Mahasiswa Genit

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 21 Juni 2017

Foto: stuff.co.nz

Belum lama ini, Gubernur Zaini Abdullah mendapatkan penghargaan dari sejumlah mahasiswa yang diserahkan pada acara buka puasa bersama di Pendopo Gubernur Aceh. Dalam acara tersebut juga dilakukan penyerahan draft rekomendasi hasil Konferensi Aktivis Mahasiswa Aceh kepada Gubernur. Pada kesempatan itu, Zaini juga sempat menjelaskan berbagai keberhasilan pembangunan selama lima tahun kepemimpinannya (Serambi Indonesia, 19/06/17).

Tiba-tiba saja, aksi “genit” yang melibatkan BEM Unsyiah ini mendapat sorotan dari saudara-saudara mereka, para aktivis BEM beberapa kampus di Aceh. Seperti biasa, untuk membakar jerami (jumpueng) hanya butuh sineuk aneuk keh (sebiji korak api) dan akhirnya api pun akan menjalar ke angkasa. Hal ini pula yang dialami oleh BEM Unsyiah, awalnya aksi “genitnya” ditanggapi secara “genit” oleh satu perwakilan BEM (sebagai pemantik?) dan kemudian kecaman pun bertaburan hampir dari seluruh BEM di Aceh.

Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Malikussaleh menyebut penghargaan yang diberikan kepada Gubernur Zaini sangat tidak layak, karena yang bersangkutan dianggap tidak memberikan kontribusi yang mumpuni untuk pengembangan perguruan tinggi di Aceh. Kritik dengan nada lebih tinggi datang dari Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah, Hamdani. Menurutnya, BEM Unsyiah telah mencoreng wajah seluruh mahasiswa di Aceh sehingga BEM Unsyiah layak keluar dari perkumpulan BEM se-Aceh.

Jika dicermati, dua komentar petinggi BEM di atas juga lumayan genit. Pertama, Zaini dianggap tidak memberikan kontribusi dalam pengembangan perguruan tinggi di Aceh. Sayangnya, ketua BEM dimaksud tidak merinci kontribusi apa saja yang dibutuhkan perguruan tinggi di Aceh. Kalau kita mau adil, dalam hal kontribusi – jangankan gubernur, seorang rektor pun belum tentu berkontribusi dalam pengembangan perguruan tinggi yang dipimpinnya. Jika teori kontribusi ini dipakai, maka seorang rektor pun tak layak dihargai sebelum ia menunjukkan kontribusinya kepada mahasiswa.

Kedua, ketua BEM Fakultas Hukum Unmuha menyebut BEM Unsyiah telah mencoreng wajah seluruh mahasiswa di Aceh. Kita tentu sepakat bahwa istilah seluruh dan sebagian merujuk kepada jumlah. Dan jumlah ini tidak akan pernah kita ketahui tanpa didahului oleh proses perhitungan. Nah, sudahkah abang Ketua BEM FH Unmuha menghitung jumlah mahasiswa yang tercoreng wajahnya? Jika belum, maka komentar tersebut juga sebuah kegenitan. 

Dalam klarifikasinya, Ketua BEM Unsyiah, Rahmad Faisal mengatakan bahwa penghargaan yang diberikan kepada Gubernur berasal dari BEM Unsyiah tanpa melibatkan delegasi yang mewakili universitas se-Aceh pada acara Konferensi Aktivis Mahasiswa Aceh (KAMA) III. Menurut mereka, piagam tersebut adalah bentuk penghargaan atas kerja keras dan dedikasi Gubernur yang telah memimpin Aceh selama periode 2012-2017. Dengan adanya klarifikasi ini, maka “tudingan” pencatutan nama BEM se-Aceh oleh BEM Unsyiah menjadi tidak relevan dan gugur dengan sendirinya.

Sementara itu, Ketua BEM Fakultas Hukum Unsyiah, Ade Mulya, dengan tetap bersikap kritis dan mempertanyakan sikap BEM Unsyiah – dalam suratnya yang dirilis AceHTrend menilai pemberian penghargaan kepada Gubernur Zaini adalah sesuatu yang wajar, mengingat sang Gubernur telah bekerja keras dalam membangun Aceh dengan ikhlas. Kita sepakat saja dengan Ade Mulya yang menyebut gubernur telah bekerja keras, tapi terkait label ikhlas yang disematkan kepada Gubernur Zaini tentu masih berpeluang dikritisi agar tidak nampak genit, karena keikhlasan sulit diukur, apalagi dalam ruang politik yang sarat dengan tulak-tarek.

Seolah tidak ingin ketinggalan, dalam menyikapi hiruk pikuk BEM ini, mantan pengurus BEM IAI Al-Aziziyah Samalanga juga turut berkomentar melalui tulisannya di AceHTrend. Namun sayangnya, setelah beberapa kali membaca, saya masih gagal menangkap pesan yang disampaikan oleh Andi Saputra tersebut. Entah tulisannya terlalu genit, wallahu A’lam.

Bagi saya, apa yang dilakukan oleh BEM Unsyiah adalah sebuah ekspresi kegenitan yang bebas ditafsirkan sesuai selera penafsir. Demikian pula dengan reaksi yang ditunjukkan oleh beberapa BEM lainnya di Aceh pun sebuah parade kegenitan yang juga patut diapresiasi. Akhirnya, tulisan ini tidak memberi kesimpulan apa-apa, kecuali menambah kegenitan.

Di akhir tulisan ini, saya mengajak abang-abang mahasiswa di Aceh untuk menghindari kegenitan yang tidak pada tempatnya. Genit itu perlu untuk menambah kesyahduan, tapi jika salah menempatkan, kegenitan justru akan mengundang kekacauan.[]

Artikel ini sudah duterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments