Intelektual Garis Tombol

Oleh: Khairil Miswar 

Banda Aceh, 23 Mei 2017

Foto: Buku Sepuluh Tahun Darussalam

“Atas dasar pemikiran jang bersendikan adjaran Ilahi, maka Darussalam adalah lambang kedamaian dan tjinta-kasih, tempat mentjetak manusia jang beriman dan berbakti, tempat menggali ilmu pengetahuan untuk disumbangkan kepada ummat manusia, tempat membina Manusia Pantjasila jang berdjiwa besar, berpengetahuan luas dan berbudi luhur.” (Ali Hasjmy, Sepuluh Tahun Darussalam, 1969).

Pada tanggal 17 Agustus 1958 berlangsung upacara besar dalam rangka perletakan batu pertama pembangunan Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam oleh Wakil Pemerintah Pusat, Menteri Agama Republik Indonesia KH. Iljas, Panglima Kodam I Aceh Kolonel Sjamaun Gaharu, Gubernur Aceh A. Hasjmy dan Ketua Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Tgk. H.M. Ali Balwy.

Hari itu merupakan awal terbinanya Kota Darussalam sebagai pusat pendidikan di Aceh guna melahirkan intelektual yang akan mengabdi kepada tanah lahirnya. Seperti disampaikan Ali Hasjmy dalam kutipan di awal tulisan ini, Darussalam adalah tempat mencetak manusia yang beriman dan berbakti dan juga tempat untuk menggali ilmu pengetahuan.

Universitas Syiah Kuala adalah kampus pertama yang lahir di Darussalam pada 1 Juli 1961. Dalam masa konsolidasi, saat itu Universitas Syiah Kuala dipimpin oleh Kolonel M. Jasin yang juga Panglima Kodam Iskandar Muda. Dua tahun kemudian, tepatnya pada 5 Oktober 1963, Menteri Agama RI juga meresmikan IAIN Djamiah Ar-Raniry di Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam dengan mengangkat A. Hasjmy sebagai Pj Rektor pertama.

Sekelumit ulasan di atas cukuplah sebagai media untuk mengenang kembali lahirnya dua perguruan tinggi besar di Kota Pelajar Mahasiswa Darussalam, sebuah perkampungan yang diharapkan mampu melahirkan kader-kader terbaik untuk mengangkat Aceh ke puncak kejayaan. Darussalam adalah lumbung tempat lahirnya pemikir dan ilmuan berwawasan modern. Dan sejak berdirinya, kedua jantong hate rakyat Aceh itu telah berhasil melahirkan generasi intelektual yang kemudian berkhidmat untuk Aceh. Dan genarasi awal anak-anak Darussalam masa lalu telah sukses membangun Aceh baru pasca gerakan Darul Islam.

Dalam coretan sederhana ini, saya mengajak kita semua untuk sejenak melihat generasi Darussalam kontemporer. Generasi pasca pengaruh PUSA meredup di Aceh. Pertanyaan pertama yang harus diajukan adalah: ke arah mana intelektual kita saat ini melaju? Sudahkah harapan para pendahulu terwujud? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya sangat tergantung dari pojok mana kita melihat.

Adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri, bahwa beberapa gelintir intelektual Darussalam saat ini telah terkurung dalam kamar-kamar jumud dan terbelenggu dengan pragmatisme ekstrim. Amat sedikit intelektual kampus saat ini yang benar-benar berkhidmat untuk tanah lahirnya. Beberapa gelintir intelektual Darussalam saat ini hanya memposisikan diri sebagai tutor dengan kumpulan teori yang menyemakkan kepala. Mereka lebih memilih bersembunyi dan beri’uzlah dari segudang problematika sosial di tanah lahirnya.

Beberapa gelintir punggawa Darussalam di zaman ini cenderung memilih menjadi sufi dalam keramaian. Teman dekatnya hanyalah absensi dan tombol-tombol yang dipencat pagi dan petang agar periuk nasinya tak berguncang. Pandangannya hampa dan terhijab oleh bayangan angka kredit. Telinganya telah tertimbun oleh recehan-recehan sertifikasi. Dan jadilah mereka intelektual mati. Sebagiannya justru menjelma sebagai intelektual selfi dengan taburan kata bijak penuh filosofi di dinding efbi, sampai ia sendiri pun tak mengerti.

Tanpa sadar mereka telah menjadi intelektual garis tombol yang pengabdiannya telah dibobol oleh kepentingan dirinya, makan minum, angka kredit, sertifikasi dan pakaian kemegahan. Ketika mereka telah benar-benar sunyi, pada saat itulah intelektual terlantar akan bangkit mengisi ruang kosong yang mereka tinggalkan. Jangan biarkan Darussalam sunyi. Selamat istirahat intelektual mati!

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments