Tu Lem; Mimpi Besar Eks Combatan

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 17 Juli 2017

Penulis dan Tu Lem (Kaos Hijau)

Sekira dua minggu lalu, ketika sedang asyik-asyiknya meneguk kopi bersama Azmi Abubakar, tepatnya di sebuah warkop di depan Meunasah Kulah Batee Bireuen – kami dihampiri oleh seorang pemuda yang sebelumnya tidak saya kenal. Azmi mengenalkan si pemuda tersebut kepada saya. “Namanya Muslem, biasa dipanggil Tu Lem”, kata Azmi kepada saya. Dan kami pun bersalaman. “Tu Lem ini mantan kombatan”, tambah Azmi. Saya hanya mengangguk-nganguk mendengar penjelasan Azmi.

Mendengar frasa “mantan kombatan”, saya merasa biasa saja dan tidak ada yang istimewa. Saya memang tidak merasa asing dengan mantan kombatan. Sejak konflik berkecamuk sampai era damai, saya telah bergaul dengan para kombatan yang pernah bergerilya di hutan.

Pasca damai, sebagian besar kombatan memilih masuk ke arena politik sehingga populasi politisi di Aceh semakin meningkat. Sementara sebagian kecil lainnya – yang lebih layak disebut oknum justru memilih menjadi “makelar” proyek. Kondisi ini tentu tidak dapat disalahkan karena pemberdayaan ekonomi terhadap para kombatan memang belum sesuai harapan. Faktor inilah yang kemudian hanya menyisakan dua pilihan kepada para kombatan; menjadi politisi, atau sebaliknya – mencari hidup di bawah “ketiak” politisi (pejabat).

Disadari atau pun tidak, kondisi ini juga telah menciptakan sebuah image negatif terhadap sebagian kombatan yang mayoritasnya belum terberdaya. Akibat kondisi tersebut, sebagian oknum kombatan “terpaksa” terlibat dalam aksi-aksi kekerasan untuk mempertahankan hidup. Hal ini tentunya tidak aneh, sebab zaman peralihan, dari konflik ke damai adalah masa-masa sulit bagi seorang kombatan.

Tapi, setelah saya berdiskusi panjang lebar dengan Tu Lem, saya menemukan sisi menarik dari kehidupan kombatan yang satu ini. Dalam usia cukup muda, ia telah mampu meraih sebagian mimpi-mimpinya. Keterlibatannya dalam beberapa pertempuran di masa konflik telah menempa dirinya menjadi sosok yang giat, gigih dan pantang menyerah. 

Berbekal modal “kecil-kecilan” dari beberapa sejawat, Tu Lem telah sukses menjadi salah seorang pengusaha muda di bidang konstruksi. Tu Lem yang dulunya memanggul senjata dan bertaruh nyawa demi perjuangan yang diyakininya, telah bertransformasi sebagai sosok pengusaha profesional di bidangnya.

Uniknya lagi, Tu Lem yang hanya sempat menamatkan sekolah menengah pertama, tepatnya di MTs Bireuen yang berlokasi di bekas Normal Islam Institut – memiliki mimpi besar untuk menciptakan sebuah tempat wisata di Kabupaten Bireuen guna meningkatkan perokonomian masyarakat. Menurut pengakuannya, satu-satunya faktor yang mendorong dirinya menggagas lahirnya tempat wisata tersebut adalah sebagai medium untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.

Pada awalnya, Tu Lem merintis pembukaan jalan menuju kawasan perbukitan dengan menggunakan biaya sendiri. Biaya ini berasal dari keuntungan pribadinya selama menjalankan usaha. Pembukaan jalan tersebut telah berdampak pada peningkatan produktivitas masyarakat sekitar. Berkat kerja keras Tu Lem, dan tentunya juga kerja ikhlas – kawasan yang sebelumnya tidak bisa dilalui, sudah mulai produktif digunakan sebagai lahan cocok tanam oleh masyarakat. Jalan-jalan ini juga sering dilalui oleh masyarakat guna memotong rumput untuk ternak-ternak mereka. Melihat perkembangan ini, muncul kepuasan batin dalam diri Tu Lem, meskipun dirinya tidak memperoleh keuntungan satu rupiah pun dari usahanya ini. “Yang penting ekonomi masyarakat bisa meningkat”, kata Tu Lem.

*******

Saya dan Azmi pernah beberapa kali diajak Tu Lem untuk meninjau lahan seluas 8 hektar yang nantinya akan dijadikan sebagai tempat wisata. Lahan ini dibeli sedikit demi sedikit oleh Tu Lem dari masyarakat sekitar. Pada awalnya, lahan ini sama sekali tidak terurus dan terbengkalai. Lahan yang dibelinya sejak tahun 2011 ini menurut Tu Lem akan ditata sedemikian rupa sehingga layak menjadi tempat wisata.

Dari puncak lahan ini kita bisa menyaksikan panorama alam yang indah. Oleh Tu Lem, puncak ini diberi nama Puncak Teulaga Maneh. Jarak Puncak Teulaga Maneh dengan kota Bireuen hanya sekitar 2 km. Dengan menggunakan dana pribadi, mantan kombatan GAM ini telah berhasil membangun jalan dengan lebar 6 meter di lahan miliknya tersebut. Dengan terbukanya akses jalan, ramai masyarakat sekitar yang memanfaatkan tanah milik pria berperawakan “mungil” ini untuk bercocok tanam.

Beberapa bagian lahan telah mulai ditanami dengan berbagai jenis tanaman. Uniknya, Tu Lem tidak memungut biaya satu rupiah pun dari masyarakat yang menggunakan lahannya untuk mencari rezki. “Tidak kita sewakan, siapa saja yang ingin menanam silahkan. Hasilnya juga untuk mereka”, kata Tu Lem. Bagi Tu Lem, hidup ini untuk mengabdi, dan ini adalah sebuah pengabdian. Mendengar pengakuan ini, saya dan Azmi benar-benar kagum dibuatnya.

******

Tidak hanya panorama alam yang indah, di kawasan lahan Puncak Teulaga Maneh juga terdapat belasan bunker yang merupakan bangunan pertahan militer di masa perang. Bunker-bunker ini dibangun pada masa kolonial. Namun sampai saat ini belum bisa dipastikan apakah bunker ini peninggalan Belanda atau Jepang. 

Tu Lem menyampaikan kepada kami bahwa bunker-bunker ini juga akan “disulap” menjadi tempat wisata sejarah. Sejak ditemukan oleh Tu Lem, bunker-bunker tersebut dibersihkan dan dirawat agar tidak rusak. Lagi-lagi Tu Lem menggunakan biaya sendiri untuk merawat peninggalan sejarah ini.

Hal menarik lainnya, Tu Lem dengan “imajinasinya” yang “di atas angin” juga memiliki impian besar untuk menjadikan sebagian lahannya sebagai hutan konservasi untuk memulihkan habitat burung-burung yang selama ini sudah mulai langka. “saya punya mimpi suatu saat burung-burung akan kembali ke tempat ini”, sebut Tu Lem dengan raut wajah penuh harap. Saya dan Azmi kembali terpana dibuatnya. 

“Kenapa bisa seorang kombatan yang tidak pernah sekolah tinggi memiliki pemikiran visioner serupa ini?” Teriak saya dalam hati. Ini adalah sebuah mimpi besar yang tentunya tidak pernah terbesit dalam imajinasi awam. Akhirnya saya semakin yakin bahwa retorika di ruang akademik akan kehilangan taringnya ketika berhadapan dengan pemuda visioner semisal Tu Lem. Di saat sebagian akademisi dan politisi masih asyik bercerita dengan gerakan tangan seperti pencak silat, Tu Lem justru telah berbuat, tanpa banyak bicara. Salut!

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments