercoreng oleh sikap anarkis dan juga perilaku destruktif.</p><p>Namun demikian, hendaknya regulasi yang memuat konsep pendidikan humanis tersebut tidak dimaksudkan untuk menghilangkan otonomi pesantren, tapi hanya sebagai rambu-rambu agar kepercayaan publik terhadap pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan alternatif dapat tetap terjaga. Dalam konteks yang lebih luas, konsep pendidikan humanis ini juga diharapkan bisa menyelamatkan pesantren dari tudingan miring sebagian pihak yang kerap mengaitkan pesantren dengan radikalisme dan terorisme.</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada Medan</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgURkKOwhP3vx5EQiDAFCNpmiBAWwIKMh3XJmMPkiIegSAepUvZo3z2LeQmXi2scpiy5vlqHG5ELg-F0A22MpmGuccaR5LsymcClZDeoljYtiLhMXT14dSiD6bQUOQMSdkhvYRvu5HpDFZvrSAX2LTaNaHKl3C_24L7aeh8CdoIjzwgNqVdmKltQkFl0A/s1211/camera720_20221022_144513.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1211" data-original-width="1079" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgURkKOwhP3vx5EQiDAFCNpmiBAWwIKMh3XJmMPkiIegSAepUvZo3z2LeQmXi2scpiy5vlqHG5ELg-F0A22MpmGuccaR5LsymcClZDeoljYtiLhMXT14dSiD6bQUOQMSdkhvYRvu5HpDFZvrSAX2LTaNaHKl3C_24L7aeh8CdoIjzwgNqVdmKltQkFl0A/w356-h400/camera720_20221022_144513.jpg" width="356" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-1431733846526609542022-10-22T03:37:00.004-07:002022-10-22T03:37:55.407-07:00Kontestasi Otoritas Agama di Indonesia<p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b> </p><p><i>Bireuen, 1 Oktober 2022</i></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_Sy5CyTwR5tssmUeI6FJ7CdkCgKopw9bopv9Z0FsqPPoRsmnCOahS-L8cIT-fuM43UsWApn4N8SKBB4RORdQugXl_ETO0PENLo1IvWIbDxc4lF6o2Sa4JjMB_b1iFxgPqZ0ftX3IzajUxG3B11ZUAJvxbkqAT5rTejESKhKx8Z5TWlo4CECGsKgv7KQ/s400/8656-authority.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="256" data-original-width="400" height="256" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_Sy5CyTwR5tssmUeI6FJ7CdkCgKopw9bopv9Z0FsqPPoRsmnCOahS-L8cIT-fuM43UsWApn4N8SKBB4RORdQugXl_ETO0PENLo1IvWIbDxc4lF6o2Sa4JjMB_b1iFxgPqZ0ftX3IzajUxG3B11ZUAJvxbkqAT5rTejESKhKx8Z5TWlo4CECGsKgv7KQ/w400-h256/8656-authority.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><b>Creation Ministries</b></td></tr></tbody></table><p>Beberapa waktu lalu ini Konser Langit Hanan Attaki ditolak di sejumlah kabupaten di Jawa Timur (Jatim). Penolakan itu terjadi di Gresik, Jember, Situbondo, Semenep dan Sidoarjo. PWNU Jatim menyebut penolakan itu sebagai fenomena wajar. Di antara argumen yang diajukan adalah metode dakwah Hanan Attaki yang dianggap tidak sesuai dengan kultur Jatim dan juga keterkaitannya dengan organisasi terlarang, HTI. Namun sejauh mana kebenaran klaim ini, tidak ditemukan penjelasan yang memadai.</p><p>Sebelumnya nasib serupa juga dialami Khalid Basalamah. Dia sempat mengalami penolakan dari beberapa ormas di Kota Palu karena diindikasikan sebagai penceramah Wahabi. Selain itu, ceramah Basalamah yang sudah diagendakan di IPDN juga dibatalkan setelah mendapat sorotan dari pengguna media sosial. Alasannya paham yang berbau kekerasan tidak dibolehkan di lingkungan IPDN. Dalam konteks ini, secara tidak langsung Basalamah diidentifikasi sebagai penganjur paham kekerasan, meskipun secara faktual tidak ditemukan bukti-bukti yang menguatkan argumen tersebut.</p><p>Sementara itu, di Aceh, meskipun telah dinobatkan sebagai “Provinsi Syariat” dengan adanya formalisasi syariat Islam yang melahirkan sejumlah qanun, aksi penolakan semisal ini juga lumayan marak. Bahkan secara kuantitatif kasus-kasus ini lebih banyak terjadi di Aceh dalam beberapa tahun terakhir. Tidak hanya penolakan sosok tertentu, lebih jauh penolakan ini bahkan pernah melahirkan gerakan sosial yang mencapai puncaknya pada 2015 dengan digelarnya Parade Aswaja di Masjid Raya Baiturrahman. Aksi ini kemudian telah berdampak pada pelarangan pembangunan masjid Muhammadiyah di Kabupaten Bireuen.</p><p>Perseteruan yang tak kalah uniknya juga terjadi antara barisan Aswaja berhadapan dengan Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf (MPTT). Dalam faktanya kontestasi ini telah menyebabkan munculnya tindakan-tindakan destruktif dari salah satu pihak. Bahkan pada 2020 lalu Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Selatan sempat mengeluarkan rekomendasi yang berisi penolakan terhadap ajaran MPTT. Meskipun kemudian peneliti MUI Pusat menyebut ajaran MPTT tidak menyimpang dari Islam, namun secara senyap kontestasi itu masih tetap berlangsung.</p><p><b>Kontestasi Otoritas</b></p><p>Dalam konteks sosiologis, aksi-aksi di atas secara umum dilatari oleh adanya kontestasi otoritas keagamaan antarkelompok, yaitu tentang siapa yang paling berhak menafsirkan teks-teks agama. Di sini masing-masing pihak merasa berhak mengklaim diri dan kelompoknya sebagai representasi dari Islam dan menegasikan eksistensi kelompok lain dengan menggunakan dalil-dalil teologis sehingga memunculkan label sesat, bid’ah, takfiri dan sebagainya. Melalui labeling inilah stigmatisasi terhadap kelompok yang berbeda terjadi.</p><p>Label sesat biasanya ditujukan kepada kelompok-kelompok minoritas yang memiliki pemikiran teologis berbeda dengan kelompok maenstream. Label bid’ah kerap diasosiasikan dengan praktik ritual yang argumentasi teologisnya tidak didasarkan pada teks-teks agama. Sementara label takfiri sering dikaitkan dengan gerakan politik tertentu yang mengusung ide Islamisme berbasis khilafah. Dalam kondisi inilah munculnya fragmentasi otoritas – di mana masing-masing pihak mengklaim kelompoknya sebagai paling otoritatif. Benturan klaim-klaim inilah yang kemudian membuka ruang terjadinya kontestasi otoritas keagamaan di ruang publik.</p><p>Secara historis pertentangan antarkelompok keagamaan dalam Islam bukanlah hal baru. Konflik sektarian semacam ini telah dimulai di masa-masa awal perkembangan Islam yang ditandai dengan kemunculan sekte Khawarij, Syi’ah, Murji’ah dan Mu’tazilah. Sejarah telah mencatat peristiwa ini dengan cukup baik, khususnya di era Abbasiyah – yang kala itu memosisikan paham Mu’tazilah sebagai ideologi resmi negara sehingga paham-paham lain termarjinalkan secara politis. Saat itu tokoh-tokoh agama yang menolak doktrin “Al-Qur’an makhluk” yang diajarkan Mu’tazilah mengalami diskriminasi dan dihukum.</p><p>Di masa selanjutnya, dampak dari kontestasi otoritas agama juga dialami seorang tokoh Sufi bernama Al-Hallaj yang diyakini mengajarkan konsep hulul (Tuhan menitis kepada makhluk). Karena pahamnya dianggap sesat dan bertentangan dengan paham keagamaan yang diyakini penguasa akhirnya Al-Hallaj dihukum mati. Kisah Al-Hallaj ini kemudian menjadi legenda paling populer dalam perkembangan Sufisme di dunia Islam. </p><p>Fenomena serupa terjadi di era Kesultanan Aceh dengan munculnya benturan antara pengikut Wujudiah Hamzah Fansuri dan kelompok fuqaha yang dipimpin Nuruddin Ar-Raniry. Konflik ini berdampak pada terganggunya stabilitas negara dan munculya aksi diskriminasi terhadap pengikut Hamzah Fansuri di Aceh. Tragisnya lagi kitab-kitab yang ditulis Hamzah Fansuri dibakar di Masjid Raya Baiturrahman. Konflik baru mereda setelah Abdurrauf As-Singkili menjadi mufti Kesultanan Aceh.</p><p>Di tanah Jawa wujud kontestasi otoritas di masa lalu salah satunya terekam dalam cerita turun-temurun terkait sosok Syekh Siti Jenar yang disebut-sebut menganut paham Manunggaling Kawula Gusti (bersatunya makhluk dengan Tuhan). Ajaran ini mendapat penolakan dari Wali Songo yang dianggap sebagai representasi ajaran ortodoks (maenstream). Penolakan ini dilatari oleh adanya perbedaan penafsiran keagamaan antara Syekh Siti Jenar dan Wali Songo.</p><p>Ketika arus modernisasi masuk ke Indonesia, kontestasi ini kembali meletup melalui pertentangan antara kubu tradisionalis yang berhadapan dengan kubu modernis. Pertentangan ini tidak hanya terbatas pada penolakan terhadap gagasan-gagasan pembaruan, tapi juga melahirkan diskursus teologis yang berkepanjangan. Bahkan Ahmad Dahlan yang saat itu memelopori organisasi Muhammadiyah sempat dituding sebagai kiai kafir karena pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pandangan tradisionalis.</p><p>Fenomena yang tak kalah menarik juga terjadi ketika Nurcholis Madjid (Cak Nur) mengemukakan gagasannya tentang sekularisasi dan modernisasi. Saat itu arus penolakan terhadap pemikiran-pemikiran kontemporer yang dikembangkan Cak Nur terbilang cukup masif. Penolakan pemikiran Cak Nur tidak hanya datang dari tradisionalis, tapi juga dari tokoh modernis semisal H. M. Rasyidi yang secara khusus menulis “Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisasi.” Namun demikian, berbeda dengan kontestasi sebelumnya, kontestasi disebut terakhir masih bisa dimaklumi karena berada dalam ruang diskursus dan tidak berdampak pada munculnya tindakan-tindakan destruktif. </p><p><b>Kedewasaan Beragama</b></p><p>Kontestasi antarpemikiran keagamaan tentunya tidak bisa dihindari, sebab ia adalah keniscayaan. Namun hendaknya kontestasi dimaksud bisa berlangsung dengan elegan. Agar kontestasi otoritas keagamaan tidak berdampak pada tindakan-tindakan destruktif yang bisa merusak peradaban, semua pihak tentu harus berlapang dada dengan perbedaan-perbedaan yang ada. Biarlah perbedaan-perbedaan itu berada dalam ruang diskursus dan tidak menyeruak dalam tindakan-tindakan diskriminasi seperti penolakan penceramah atau pun tindakan anarkis semisal pembubaran pengajian dan pelarangan pembangunan masjid. Dalam konteks ini dibutuhkan kedewasaan dalam beragama dari semua pihak agar stabilitas kehidupan sosio-religi tetap terjaga sehingga kita bisa tetap bersatu dalam bingkai kebhinekaan.</p><p>Selain itu, pemerintah selaku otoritas politik juga mesti menjalankan fungsinya secara profesional dan proporsional agar kontestasi otoritas keagamaan tidak berjalan liar sehingga merusak keutuhan negara. Dalam hal ini pemerintah juga mesti menjamin kebebasan beragama semua pihak sehingga tidak ada lagi warga negara yang terdiskriminasi.</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Serambi Indonesia</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgR9r9iCuvbyGwfn1TxaNeCJHsltwSCjg4fU_32xdhk_PWCWl33Rdj-bJxrVYFMl582swAjZaOUaaJsxWshb4MhAp22h2feJHZnaVGCegmGAqBJVoDqhrAwXrYTw_qHBlzhyOZHKoNcGmYYBb2n1ibCpZCQgpwotb6YguVcbwAegw2dyb5GSVdoNPUzuw/s1457/camera720_20221013_110227.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1457" data-original-width="1076" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgR9r9iCuvbyGwfn1TxaNeCJHsltwSCjg4fU_32xdhk_PWCWl33Rdj-bJxrVYFMl582swAjZaOUaaJsxWshb4MhAp22h2feJHZnaVGCegmGAqBJVoDqhrAwXrYTw_qHBlzhyOZHKoNcGmYYBb2n1ibCpZCQgpwotb6YguVcbwAegw2dyb5GSVdoNPUzuw/w295-h400/camera720_20221013_110227.jpg" width="295" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-56280317632504929812022-10-01T07:29:00.000-07:002022-10-01T07:29:07.254-07:00Syariat Islam Aceh Ditinjau dari Berbagai Aspeknya<p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b> </p><p><i>Bireuen, 24 September 2022</i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhA7N78m0wrIalZnNB_iyr_5Fv4ywh0VMsVppi70DdY8SA4059IyqbQMuLu0fITr25KORvPhk-KGDnUHGzveJIYZzuzYlyf6syjN4fOKMcXcAuHtxbouHvjGfZ_KiI9qrdVuQHwuebEBuwqab0u6gqBFZ9LjI1CQnJZgDLN7qDS_jmxROgeEvLVvFZAcQ/s4096/IMG20220918112123.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="4096" data-original-width="2304" height="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhA7N78m0wrIalZnNB_iyr_5Fv4ywh0VMsVppi70DdY8SA4059IyqbQMuLu0fITr25KORvPhk-KGDnUHGzveJIYZzuzYlyf6syjN4fOKMcXcAuHtxbouHvjGfZ_KiI9qrdVuQHwuebEBuwqab0u6gqBFZ9LjI1CQnJZgDLN7qDS_jmxROgeEvLVvFZAcQ/w360-h640/IMG20220918112123.jpg" width="360" /></a></div><br /><p>Sepintas tajuk tulisan ini mungkin mengingatkan kita pada buku “fenomenal” yang pernah ditulis Harun Nasution, seorang filsuf dan pemikir Muslim kontemporer di Indonesia. Meskipun ringkas dan padat, namun buku tersebut memberikan gambaran yang cukup jelas tentang bagaimana Islam itu dipahami. Di hadapan para intelektual buku itu mungkin terbilang “receh” sebab kajiannya tidak mendalam, tapi bagi mahasiswa dan masyarakat awam buku itu memberi peta jalan untuk memahami Islam secara holistik.</p><p>Nah, berdasarkan berdasarkan argumentasi itulah tulisan ini diberi tajuk demikian. Artinya, formalisasi Syariat Islam di Aceh juga tidak bisa dilihat secara parsial alias sepotong-sepotong, tapi harus dikaji secara komprehensif agar tidak melahirkan konklusi yang delusif semisal pernyataan “Implementasi Syariat Islam Gagal” sebagaimana dikampanyekan Prof. Mujiburrahman atawa “Syariat Islam belum Gagal” seperti difatwakan Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan. Dalam analisis semantik kedua pernyataan ini jelas-jelas membingungkan publik sebab bias makna, namun jika dicermati lebih jauh kedua pernyataan itu justru benar dalam konteksnya masing-masing.</p><p>Dalam pernyataannya yang dirilis media Prof. Mujib menyebut implementasi syariat Islam gagal. Penggunaan istilah implementasi inilah yang menghadirkan kebingungan. Padahal yang dimaksud dengan implementasi oleh Mujib adalah ketimpangan kronologis dalam penerapan syariat Islam di Aceh, di mana punishment lebih didahulukan daripada edukasi. Di sinilah titik kritik yang dilontarkan Mujib yang kemudian disalahpahami oleh Hasanuddin Yusuf Adan. Padahal jika dicermati dengan saksama apa yang disampaikan Mujib memang benar secara faktual di mana dalam konteks penerapan syariat Islam di Aceh gaung pecut cemeti lebih dominan dibanding edukasi publik.</p><p>Adapun bantahan Hasanuddin Yusuf Adan dalam opininya juga benar dalam konteksnya sendiri – bahwa implementasi Syariat Islam di Aceh memang belum gagal sebab secara faktual eksekusi demi eksekusi sudah, sedang dan akan terus berlangsung secara terbuka di hadapan publik. Dalam konteks ini argumentasi yang disampaikan Adan memang selaras dengan fenomena yang hampir saban hari kita saksikan dan bahkan dilaporkan media – tentang banyaknya punggung-punggung yang dicambuk.</p><p>Nah, untuk menghindari perdebatan-perdebatan yang tidak perlu dan agar kita mendapatkan potret utuh terkait formalisasi Syariat Islam di Aceh selama hampir 20 tahun, maka dibutuhkan kajian tentang dampak dari implementasi tersebut dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek pendidikan, politik, ekonomi dan sosio-religi.</p><p><b>Aspek Pendidikan</b></p><p>Dalam aspek ini, kita mesti sepakat dengan pernyataan yang disampaikan Mujib bahwa penghukuman terhadap pelanggar syariat Islam di Aceh masih tampak didahulukan dari edukasi. Dalam konteks ini, ramai pelanggar-pelanggar syariat yang dicambuk di muka umum belum memahami secara utuh tentang konsep syariat yang dijalankan di Aceh. Butir-butir pasal dalam qanun-qanun syariat yang telah disahkan sama sekali tidak pernah sampai kepada mereka dan hanya diketahui oleh penyelenggaran syariat itu sendiri, sementara publik masih terkurung dalam keawaman yang parah karena minimnya sosialisasi.</p><p>Menyikapi hal ini penyelenggara syariat mesti melakukan refocusing strategi implementasi syariat Islam yang terpusat pada edukasi publik dan tidak lagi terjebak dalam nafsu punishment, sebab keberhasilan formalisasi syariat Islam tidak bisa dilihat dari kuantitas eksekusi, tapi dari kualitas pemahaman publik terhadap konsep syariat yang sedang dijalankan. Dan kualitas pemahaman ini hanya akan muncul melalui edukasi yang intens. Kualitas pemahaman publik ini nantinya akan berdampak pada menurunnya angka jarimah (kejahatan) sehingga eksekusi pun akan berkurang. Dalam kondisi inilah keberhasilan implementasi syariat Islam itu dapat diukur. Semakin banyak pelanggaran maka implementasinya semakin gagal. Sebaliknya, semakin sedikit punggung yang dicambuk maka formalisasi tersebut semakin berhasil.</p><p><b>Aspek Politik</b></p><p>Secara faktual implementasi syariat Islam di Aceh dalam dua puluh tahun terakhir baru menyentuh tepi-tepi syariat dan belum masuk ke substansi. Ada banyak sekali aspek yang belum tersentuh syariat, salah satunya dalam ruang politik. Hingga saat ini ruang politik di Aceh masih sangat “sekular” dan bahkan “liberal.” Kondisi ini salah satunya disebabkan oleh adanya kekosongan hukum karena ketiadaan qanun yang berbicara terkait topik ini.</p><p>Akibat dari kondisi ini frasa “melanggar syariat” hampir-hampir tidak ditemukan di ruang politik sehingga politik teror, politik uang, politisasi agama dan penipuan publik melalui “aksi prank” alias janji bohong masih terus saja berlangsung dengan aman sentosa. Pelaku-pelakunya bisa berlenggak-lenggok tanpa harus khawatir punggungnya terkena cemeti. Jika kondisi ini terus berlarut-larut maka frasa “syariat gagal” akan terus abadi, sebab gubernur, bupati, walikota dan parlemen yang terpilih dalam proses yang “tidak sesuai syariat” tidak mungkin bisa melahirkan regulasi yang pro syariat.</p><p><b>Aspek Ekonomi</b></p><p>Benar bahwa di Aceh telah berlaku Qanun Lembaga Keuangan Syariah, tapi apakah perekonomian masyarakat Aceh selama dua puluh terakhir ini sudah membaik? Apakah implementasi syariat Islam di Aceh memberi ruang bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat? Jika menyimak berbagai fenomena yang terjadi, maka pertanyaan serupa ini menjadi sulit dijawab, sebab implementasi yang salah kaprah justru bisa mematikan potensi perekonomian masyarakat.</p><p>Aksi penutupan dan pembatasan beberapa tempat wisata, khususnya wilayah pantai dengan dalih syariat Islam dalam faktanya justru merugikan warga sekitar yang mencari penghidupan di sana. Di sini muncul kesan bahwa tempat wisata identik dengan pelanggaran syariat. Meskipun aksi penutupan ini bukan dilakukan oleh pemerintah, tapi pemerintah seharusnya mampu menawarkan konsep strategis agar kebutuhan publik akan wisata bisa terpenuhi dan dalam waktu bersamaan ekonomi masyarakat bisa tumbuh tanpa adanya pelanggaran syariat di sana. Dengan demikian formalisasi syariat Islam tidak tidak hanya sukses dalam menghukum tapi juga sukses dalam memberdayakan.</p><p><b>Aspek Sosio-Religi</b></p><p>Dengan adanya formalisasi syariat Islam seharusnya ketertiban dan stabilitas sosial dapat semakin tumbuh. Namun faktanya kericuhan, diskriminasi, dominasi dan pertentangan antar kelompok agama dalam ruang sosio-religi di Aceh masih saja terjadi. Dalam konteks ini Pemerintah Aceh sendiri sering melakukan blunder. Salah satunya adalah Surat Edaran yang mengatur pengajian di Aceh mesti merujuk pada satu mazhab tertentu. Demikian pula dengan pemerintah Kabupaten Bireuen yang tampak menjustifikasi aksi pelarangan pembangunan masjid Muhammadiyah di Samalanga.</p><p>Kebijakan-kebijakan absurd ini tentunya akan berdampak pada tercorengnya wibawa formalisasi syariat Islam di Aceh, di mana syariat terkesan tidak mampu melindungi keragaman yang ada. Dalam konteks ini pemerintah dan penyelenggara syariat telah benar-benar gagal menciptakan kehidupan sosio-religi yang toleran, humanis dan harmonis.</p><p>Nah, berkiblat pada fakta-fakta itu, kesimpulan Rektor UIN Ar-Raniry yang menyebut syariat Islam di Aceh gagal sepertinya benar-benar masuk gawang. Dengan demikian, evaluasi terhadap formalisasi syariat Islam di Aceh adalah agenda mendesak yang mesti mendapat perhatian dari Penjabat Gubernur Aceh.</p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-12997191081024867742022-09-26T06:38:00.004-07:002022-09-26T06:38:59.966-07:00Kunjungan CMI dan Masa Depan Aceh<p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b> </p><p><i>Bireuen, 21 September 2022</i></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgux6gz9COsM6cqoyXmYyWoncfWOSsn2ejzQiWZpE53lX5xX1ZfjdgRObQlSrqbHnnJyJl_JHlcPTOI_jcN1onr84CdTOdb3ubUHPS3lasoY3xCDDnLe8fDBqnbU8EJeTZRtMrG4BrOeUWB2E0fMy3qZj2-PIx-rPlY4KMnSH3LjbEUh3D8mfSuCGuVA/s1600/cmi1-1-e1585921089126.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1067" data-original-width="1600" height="266" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjgux6gz9COsM6cqoyXmYyWoncfWOSsn2ejzQiWZpE53lX5xX1ZfjdgRObQlSrqbHnnJyJl_JHlcPTOI_jcN1onr84CdTOdb3ubUHPS3lasoY3xCDDnLe8fDBqnbU8EJeTZRtMrG4BrOeUWB2E0fMy3qZj2-PIx-rPlY4KMnSH3LjbEUh3D8mfSuCGuVA/w400-h266/cmi1-1-e1585921089126.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Foto: CMI</td></tr></tbody></table><br /><p>Tim <i>Crisis Management Initiative (CMI) Martti Ahtisaari Peace Foundation</i> Helsinki sebagaimana dilansir Serambi Indonesia (19/9/22) kembali berkunjung ke Aceh guna melihat langsung perkembangan Aceh pasca 17 tahun damai. Kedatangan tim ini disambut oleh Wali Nanggroe, Malik Mahmud Al Haytar. Mereka mengadakan pertemuan khusus dalam rangka membahas berbagai persoalan terkait Aceh. Pertemuan itu juga dihadiri Kapolda Aceh, Ahmad Haydar dan juga perwakilan Kodam Iskandar Muda, Aulia Fahmi Dalimunthe.</p><p>Dalam pertemuan itu, perwakilan CMI, General Jaako menyampaikan bahwa ada beberapa kasus terkait perdamaian Aceh yang belum terselesaikan dengan baik. Dia juga meyakini ekonomi Aceh akan sangat baik untuk generasi muda. Jaako juga menegaskan bahwa hasil pertemuan tersebut nantinya akan dicatat dalam laporan CMI. Sementara Wali Nanggroe dalam kesempatan itu mengaku telah menyampaikan beberapa butir MoU Helsinky yang belum terealisasikan kepada pihak CMI.</p><p>Hingga saat ini masih ada sejumlah poin MoU Helsinky yang belum direalisasikan karena terkendala dengan kebijakan Pemerintah Pusat, di antaranya soal perbatasan Aceh dengan Sumatera Utara, penggunaan simbol-simbol wilayah semisal bendera dan pengadilan terhadap kejahatan oknum militer. Selain itu, upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang melibatkan aparat negara di masa lalu juga belum dilakukan, khususnya terkait peristiwa Daerah Operasi Militer (DOM) dan juga tragedi Bumi Flora, Simpang KKA dan tragedi Rumoh Geudong. Dalam konteks penyelesaian kasus-kasus tersebut hingga saat ini Pemerintah Pusat masih terkesan kurang menaruh perhatian.</p><p><b>Koreksi Internal</b></p><p>Terjadinya stagnasi dalam beberapa persoalan semisal realisasi MoU Helsinky yang belum optimal dan juga macetnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh seperti disebut di atas secara politis disebabkan oleh adanya potensi “keengganan” dari pihak eksternal, dalam hal ini Pemerintah Pusat. Dalam konteks ini, peran-peran CMI tentu sangat dibutuhkan agar persoalan tersebut bisa diselesaikan melalui negosiasi dengan Pemerintah Pusat.</p><p>Namun di sebalik itu, diskursus tentang perdamaian Aceh tentunya tidak hanya berkutat pada poin-poin MoU Helsinky yang belum terealisasi dan juga kasus-kasus pelanggaran HAM, tapi juga tentang bagaimana pertumbuhan Aceh pasca konflik. Artinya, kita jangan asyik dan terlena mempersoalkan kebijakan pusat yang selama ini kurang mengakomodir kepentingan Aceh sesuai MoU Helsinky, tapi kita juga mesti melihat ke dalam, tentang bagaimana Pemerintah Aceh memperlakukan Aceh pasca konflik. Koreksi internal ini penting agar semua persoalan Aceh dapat terselesaikan dengan baik dan bermartabat tanpa melulu menyalahkan Pemerintah Pusat.</p><p>Pasca konflik, Aceh telah mengalami tiga kali pergantian kepemimpinan politik mulai dari 2007 sampai dengan 2022 yang telah menempatkan putra-putra terbaik Aceh sebagai pucuk pimpinan. Tidak hanya kursi eksekutif, panggung parlemen juga sempat beberapa kali didominasi dan dikuasai oleh partai lokal yang notabene diisi kader-kader terbaik dari “elemen perjuangan.” Dalam konteks ini, cita-cita “merdeka” yang sempat didengungkan selama hampir tiga puluh tahun semestinya telah “terwujud” dalam tiga periode kepemimpinan politik yang dikomandoi oleh orang-orang Aceh sendiri. Dengan kata lain, tiga periode kepemimpinan politik pasca konflik dapat dipandang sebagai “miniatur merdeka” yang mempertontonkan kepada kita semua tentang bagaimana orang Aceh mengurus Aceh.</p><p>Keberadaan Dana Otsus bagi Aceh dengan nilai fantastis yang belum mampu memberi dampak signifikan bagi perubahan taraf hidup masyarakat adalah contoh konkret tentang bagaimana Aceh ini diurus oleh “orang kita” sendiri. Kesejahteraan yang diharapkan masyarakat Aceh pasca konflik melalui instrumen Dana Otsus ini sama sekali masih jauh panggang dari api. Pada September 2021 jumlah penduduk miskin di Aceh mencapai 850.260 orang (BPS) yang kemudian sukses memosisikan Aceh sebagai “juara” satu termiskin di Sumatera dan juga “juara” lima di level nasional. Di sini terlihat jelas bahwa Dana Otsus hampir-hampir tidak berkutik dalam mengentaskan kemiskinan di Aceh. Meskipun ada klaim bahwa Dana Otsus telah berhasil menurunkan angka kemiskinan, namun secara faktual alokasi Dana Otsus dalam rentang waktu 2008-2021 yang mencapai Rp. 92 triliun tentu tidak kompatibel jika hendak disandingkan dengan persentase kemiskinan saat ini.</p><p>Selain itu, program Aceh Carong yang sempat didengungkan kembali di periode kedua kepemimpinan Irwandi Yusuf yang kemudian dilanjutkan Nova Iriansyah juga terkesan tidak memberi dampak yang signifikan bagi meningkatnya kualitas pendidikan Aceh. Hal ini misalnya terkuak dalam pernyataan Rektor Unsyiah pada Juni 2021 yang menyebut kualitas pendidikan Aceh yang menang dari Maluku dan kalah dari Papua. Mirisnya lagi, beasiswa yang diperuntukkan bagi mahasiswa Aceh sebagai salah satu medium pencerdasan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia juga diduga dikorup oleh tangan-tangan jahil di lingkar kekuasaan.</p><p>Demikian pula dalam soal toleransi. Meskipun pada 2020 Menteri Agama RI sempat menyebut Aceh sebagai contoh yang baik bagi toleransi dan kerukunan umat beragama, namun secara faktual, di beberapa tempat aksi-aksi intoleran ini masih dan bahkan akan terus terjadi. Sebut saja soal pelarangan pembangunan masjid Muhammadiyah di Kabupaten Bireuen yang sudah hampir lima tahun belum mampu diselesaikan oleh pemerintah. Parahnya lagi pelarangan ini seperti mendapat legitimasi dari Pemda setempat dengan berbagai dalih yang absurd.</p><p><b>Masa Depan Aceh</b></p><p>Menyimak beberapa problem yang belum terpecahkan tersebut, lantas bagaimana kita memaknai kunjungan CMI bagi kebaikan Aceh ke depan? Apakah eksistensi perdamaian di Aceh hanya akan terkurung dalam poin-poin MoU Helsinky yang belum terealisasi, atau pada penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang belum tuntas? Apakah interpretasi perdamaian hanya akan berhenti di sini; pada duka masa lalu dan “poin-poin manis” MoU tanpa kita berupaya membangun peradaban yang lebih baik bagi Aceh di masa depan?</p><p>Tanpa harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, kita berharap Penjabat Gubernur yang telah dilantik beberapa waktu lalu dapat segera melakukan langkah-langkah strategis guna menyelesaikan berbagai problem sosial yang kian menyemak agar bangunan perdamaian yang telah terbina selama 17 tahun tidak hanya sekadar menjadi periode “tanpa perang”. Dengan kata lain, perdamaian harus memiliki impak konkret dalam mengentaskan kemiskinan, mencerdaskan anak bangsa, memberantas korupsi dan menumbuhkan sikap toleran sehingga cita-cita <i>baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur</i> tidak hanya sekadar imajinasi.</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Serambi Indonesia</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIdDunfi4Wx6NLdycQoy9IBxjG_BL5YFa58jslKMOHpqi_TehpLTC4E4zA2thhnWo4YKGoFK53gNs2Ypxq49VTHbdKwbiy5eWk4G4pRzP7qXwSqOn1VXMySlir_FCtfgtcGdaQ8fbeshZuH00XCk0Cmx7T2ZPaeFEguVtDqtTqrgM62aqU2LbMgBpIAA/s1416/camera720_20220926_090406.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1416" data-original-width="1078" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIdDunfi4Wx6NLdycQoy9IBxjG_BL5YFa58jslKMOHpqi_TehpLTC4E4zA2thhnWo4YKGoFK53gNs2Ypxq49VTHbdKwbiy5eWk4G4pRzP7qXwSqOn1VXMySlir_FCtfgtcGdaQ8fbeshZuH00XCk0Cmx7T2ZPaeFEguVtDqtTqrgM62aqU2LbMgBpIAA/w305-h400/camera720_20220926_090406.jpg" width="305" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-54565751775219016322022-09-13T16:45:00.001-07:002022-09-13T16:45:10.453-07:00Melawan “Pemangsa” Dana Desa<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhEFBl7zzTV_wUyOb_R3r6k7YiMwlNirApM28vYudtedQZ9gj9aRpSx-kWPmI3ADjdUP9ko5XEuSw3XC0f2pHgVbzZid2jVh3vt0qV7IfGcEViu294zsC0AG-KyrEe-5HaNty5CVOp-SC7TRf0iBwkmiOUTQlo4bJLs-GSUjApc9s-MURH6wObCXPJbcQ/s2100/unwto-opens-call-for-best-tourism-villages.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="1181" data-original-width="2100" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhEFBl7zzTV_wUyOb_R3r6k7YiMwlNirApM28vYudtedQZ9gj9aRpSx-kWPmI3ADjdUP9ko5XEuSw3XC0f2pHgVbzZid2jVh3vt0qV7IfGcEViu294zsC0AG-KyrEe-5HaNty5CVOp-SC7TRf0iBwkmiOUTQlo4bJLs-GSUjApc9s-MURH6wObCXPJbcQ/w400-h225/unwto-opens-call-for-best-tourism-villages.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><b>Foto: UNWTO</b></td></tr></tbody></table><br /><p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b> </p><p><i>Bireuen, 8 September 2022</i></p><p>Sejauh ini keberadaan Dana Desa memang telah memberikan dampak yang lumayan signifikan dalam pembangunan desa seperti pembangunan jalan desa, irigasi, pasar desa, tambatan perahu, embung dan infrastruktur lainnya. Keberadaan BUMDes dan pengembangan objek wisata melalui Dana Desa juga telah membuka peluang bagi meningkatnya pendapatan desa dan perekonomian masyarakat. Selain itu, realisasi Dana Desa melalui kegiatan swakelola juga telah turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.</p><p>Namun demikian, buruknya tata kelola dan pengawasan di sebagian daerah telah pula memberi peluang kepada sebagian oknum untuk melakukan tindakan korupsi. Dalam konteks ini, Dana Desa telah menjadi objek yang sangat menggiurkan sehingga sangat mudah menjadi sasaran korupsi. Tindakan korupsi ini bisa melibatkan kalangan internal seperti aparatur desa dan juga kalangan eksternal seperti oknum pemerintah daerah dan oknum penegak hukum.</p><p>Salah satu penelitian menyebut korupsi Dana Desa mengalami peningkatan setiap tahun dengan rata-rata 61 kasus pertahun di mana selama 2015-2019 kerugian negara telah mencapai 1,28 Triliun. Korupsi Dana Desa ini sendiri akan berdampak pada langgengnya kemiskinan, hilangnya potensi ekonomi desa, hancurnya modal swadaya masyarakat dan terhambatnya demokratisasi partisipasi desa (Zakariya, 2020). </p><p><b>Korupsi Internal</b></p><p>Korupsi internal adalah korupsi yang dilakukan oleh aparatur itu sendiri, dalam hal ini kepala desa. Namun demikian harus diakui bahwa praktik korupsi yang melibatkan aparatur desa seperti kepala desa tidak selamanya dilandasi oleh keinginan jahat, tapi dalam banyak kasus justru disebabkan oleh ketidakpahaman mereka dalam tata kelola keuangan dan aturan hukum. Hal ini menyebabkan terjadinya kerentanan dalam pengelolaan dana sehingga terjebak dalam tindakan koruptif yang tidak disengaja. Kondisi ini antara lain disebabkan oleh kurangnya literasi aparatur desa tentang tata kelola Dana Desa yang baik dan akuntabel serta minimnya pengetahuan mereka terkait administrasi keuangan. Jika dicermati, hal ini tentu wajar belaka, sebab mayoritas kepala desa hanya lulusan SMA yang kualitas pengetahuannya tidak bisa disamakan dengan lulusan sarjana. Dalam hal ini dibutuhkan bimbingan dari pihak-pihak terkait agar tidak ada lagi kepala desa yang terjerat korupsi karena ketidaktahuan mereka.</p><p>Selain faktor ketidaktahuan, tak jarang pula kasus korupsi yang melibatkan kepala desa justru dilandasi oleh niat jahat dan keinginan untuk memperkaya diri atau pun memperkaya orang lain. Dalam hal ini secara sengaja mereka melakukan pelanggaran terhadap aturan dan regulasi keuangan yang telah diatur pemerintah untuk kepentingan pribadi. Indonesian Corruption Watch (dalam Zakariya, 2020) menyebut beberapa modus korupsi Dana Desa yang melibatkan kepala desa adalah penggelembungan anggaran, proyek fiktif, laporan fiktif, penggelapan dan penyalahgunaan anggaran.</p><p>Langgengnya praktik ini di antaranya disebabkan oleh tidak transparannya sebagian oknum aparatur desa dalam pengelolaan dana sehingga segala bentuk pelanggaran seperti markup tidak secara jelas diketahui masyarakat. Sikap apatis dari masyarakat juga memberi peluang tersendiri bagi suburnya praktik ini dengan munculnya anggapan bahwa pengelolaan dana desa bukan urusan mereka, tapi urusan aparatur desa.</p><p><b>Korupsi Eksternal</b></p><p>Korupsi eksternal adalah korupsi yang melibatkan pihak-pihak di luar pemerintahan desa seperti oknum kecamatan, dinas kabupaten atau bahkan oknum penegak hukum. Dalam hal ini tindakan korupsi tidak dilandasi oleh niat jahat atau pun keinginan aparatur desa, tapi disebabkan oleh adanya tekanan secara struktural dari pihak eksternal yang meminta setoran dengan jumlah tertentu atau pun “memaksa” agar program titipan mereka dimasukkan dalam APBDes. Di antara kasus yang sempat terekam media terjadi di Mandailing Natal. Saat itu oknum camat Natal memerintahkan kepada kepala desa agar memuat beberapa kegiatan dalam APBDes, namun ditolak oleh kepala desa sehingga oknum camat menolak menandatangani APBDes tersebut. Oknum camat juga meminta uang kepada kepala desa untuk pembelian barang yang kemudian terbukti fiktif. </p><p>Selain tekanan struktural secara langsung, potensi korupsi Dana Desa juga kerap terjadi melalui kegiatan Bimtek yang melibatkan aparatur desa dan oknum Muspida/ Muspika dan juga lembaga eksternal. Di antara kasus yang sempat mengemuka terjadi di Lampung Utara, di mana saat itu oknum dinas PMD diduga menerima fee dari kegiatan Bimtek yang bersumber dari Dana Desa. Kejadian serupa juga terjadi di Bireuen, Aceh – di mana ada sejumlah oknum yang kononnya “meminta jatah” melalui kegiatan Bimtek dan pelatihan. Uniknya lagi “pemangsaan” Dana Desa di Bireuen ini konon juga melibatkan oknum penegak hukum. </p><p>Dalam banyak kasus, berbagai bentuk tekanan struktural dari pihak eksternal ini berhasil membuat aparatur desa menjadi kecut dan akhirnya terjebak dalam korupsi yang tidak pernah mereka inginkan. Dari hasil wawancara yang penulis lakukan dengan beberapa kepala desa, mereka mengaku tidak berani menolak setiap “intervensi” yang datang dari luar apalagi yang melibatkan oknum penegak hukum. Ada ketakutan jika mereka tidak menampung permintaan-permintaan tersebut nantinya akan berdampak pada persoalan hukum karena pihak bersangkutan akan mencari-cari kesalahan kepala desa.</p><p><b>Menghalau Pemangsa</b></p><p>Agar Dana Desa bisa terserap secara efektif dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat serta tidak lagi menjadi “mangsa” para oknum, dibutuhkan langkah serius dari semua pihak, mulai dari Kemendes PDTT, Kemenkeu, Kemendagri, pemerintah daerah, penegak hukum dan aparatur desa itu sendiri. Dalam hal ini aparatur desa mesti dibekali dengan pengetahuan administratif, anggaran dan regulasi agar mereka tidak terjebak dalam korupsi internal, baik disengaja atau pun tidak. Demikian pula dengan korupsi yang melibatkan pihak eksternal juga mesti mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah dan juga aparat penegak hukum sehingga Pemerintah Desa benar-benar otonom dan bebas dari intervensi para “pemangsa.” Selain itu, keseriusan dan keberanian aparatur desa plus dukungan masyarakat luas juga menjadi faktor penting dalam menyelamatkan Dana Desa agar tidak terkuras dalam program-program titipan yang notabene tidak memberi dampak apa pun bagi kemandirian desa di masa depan.</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_YgHNwt0pN6FJjO9Bvq6fEjufOr6wwxIEULBjzGtHKP2ekAnNER7xpGpxv1kYt4clSLd4ji6qS8WVhEmLpVqBK36TrtdeV5pe_X-bZqOdptwNstuUKHBKjXMULdHI474-FovAPcGaoVhwRA8MwKvHhyNSD41GSHq0wVkfWmzvwyijgDTP-czNI5z7yg/s855/camera720_20220913_182150.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="806" data-original-width="855" height="378" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_YgHNwt0pN6FJjO9Bvq6fEjufOr6wwxIEULBjzGtHKP2ekAnNER7xpGpxv1kYt4clSLd4ji6qS8WVhEmLpVqBK36TrtdeV5pe_X-bZqOdptwNstuUKHBKjXMULdHI474-FovAPcGaoVhwRA8MwKvHhyNSD41GSHq0wVkfWmzvwyijgDTP-czNI5z7yg/w400-h378/camera720_20220913_182150.jpg" width="400" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-55040637938931721462022-08-30T16:00:00.000-07:002022-08-30T16:00:11.317-07:0017 Tahun Damai Aceh dan Nasionalisme yang Terus Tumbuh<p>Oleh: <b>Khairil Miswar </b></p><p><i>Bireuen, 26 Agustus 2022</i></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRYwwD1-R0rLP7wbEF6LmYTMPG4_spsKsMp7-TxEncflbtCS_gr7ClrCFXC2sUOkwgOCvStKaSFbhf2aBjL2HnMkaISSypaD6oovyNSbR80BgN7JnTNsdoPyV9CxBi5VPvGLaDCgOhobN10Bequ-vNrs1brQ2k4zKq-b-SHTHiNilM7D__tcv-VYnlAA/s560/1495788012961-gam_women_soldier_.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="560" data-original-width="559" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRYwwD1-R0rLP7wbEF6LmYTMPG4_spsKsMp7-TxEncflbtCS_gr7ClrCFXC2sUOkwgOCvStKaSFbhf2aBjL2HnMkaISSypaD6oovyNSbR80BgN7JnTNsdoPyV9CxBi5VPvGLaDCgOhobN10Bequ-vNrs1brQ2k4zKq-b-SHTHiNilM7D__tcv-VYnlAA/w399-h400/1495788012961-gam_women_soldier_.jpeg" width="399" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Sumber: Vice</td></tr></tbody></table><br /><p>15 Agustus 2005 adalah titik awal terbangunnya kembali nasionalisme Aceh yang sempat redup puluhan tahun silam sejak Hasan Tiro memproklamirkan GAM pada 1976. Selama hampir tiga dekade nasionalisme Aceh timbul tenggelam di tengah euforia etno-nasionalisme yang digagas Hasan Tiro. Kala itu, konflik bersenjata yang berkecamuk hebat di Aceh telah mengganggu stabilitas keamanan dan merusak sendi-sendi kehidupan sehingga Aceh pun terpuruk. Namun sejarah berubah setelah tragedi gempa tsunami menghantam Aceh pada Desember 2004. Kedua pihak (RI dan GAM) bersepakat untuk mengakhiri konflik di meja perundingan dengan melahirkan MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005, tepatnya 17 tahun lalu.</p><p>Salah satu konsekuensi ditandatanganinya MoU Helsinky adalah digelarnya Pilkada Gubernur pada 2006 yang kala itu dimenangkan Irwandi Yusuf-Muhammad Nazar yang mendapat dukungan dari mayoritas kombatan GAM. Saat itu pasangan ini bersaing ketat dengan pasangan Humam-Hasbi yang diusung Partai Persatuan Pembangunan. Perlawanan politik terhadap Humam-Hasbi yang digerakkan massa pendukung Irwandi kala itu sedikit banyaknya masih dilatari oleh rasa etno-nasionalisme, di mana pasangan Irwandi-Nazar diyakini sebagai representasi dari perjuangan rakyat Aceh, sementara Humam-Hasbi diasosiasikan sebagai “antek” Jakarta karena diusung oleh partai Nasional. Di sini nasionalisme Aceh pasca konflik masih mencari bentuk dan belum menemukan wujudnya.</p><p>Konsekuensi selanjutnya dari MoU Helsinki adalah terbentuknya partai-partai lokal di Aceh. Salah satunya adalah Partai Aceh (PA) yang dibentuk oleh mantan kombatan GAM yang pada 2009 memenangkan pemilu di Aceh. Ketika itu, Partai Aceh tidak hanya berkontestasi dengan partai nasional, tetapi juga dengan sesama partai lokal lainnya yang masih dilabel sebagai “antek-antek Jawa.” Dalam periode ini nasionalisme Aceh mulai tumbuh pelan melalui kader-kader partai lokal non PA dan partai nasional.</p><p>Dalam perjalanan selanjutnya, konsentrasi kombatan GAM mulai terpecah dengan lahirnya Partai Nasional Aceh (PNA) yang dibentuk Irwandi Yusuf dan pendukungnya. Saat itu dukungan politik mantan kombatan tidak lagi terpusat di PA tapi telah menyebar dalam partai lokal lainnya dan bahkan sejumlah kombatan juga mulai bergabung dengan partai nasional. Dalam periode ini gagasan nasionalisme Aceh kembali diperbincangkan dan dalam waktu bersamaan etno-nasionalisme yang dibangun GAM mulai memudar dan kehilangan panggung.</p><p>Waktu terus berjalan dan dominasi mantan kombatan GAM melalui Partai Aceh (PA) dan Partai Nasional Aceh (PNA) mulai terkikis dan buyar dari perhatian publik. Hal ini dibuktikan dengan semakin berkurangnya kursi parlemen yang diperoleh mantan kombatan dan juga tumbangnya sejumlah calon kepala daerah yang diusung kombatan GAM. Di sini nasionalisme Aceh pun semakin terbentuk.</p><p><b>Beberapa Problem</b></p><p>Meskipun perdamaian Aceh telah memasuki usia 17 tahun dan nasionalisme masyarakat Aceh mulai bersemi kembali, namun masih ada sejumlah problem yang belum terselesaikan dengan baik. Dalam konteks simbolik, permintaan mantan kombatan GAM dan sebagian publik terkait bendera Aceh yang telah disepakati dalam MoU Helsinki hingga saat ini belum juga menemukan titik temu. Qanun terkait bendera Aceh yang disahkan DPR Aceh pada 2013 justru dibatalkan secara sepihak oleh Mendagri pada 2016.</p><p>Walaupun keberadaan bendera Aceh tidak memberi dampak apa pun dalam menyejahterakan publik, namun oleh sebagian kalangan, khusususnya mantan kombatan GAM, bendera masih dianggap sebagai salah satu simbol penting untuk menegaskan identitas Aceh dan sebagai bentuk implementasi dari butir-butir MoU Helsinki sehingga pembatalan qanun bendera yang dilakukan Mendagri bisa saja memicu kekecewaan mereka, meskipun dalam konteks kekinian keberadaan bendera tidak lagi dianggap sebagai prioritas oleh mayoritas masyarakat Aceh.</p><p>Selain itu pengelolaan Dana Otsus yang kurang becus oleh Pemerintah Aceh juga menghadirkan persoalan tersendiri. Merujuk pada data BPS, jumlah penduduk miskin di Aceh mengalami kenaikan sebanyak 15,53 persen pada 2021. Angka demikian sempat menjadikan Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Dalam konteks ini Pemerintah Aceh telah gagal mengelola Dana Otsus yang seharusnya bisa menyejahterakan masyarakat sekaligus menciptakan kemandirian daerah melalui peningkatan PAD, tapi yang terjadi justru sebaliknya.</p><p>Selain itu, puluhan miliar dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) juga disebut-sebut mengalir ke instansi vertikal seperti Polda Aceh, Kodam IM dan Kejati Aceh. Laporan media menyebut aliran dana ke instansi vertikal telah dimulai sejak 2017. Di sini terlihat betapa tidak bijaknya Pemerintah Aceh yang tampak mengabaikan kepentingan daerah dan lebih memprioritaskan kepentingan lembaga vertikal yang notabene menjadi urusan APBN.</p><p><b>Merawat Nasionalisme</b></p><p>Sikap kurang bijak dari Pemerintah Pusat terkait bendera dan poin-poin MoU Helsinki yang belum semuanya direalisasikan ditambah dengan kurang cermatnya Pemerintah Aceh dalam mengelola Dana Otsus tentu akan memperlambat terwujudnya cita-cita damai yang sudah berlangsung selama 17 tahun. Dalam konteks ini seluruh poin-poin MoU Helsinki yang merupakan hak Aceh dan telah disepakati bersama semestinya bisa segera terealisasi dengan baik sehingga tidak ada alasan lagi bagi kelompok tertentu untuk kembali merusak nasionalisme Aceh yang sudah mulai tumbuh. Demikian pula dengan kesejahteraan masyarakat juga mesti menjadi perhatian penting agar bibit-bibit separatisme tidak lagi tumbuh di Aceh. Dirgahayu Republik Indonesia!</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhF9Fyb7dh07hCeD5g1ClT368-oC-klFzRGRfxtc12lo2Q0Z3_bkv-WtDWVmKqHcV_t1F256TDAtmqWYoHX_XnRN_7BhNTGBxrDHnI6voBz3b177I2dKoKkhi8ZOnup0DYCjMNb96HG-2s8Twye-mcwSCum0I7gh4N7GIle53nw4y629vlLRrK8nU8PRg/s832/camera720_20220830_143327.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="703" data-original-width="832" height="338" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhF9Fyb7dh07hCeD5g1ClT368-oC-klFzRGRfxtc12lo2Q0Z3_bkv-WtDWVmKqHcV_t1F256TDAtmqWYoHX_XnRN_7BhNTGBxrDHnI6voBz3b177I2dKoKkhi8ZOnup0DYCjMNb96HG-2s8Twye-mcwSCum0I7gh4N7GIle53nw4y629vlLRrK8nU8PRg/w400-h338/camera720_20220830_143327.jpg" width="400" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-53444873904841274182022-08-12T01:06:00.002-07:002022-08-12T01:06:39.788-07:00Bireuen dan Utopisme Kota Santri<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2iy-iY3d5TfxZs2JoA_4wy6AU6doSgM3PZ6U4YbPtXDC1kQfQUtYSyDy34CQUQh5vzkHdfNb3O-JLYvNbWRXVz7BfcgPAgTEW2SSWYW0mvBHudJM3bZ5MwrxzGvp63YqkPYT7QCewNTni8Sqlure4-QxPspt1scn388aTbSvvJ4jxD5tMaE9eVnSeMQ/s1080/FB_IMG_1660291395891.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="786" data-original-width="1080" height="291" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj2iy-iY3d5TfxZs2JoA_4wy6AU6doSgM3PZ6U4YbPtXDC1kQfQUtYSyDy34CQUQh5vzkHdfNb3O-JLYvNbWRXVz7BfcgPAgTEW2SSWYW0mvBHudJM3bZ5MwrxzGvp63YqkPYT7QCewNTni8Sqlure4-QxPspt1scn388aTbSvvJ4jxD5tMaE9eVnSeMQ/w400-h291/FB_IMG_1660291395891.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Terminal Bus Bireuen 1970<br /> @khairilmiswar</td></tr></tbody></table><p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b> </p><p><i>Bireuen, 28 Juli 2022</i></p><p>Pada 2020 Pemerintah Aceh dan Kanwil Kemenag Aceh menetapkan Bireuen sebagai pusat pelaksanaan Hari Santri Nasional di Aceh. Saat itu, Bupati Bireuen, Muzakkar A. Gani menggunakan momentum tersebut untuk mendeklarasikan Bireuen sebagai Kota Santri dengan alasan daerah tersebut memiliki 154 pesantren dan jumlah santri yang mencapai 51 ribu orang. Deklarasi ini kemudian mendapat sambutan yang lumayan meriah dari sejumlah pihak.</p><p>Konsekuensi dari penetapan Bireuen sebagai Kota Santri yang direstui Pemerintah Aceh tersebut telah mendorong Bupati Bireuen untuk mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) dan tenaga honorer di wilayah itu untuk memakai kain sarung, baju koko putih, peci hitam untuk pria dan baju kurung putih, jilbab putih untuk wanita pada setiap Hari Jumat. Seruan yang secara resmi tertuang dalam Surat Edaran Bupati ini juga meminta setiap dinas menggelar pengajian di hari Jumat. Program lainnya yang dikaitkan dengan eksistensi Kota Santri adalah kunjungan safari Subuh ke masjid-masjid yang ada di Bireuen.</p><p>Baru-baru ini, identitas Bireuen sebagai Kota Santri juga kembali dipertegas dengan dipasangnya Asmaul Husna pada tiang lampu ruas jalan dua jalur Simpang Empat menuju arah Takengon, Banda Aceh dan Medan. Pembuatan antribut untuk 104 tiang ini sendiri menghabiskan anggaran senilai 400 Juta. Sebelumnya pada 2021, ketua DPRK Bireuen sempat mengusulkan pengalokasian dana sejumlah lima persen kepada Dinas Syariat Islam sebagai upaya mendukung “santrinisasi” Kota Bireuen.</p><p>Dalam konteks Indonesia, selain Bireuen, beberapa kota juga sempat dijuluki sebagai Kota Santri di antaranya Kudus, Kendal, Gresik, Tuban, Banten, Kediri, Jombang dan Ponorogo. Sama halnya dengan Bireuen, hampir semua branding Kota Santri yang dilekatkan pada kota-kota dimaksud hanya mengacu pada satu indikator, yaitu kuantitas pesantren dan santri.</p><p><b>Tidak Memiliki Landasan</b></p><p>Meskipun telah ditetapkan sebagai Kota Santri, namun sejauh ini belum diketahui secara jelas apa yang menjadi visi Kota Santri ke depan; apa yang ingin dicapai dan bagaimana grand designnya. Semuanya tampak tidak jelas, kabur dan mengambang. Secara faktual hingga saat ini implementasi Bireuen sebagai Kota Santri masih sebatas pada aksi-aksi simbolik yang sama sekali tidak substantif dan bahkan cenderung politis. Selain itu, penetapan Bireuen sebagai Kota Santri juga tidak didasarkan pada indikator yang autentik, tapi hanya mengacu pada kuantitas pesantren dan santri. </p><p>Selain Kota Santri, sebelumnya Bireuen juga sempat menggunakan branding sebagai Kota Dagang, Kota Transit, Kota Industri dan Kota Juang. Keberadaan branding tersebut adalah untuk mengungkapkan identitas Bireuen kepada publik. Namun dari sejumlah branding yang dilekatkan kepada Bireuen, julukan Kota Juang adalah yang paling faktual dan memiliki landasan sosio-historis yang cukup kuat karena didukung oleh bukti-bukti autentik.</p><p>Dalam konteks sosio-historis, branding Kota Santri untuk Bireuen sama sekali tidak memiliki landasan yang kuat mengingat dayah (pesantren) pertama di Aceh tidak muncul di Bireuen, tapi di Perlak (Dayah Cot Kala) dan Aceh Besar (Dayah Tanoh Abee). Historiografi masuknya Islam ke Aceh juga tidak menyebut Bireuen sebagai pintu masuk penyebaran Islam. Dalam konteks sosio-religi, kegiatan keagamaan di Bireuen juga tidak terlalu masif dan fenomenal, tapi hanya terpusat di lingkungan dayah. Secara kuantitas keberadaan pesantren di Bireuen juga tidak jauh berbeda dengan jumlah pesantren yang ada di kabupaten lain di Aceh. Bahkan jika merujuk pada data Kemenag, jumlah pesantren di Aceh Utara justru lebih banyak, yaitu 211 pesantren, sementara Bireuen hanya memiliki 154 pesantren. Jika pun merujuk pada keberadaan Ma’had ‘Aly, Bireuen juga masih kalah dengan Aceh Utara yang memiliki tiga Ma’had ‘Aly, sementara Bireuen hanya memiliki satu Ma’had ‘Aly. Jika merujuk pada geneologi keilmuan, maka Dayah Labuhan Haji (Aceh Selatan) yang lebih tepat disebut sebagai Kota Santri, sebab hampir seluruh pimpinan dayah yang ada di Aceh hari ini berasal dari alumni Labuhan Haji. Demikian pula dalam konteks budaya berpakaian juga tidak ada perbedaan khas antara Bireuen dengan kabupaten lain di mana pemakaian sarung, baju koko dan peci juga bisa ditemukan di daerah lain.</p><p><b>Beberapa Problem</b></p><p>Kabupaten Bireuen juga menyimpan sejumlah problem yang membuatnya tak layak menyandang gelar Kota Santri. Beberapa waktu lalu, tepatnya 12 Mei 2022, tim Satpol PP Kabupaten Bireuen dikabarkan telah menghentikan kegiatan pembangunan masjid Muhammadiyah di Sangso Samalanga. Laporan sejumlah media menyebut pelarangan pembangunan masjid ormas besar di Indonesia itu telah berlangsung hampir satu dekade. Kononnya keberadaan masjid tersebut mendapat penolakan dari sejumlah pimpinan pesantren.</p><p>Jika penolakan itu benar adanya, maka penetapan Bireuen sebagai Kota Santri justru akan semakin memperlebar “konflik sektarian” di mana branding Kota Santri nantinya akan dijadikan sebagai justifikasi guna menutup ruang kebebasan beragama. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin praktik-praktik intoleransi seperti penolakan masjid Muhammadiyah di Juli dan Samalanga akan terus terulang.</p><p>Selain itu, dalam konteks prestasi di bidang keagamaan, Bireuen hampir tidak memiliki prestasi yang bisa dibanggakan. Sebagai contoh pada ajang MTQ yang diselenggarakan di Bener Meriah baru-baru ini, prestasi Bireuen justru berada pada posisi 20 dari 23 peserta seluruh Aceh. Kondisi ini tentunya tidak selaras dengan branding Kota Santri – di mana Kota Santri semestinya memiliki keunggulan-keunggulan di bidang keagamaan, tapi kenyataannya nihil.</p><p>Dua problem di atas hanya sekadar contoh dari sejumlah problem lainnya seperti korupsi, pungli dan narkoba yang juga tak kalah marak di Bireuen. Problem-problem demikian tentunya sangat antagonistis dengan branding Kota Santri. Tegasnya, sejauh ini tidak ada sesuatu yang khas atau pun istimewa yang menjadikan Bireuen layak menyandang branding Kota Santri. Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa penetapan Bireuen sebagai Kota Santri sama sekali tidak memiliki landasan yang jelas. Ketiadaan visi dan blue print dari pemerintah setempat terkait Kota Santri juga semakin mempertegas bahwa branding Bireuen sebagai Kota Santri adalah utopia.</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXk49pulZLaFPga51UP1lUHZg5zz1XlMbfQNA0FU1IyyJm6RcU2oZc2WCmC-2hpxFodhp3Cu8MDlDpipZm4A3KAhaieO9njfgJ-bkS7K4LFcxjmlnKMvAsFRf3eBaccay5JRehvE5bazGSWREeUl-mpKA73ejZ6uaxmJJdaHtbLrwyFAmEMLUXMQiZTQ/s1095/camera720_20220812_134048.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1095" data-original-width="892" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhXk49pulZLaFPga51UP1lUHZg5zz1XlMbfQNA0FU1IyyJm6RcU2oZc2WCmC-2hpxFodhp3Cu8MDlDpipZm4A3KAhaieO9njfgJ-bkS7K4LFcxjmlnKMvAsFRf3eBaccay5JRehvE5bazGSWREeUl-mpKA73ejZ6uaxmJJdaHtbLrwyFAmEMLUXMQiZTQ/w326-h400/camera720_20220812_134048.jpg" width="326" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-50769901044852942382022-08-03T07:35:00.003-07:002022-08-03T07:35:52.654-07:00Menjaga Muruah Dayah<p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b> </p><p><i>Bireuen, 24 Juli 2022</i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjD_3sFTixQTKSDlSXik0y2Lne19-KDWJYeBaXyRpM5bFPhMB_c_jByzA1-LJ6m-1PM2y-7-L1BUmkddZ5omYRNiZi77UWYiHfmKdH6xw4xvU7GbiiQcU5R9gvBueFrdis2lk_fHPX0aQCgUD2RnSGCH_2jfmfk0qHCzalFtAtqTKEB93XrkPoRNMwKrQ/s1131/camera720_20220803_213213.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1131" data-original-width="1065" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjD_3sFTixQTKSDlSXik0y2Lne19-KDWJYeBaXyRpM5bFPhMB_c_jByzA1-LJ6m-1PM2y-7-L1BUmkddZ5omYRNiZi77UWYiHfmKdH6xw4xvU7GbiiQcU5R9gvBueFrdis2lk_fHPX0aQCgUD2RnSGCH_2jfmfk0qHCzalFtAtqTKEB93XrkPoRNMwKrQ/w376-h400/camera720_20220803_213213.jpg" width="376" /></a></div><br /><p>Dayah adalah institusi Pendidikan Islam tertua di Aceh dan bahkan di Nusantara. Pada era pra-kolonial, tepatnya di masa kesultanan, dayah merupakan satu-satunya institusi pendidikan resmi yang melahirkan sarjana-sarjana Muslim periode awal di Nusantara. Lembaga ini didirikan dan dikelola secara otonom oleh tokoh-tokoh agama karismatik. Pada umumnya dayah didirikan di tanah-tanah wakaf dan juga tanah pribadi milik seorang teungku. Di masa-masa awal, selain melakukan usaha mandiri, eksistensi dayah juga turut ditopang melalui donasi sukarela dari masyarakat yang peduli terhadap pendidikan.</p><p>Keberadaan dayah juga tidak terlepas dari figur seorang teungku yang menjadi sosok sentral dan panutan bagi umat. Dalam sejarahnya, seorang teungku yang memimpin dayah juga tampil sebagai pemimpin sosial politik di Aceh. Bahkan di era kolonial, para pemimpin dayah ini juga aktif dalam barisan perjuangan untuk melawan kolonialisme. Ramai pemimpin-pemimpin dayah ini yang kemudian gugur di medan perang.</p><p>Realitas historis yang demikian telah memosisikan dayah sebagai episentrum keagamaan paling kuat dan menghegemonik di Aceh, baik di masa kesultanan maupun era kolonial. Hegemoni dayah juga masih terasa begitu kuat di awal-awal kemerdekaan, meskipun saat itu telah bermunculan madrasah sebagai poros pendidikan modern di Aceh. Dalam faktanya, kemunculan lembaga-lembaga pendidikan modern tersebut tidak secara otomatis berdampak pada termarjinalnya dayah sebagai institusi pendidikan tertua di Aceh. Namun demikian, dalam konteks kekinian, seiring dengan semakin pesatnya madrasah dan perguruan tinggi agama tentunya kedudukan dayah dalam dunia pendidikan di Aceh tidak lagi sekuat dulu.</p><p>Selain itu, di masa lalu, perbincangan tentang dayah hanyalah perbincangan positif: sebagai pusat pendidikan dan pusat keagamaan. Fakta tersebut berbeda dengan realitas kekinian, di mana perbincangan terhadap dayah tidak lagi melulu pada hal-hal yang bernuansa positif, tapi juga telah merambah pada hal-hal negatif dengan bermunculannya berbagai “skandal” dan insiden yang secara sosiologis telah mencemarkan nama dayah di mata publik. Di antara kasus yang sempat mengemuka adalah pelecehan seksual yang terjadi di Aceh Utara dan Gayo Lues beberapa waktu lalu.</p><p><b>Muruah Dayah</b></p><p>Meskipun tidak semua dayah di Aceh – dan bahkan hanya sebagian kecil yang tersandung “skandal” pelecehan seksual, namun mata publik tetap saja tertuju pada insiden tersebut. Artinya insiden-insiden tersebut telah berdampak pada munculnya generalisasi dari sebagian publik, bahwa dayah hari ini bukanlah dayah yang dulu. Menyikapi kondisi ini, pihak dayah mesti melakukan langkah-langkah strategis agar muruah (kehormatan) dayah tetap terjaga dan tidak tercemari oleh ulah oknum tertentu. Dengan kata lain, dayah harus membersihkan institusinya dari oknum-oknum catat moral.</p><p>Dalam hal ini, proses rekrutmen tenaga pengajar di dayah harus lebih selektif dan tidak terbatas pada pertimbangan keilmuan, tapi juga harus mempertimbangkan aspek kepribadian dan moralitas. Jika perlu, sosok yang akan direkrut mesti mendapatkan rekomendasi dari tokoh agama dan masyarakat di wilayahnya. Meskipun pola demikian tidak menjamin baiknya moralitas seseorang, namun setidaknya langkah tersebut bisa meminimalisasi menyusupnya sosok-sosok catat moral dalam institusi dayah. Dengan demikian dihaapkan kredibilitas dan muruah dayah dapat tetap terjaga.</p><p>Selain persoalan pelecehan seksual, problem lainnya yang membelit dayah saat ini adalah soal “eksploitasi” santri. Meskipun tidak semua dayah terlibat – dan tidak serta-merta tudingan ini bisa disematkan atau pun digeneralisasi kepada dayah secara umum, namun secara faktual kesan “eksploitasi” ini dapat dilihat dari aksi “pengerahan” santri oleh sebagian dayah untuk mencari sumbangan di berbagai tempat di Aceh. Bahkan pemandangan ini sudah sangat lazim dan bisa ditemui hampir di semua kabupaten/ kota di Aceh. Kondisi demikian tentunya akan menjatuhkan harkat dan martabat dayah di mata publik.</p><p>Menyikapi fenomena tersebut, Badan Dayah selaku instansi yang menaungi dayah-dayah di Aceh diharapkan mampu memberikan solusi konkret. Dalam hal ini, dayah harus dikembalikan posisinya sebagai lembaga pendidikan yang dibangun sesuai kebutuhan masyarakat, bukan kebutuhan pribadi sosok tertentu. Selain berbasis kebutuhan, perizinan pendirian dayah juga mesti selektif agar tidak melahirkan masalah di kemudian hari. Hal ini juga penting guna menghindari “surplus” dayah di daerah tertentu sehingga keberadaannya menjadi tidak efektif. Pembatasan perizinan ini nantinya juga bisa meminimalisasi kemunculan dayah-dayah fiktif. </p><p>Selain itu, Badan Dayah juga diharapkan melahirkan program-program yang dapat memberdayakan perekonomian dayah. Hal ini penting dan bahkan mendesak agar dayah bisa tampil sebagai institusi yang mandiri secara ekonomi. Dayah-dayah yang sudah mandiri secara ekonomi ini nantinya akan terhindar dari praktik-praktik “eksploitasi” yang merugikan santri seperti pengerahan santri untuk mencari sumbangan.</p><p>Kemandirian ini di antaranya telah dipraktikkan oleh Dayah Mudi Mesra Samalanga. Fakhrurradhi (2022) dalam penelitiannya menyebut bahwa unit-unit ekonomi yang dibangun Dayah Mudi saat ini sudah mampu membiayai operasional dayah. Keberhasilan Dayah Mudi ini mestinya bisa menjadi inspirasi bagi dayah-dayah lain di Aceh sehingga tidak ada lagi santri yang bekeliaran mencari sumbangan.</p><p>Praktik mencari sumbangan yang dilakoni para santri ini tentunya sangat merugikan pendidikan mereka. Selain itu, fenomena ini juga bisa membuka peluang bagi menyusupnya oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan santri untuk mencari keuntungan yang pada akhirnya akan berdampak pada tercemarnya muruah dayah. Dalam hal ini, Badan Dayah dan para pimpinan dayah mesti sesegera mungkin menghentikan aksi-aksi “eksploitasi” semacam ini. Penghentian “eksploitasi” ini hanya bisa dilakukan jika dayah sudah benar-benar mandiri secara ekonomi. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan perhatian penuh kepada dayah-dayah yang sedang berkembang. Secara teknis perhatian ini bisa berbentuk fasilitas infrastruktur atau pun honorarium yang layak kepada para guru di dayah. Dengan demikian pemerintah telah turut menjaga murah dayah dari ancaman degradasi.</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHL-sKdW5dfDrohlFezoO7YVoS9k7mwMUd3t184WvT0ivj6nsrp_hKxMsP8iw3D4RtcUrtyi9CwOzu11B9s0Q2GZxo0VYyNckCl6KPC2Xjj8EbRElq0uzLFZmOjLlJbMZQxgpQV8UCAEQv1AW2Yt1OhL0tiXg9SxeE6gsh13WHhHQKxRHmMAKcNkrGCw/s784/camera720_20220803_181942.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="746" data-original-width="784" height="380" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgHL-sKdW5dfDrohlFezoO7YVoS9k7mwMUd3t184WvT0ivj6nsrp_hKxMsP8iw3D4RtcUrtyi9CwOzu11B9s0Q2GZxo0VYyNckCl6KPC2Xjj8EbRElq0uzLFZmOjLlJbMZQxgpQV8UCAEQv1AW2Yt1OhL0tiXg9SxeE6gsh13WHhHQKxRHmMAKcNkrGCw/w400-h380/camera720_20220803_181942.jpg" width="400" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-44473586109101153202022-07-20T06:26:00.003-07:002022-07-20T06:26:35.553-07:00Tradisi Kultus dan Pelecehan Seksual<p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT6H6R6PA_9QMfnhNnPJpHCYS3W5bmjrZ_GQbcnFODG7RerXomy-OXpw_vbuF9mvZeyHGP_tHcbFrQo9JTol6iAQ2uIsO8G8woLvIGETMQ1Oee9Y8NOoP6qilmY1vxhWEpEnCcF_1k4vsYI1Z0_8GdYg5b6NTrgVAGsDK6WmfoeOn87SDPVQgP9_fXNw/s438/60403e65333fb.image.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="230" data-original-width="438" height="210" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT6H6R6PA_9QMfnhNnPJpHCYS3W5bmjrZ_GQbcnFODG7RerXomy-OXpw_vbuF9mvZeyHGP_tHcbFrQo9JTol6iAQ2uIsO8G8woLvIGETMQ1Oee9Y8NOoP6qilmY1vxhWEpEnCcF_1k4vsYI1Z0_8GdYg5b6NTrgVAGsDK6WmfoeOn87SDPVQgP9_fXNw/w400-h210/60403e65333fb.image.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Ilustrasi: <b>Daily Titan</b></td></tr></tbody></table><span style="font-size: 12pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 12pt; white-space: pre-wrap;">Oleh: </span><b style="font-size: 12pt; white-space: pre-wrap;">Khairil Miswar</b></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 12pt; font-style: italic; text-align: center; white-space: pre-wrap;">Bireuen, 17 Juli 2022</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: justify;"><span style="font-size: 12pt; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Harus diakui bahwa topik tulisan ini mungkin kurang populis karena mencoba mengkritisi sebuah tradisi yang telah berlangsung lama di dunia pesantren – dan bahkan telah dianggap sebagai bagian dari ciri khas pesantren itu sendiri. Seperti diketahui tradisi kultus adalah fenomena wajar yang terjadi di hampir semua pesantren. Bukan tanpa maksud, secara sosiologis, tradisi kultus ini adalah bagian dari strategi menumbuhkan kepercayaan sejati kepada sosok tertentu, dalam hal ini para guru dan pemimpin pesantren.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Menurut Dhofier (1983), tidak ada seorang pun santri yang dapat melawan kekuasaan kiai dalam pesantrennya, kecuali oleh kiai lain yang memiliki pengaruh lebih besar. Dalam tradisi pesantren, masih menurut Dhofier, seorang murid wajib menghormati gurunya sampai kapan pun. Rasa hormat ini harus ditunjukkan dalam seluruh aspek kehidupannya. Seorang santri yang memutuskan ikatan dengan guru akan dianggap sebagai aib dan menjadikan ilmu yang diperolehnya tidak berkah. Sejurus itu, dalam pesantren, menurut Maarif (2006: 57-58), kiai (pemimpin pesantren) memiliki otoritas dominan dan sangat dihormati. Santri wajib taat dan tunduk kepada kiai hampir pada batas mutlak. Selain itu, para santri juga kurang memiliki kesempatan untuk berbeda dengan para gurunya.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Ulasan Dhofier dan Maarif tersebut semakin menguatkan kesimpulan kita bahwa kultus adalah tradisi penting dalam dunia pesantren, di mana tradisi ini telah berlangsung lama dan turun-temurun. Tidak hanya pesantren di tanah jawa, tradisi ini juga berlangsung di dayah-dayah yang ada di Aceh, di mana para </span><span style="font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">teungku</span><span style="font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"> dan pimpinan dayah kerap kali dikultuskan oleh para santrinya dan juga oleh sebagian masyarakat.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Tanpa bermaksud menafikan nilai-nilai positif dari kultus seperti halnya penghormatan dan adab kepada guru, namun dalam realitasnya kultus ini juga kerap kali menghadirkan efek-efek negatif dan bahkan destruktif. Bahkan lebih jauh, tradisi kultus itu sendiri juga memiliki kaitan erat dengan fanatisme, di mana fanatisme berlebihan tersebut dalam banyak kasus bisa saja memicu ekstremisme dan bahkan terorisme.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Sementara itu, dalam konteks pendidikan, tradisi kultus, dalam praktiknya telah turut mematikan “nalar kritis” yang semestinya dimiliki oleh setiap penuntut ilmu agar validitas dan autentisitas keilmuan dapat diuji dan tidak sekadar menjadi teks-teks beku yang selalu saja harus diamini. Kultus telah membuat para penuntut ilmu menjadi terpenjara dalam ruang beku nan gelap sehingga terjebak pada sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran tunggal yang harus diterima tanpa reserve. Kondisi ini tentunya akan membuat perkembangan pendidikan menjadi mandek dan bahkan mundur.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Dalam konteks sosial keagamaan, sikap kultus terhadap figur tertentu juga dapat merusak tatanan kehidupan di mana kondisi ini akan memberi peluang bagi hadirnya penyimpangan-penyimpangan terselubung oleh oknum-oknum tokoh agama yang dianggap tabu untuk digugat namun akhirnya menjadi bara api yang bisa meledak kapan saja. Jika dicermati, kultus terhadap tokoh agama ini tidak saja terjadi dalam Islam, tetapi juga tumbuh dan berkembang dalam agama-agama lainnya. Bahkan secara historis, tradisi kultus justru bukan berasal dari Islam, tetapi merupakan tradisi yang diadopsi dan diadaptasi dari tradisi agama non Muslim.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Meskipun kerap ditemui dalam tradisi keagamaan, namun dalam faktanya, praktik kultus tidak saja terjadi dalam ruang kehidupan sosial keagamaan, tetapi praktik ini juga kerap kita jumpai dalam pentas sosial politik, di mana kultus dan fanatisme kepada kelompok politik tertentu tak jarang telah memicu ketegangan-ketegangan di ruang publik. Fenomena “dua kali Pilpres” di Indonesia adalah contoh konkret yang relevan untuk diajukan tentang bagaimana kultus dan fanatisme membelah publik dalam dua kutub yang saling bertentangan.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; font-weight: 700; text-align: justify; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; font-weight: 700; text-align: justify; white-space: pre-wrap;">Pelecehan Seksual</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Kita tentu sepakat bahwa pelecehan seksual adalah sebuah kejahatan. Pelecehan seksual ini bisa terjadi di mana saja, baik di jalanan, sekolah, pesantren atau bahkan di rumah. Demikian juga dengan pelaku juga bisa siapa saja tanpa peduli apa profesi dan latar belakang pendidikan. Lantas apa hubungannya kultus dengan pelecehan seksual?</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Kultus sendiri adalah sebuah bentuk penghormatan berlebihan kepada sosok tertentu yang diiringi kekaguman dengan alasan-alasan tertentu yang terkadang tidak masuk akal. Sosok yang telah dikultuskan akan dianggap suci dan terbebas dari kesalahan sehingga setiap gerak-geriknya akan diterima begitu saja oleh khalayak. Kondisi ini memungkinkan sosok yang dikultuskan tersebut terbebas dari kritik yang dilandasi oleh keyakinan bahwa sosok tersebut pasti benar dan tidak mungkin salah. Dalam kondisi inilah fanatisme buta itu hadir.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Khususnya di dunia pesantren, kultus ini menyebabkan para santri menjadi “tidak berdaya” di hadapan para gurunya – yang telah dianggap sebagai sosok suci. Akibatnya segala tindak-tanduk guru harus diterima dengan penuh ketundukan. Dalam kondisi ini tak jarang oknum guru menggunakan kesempatan untuk melakukan berbagai penyimpangan, khususnya pelecehan seksual terhadap para santri tanpa rasa takut.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Kejahatan seksual yang menimpa dua belas santri di Bandung dan Jombang beberapa waktu lalu adalah contoh di mana kultus telah memberi ruang bagi terjadinya penyimpangan terselubung yang berlangsung dalam waktu yang lama di mana para korban memilih diam sehingga kasus tersebut baru terbogkar kemudian. Kasus Bandung dan Jombang bukanlah satu-satunya kasus pelecehan seksual di pesantren, tapi aksi serupa telah sering terjadi di berbagai pesantren di Indonesia, tak terkecuali Aceh, yang pernah melibatkan seorang oknum teungku di Aceh Utara dalam aksi sodomi beberapa waktu lalu.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Meskipun, kultus tidak menjadi satu-satunya penyebab bagi terbukanya peluang pelecehan seksual di pesantren, namun tradisi ini bisa menjadi salah satu jalan yang mempermudah oknum tertentu melakukan aksinya. Dalam hal ini, bisa saja oknum tersebut memanfaatkan kepercayaan dan penghormatan yang diberikan para santri kepada mereka, di mana ketundukan para santri akan menjadi modal sehingga aksi pelecehan dapat berlangsung aman dalam rentang waktu yang lama.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt; white-space: pre-wrap;">Secara psikologis, seorang santri yang telah memosisikan gurunya pada posisi kultus akan tampak tidak berdaya ketika dihadapkan pada permintaan oknum gurunya. Ketidakberdayaan ini akan memberi peluang bagi oknum guru tersebut untuk melakukan pelecehan yang disertai rayuan, tipuan atau pun ancaman. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan para santri menolak permintaan dari sosok yang telah dikultuskan tersebut. Hal serupa juga bisa terjadi pada orangtua santri, di mana mereka juga tak kuasa melawan sosok yang mereka kultuskan. Dengan demikian pelecehan demi pelecehan pun terus terjadi dan baru terkuak ketika secara tak sengaja kejadian itu terendus publik.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Namun demikian, seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa kultus bukanlah satu-satunya sebab terjadinya pelecehan seksual di pesantren, di mana aksi tersebut juga bisa dilandasi oleh buruknya moralitas dan adanya kesempatan yang dimiliki oleh para pelaku. </span><span style="font-size: 12pt; font-style: italic; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Wallahul Musta’an</span><span style="font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">.</span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"><br /></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;">Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Analisa</b></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"><b><br /></b></span></p><p dir="ltr" style="line-height: 1.2; margin-bottom: 0pt; margin-top: 0pt; text-align: left;"><span style="font-size: 12pt; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal; vertical-align: baseline; white-space: pre-wrap;"></span></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPPkVl1e2B-tAth7zmTb8zHFGjXpzvOMwWEYmk-mHA61HTg5EHpUTjEUdumTsN7NaIH2t-lXv9z-rv9PiqGg8DmNKXeFlxz8WFF2ZNISIOMC4qMGZvaQa5MVF14Md9b6grLtv08ZDsoiTfl8hSuLAlmDVByTNbnXixmxO-ObSeTOR3KAbdsKNDvvokxw/s1339/camera720_20220720_124912.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1339" data-original-width="628" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiPPkVl1e2B-tAth7zmTb8zHFGjXpzvOMwWEYmk-mHA61HTg5EHpUTjEUdumTsN7NaIH2t-lXv9z-rv9PiqGg8DmNKXeFlxz8WFF2ZNISIOMC4qMGZvaQa5MVF14Md9b6grLtv08ZDsoiTfl8hSuLAlmDVByTNbnXixmxO-ObSeTOR3KAbdsKNDvvokxw/w188-h400/camera720_20220720_124912.jpg" width="188" /></a></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJJ0FpfEf1mK1-5uqd_E9EaYXYL1Qcj2e6dDYbEZM7v5qriDc4iBMkoOgENQPegbv1b3r4pKjRMBVJfBuaA56V_N57RbuEkL074QGanuk0MoL8OvBlBzYPBigVvroQlWZO1NE9HLGH8oWulwOEVIyVwyhl_zII-AJaA1_uANmhWKyxdAbG_j90URCMaQ/s1071/camera720_20220720_124951.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1071" data-original-width="1028" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjJJ0FpfEf1mK1-5uqd_E9EaYXYL1Qcj2e6dDYbEZM7v5qriDc4iBMkoOgENQPegbv1b3r4pKjRMBVJfBuaA56V_N57RbuEkL074QGanuk0MoL8OvBlBzYPBigVvroQlWZO1NE9HLGH8oWulwOEVIyVwyhl_zII-AJaA1_uANmhWKyxdAbG_j90URCMaQ/w384-h400/camera720_20220720_124951.jpg" width="384" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-7584140393056884082022-07-16T17:41:00.004-07:002022-07-16T17:41:41.988-07:00Mohammed bin Salman dan Reformasi Arab Saudi<p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b> </p><p><i>Bireuen, 28 Juni 2022</i></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDh4I73AgrGM5f62fkif0aQhT5LyJdL1wsgKUbfAZF1LiqvsA5Dq1N6gt_Wn_L_HLDnPMcX0XzQD8paBrNv1MMyP485dt9-QM66THOssanQgThdYgGDqddF1e3QM4nHQsRTZTU3CkTZJQmHihPo8mXE4xhF_vjTre4qoHDHG6EYUBHMypglbJWwCxXCQ/s870/d837c36024c1e0ee2f8fa96311270bdbce26c5ff.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="489" data-original-width="870" height="225" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDh4I73AgrGM5f62fkif0aQhT5LyJdL1wsgKUbfAZF1LiqvsA5Dq1N6gt_Wn_L_HLDnPMcX0XzQD8paBrNv1MMyP485dt9-QM66THOssanQgThdYgGDqddF1e3QM4nHQsRTZTU3CkTZJQmHihPo8mXE4xhF_vjTre4qoHDHG6EYUBHMypglbJWwCxXCQ/w400-h225/d837c36024c1e0ee2f8fa96311270bdbce26c5ff.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Foto: <b>Al Monitor</b></td></tr></tbody></table><br /><p>Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, sebagaimana dikutip Yasmine Farouk, seorang sarjana yang fokus pada kajian Timur Tengah, mengatakan bahwa sistem pemerintahan Kerajaan Arab Saudi saat ini telah mengalami restrukturisasi birokrasi, perubahan yurisdiksi dan tidak lagi secara “membabi-buta” mengikut pada doktrin-doktrin yang pernah dibangun oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di masa lalu. Namun demikian, dalam hal ini, doktrin-doktrin keagamaan yang telah ditanamkan Muhammad bin Abdul Wahhab sebelum negara Arab Saudi modern berdiri, tidak sepenuhnya ditolak, apalagi secara frontal, mengingat ajaran itu telah tumbuh kuat di benak masyarakat Saudi – tapi doktrin-doktrin itu akan disesuaikan dengan perkembangan Saudi yang lebih modern dan terbuka. Konsekuensi dari penyesuaian ini nantinya akan berdampak pada semakin berkurangnya pengaruh institusi ulama (tokoh agama) di ruang publik yang di masa lalu menjadi salah satu entitas penting dalam pembentukan negara Arab Saudi modern, di mana saat itu identitas agama diwakili oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kemudian bersanding dengan identitas politik di bawah pengaruh Muhammad bin Saud. Dua identitas inilah yang menjadi fondasi penting berdirinya Kerajaan Arab Saudi modern yang diproklamirkan oleh Abdul Azis al-Saud pasca Perang Dunia Pertama.</p><p>Perubahan yang terjadi di Saudi saat ini seperti disebut Farouk di antaranya bertujuan untuk memperteguh sentralisasi negara yang lebih besar dan juga untuk penguatan konsolidasi rezim di bawah kendali Mohammed bin Salman. Dengan kata lain, gembrakan yang dilakukan Mohammed bin Salman salah satunya juga dimaksudkan untuk menyahuti keinginan sebagian masyarakat Saudi yang ingin berubah dan terbuka.</p><p>Saad al-Sowayan, seorang antrhopolog Saudi dalam Al-Arabiya mengemukakan bahwa Arab Saudi telah meninggalkan suasana “suram” dan berhasil melakukan reformasi sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya, di mana Arab Saudi mulai bergerak ke arah keterbukaan, modernisasi dan toleransi. Reformasi ini telah memungkinkan dibukanya tempat-tempat hiburan seperti bioskop, digelarnya konser musik dan adanya kebebasan para wanita untuk berbelanja tanpa harus menutup wajah mereka. Bagi masyarakat Saudi yang telah lama hidup dalam pengawasan keagamaan yang ketat, fenomena semacam ini pastinya menjadi suatu pencapaian yang luar biasa.</p><p>Sebagai pembanding, al-Sowayan juga menyinggung kondisi para wanita Saudi di masa lalu yang menurutnya terjebak dalam diskriminasi sosial akibat konservatisme yang berlangsung lama di Arab Saudi. Kondisi tersebut berubah sejak reformasi digulirkan pada 2016, di mana saat ini tenaga kerja wanita di Arab Saudi meningkat dari 17 persen menjadi 31 persen. Selain itu, kebebasan wanita Saudi di ruang publik juga semakin terbuka.</p><p>Menurut sejumlah sumber, selain mendapatkan hak untuk mengemudi, saat ini juga tidak ada lagi larangan bagi wanita Saudi untuk menghadiri konser dan acara olahraga. Bahkan, berembus informasi bahwa aturan perwalian bagi wanita juga sudah dilonggarkan sehingga mereka bisa membuat paspor dan bepergian ke luar negeri. </p><p><b>Reformasi Arab Saudi</b></p><p>Sejumlah sumber menyebut gagasan reformasi Arab Saudi telah muncul sejak 1990-an, di mana saat itu, Pangeran Bandar bin Sultan al-Saud menyatakan bahwa Saudi memiliki keinginan untuk modernisasi meskipun tidak sepenuhnya menjiplak Barat. Dalam perkembangan selanjutnya, pernyataan ini telah menjadi jalan pembuka bagi reformasi politik, ekonomi dan peradilan di negara itu. Secara praktis, upaya reformasi telah dimulai oleh Raja Abdullah pada 2007 yang mengumumkan pemisahan peradilan dari eksekutif. Usaha ini kemudian dikembangkan secara lebih luas oleh Raja Salman yang mulai berkuasa pada 2015. Saat ini, gerakan reformasi besar-besaran dilanjutkan oleh Mohammed bin Salman, penguasa de facto Arab Saudi dengan mencetuskan Visi 2030.</p><p>Seorang penulis Prancis, Corentin Dionet, menyebut bahwa transformasi politik yang dilakukan Mohammed bin Salman adalah dalam rangka menyukseskan Visi 2030 di Arab Saudi. Menurut Dionet, Mohammed bin Salman sedikit terpengaruh dengan gaya beberapa pemimpin populis seperti Victor Orban dan Recep Tayyip Erdogan sehingga ia bercita-cita menyesuaikan kekuasaan monarkinya dengan mengadopsi model Singapura yang otokratis, pragmatis dan memiliki teknologi tinggi guna melahirkan Arab Saudi yang lebih modern.</p><p>Meskipun gerakan Mohammed bin Salman dipandang sinis oleh sebagian kalangan, khususnya kalangan agamawan yang berafiliasi dengan Wahhabisme, namun secara faktual seperti disebut Dionet, retorika modernisasi dan Visi 2030 yang dikampanyekannya mendapat sambutan dari kaum muda negara itu. Dalam hal ini, Muhammed bin Salman diuntungkan karena 70 persen penduduk Saudi berusia di bawah 30 tahun.</p><p><b>Isu Miring</b> </p><p>Dalam konteks reformasi Arab Saudi yang terus bergulir, baru-baru ini tersiar kabar bahwa wanita Saudi tidak lagi diwajibkan berjilbab di ruang publik. Dikabarkan wanita-wanita berambut pendek dapat dengan mudah ditemukan kota Riyadh. Informasi ini tersebar luas di media-media Indonesia yang umumnya dikutip dari laporan kantor berita Prancis, <i>Agence France Presse</i> (AFP) yang mewawancarai seorang dokter bernama Safi. Namun faktanya informasi ini sama sekali tidak tersebar di media-media maesntream Arab Saudi. Anehnya lagi, informan AFP yang bernama Safi tersebut justru menggunakan nama samaran untuk menyamarkan identitasnya. Jika memang benar mereka bebas berkeliaran dengan rambut pendek di Arab Saudi, tentu tidak perlu menggunakan nama samaran.</p><p>Selain itu, seperti dirilis <i>Arab News</i>, menyikapi kebolehan berfoto dengan rambut terbuka saat membuat KTP, pihak kerajaan membantah informasi tersebut dan menegaskan bahwa hanya wanita berusia 10-14 tahun yang boleh menampakkan rambut mereka saat membuat KTP, selebihnya tidak diizinkan. Jika foto di KTP saja tidak dibolehkan memperlihatkan rambut, bagaimana mungkin para perempuan Saudi dibebaskan berkeliaran dengan rambut pendek di ruang publik?</p><p>Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan jika Visi 2030 yang dicanangkan Mohammed bin Salman nantinya akan berdampak luas pada liberalisasi di Arab Saudi, termasuk dalam hal kebebasan wanita di negara itu. <i>Wallahu a’lam</i>.</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Waspada</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUaGuZUzJhS7m2XznWtF-dm0INThDaPbc6v3SD5XDU7HVLCVF2NgDPZYpF9_z8wfe8w0VLLLYP113LxFgXNNtFhK_RZmu7rEPGFSDBaP6SurdFV7cplfsXLQNlIp-9PiYhkFeeACdsK_yk9k2izsHO6AvV8mDVFFREgn53H5a2rynnWbQYie57S5unNQ/s980/IMG-20220716-WA0030.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="929" data-original-width="980" height="379" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUaGuZUzJhS7m2XznWtF-dm0INThDaPbc6v3SD5XDU7HVLCVF2NgDPZYpF9_z8wfe8w0VLLLYP113LxFgXNNtFhK_RZmu7rEPGFSDBaP6SurdFV7cplfsXLQNlIp-9PiYhkFeeACdsK_yk9k2izsHO6AvV8mDVFFREgn53H5a2rynnWbQYie57S5unNQ/w400-h379/IMG-20220716-WA0030.jpg" width="400" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-61968226369925901552022-07-13T07:06:00.006-07:002022-07-13T07:13:31.614-07:00Komersialisasi Keimanan dan Eksploitasi Perasaan<p><i>Bireuen, 07 Juli 2022</i></p><p>Oleh: <b>Khairil Miswar</b></p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv5ihZ8VrvsMFNkmiPQopej3zwJ940zkOWt6L4WQdPKS0Ich7SA_pnVXEzzql8NVVPO2R9KzFvn-Ze1lMbbDcZ1LPApwl3Amt9KwLd__qWauRlrulrwOnduHTGJKnODUGUh3YerNb-sLL1NeZf0j93YtZi5trm8oYjiJfmcnZgKDd-IPPD-KsQEvRefQ/s720/exploitation.png" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="480" data-original-width="720" height="266" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv5ihZ8VrvsMFNkmiPQopej3zwJ940zkOWt6L4WQdPKS0Ich7SA_pnVXEzzql8NVVPO2R9KzFvn-Ze1lMbbDcZ1LPApwl3Amt9KwLd__qWauRlrulrwOnduHTGJKnODUGUh3YerNb-sLL1NeZf0j93YtZi5trm8oYjiJfmcnZgKDd-IPPD-KsQEvRefQ/w400-h266/exploitation.png" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Foto: <b>marketingstrategy.com</b></td></tr></tbody></table><br /><p>Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan komersialisasi sebagai sebuah tindakan yang berupaya menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Dalam hal ini, setiap objek yang akan dikomersialisasikan tentunya harus memiliki nilai niaga yang tinggi agar laku di pasar dagang. Jelasnya lagi komoditas yang akan diperdagangkan itu mestilah memiliki daya tarik bagi konsumen guna bisa tetap eksis dalam dinamika pasar. Dalam konteks sosiologis, komersialisasi ini nantinya akan bermanifestasi dalam aksi komodifikasi dengan adanya transformasi barang dan jasa atau pun gagasan menjadi sebuah komoditas (objek dagang) yang memiliki nilai ekonomi dan layak jual. Strategi ini biasanya melibatkan para kapitalis yang melakukan transformasi ‘nilai guna’ menjadi ‘nilai tukar’ demi mencapai keuntungan.</p><p>Ada pun eksploitasi dimaknai oleh KBBI sebagai tindakan pengusahaan atau pendayagunaan untuk mendapatkan keuntungan. Sementara Wikipedia menafsirkan eksploitasi dalam konteks yang lebih luas, yaitu politik pemanfaatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara sewenang-wenang terhadap suatu objek demi kepentingan ekonomi dengan tidak mempertimbangkan azas kepatutan dan keadilan.</p><p>Meskipun kedua istilah di atas memiliki perbedaan makna secara etimologis dan terminologis, namun keduanya memiliki relevansi secara substansial dalam hal mencari keuntungan, baik secara material maupun non material.</p><p><b>Komersialiasi Keimanan</b></p><p>Secara umum komersialisasi kerap terjadi dalam sektor perdagangan yang berwujud dalam komoditas barang dan jasa. Namun secara faktual, aksi komersialisasi juga bisa ditemukan dalam aspek religiusitas yang memanfaatkan unsur-unsur keagamaan dan ketaatan seseorang sebagai komoditas ‘dagang’ yang kemudian populer dengan istilah komersialisasi agama. Salah satu unsur agama yang kerap dijadikan sebagai komoditas untuk dikomersilkan adalah keimanan.</p><p>Dalam konteks Indonesia, komersialisasi keimanan ini acap kali melibatkan oknum-oknum ‘ustaz selebritis’ yang ‘memanfaatkan’ keimanan jamaah terhadap aktivitas atau ritual tertentu dalam agama demi mencapai keuntungan secara ekonomi. Salah satu kasus yang dapat diajukan adalah gagasan ‘sedekah’ yang dipopulerkan oleh seorang oknum ustaz. Dalam konteks religi, sedekah memang merupakan salah satu ajaran penting, khususnya dalam Islam, di mana ritual sedekah ini memiliki landasan yuridis yang cukup kuat dalam al-Quran dan Hadits yang merupakan sumber utama ajaran Islam.</p><p>Ironisnya oleh oknum ‘ustaz selebiritis’ konsep keimanan akan kekuatan sedekah ini kemudian dikomersialisasikan melalui narasi-narasi hiperbolik yang dibumbui dengan cerita-cerita imajinatif yang sulit diverifikasi. ‘Sedekah Avanza akan berganti Alphard’ adalah satu dari sekian banyak sugesti imajinatif yang kerap melenakan para jamaah yang beragama secara pragmatis. Uniknya, meskipun tampak tidak rasional, namun sugesti imajinatif ini kerap diterima tanpa reserve dengan alasan bahwa kebenaran konsep itu berada dalam wilayah iman. Dalam kondisi inilah kemudian oknum ustaz selebritis bisa lebih leluasa melakukan aksi komersialisasi keimanan para jamaah dengan mengarahkan mereka agar bersedekah kepada dirinya sebagai manifestasi dari ibadah.</p><p><b>Eksploitasi Perasaan</b></p><p>Sama halnya dengan komersialisasi yang tidak hanya berada dalam wilayah perdagangan, tapi juga dalam aspek keimanan – eksploitasi pun demikian, di mana ia tidak saja berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia, tapi juga kerap digunakan sebagai strategi psikologis dalam memainkan perasaan kemanusiaan. Eksploitasi perasaan ini seringkali dimainkan oleh oknum tertentu dalam tragedi kemanusiaan seperti bencana alam, korban perang dan pasien penyakit kronis, di mana mereka melakukan aksi penggalangan donasi dengan dalih kemanusiaan.</p><p>Secara sosiologis keberadaan lembaga-lembaga pengumpul donasi ini memang penting dan dapat membantu menyelesaikan berbagai problem kemanusiaan yang ada di tanah air. Di satu sisi keberadaan lembaga ini juga bisa membantu meringankan beban pemerintah dalam mengatasi problem kemanusiaan seperti bencana alam. Dengan kata lain, eksistensi lembaga ini memang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sosial masyarakat kita. Namun persoalan menjadi lain ketika ada oknum-oknum tertentu yang kemudian memanfaatkan keberadaan lembaga donasi tersebut untuk mencari keuntungan pribadi.</p><p>Baru-baru ini kita dikejutkan dengan laporan sebuah media yang menyebut gaji para petinggi sebuah lembaga donasi di Indonesia berada pada level yang tidak wajar, di mana persentase potongan dana donasi untuk operasional mereka mencapai 13 persen lebih. Keterkejutan publik semakin bertambah ketika media menyuguhkan informasi terkait fasilitas-fasilitas mewah yang diduga digunakan lembaga tersebut. Temuan-temuan ini dianggap sebagai sesuatu yang miris sebab tidak sesuai dengan slogan kemanusiaan yang mereka usung sehingga kekecewaan publik menjadi tidak terbendung.</p><p>Jika nantinya tudingan-tudingan terhadap lembaga donasi dimaksud bisa dibuktikan secara meyakinkan di depan hukum, maka secara jelas tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk dari eksploitasi perasaan, di mana mereka telah memanfaatkan kesedihan dan rasa iba para donatur untuk memperoleh keuntungan pribadi dengan cara yang tidak etis.</p><p><b>Membangun Sikap Kritis dan Rasional</b></p><p>Ulasan di atas setidaknya bisa memberikan sedikit gambaran kepada kita semua tentang betapa pentingnya sikap kritis dan rasional dalam menyikapi sesuatu. Dalam konteks agama, sikap kritis dan rasional ini dibutuhkan untuk menganilisis tindakan-tindakan oknum tokoh agama yang melakukan komersialisasi keimanan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Demikian pula dalam konteks kemanusiaan, sikap kritis dan rasional ini bisa membantu kita semua untuk mengidentifikasi oknum-oknum tertentu yang melakukan eksploitasi perasaan di tengah bencana yang menimpa orang lain.</p><p>Komersialisasi keimanan dan eksploitasi perasaan adalah dua tindakan destruktif dan memalukan yang sengaja memanfaatkan ‘kelemahan’ orang lain menggunakan trik-trik yang tak terbaca oleh awam. Jika komersialisasi keimanan adalah manifestasi dari menjual ayat-ayat Tuhan, maka eksploitasi perasaan adalah wujud dari menari-nari di atas luka orang lain. <i>Wallahul Musta’an</i>.</p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Analisa</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgusQh-MEcPo-91Oku2o_HpH-YshjKbrfz0ctIGOVxBH0IegcLjoz8ZRoZrX6zRt0VIr-tCYQndXn7P877wyndjq15diBaQNW-8pty2bF8vtXYK2qfNJifBn2QphijY6WceRiX0iF3PV8rBaCFnbJUqUQRb31UgrdGZiBEbyB0RP-U4SiMdMYRqIwojqw/s1355/camera720_20220713_122127.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1355" data-original-width="1048" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgusQh-MEcPo-91Oku2o_HpH-YshjKbrfz0ctIGOVxBH0IegcLjoz8ZRoZrX6zRt0VIr-tCYQndXn7P877wyndjq15diBaQNW-8pty2bF8vtXYK2qfNJifBn2QphijY6WceRiX0iF3PV8rBaCFnbJUqUQRb31UgrdGZiBEbyB0RP-U4SiMdMYRqIwojqw/w309-h400/camera720_20220713_122127.jpg" width="309" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3547878715224027622.post-73868808905204992412022-06-28T19:10:00.002-07:002022-06-28T19:10:20.145-07:00Islamofobia dan Mazhabifobia<p>Bireuen, 22 Juni 2022</p><table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><tbody><tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfrtVoZM43TY6jxzpu90FYk64ExQOqYkXFc7XMopT-zIDYrnxJDyZ3OItmr_1-iWYW-iAjPzcwHy-ahrxTOfmORPELfpzCVXUEq79b1o7F9qqCMkvGU7eNCt6PMVhiebzgXQwHwWMZrWGzIPQCRTpkI_XcGb652jziyXHoOoSYJ7ZMR6F9G2sYBBRTKA/s918/180663-islamophobia.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" data-original-height="506" data-original-width="918" height="220" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhfrtVoZM43TY6jxzpu90FYk64ExQOqYkXFc7XMopT-zIDYrnxJDyZ3OItmr_1-iWYW-iAjPzcwHy-ahrxTOfmORPELfpzCVXUEq79b1o7F9qqCMkvGU7eNCt6PMVhiebzgXQwHwWMZrWGzIPQCRTpkI_XcGb652jziyXHoOoSYJ7ZMR6F9G2sYBBRTKA/w400-h220/180663-islamophobia.jpg" width="400" /></a></td></tr><tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><b>Foto: WION</b></td></tr></tbody></table><p>Wikipedia menerjemahkan Islamofobia sebagai suatu bentuk ketakutan dan kegelisahan yang dialami seseorang terhadap Islam atau Muslim secara umum. Dengan kata lain, Islamofobia adalah rasa takut dan benci yang disertai prasangka buruk terhadap Islam dan Muslim. Ini adalah definisi paling ringkas dan sederhana dalam memaknai Islamofobia. Namun demikian, tentunya juga terdapat pemaknaan-pemaknaan lain yang secara prinsipil masih selaras, tapi sedikit lebih rinci.</p><p>Dalam konteks kebahasaan, Islamofobia sendiri adalah penggabungan dua kata: Islam dan fobia, di mana kata disebut terakhir yang diadopsi dari kata ‘phobia’ (Inggris) memiliki makna takut atau benci sehingga Islamofobia kemudian dimaknai sebagai ketakutan terhadap Islam. Pendefinisian ini selaras dengan pemaknaan yang dilakukan The Council on American-Islamic Relations sebagaimana dikutip Sahar Banu dalam tesisnya bahwa Islamofobia adalah kebencian terhadap Islam yang semakin ekstrem pasca teror 11 September yang kemudian memunculkan stereotip antiMuslim, diskriminasi, pelecehan dan bahkan kekerasan.</p><p>Terma Islamofobia sendiri kian populer pasca tragedi WTC yang terjadi pada 11 September 2001 di New York, di mana kala itu seruan dan kampanye antiterorisme begitu memuncak dan menyasar komunitas Muslim yang dianggap sebagai kambing hitam dari segala bentuk teror. Di Indonesia sendiri Islamofobia sempat bergerak liar pasca insiden Bom Bali pada 12 Oktober 2002, di mana ketika itu sejumlah tersangka yang notabene Muslim ditangkap dan dihukum mati.</p><p>Kondisi demikian tentu tidak terlepas dari kampanye-kampanye negatif yang dilakukan media-media Barat melalui aksi framing, labeling dan stigmatisasi sehingga Islamofobia pun menyebar dengan masif di Amerika dan Eropa – yang pada akhirnya meningkatkan aksi-aksi penyerangan terhadap Muslim, seperti terjadi di Prancis, Swedia, Norwegia, Kanada dan baru-baru ini juga merambah India.</p><p>Beydoun dalam American Islamophobia menyebut bahwa ada tiga dimensi Islamofobia: privat, struktural dan dialektika Islamofobia. Dimensi privat tercermin dalam bentuk kecurigaan dan kekerasan yang menargetkan Muslim, di mana pelakunya adalah sosok-sosok pribadi yang antiMuslim. Contoh dalam dimensi ini dapat dilihat dari aksi-aksi pelecehan dan kekerasan yang dilakukan sosok antiMuslim terhadap penganut Muslim di beberapa negara Eropa, seperti kekerasan terhadap wanita berjilbab dan bercadar. Selain dimensi privat, terdapat juga dimensi struktural berupa ketakutan terhadap Muslim dari institusi pemerintah dan terakhir, dialektika Islamofobia, yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk membentuk Islamofobia struktural.</p><p>Saat ini, kampanye Islamofobia tampak semakin parah dan telah menjadi isu global yang terus diperbincangkan. Menyikapi kondisi demikian, pada 15 Maret 2022, PBB telah menetapkan tanggal 15 Maret sebagai Hari Internasional untuk memerangi Islamofobia. Resolusi tersebut sebagaimana diberitakan Kompas.com diadopsi melalui konsensus 193 anggota badan dunia yang disponsori bersama oleh 55 negara mayoritas Muslim. Dengan adanya resolusi ini diharapkan kampanye Islamofobia di masa depan bisa terus diminimalisasi sehingga kebencian tak berdasar kepada Muslim tidak lagi menjadi alasan bagi sebagian kalangan untuk melakukan penindasan dan diskriminasi.</p><p>Dalam konteks Indonesia, kasus terbaru yang dikaitkan dengan Islamofobia adalah penolakan UAS oleh Pemerintah Singapura. Sebagaimana dikutip Tempo.co, Pemerintah Singapura menilai UAS sebagai penceramah ekstremis dan mengajarkan segresi sehingga tidak dapat diterima dalam masyarakat Singapura yang multiras dan multiagama. Menyikapi hal tersebut, MUI tampak melayangkan kritik keras kepada Singapura dan menyebut Singapura terlalu berlebihan dalam menilai Abdul Somad.</p><p>Penolakan UAS oleh Singapura disebut-sebut dilandasi oleh ketakutan Singapura terhadap Muslim yang disebabkan oleh kemesraan negara itu dengan Israel – yang hingga saat ini menjadi salah satu musuh utama Muslim dan juga musuh kemanusiaan. Namun demikian, penyebutan tindakan Singapura sebagai bentuk Islamofobia menjadi sulit diverifikasi ketika ada tokoh-tokoh agama lain yang juga ditolak masuk negara itu dengan alasan menebar kebencian terhadap agama lain.</p><p>Seperti dilansir beritasatu.com, sebelumnya Singapura juga pernah menolak dua pengkhotbah Nasrani dengan alasan Islamofobia pada 2017, di mana kedua pengkhotbah disinyalir telah membuat komentar yang merendahkan dan menghasut agama lain; salah satunya menyebut Allah sebagai tuhan palsu dan menyebut Islam sebagai bukan agama perdamaian. Alasan penolakan yang dilakukan Singapura adalah untuk menjaga keharmonisan umat beragama di negara itu. Jika informasi ini benar, maka tudingan Islamofobia terhadap Singapura menjadi debatable – sebab di sisi lain negara itu juga tampak melawan kampanye Islamofobia yang dilakukan komunitas agama lain.</p><p><b>Mazhabifobia</b></p><p>Tanpa perlu melalui riset yang rumit, mungkin kita semua hampir bersepakat untuk menolak Islamofobia dengan berbagai alasan. Berbagai argumen akan diajukan untuk menolak segala dalil Islamofobia yang dikembangkan media-media Barat dan politisi antiMuslim dengan satu kesimpulan bahwa Islamofobia adalah musuh peradaban modern. Namun di saat yang sama kita seperti menyisakan ruang kosong dalam internal kita sendiri (Muslim). Dengan kata lain kita terkesan diam dan membiarkan kebencian yang terus mengalir sesama kita, salah satunya adalah Mazhabifobia – fobia mazhab (konflik sektarian) yang dalam faktanya juga kerap melahirkan berbagai bentuk kekerasan yang tak kalah memilukan dibanding Islamofobia yang digerakkan oleh antiMuslim – yang dalam terminologi kita disebut dengan ‘kafir.’</p><p>Dalam konteks pemikiran Islam, Mazhabifobia berangkat dari kontestasi otoritas yang diperebutkan internal Muslim – yaitu tentang siapa yang paling berhak mewakili dan menafsirkan Islam – yang pada tahapan selanjutnya akan meneguhkan hegemoni mayoritas terhadap minoritas sehingga bermuara pada dominasi – yang akhirnya melahirkan tindakan-tindakan destruktif terhadap sesama Muslim.</p><p>Di Indonesia, kasus ini salah satunya dapat ditemukan di Kabupaten Bireuen yang konon dikenal sebagai ‘Kota Santri.’ Hingga saat ini aksi pelarangan pembangunan Masjid Muhammadiyah di Samalanga masih menjadi isu hangat yang terus diperbincangkan, namun tak juga ditemukan solusi yang bermartabat guna menyelesaikan persoalan tersebut. Ironisnya lagi, penolakan pembangunan masjid ini – yang merupakan manifestasi dari Mazhabifobia – bukan saja dilakukan oleh segelintir masyarakat Muslim di kawasan itu, tapi juga terkesan mendapat legitimasi dari negara, dalam hal ini Pemerintah Daerah – yang dalam informasi terakhir disebut-sebut telah memerintahkan Satpol PP untuk membongkar tiang-tiang pancang bangunan itu. Bukankah tindakan semacam ini juga bagian dari diskriminasi dan penindasan terhadap Muslim?</p><p>Padahal, secara prinsip perbedaan Islamofobia dan Mazhabifobia hanya pada pelaku, di mana Islamofobia dilakukan oleh antiMuslim, sementara Mazhabifobia justru melibatkan Muslim itu sendiri. Lantas apa yang mendasari perbedaan sikap Muslim menyikapi fenomena ini, padahal seperti halnya Islamofobia, yang menjadi sasaran Mazhabifobia juga komunitas Muslim? Di sinilah terkadang kita terpaksa menertawakan diri sendiri. <i>Wallahu a’lam.</i></p><p><i><br /></i></p><p>Artikel ini sudah terbit di <b>Harian Analisa</b></p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2cQa9qjhJfvesvAHbnZirj2w3vBKxuKNs9ra-eFMP1UUDDxM27VUdcCHa0g-qfGckY062-MYwEALb1EWSL8znHWyG82LtawnZBCGTNvfxZy-WwlsczDhENNMxL5jdxm4o1mANRGhL-gp9hMM6DcRu9HPPFjGmwcVYmNcT33sS1VIV4MvAEpOTzXjjlQ/s985/camera720_20220628_185203.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="550" data-original-width="985" height="224" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh2cQa9qjhJfvesvAHbnZirj2w3vBKxuKNs9ra-eFMP1UUDDxM27VUdcCHa0g-qfGckY062-MYwEALb1EWSL8znHWyG82LtawnZBCGTNvfxZy-WwlsczDhENNMxL5jdxm4o1mANRGhL-gp9hMM6DcRu9HPPFjGmwcVYmNcT33sS1VIV4MvAEpOTzXjjlQ/w400-h224/camera720_20220628_185203.jpg" width="400" /></a></div><p></p>Khairil Miswarhttp://www.blogger.com/profile/12420628067801136036noreply@blogger.com0