Negara Semakin Panik!

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 09 Mei 2017

Foto: aktual.com

Kemarin (08/05/17), Menkopolhukam Wiranto telah menggelar konferensi pers dan mengumumkan pembubaran ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Wiranto menyebut keberadaan HTI dapat membahayakan NKRI. Secara lebih tegas seperti dilansir detik.com, Wiranto menyatakan bahwa HTI sebagai ormas berbadan hukum tidak melaksanakan peran positif dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Wiranto juga menyebut aktivitas HTI telah menimbulkan benturan di masyarakat serta mengancam keamanan.

Keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI ini ditanggapi pro-kontra oleh masyarakat. Sebagian masyarakat menyatakan dukungannya dengan dalih penyelamatan NKRI dari ideologi radikalisme. Bahkan uniknya, akibat keputusannya ini, Wiranto mendapat kiriman karangan bunga sebagai bentuk dukungan atas sikap pemerintah membubarkan HTI. Sementara sebagian masyarakat lainnya secara tegas menyatakan penolakannya terhadap keputusan pemerintah dan menyebut tindakan tersebut sebagai kemunduran demokrasi.

Menyikapi wacana pembubaran HTI tersebut, Yusril Ihza Mahendra mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam bertindak dan mengedepankan cara-cara persuasif terlebih dahulu serta melakukan kajian yang diiringi dengan bukti-bukti yang kuat agar tidak kalah di pengadilan (merdeka.com, 09/05/17). Sementara Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Noorhaidi Hasan yang dikutip tempo.co (08/05/17) menilai tindakan pemerintah tersebut akan menjadi blunder besar. Menurut Noorhaidi, sampai saat ini HTI tidak melakukan langkah-langkah sistematik untuk meruntuhkan kekuasaan pemerintah. Noorhaidi juga mengingatkan agar pemerintah tidak terjebak dalam otoritarianisme yang telah ditinggalkan sejak zaman reformasi.

Tanggapan berbeda datang dari Nahdatul Ulama dan GP Anshor yang menyatakan mendukung keputusan pemerintah terkait pembubaran HTI. Bahkan, seorang tokoh NU, Imam Aziz menyebut pemerintah terlambat membubarkan HTI. Tokoh NU ini juga menuding HTI lebih berbahaya dari upaya makar selama ini (tirto.id, 08/15/17). Dukungan lainnya, meskipun tidak begitu tegas, juga datang dari Muhammadiyah. Seperti dikemukakan Haidar Nashir, bahwa Muhammadiyah menghargai sikap pemerintah yang bertindak di jalur hukum dan perundang-undangan dalam kebijakan soal pembubaran HTI (detik.com).

Sementara itu, dalam keterangan yang dirilis antaranews.com, Juru Bicara HTI, Yusanto, membantah tudingan pemerintah yang menyebut HTI tidak mengambil peran dalam pembangunan nasional. Menurut Yusanto, HTI terlibat dalam usaha mengkritisi berbagai peraturan perundangan liberal yang dinilai akan merugikan bangsa dan negara seperti UU Migas, UU SDA, UU Penanaman Modal juga UU Sisdiknas dan lainnya. HTI juga terlibat dalam sosialisasi antinarkoba, menolak gerakan separatisme dan upaya disintegrasi bangsa. Masih menurut Yusanto, HTI juga ikut ambil bagian dalam usaha membantu korban bencana alam di berbagai tempat seperti tsunami Aceh, gempa Yogyakarta pada 2006 dan lainnya.

Kepanikan Pemerintah

Sebagai penguasa, tentunya pemerintah berhak membubarkan organisasi semisal HTI jika memang terbukti ingin mengganti dasar negara, Pancasila dan UUD 1945. Dan sudah semestinya pembubaran ini dilakukan secara prosedural sesuai perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, wacana pembubaran HTI yang dilakukan pasca maraknya aksi-aksi umat Islam selama ini tentunya akan memunculkan berbagai spekulasi dari publik.

Negara boleh saja berapologi bahwa HTI sudah terlebih dahulu dilarang di berbagai negara di luar negeri. Dan bahkan HTI juga dilarang keras di negara asalnya Yordania dan juga beberapa negara Timur Tengah lainnya. Hal ini dapat dimengerti karena konsep khilafah yang digembar-gemborkan oleh HTI telah menimbulkan keresahan di berbagai negara yang telah merasa mapan dengan sistem pemerintahannya masing-masing. Konsep khilafah yang didengungkan oleh HTI tidak hanya dianggap sebagai ancaman dalam keberlangsungan demokrasi, tetapi juga berhasil melahirkan ketakutan bagi negara-negara yang menganut sistem monarki.

Namun demikian, khususnya dalam konteks Indonesia, wacana khilafah yang dikampanyekan HTI hanyalah sebatas konsep teoritik belaka. Dan sampai saat ini wacana ini sama sekali tidak berdampak pada keberlangsungan demokrasi di Indonesia. Tidak ada catatan yang menyebut HTI telah berhasil menggagalkan pemilu di Indonesia. Demikian pula, tidak ditemukan gerakan sistematis dari HTI yang dapat menumbangkan Pancasila sebagai dasar negara yang telah disepakati oleh founding father di negeri ini.

Secara pribadi, penulis juga tidak selamanya sepakat dengan konsep-konsep HTI. Dan bahkan HTI juga dikenal dengan gagasannya yang “anti demokrasi.” HTI juga sering melemparkan tudingan-tudingan tidak sedap terhadap kelompok Islam lainnya. Tapi, sebagai seorang muslim, kita tidak memandang wacana pembubabaran HTI sebagai sebuah tindakan bijak. Kita memposisikan HTI sebagaimana ormas-ormas Islam lainnya yang tentunya memiliki kesempatan untuk hidup di Indonesia selama tidak melanggar undang-undang yang berlaku.

Kita khawatir jika wacana pembubaran HTI merupakan awal dari kepanikan pemerintah. Sebagaimana telah kita lihat, kebangkitan umat Islam yang sedang tumbuh di Indonesia akhir-akhir ini telah memunculkan rasa takut berlebihan dari pemerintah sehingga tudingan-tudingan makar terus menggelinding. Lucunya lagi, ketakutan akan makar ini telah menimbulkan perbedaan pendapat antara institusi TNI dan Kepolisian, di mana kedua pimpinannya memiliki persepsi berbeda dalam menilai aksi-aksi umat Islam.

Oleh sebab itu kita meminta pemerintah untuk meninjau kembali keputusan pembubaran HTI, kecuali jika memang ditemukan bukti-bukti yang cukup bahwa mereka akan menumbangkan Pancasila. Kita juga berharap agar pemerintah tidak terlalu panik dalam menyikapi isu-isu makar sehingga berdampak pada eksistensi gerakan umat Islam dengan munculnya aksi-aksi penangkapan terhadap tokoh-tokoh Islam. Pemerintah Jokowi harus mampu menjaga stabilitas nasional dengan tidak mengorbankan kebebasan berpendapat, khususnya bagi umat Islam.

Kebangkitan gerakan umat Islam di Indonesia harus dilihat dalam perspektif positif sebagai media terbentuknya solidaritas umat guna memperkuat keutuhan NKRI di masa depan. Munculnya gerakan-gerakan umat Islam pada prinsipnya adalah untuk mengawal perjalanan demokrasi dan juga demi terbinanya penegakan hukum yang adil dan bermartabat. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments