Ketika Mata Menjadi Hakim

Oleh: Khairil Miswar 

Banda Aceh, 04 Juni 2017

Foto: allaboutvision.com

Dalam KBBI, kata ‘melihat’ dimaknai sebagai sebuah tindakan menggunakan mata untuk memandang suatu objek. Sementara kata ‘memperhatikan’ diartikan sebagai kegiatan melihat dalam jangka waktu lama dan teliti. Dengan demikian, melihat dan memperhatikan selain memiliki persamaan, juga terdapat perbedaan. Kegiatan melihat hanya terjadi sepintas, sedangkan memperhatikan membutuhkan waktu lama dan tidak hanya melibatkan mata, tetapi juga pikiran, hati, dan kejelian.

Dalam keseharian, kita cenderung hanya melihat dan jarang memperhatikan. Hal ini terbilang wajar sebab aksi melihat tidak membutuhkan penggunaan otak (pikiran). Di samping itu, banyaknya objek juga menyebabkan kita cenderung hanya melihat, atau bahkan cuma melihat-lihat (santai). Sementara aksi memperhatikan hanya kita lakukan dalam kondisi tertentu, ketika terdapat objek yang benar-benar penting.

Sebagai contoh, ketika ada seekor kucing melintas, biasanya kita hanya melihat dan tanpa perlu proses perenungan kita akan segera tahu bahwa itu adalah kucing. Kondisinya akan berbeda ketika sepasang kucing bersenggama di hadapan kita. Tentunya aksi melihat tidak meumada, sehingga kita pun “terpaksa” memperhatikan film “Si Unyil” yang dipraktekkan si kucing. Perbedaan sikap ini disebabkan oleh penting tidaknya objek tersebut sehingga berbeda pula cara menyikapinya. Kucing berjalan adalah kejadian biasa, sementara film “Si Unyil” yang dipraktekkan kucing adalah sesuatu yang menarik.

Sebagai insan beriman yang telah dianugerahi akal, seharusnya kita tidak hanya sekedar melihat, tetapi juga harus rajin memperhatikan. Karena aksi melihat yang cuma menggunakan mata cenderung menipu. Hakikat sesuatu objek tidak akan terjawab hanya dengan praktek melihat.

Sebagai contoh, sepasang kekasih yang duduk di pinggir danau dengan posisi saling membelakangi dan diam tanpa bicara akan kita tafsirkan sebagai sebuah kondisi ketidakharmonisan. Dengan hanya melihat sepintas, kita bisa saja berkesimpulan bahwa mereka lagi mogok bicara karena salah satunya ketahuan selingkuh. Tapi, kesimpulan tersebut akan berubah jika kita memperhatikan gerak-gerik mereka secara utuh. Posisi saling membelakangi yang mereka lakoni justru memiliki kesyahduan tersendiri, di mana sepasang kekasih itu bisa secara bebas membangun khayal tanpa harus saling memandang. Karena cinta yang telah memuncak membuat kita tak kuasa memandang.

Dengan hanya bermodal bola mata, kita cenderung menjadi hakim terhadap orang lain. Tanpa pikir panjang kita telah terbiasa menghukumi orang lain dengan begitu sadis. Pandangan-pandangan liar minus akal telah membuat kita terperosok pada kesimpulan keliru. Kita terlalu cepat memainkan palu sehingga fitnah pun bertaburan. Dan kita terlalu mudah mengukur badan orang lain dengan pakaian kita. 

Baru-baru ini, beredar sebuah video di alam maya yang diunggah acehvideo.tv (03/06/17). Dalam video dimaksud nampak Muallem (Muzakkir Manaf) tidak duduk bersila seperti halnya jamaah lain pada saat menghadiri buka puasa bersama Panglima TNI, Gatot Nurmantyo di Makodam Iskandar Muda. Posisi duduk “santai” yang dipraktekkan Muallem ini kemudian ditanggapi secara kontroversial oleh para netizen di media sosial.

Ada sebagian netizen yang tanpa penelitian, langsung memvonis bahwa Muallem telah bersikap tidak sopan dengan posisi duduk wa tu oet (memeluk lutut). Kita paham bahwa dalam pandangan mainstream, posisi duduk serupa itu memang tak layak, apalagi di hadapan tamu-tamu agung. Namun demikian, tentu sangat tidak pantas jika kita langsung menancapkan palu di jidat Muallem dengan label tidak sopan, tidak tahu tata karma, gaya preman, dll.

Seorang teman yang juga mantan pasukan tempur GAM di masa konflik menceritakan kepada saya bahwa Muallem pernah tertembak di paha bagian atas (lungkik pha). Kondisi ini membuat Muallem tidak bisa duduk bersila dalam posisi lama sehingga ia harus berganti-ganti posisi agar rasa sakit tidak muncul. Cerita-cerita serupa ini tentunya tidak akan kita temukan jika hanya mengandalkan sepasang bola mata. Sebab itu berhentilah menjadi hakim yang memainkan palu secara membabi buta.

Sudah saatnya dendam-dendam politik di masa Pilkada itu dibuang jauh-jauh. Sudah waktunya akai burek katek dikubur dalam-dalam. Adalah aneh, ketika Muallem sedang berjaya, ia dipuja-puji, tapi ketika ia terjatuh justru dicaci maki. Sampai-sampai posisi duduk pun jadi viral. Mari perbaiki kewarasan!

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments