Jangan Biarkan Tikus Bunuh Diri

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 30 April 2017

Ilustrasi

Dulu, pada sekira tahun 2013, saya sempat membaca sebuah status menarik dari akun facebook yang menamainya dirinya sebagai “Status Suka-Suka Gue.” Si pemilik akun menulis: “Ribuan tikus terindikasi bunuh diri, diduga tak tahan selalu disamakan dengan koruptor.” Pada 2016 saya kembali menemukan sebuah twitan sejenis dari akun twitter @Liputan9. Dan, kemarin (29/04/17), ketika memantau beranda facebook, status serupa kembali muncul. Kali ini diposting oleh kakanda kita, Ampuh Devayan dengan tampilan yang lebih kreatif: “Breking News: Seekor tikus ditemukan gantung diri. Diduga ia nekat mengakhiri hidupnya karena malu disamakan dengan koruptor.” 

Setelah membaca postingan Ampuh Devayan, tiba-tiba saja saya merasa tertarik untuk mengulasnya lebih jauh karena ini adalah persoalan moral yang mesti ditanggapi serius. Terkait kesamaan koruptor dan tikus, di antaranya telah diulas oleh hariansobek.com dengan penjelasan yang cukup menarik, yaitu: sama-sama suka nyolong, keduanya sama-sama susah ditangkap, keduanya hidup membaur dalam masyarakat dan keduanya bermuka busuk. Penjelasan hariansobek.com ini sudah cukup memadai guna menemukan benang merah antara koruptor dan tikus.

Memang sudah menjadi semacam tradisi bagi kita untuk menyamakan tingkah laku tercela dan perilaku buruk dengan menggunakan simbol binatang. Kebodohan sering diidentikkan dengan monyet, penjilat diserupakan dengan anjing, kotor dihubungkan dengan babi dan pencuri disamakan dengan tikus. Beberapa waktu lalu, saya juga sempat menyebut beberapa perilaku anak manusia yang minus akal dengan simbol lembu. Tentunya analogi serupa ini tidak sepenuhnya dapat disalahkan. Bahkan dalam Alquran, Allah menyimbolkan orang Yahudi dengan keledai. Dalam surat Al-Jumu’ah misalnya: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepada mereka (kitab suci) Taurat, kemudian mereka tidak mengamalkannya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab besar dan tebal. Amat buruklah perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah…” Sementara dalam surat Luqman ayat 19, Allah berkalam bahwa “seburuk-buruk suara adalah suara keledai.” 

Memang sepintas terlihat tidak adil ketika setiap keburukan dan kelemahan disimbolkan dengan binatang, karena kita (manusia) dan mereka (binatang) adalah sama-sama makhluk Allah. Pada titik ini, kita terkesan bersikap diskriminatif terhadap binatang. Tapi, sebelum membuat kesimpulan, baiknya kita memahami perbedaan manusia dan binatang. Saya sebut dua saja. Pertama, manusia diberi akal sedangkan binatang tidak, sehingga ia memiliki kemerdekaan penuh dalam berekspresi. Kedua, manusia memiliki masa depan (akhirat), sedangkan binatang tidak punya masa depan dan tidak pernah dihisab amalannya di akhirat kelak. Dan nampaknya, kita juga tidak akan dituntut karena menjadikan binatang sebagai simbol kejahilan.

Tikus dan Koruptor 

Seperti disinggung di awal, bahwa dalam peradaban kita saat ini, perilaku koruptif sering diidentikkan dengan sifat tikus yang suka nyolong, bermuka busuk, hidup di tengah masyarakat dan susah ditangkap. Akibat perilaku koruptif yang terus merajalela di seluruh pelosok negeri, akhirnya muncullah berbagai komentar satir seperti ditulis Ampuh Devayan. Terlepas siapa orang pertama yang membuat cerita unik ini, tapi saya melihat ada pesan moral yang dititip dari cerita tersebut.

Sampai dengan detik ini (mungkin karena kurang membaca) saya belum pernah menemukan satu hikayat pun yang menyebut seorang koruptor bunuh diri karena disamakan dengan tikus. Dan amat jarang pula seorang kuroptor menangis atau pun berwajah muram ketika predikat koruptor disandangkan di pundaknya. Sebaliknya, mereka justru semakin murah senyum sambil melambaikan tangan layaknya pahlawan besar yang baru saja mengalahkan musuh. Amat sedikit pula koruptor yang bermuka busuk seperti halnya tikus. Para koruptor di negeri kita umumnya berwajah rupawan dan bahkan menggoda.

Tapi, kenapa pula para tikus memilih bunuh diri karena disamakan dengan koruptor? Satu-satunya tawaran jawaban yang mendekati kebenaran adalah kerusakan moral para koruptor yang semakin dahsyat. Tikus mencuri hanya untuk sekedar mengisi perut agar ia tidak mati kelaparan. Sedangkan koruptor yang menguras uang negara bermilyar-milyar itu bukanlah si “busung lapar”, tetapi si “buncit” yang serakah. Kondisi inilah yang kemudian mengakibatkan tikus-tikus hakiki merasa malu dan terhina disamakan dengan koruptor.

Untuk menyelamatkan tikus-tikus hakiki dari kematian, maka sudah saatnya perumpamaan “koruptor seperti tikus” diganti dengan “tikus seperti koruptor.” Artinya, koruptor lebih jahat dari tikus sehingga ia lebih layak dijadikan sebagai simbol pencuri. Jika sekarang berkembang cerita satir tentang tikus gantung diri karena disamakan dengan koruptor, maka ke depan kita berharap ada koruptor kesatria yang benar-benar gantung diri karena disamakan dengan tikus.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments