Apa Karya dan Riwayat Terpendam Bagian II

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 10 Juni 2017

Penulis di depan rumah Apa Karya (2017)

Pagi itu (09/07/17), saya menikmati secangkir kopi panas bersama Azmi Abubakar di seputaran Kota Bireuen. Di sela-sela diskusi ringan, saya mengajukan satu pertanyaan kepada Azmi. Bagaimana bisa Apa Karya (Zakaria Saman) membangun rumah semegah itu? Awalnya saya menduga Azmi akan terkejut mendengar pertanyaan tersebut. Tapi dia hanya tersenyum.

Setelah memejamkan mata beberapa detik, Azmi pun mulai bercerita bahwa rumah megah yang didiami Apa Karya di Keumala berasal dari bantuan berbagai pihak. Kenapa bisa?, tanya saya kepada Azmi. Menurut Azmi, Apa Karya adalah salah seorang petinggi GAM yang sangat dihormati. Posisinya sebagai Menteri Pertahanan GAM memiliki kontribusi besar dalam mempertahankan eksistensi perjuangan Aceh Merdeka.

Di waktu perang, masih menurut Azmi – Apa Karya berhasil mengumpulkan dana dari berbagai kalangan untuk membeli senjata. Uniknya lagi, ketika kondisi politik Aceh semakin mencekam dengan diberlakukannya Darurat Militer oleh rezim Megawati – Apa Karya yang kala itu bermukim di Swedia memilih pulang ke Aceh untuk bersama-sama berjuang dengan pasukan Gerakan Aceh Merdeka.

Fakta inilah yang kemudian membuat banyak kalangan menghormati Apa Karya sebagai salah seorang sosok orang tua dalam tubuh Gerakan Aceh Merdeka. Pasca ditandatanganinya MoU Helsinky pada 15 Agustus 2005, lebel “orang tua” tetap melekat pada sosok Apa Karya. Dan ketika Partai Aceh (PA) dibentuk, Apa Karya juga mendapatkan kehormatan untuk menduduki kursi Tuha Peut.

Pasca damai, seperti dikisahkan Azmi – banyak pihak yang memberikan bantuannya untuk pembangunan rumah bagi Apa Karya. Sebagian bantuan tersebut bersifat hibah dan sebagian lainnya berstatus pinjaman. Uniknya, bantuan yang diberikan kepada Apa Karya terdiri dari berbagai bentuk. Ada sebagian penguasaha yang membantu dalam bentuk semen, pasir, batu dan kerikil. Hal ini terbilang wajar, karena posisi rumah Apa Karya berdekatan dengan sumber material di Krueng Keumala. Akibat dekatnya jarak tempuh, biaya pengangkutan material tersebut menjadi lebih murah. 

Bahkan ada sebagian pengusaha lainnya yang meminjamkan berbagai peralatan guna mempercepat proses pembangunan rumah tersebut. Dengan menggunakan alat berat pinjaman inilah berbagai bahan material diangkut ke lokasi rumah Apa Karya. Akhirnya, berkat bantuan dari berbagai pihak, sebuah rumah megah nan kokoh pun berdiri di Keumala.

Nah, kira-kira apa makna rumah megah bagi sosok Apa Karya? Kenapa beliau tidak membangun rumah dengan ukuran sederhana agar tidak tekesan mewah? Bukankah dengan kondisi rumah yang sederhana sosok Apa Karya tetap akan dihormati oleh masyarakat? Apakah Apa Karya tidak merasa khawatir terjadi kesenjangan sosial dengan kondisi rumahnya yang lumayan besar – dan bahkan paling besar di Keumala? Tidakkah Apa Karya merasa risih jika ada pihak-pihak yang menuding perjuangannya selama ini hanya untuk sebuah rumah besar?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian saya ajukan kepada Azmi. Sayangnya Azmi tidak mampu memberi jawaban. Azmi hanya bercerita ketika ia pertama sekali mengunjungi rumah Apa Karya. Saat itu, Apa Karya menanyakan kepada Azmi: “kiban pendapat Azmi tentang rumohnyoe? (bagaimana pendapat Azmi tentang rumah ini?).” Tanpa pikir panjang Azmi menjawab bahwa ia (Azmi) harus mampu membangun rumah yang lebih besar lagi. Sambil tersenyum Apa Karya berkata kepada Azmi: “Goh lom pernah lon deungo jawaban lageenyo” (belum pernah saya dengar jawaban seperti ini).

Sambil menutup cerita, Azmi mengajak saya untuk menemui Apa Karya di Keumala agar beberapa pertanyaan yang saya ajukan kepadanya dapat terjawab. Setelah menghabiskan kopi, kami pun berangkat ke Keumala dengan menumpang mobil seorang politisi yang kebetulan akan berangkat ke Kota Sigli. Sesampainya di wilayah Trieng Gadeng, saya dan Azmi pun turun. Kami sudah ditunggu oleh Sayed Hamzah yang juga orang dekat Apa Karya. Dan perjalanan pun kami lanjutkan ke Beureuenun menggunakan mobil Sayed Hamzah.

Sesampai di Kota Beureuenun, kami menyaksikan Mesjid Baitul A’la Lil Mujahidin yang berdiri megah di pusat kota. Mesjid yang dibangun oleh Bapak Aceh Modern, Abu Dawud Beureueh-eh ini menampilkan wajah heroik – tempat berkumpulnya para mujahid dengan spirit jihad yang menyala-nyala. Mesjid ini menjadi saksi bahwa di kota ini pernah hidup seorang tokoh besar yang telah berhasil menciptakan sejarah Aceh modern.

Untuk menuju rumah Apa Karya, kami juga melalui jalan Lameulo Kota Bakti. Kota ini menjadi saksi atas sebuah tragedi besar di masa lampau. Di kawasan inilah berkecamuk “perang saudara” (Perang Cumbok) antara kaum Uleebalang dan Kaum ulama yang didukung penuh oleh rakyat. Kota ini menghadirkan spirit perlawanan dan kebebasan yang dibalut dengan duka mendalam.

Tidak berapa lama setelah melewati Lameulo, kami pun tiba di Keumala. Kami berhenti di sebuah rumah yang dikelilingi pagar mirip “benteng keraton” dengan tinggi sekira 4 meter. Dilihat sepintas, rumah ini benar-benar mirip “istana.” Dan keberadan rumah besar nan megah ini turut menambah keindahan wajah Keumala. 

“Ini rumah Apa Karya”, kata Azmi. Dan kami pun turun. Dari sela-sela gerbang saya melihat Apa Karya melambaikan tangan sebagai isyarat bagi kami untuk segera masuk. Kami pun disambut dengan ramah oleh mantan Menteri Pertahanan GAM ini.

Setelah terlibat diskusi tentang berbagai isu kekinian, saya dengan didampingi Azmi Abubakar dan Sayed Hamzah mencoba mengajukan beberapa pertanyaan tentang “misteri” rumah megah Apa Karya. Setelah berusaha duduk tegak, dengan wajah tersenyum, Apa Karya menjawab bahwa rumah ini adalah marwah orang Aceh. “Nyo rumohnyo marwah ureueng Aceh, lon hana aneuk, keupu rumoh raya, tapi pakiban wate dikalen le awak luwa, sidro meuntro GAM hana rumoh, maka nyo nakeuh marwah geutanyo ureung Aceh (rumah ini adalah marwah orang Aceh, saya tidak punya anak, untuk apa rumah megah, tapi bagaimana kalau orang luar melihat seorang menteri GAM tidak punya rumah, maka rumah ini adalah marwah kita orang Aceh).”

Mendengar jawaban Apa Karya, saya dan Azmi Abubakar hanya bisa terdiam. Sangat sulit bagi saya untuk menafsirkan kalimat-kalimat itu. Tapi saya mencoba menangkap satu poin menarik bahwa persoalan kehormatan telah menjadi perhatian bagi endatu orang Aceh dari masa ke masa. Perlawanan melawan Belanda bertahun-tahun dengan mengorbankan nyawa dan harta adalah demi menjaga kehormatan bangsa dan agama agar tidak dijajah oleh bangsa kafir.

Keterlibatan Apa Karya dalam perjuangan GAM juga turut mempertegas bahwa ia adalah sosok yang menaruh perhatian besar pada marwah bangsa yang anti kepada segala bentuk penindasan oleh negara. Mungkin faktor inilah yang kemudian mendorong sosok Apa Karya membangun rumah megah di masa damai sebagai manifestasi sebuah marwah. Kondisi beliau yang sampai saat ini belum memiliki keturunan tentunya akan menafikan segala tudingan liar bahwa Apa Karya gila harta.

Uniknya lagi, seperti diceritakan sendiri oleh Apa Karya, pada saat rumah ini dibangun, tidak ada bantuan dari seorang bupati maupun gubernur. Padahal, pasca damai, ramai mantan GAM yang menduduki jabatan sebagai kepala daerah di Aceh. Tapi Apa Karya tidak menerima satu rupiah pun dari mereka.

Dana untuk membangun rumah besar di Keumala, menurut penuturan Apa Karya, diperoleh dari beberapa penguasaha yang sebagiannya berstatus pinjaman dan sampai saat ini belum mampu ia bayar.

Apa Karya juga mengaku tidak pernah terlibat dalam proyek apa pun dengan alasan akan merusak marwah. Bahkan ada seorang pengusaha yang mencoba “menyuap” Apa Karya dengan dana 400 juta agar ia menggunakan pengaruhnya untuk meluluskan sebuah proyek. Tapi Apa Karya dengan tegas menolak dana tersebut demi sebuah marwah, padahal ia sangat membutuhkan dana untuk membayar hutang-hutangnya. 

Bersambung…

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments