Menatap Bireuen dari Puncak Teulaga Maneh

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 08 Juli 2017



Saya bersama Bang Azmi Abubakar mengawali pagi (Jumat, 06/07/17) dengan meneguk kopi di pusat Kota Bireuen, tepatnya di depan Meunasah Kulah Batee. Sambil menikmati kopi sanger, kami terlibat perbincangan dengan seorang pemuda Bireuen, sebut saja namanya “brother” (untuk menghindari menyebut bunga). Brother mengajak kami untuk jalan-jalan sambil menunggu waktu Jumat. Setelah menceritakan sedikit tentang objek yang akan dituju, kami pun merasa tertarik dan bahkan terhipnotis.

Tanpa menunggu lama, saya, Bang Azmi dan si brother pun berangkat ke lokasi dengan menggunakan mobil Double Cabin L200 Strada. Untuk menuju lokasi, kami melalui Desa Juli Meunasah Tambo. Menurut si brother, jarak perjalanan ke lokasi hanya sekitar 1 Km.

Mobil yang kami tumpangi dikemudikan si brother dan terus melaju dengan gagahnya menembus lorongn-lorong kecil. Sayangnya kondisi hari itu kurang menguntungkan karena rintik hujan sudah mulai membasahi bumi sehingga jalan pun menjadi licin.



Pada tanjakan pertama, Double Cabin L200 Strada nampak kewalahan karena jalan licin dan berlumpur. Sekali menanjak, sekali mundur terbawa lumpur. Butuh kerja keras dan profesionalitas untuk mengendalikan mobil dalam kondisi jalan berlumpur. Di tengah usaha yang menegangkan itu si brother menyemangati kami bahwa tidak ada istilah igo atret (mundur) dan harus terus maju. Akhirnya setelah lima kali maju mundur, mobil yang kami tumpangi pun sukses mengalahkan lumpur yang sedari awal mencoba menghalangi perjalanan.



Kami terus melaju menuju puncak dengan kondisi jalan licin dan jurang menganga di samping. Di tengah perjalan kami kembali berhadapan dengan tantangan berikutnya. Kali ini mobil dalam posisi menuruni tanjakan dengan kondisi lumpur yang semakin parah. Melihat posisi mobil yang terus bergerak ke arah jurang, saya dan Bang Azmi Abubabakar terpaksa turun. Rupanya keberanian yang selama ini kami “banggakan” tidak ada apa-apanya dan harus tunduk pada ancaman jurang yang semakin membuka mulutnya.

Berbeda dengan kami, si brother nampak tidak ciut nyalinya dan terus “bergulat” mengalahkan kubangan lumpur. Dari kejauhan – sambil menyaksikan atraksi menegangkan si brother – saya sempat berbisik kepada Bang Azmi bahwa ini “kegilaan” bukan keberanian. Dan Bang Azmi hanya tersenyum saja mendengar bisikan saya yang entah didengarnya atau tidak.

Setelah “menari-nari” beberapa menit dalam irama lumpur yang kian ganas, akhirnya si brother sukses menuruni tanjakan di samping jurang dengan raut wajah santai ditemani sebatang rokok kecil di mulutnya. Saya dan Bang Azmi hanya bisa teuhah babah – “gila benar ini orang”, teriak saya dalam hati.



Perjalanan kembali kami lanjutkan menuju lokasi yang menurut si brother bernama Puncak Teulaga Maneh. Setelah bergerak beberapa menit kami pun tiba di Puncak Teulaga Maneh yang lokasinya berbatasan dengan tiga desa; Juli Keude Dua, Meunasah Gadong dan Paloh Panyang. Penamaan Teulaga Maneh ini menurut si brother merujuk pada nama seorang ulama yang bernama Teungku di Teulaga Maneh yang lokasinya kuburannya berada di bawah perbukitan.

Sesampainya di Puncak Teulaga Maneh, kami pun menyaksikan eloknya alam ciptaan Rabbul ‘Alamin. Dari puncak ini kita bisa menyaksikan wajah Gunong Geureudong dan Gunong Goh yang berdiri gagah. Dari kejauhan juga nampak “lambaian tangan” dari Gunung Seulawah yang terlihat menawan. Gunung-gunung ini seolah ingin menyapa dan berteriak: “aku akan tetap berdiri di sini sampai Tuhan penguasa jagad raya mencabutku bersama reruntuhan langit ketika hari penghakiman telah tiba.”



Dari puncak ini, kita juga bisa menyaksikan panorama alam dari kejauhan. Petak-petak sawah nampak berjejer rapi menambah syahdunya alam. Kita juga bisa menatap indahnya Kota Bireuen dari kejauhan seperti butiran kelereng kecil yang tersusun rapi. Puncak Teulaga Maneh juga menyuguhkan hamparan Selat Malaka dengan airnya yang tenang. Sesekali terlihat kapal-kapal berlayar di atasnya. Pemandangan di Puncak Teulaga Maneh akan semakin indah jika malam tiba dengan kemilaunya kelap-kelip lampu dari pusat kota.



Akhirnya kami pun larut dalam pelukan alam bersama semilir angin yang berhembus tenang. Rasa lelah melalui tanjakan dan jalan berliku hilang seketika. Jika Puncak Teulaga Maneh mampu menampilkan keindahan yang mencengangkan, bagaimana pula di surga nantinya? Bertasbihlah!

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments