Ketika Muallem Harus Mengalah

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 04 Mei 2017

Foto: acehterkini.com

Baru-baru ini netizen Aceh dihebohkan dengan beredarnya sebuah video berdurasi 1 menit 18 detik yang diposting seorang netizen di media sosial. Dalam video tersebut terlihat sebuah mobil CRV putih berplat BK 1603 ET yang ditumpangi Wakil Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf (Muallem). Mobil tersebut dipaksa oleh masyarakat setempat untuk “balik kanan” karena berlawanan arah.

Seperti dikabarkan AceHTrend, rombongan Wakil Gubernur yang datang dari arah Banda Aceh “memaksa” masuk melalui jalur berlawanan yang semestinya hanya dilewati oleh kenderaan dari arah Medan. Untuk kenderaan yang datang dari arah Banda Aceh sudah disediakan jalur lain melalui jalan pinggiran sungai Kuta Blang (Krueng Tingkeum). Tapi, jarak melalui jalan ini lumayan panjang dan berdebu, sehingga ramai pengendara yang mencoba menerobos jalur di simpang Gle Kapai yang lumayan pendek dan beraspal. Sebenarnya, jika diperhatikan, tidak hanya mobil Wagub yang memaksa “menerobos” arus berlawanan, tetapi sebagian pengendara lain juga melakukan hal yang sama.

Balek-balek, harus balek, hana wagub-wagub” (putar-putar, walaupun Wagub tetap harus balik). Demikian terdengar teriakan sebagian masyarakat yang mencoba menghadang mobil yang ditumpangi Muzakkir Manaf, mantan Panglima Perang Gerakan Aceh Merdeka yang sempat menjadi legenda di masa konflik.

Akhirnya, tidak ada pilihan lain bagi pria berpostur tinggi dan berjambang lebat itu kecuali memutar haluan. Kharismanya sebagai Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) ternyata tidak mampu membuat “amarah” warga meredam. Sebaliknya, kekesalan warga justru semakin memuncak ketika mengetahui yang melanggar aturan tersebut adalah orang nomor dua di Aceh, yang semestinya memberi teladan kepada masyarakat yang dipimpinnya. Untuk itu, salam tabik kita berikan kepada masyarakat Kuta Blang yang tidak pandang bulu dalam menerapkan aturan. Jika yang “berbulu” saja dihardik, apalagi yang tak berbulu.

Namun, di sebalik itu, kita juga patut mengacungi jempol kepada Muallem yang sigap dalam merespon amarah publik dengan memilih berputar haluan, meskipun (mungkin) dia merasa “dipermalukan” oleh rakyatnya sendiri. Dalam video tersebut juga tidak terlihat Muallem turun untuk menenangkan massa, padahal dia cukup ahli dalam mengendalikan pasukan bersenjata (AGAM) ketika konflik berkecamuk. 

Gelar Muallem yang disandangnya pun bukan gelar “murahan”, tapi sebuah maqam terhormat dalam lingkungan GAM yang mungkin sepadan dengan gelar Mursyid dalam tarikat-tarikat sufi. Tapi, di sini Muallem justru menitip pelajaran berharga kepada masyarakat Aceh, bahwa arus massa tidak bisa dilawan, meskipun kekuasaan ada di tangan. Artinya, Muallem lebih memilih untuk mengalah daripada bertegang urat saraf dengan rakyatnya sendiri. Untuk itu, tabik pula untuk Muallem.

Ada dua pelajaran penting yang dapat dipetik dari kejadian ini. Pertama, ketegasan rakyat dalam menjaga kenyamanan umum sehingga seorang pemimpin pun harus tunduk pada aturan yang sudah disepakati. Kedua, kecerdasan pemimpin yang cepat sadar akan kesalahannya dan kemampuannya dalam memahami kehendak rakyat. Jika dua hal ini bisa dijaga dengan konsisten, maka hubungan rakyat dan pemimpin akan tetap harmonis.

Selain itu, dalam video singkat tersebut, saya dan mungkin kita semua, juga sempat memperhatikan plat mobil yang ditumpangi Muallem. Mobil berwarna putih itu berplat Sumatera Utara (BK). Tentunya hal ini sangat kita sayangkan dan bahkan patut ditangisi ketika seorang Wakil Gubernur justru tidak memberikan teladan kepada rakyatnya. Di tengah aksi “diskriminasi BL” yang dilakukan oleh oknum di Sumatera Utara, Wagub Aceh yang seharusnya marah justru terkesan “bangga” menggunakan plat BK.

Apa yang dilakukan oleh Wagub Aceh ini juga nampak kontradiktif dengan kebijakan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah yang telah melakukan pemutihan biaya mutasi plat non BL ke BL dengan tujuan menambah penghasilan pajak yang tentunya akan berdampak pada kelanjutan pembangunan di Aceh. Seharunya, Wagub selaku orang nomor dua di Aceh menjadi pelopor dalam keberpihakan pajak untuk Aceh, bukan justru menjadi “promotor” pajak untuk Sumatera Utara.

Namun demikian, kita mencoba berhusnuzan saja. Boleh jadi mobil yang ditumpangi Wagub tersebut bukan miliknya, tapi hanya tumpangan sementara milik sejawat yang tentunya tidak mungkin ditolak. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments