Menyiram Bunga Kertas di Hari Raya Medsosiah

Oleh: Khairil Miswar 

Bungkaih, 25 Juni 2017

Foto: Doc. Google

Kedatangan Ramadhan biasanya hanya disambut oleh orang-orang yang berpuasa, sebaliknya, kehadiran hari raya disambut dengan sangat meriah oleh setiap mereka yang merasa dirinya muslim, bahkan oleh mereka yang tidak berpuasa sekali pun. Meskipun sebagian kita bisa dengan mudah melupakan puasa, tapi hampir semua kita tidak mampu melupakan hari raya.

Di hari-hari pertama puasa, sebagian kita sudah mulai menghitung dan meraba-raba kalender untuk melihat kapan hari raya. Sebagian kita sudah memimpikan hari raya pada saat ritual puasa baru dimulai. Kegiatan puasa sering diistilahkan sebagai hari-hari perjuangan dan hari raya disimbolkan sebagai hari kemenangan. Dan setiap kemenangan tentunya tidak hanya dirayakan oleh para “pejuang”, tetapi juga melibatkan para “pecundang” yang lari dari “medan tempur.” Jika para “pejuang” merayakan kemenangan dengan penuh “kepuasan” karena telah sukses menyelesaikan perjuangan, maka para “pecundang” pun turut bersorak-sorai sebagai perwujudan aksi lhab darah.

Pertanyaan selanjutnya, siapa yang paling bahagia ketika hari raya tiba? Dalam perspektif teologis, kebahagian di hari raya adalah milik orang-orang yang berpuasa. Sementara dalam kenyataan sosiologis, para “pecundang” juga turut bergembira. Bahkan ekspresi kegembiraan mereka melebihi kegembiraan orang-orang yang berpuasa. Dan ini adalah fenomena umum yang tidak hanya kita jumpai dalam ritual ibadah, tetapi juga sering kita temui dalam kehidupan sosial.

Pihak lainnya yang turut merasakan kebahagiaan di hari raya adalah anak-anak. Sebabnya sederhana saja, karena anak-anak memperoleh beberapa keistimewaan di hari raya yang biasanya tidak mereka dapatkan di hari-hari biasa. Di antara keistimewaan itu adalah baju baru, mainan baru dan uang jajan lebih.

Mimpi terbesar anak-anak di hari raya adalah memakai baju baru yang telah disimpan dan dipeluk cium sejak sebulan lalu. Bagi anak-anak yang terlahir dalam keluarga yang mapan secara ekonomi, baju baru ini akan terus berganti dari tahun ke tahun. Adapun anak-anak yang “ditaqdirkan” memiliki orang tua ekonomi lemah atau pun yatim, baju baru itu hanya boleh dipakai ketika hari raya dan disimpan kembali untuk hari raya berikutnya. Dan tidak jarang, satu baju baru dipakai dalam rentang waktu satu periode kepemimpinan politik. Sepuluh kali hari raya!

Aksesoris lainnya yang menemani perjalanan hari raya adalah tradisi minta maaf, bukan memberi maaf. Hal ini pun terbilang wajar, sebab meminta maaf lebih mudah dan bahkan sudah mulai dipopulerkan oleh kalangan politisi. Sebaliknya, memberi maaf itu sulit, meskipun dirayu dengan sejuta tangis penyesalan. Uniknya, aksi memberi maaf diganti dengan gerakan bullying. Itulah kita, unik tidak pada tempatnya.

Selain itu, kemunculan peradaban maya juga telah turut menyemarakkan gairah hari raya. Seperti kita saksikan bersama, ketika Ramadhan berakhir, beranda facebook penuh dengan ucapan selamat hari raya. Ragam foto dengan penuh senyuman terpampang rapi di setiap postingan. Beraneka pantun penuh kalimat syahdu pun bertaburan layaknya sayembara akbar.

Peradaban maya telah melahirkan suasana baru dan mengantarkan kita menuju alam setengah mimpi. Ketika hari raya tiba, beranda facebook menjadi sesak dengan permohonan maaf. Bahkan media pesan semisal WhatsApp pun mendadak “koma” karena ucapan selamat yang mengalir deras tak terbendung. 

Kondisi ini berbeda ketika kita masih hidup dalam periode “tradisional.” Dulu, untuk mengucapkan selamat hari raya kita mesti berkunjung ke rumah-rumah. Kunjungan-kunjungan ini akan semakin mengikat tali silaturrahim dan menambah keakraban. Melalui tradisi berkunjung, selain bisa bertatap muka, kita juga bisa berjabat tangan, menikmati hidangan dan bahkan mendapatkan “jajan tambahan” jika membawa momongan.

Tapi, seiring bergeraknya zaman, kebahagian-kebahagian tradisional ini menjadi hilang dan berganti dengan peradaban maya yang menghadirkan kebahagiaan semu. Kita disuguhkan dengan ucapan-ucapan semu yang sama sekali tidak berbekas. Kita juga dipaksa memandang senyuman-senyuman palsu yang meskipun manis tapi minus rasa.

Interaksi sosial dalam peradaban maya tak ubahnya seperti menyiram bunga-bunga kertas (hiasan). Sederas apa pun air yang kita sirami tidak akan pernah membuat bunga-bunga itu tumbuh. Bunga-bunga kertas tidak akan pernah mekar dan senantiasa abadi dalam kekeringan.

Kita pasti sepakat bahwa silaturrahim di alam maya tidak akan pernah mampu menghadirkan rasa. Selamat hari raya medsosiah!

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments