Mengusir Kepanikan

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 8 Mei 2017

Foto: antaranews.com

Tersiar kabar, Gubernur Kalimantan Barat diusir dari Aceh. Sekejap saja kabar ini pun beredar luas. Informasi ini juga sempat dirilis oleh beberapa media online di Aceh. Harianmerdeka.com (06/05/17) misalnya, mengabarkan bahwa puluhan aktivis FPI mendatangi hotel tempat menginap Gubenur Kalbar yang kononnya bernama Cornelis. Menurut Harian Merdeka, penolakan tersebut disebabkan oleh tindakan Cornelis yang disebut-sebut sering menolak kehadiran ulama ke Kalbar. Alhasil, masih menurut Harian Merdeka, Gubernur Cornelis – seperti diakui oleh pihak Hotel Hermes, akhirnya meninggalkan Aceh.

Media lainnya, hidayatullah.com menyebut aksi pengusiran Cornelis disebabkan oleh kasus penghadangan Ketua Umum DPP FPI, Shabri Lubis di Pontianak pada Jumat (5/5/17). Hal ini dikuatkan dengan keterangan Pangda LPI, Ahmad, yang mengatakan bahwa aksi pengusiran itu terkait dengan pidato Cornelis beberapa waktu lalu yang dinilai provokatif dan intoleran. Aksi pengusiran ini juga sempat beredar melalui video, di mana terlihat beberapa orang melakukan demonstrasi dan juga orasi guna menolak Cornelis di Aceh.

Sementara itu, kehadiran Cornelis ke Aceh disebut-sebut mendapat undangan dari Gubernur Aceh dalam rangka menghadiri Penas KTNA. Tentu tidak hanya Cornelis, gubernur dari provinsi lain juga turut hadir ke Aceh. 

Menyikapi aksi pengusiran tersebut, beranda facebook pun penuh dengan ragam komentar. Pro kontra tidak dapat dihindari. Sebagian masyarakat menyatakan sepakat dengan aksi FPI yang mengusir Cornelis dari Aceh. Sementara sebagian warga Aceh lainnya justru menyatakan keberatan dan aksi ini dinilai mempermalukan Aceh. Dan komentar-komentar unik pun bermunculan di media sosial.

Senior saya, Risman Rachman, menulis: “Di bumo Aceh, bui pun boleh hidup, dan baru diburu ketika menjadi hama” (di bumi Aceh babi saja boleh hidup, dan baru diburu ketika menjadi hama). Saya tidak tahu apakah komentar ini terkait dengan aksi pengusiran atau tidak, tapi yang jelas, beliau mencoba menitip pesan bahwa Aceh terbuka untuk siapa saja (pengunjung) selama si pengunjung tersebut tidak membuat kekacauan.

Komentar yang lumayan hot datang dari Saiful Mahdi: ”Sebagai rakyat Aceh, saya malu dengan perilaku oknum FPI yang mengusir tamu itu! Maafkan kami…” Dalam komentarnya, Saiful Mahdi sepertinya tidak sepakat dengan aksi pengusiran yang dilakukan oleh oknum FPI terhadap Cornelis. Tentunya Saiful Mahdi punya cukup alasan terkait pendapatnya ini.

Netizen lainnya, Mirza Ardi, menulis sebuah status yang cukup melankolis: “Nista dibalas menista, usir dibalas mengusir, benci dibalas membenci. Semua memang akan gila ketika sudah waktunya.” Dalam komentarnya yang syahdu ini, terlihat Mirza ingin mendamaikan suasana dengan cara mengedepankan kesantunan. Artinya, tidak semua keburukan harus dibalas dengan keburukan. Dan jika itu terjadi, tentu tidak ada bedanya antara kita dan mereka.

Seolah tidak ingin ketinggalan, Senator Aceh, Ghazali Abbas Adan, seperti dilansir Tribun Medan (08/05/17) juga menyesalkan insiden demo terhadap Gubernur Kalbar di Banda Aceh. Bahkan politisi senior ini juga menyebut tindakan pengusiran tersebut bukan budaya Aceh dan tidak mewakili masyarakat Aceh. Ghazali Abbas juga mengaku mendapat pengaduan dari masyarakat Aceh di Kalbar yang merasa tidak nyaman pasca penolakan terhadap Cornelis.

Selain komentar yang terkesan kontra terhadap aksi pengusiran, banyak pula bermunculan komentar yang justru sepakat dengan tindakan tersebut. Karena terlalu banyak, maka saya memutuskan untuk tidak mengutip tersebab ruang yang sangat terbatas. Namun demikian, keseluruhan komentar yang sepakat dengan pengusiran menisbatkan pendapatnya pada solidaritas muslim, di mana aksi pengusiran Cornelis sebagai bentuk pembalasan. Tentu yang namanya pembalasan, aksi tersebut telah dimulai sendiri oleh Cornelis. Singkatnya, yang diusir tersebut pada hakikatnya juga seorang pengusir.

Terlepas sepakat atau pun tidak sepakat, tapi saya mencoba mengajak kita semua untuk menghargai semua pendapat yang berkembang. Yang mendukung pengusiran tentu memiliki argumen yang kuat. Sebaliknya yang menolak pengusiran juga punya alasan yang cukup. Dan yang terpenting, baik penolak maupun pendukung adalah sama-sama masyarakat Aceh yang sudah pasti juga muslim. Jika si pendukung pengusiran mendasarkan keyakinannya pada agama, maka si penolak pengusiran pun berpendapat sesuai teks-teks agama yang dipahaminya.

Dengan demikian, menyebut si pendukung pengusiran dengan label radikal adalah tidak bijak. Begitu pula halnya menuduh si penolak pengusiran dengan cap liberal pun salah kaprah. Sudah saatnya kita berhenti menjadi hakim atas pemikiran orang lain. Hanya karena seorang Cornelis kita pun larut dalam “perdagangan stempel.” Lagi pula sampai saat ini tidak ada investigasi yang benar-benar akurat, apakah Cornelis meninggalkan Aceh karena diusir atau memang sudah waktunya pulang. Artinya ada misteri yang belum terkuak, tapi kita telah terlanjur siap dengan kesimpulan masing-masing.

Adapun terkait dengan aksi pengusiran Cornelis harus dilihat dari dua sisi. Pertama, Cornelis sebagai sosok yang diposisikan sebagai “musuh” terkait dengan sikapnyanya yang dianggap tidak pro umat Islam. Kedua, Cornelis sebagai tamu yang diundang oleh Gubernur Aceh. Dua sisi inilah yang kemudian melahirkan dua sikap yang saling bertentangan. Seharunya dua sisi ini dipandang secara adil sehingga penanganannya menjadi tepat.

Kita tidak secara serta-merta menyalahkan aksi pengusiran, tapi jika kita berpikir runut, maka pihak yang pertama sekali harus disalahkan dengan kehadiran Cornelis adalah Gubernur Aceh sendiri. Artinya, tanpa undangan, tentunya Gubernur Kalbar itu tidak akan pernah ke Aceh. Tapi sayangnya, kita hanya terpaku pada “undangan” dan sampai saat ini tidak ada seorang pun yang menggugat “pengundang.” Akhirnya saya pun bingung, siapa yang lebih pantas disalahkan? Gubernur kita lagi kemana?

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments