Selamatkan Mante!

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 22 April 2017

Ilustrasi
Foto: pinterest.com

Kemajuan teknologi komunikasi di zaman multimedia seperti saat ini telah berdampak pada banjirnya informasi. Akibatnya, arus informasi yang kian hebat itu pun tak bisa dibendung. Melalui media sosial, beragam informasi bertaburan dan menyebar cepat ke seantero negeri. Sebagian informasi yang mengalir deras itu memang mencerahkan dan berdampak pada kecerdasan publik. Namun terkadang kita juga dihadapkan pada informasi palsu (hoax) yang membuat kewarasan sebagian kita tergadaikan sehingga muncullah fitnah dan saling hujat di media sosial.

Baru-baru ini, di tengah hiruk-pikuk politik tanah air yang tidak menentu – kita disuguhkan informasi terkait penemuan sosok suku Mante di pedalaman Aceh. Sontak saja informasi ini menyebar cepat dan bahkan sempat menarik perhatian media asing semisal dailymail.co.uk sehingga masyarakat Eropa juga merasa terkejut dengan penemuan tersebut.

Informasi terkait suku Mante awalnya diunggah komunitas trail melalui youtube pada 22 Maret 2017 yang kemudian viral di media sosial. Menyikapi temuan ini, Gubernur Aceh (kompas.com) dikabarkan telah membentuk tim untuk menelusuri keberadaan suku tersebut di pedalaman Aceh. Aksi pencarian suku Mante juga mendapat dukungan dari Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa yang memandang perlunya diberikan perlindungan sosial kepada mereka. Menurut Khofifah pencarian tersebut dimaksudkan agar keberadaan Mante tidak punah. Dalam keterangannya, Khofifah juga berencana akan memberikan perlindungan sosial kepada suku Mante sehingga suku tersebut bisa berbaur dengan masyarakat umum.

Bagi sebagian masyarakat Aceh, keberadaan Mante sudah dianggap sebagai legenda bahkan mitos karena sangat jarang masyarakat yang bertemu dengan suku tersebut. Namun demikian, ada sebagian kecil masyarakat yang mengaku pernah berpapasan dengan suku Mante dalam rimba Aceh. Potongan-potongan kisah pertemuan sebagian masyarakat dengan suku Mante di pedalaman Aceh pun mulai tersebar melalui media sosial. Menyikapi pemberitaan tersebut, sebagian masyarakat semakin yakin akan keberadaan suku tersebut dan sebagian masyarakat lainnya justru menanggapinya secara sinis dan menganggap suku tersebut hanya dongeng belaka. 

Mante Dalam Riwayat

Dalam buku Sejarah Daerah Propinsi D.I Aceh (19768: 77), disebutkan bahwa ada empat suku dalam masyarakat Aceh di masa lampau, yaitu: Sukee Lhereutoih (suku tiga ratus) yang berasal dari orang Mantir dan Batak; Sukee Imuem Peut (suku imam empat) yang berasal dari orang Hindu yang sudah memeluk Islam; Sukee Tok Batee yang berasal dari orang-orang Arab, Parsi dan Turki; dan Sukee Ja Sandang, yang berasal dari orang Hindu. 

Adapun terkait keberadaan suku Mante pernah dicatat oleh Christian Snouck Hurgronjoe dalam bukunya De Atjehers, meskipun ia sendiri mengaku belum pernah bertemu dengan suku tersebut. Beberapa saksi yang mengaku pernah melihat Mante mengatakan bahwa dulu suku ini sering ditemui di pedalaman Lokop Aceh Timur dan juga di pedalaman Tangse Pidie.

Dalam Kamus Aceh-Indonesia (Aboe Bakar dkk, 1985:576), kata Mante diterjemahkan sebagai orang hutan. Sementara Zainuddin dalam bukunya, Tarikh Atjeh dan Nusantara, mengemukakan bahwa bangsa Aceh termasuk ke dalam rumpun bangsa Melayu yang terdiri dari bangsa Mante (Bante), Lanun, Sakai Jakun, Semang (orang laut) dan Senui yang menurutnya berasal dari negeri Perak dan Pahang. Zainuddin menyatakan bahwa bangsa-bangsa tersebut memiliki hubungan dengan bangsa Phonesia di Babylonia dan Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga.

Suku Mante, masih menurut Zainuddin berasal dari utara Burma daerah sungai Selueng. Suku Mante menetap di kampung Seumileuk di atas Seulimum (Aceh Besar), antara kampung Jantho dan Tangse. Bangsa Mante ini kemudian berkembang biak ke seluruh Aceh dan berpindah ke tempat-tempat lainnya. Dengan kedatangan orang-orang Parsi dan Gujarat ke Aceh, khususnya wilayah Pasai, terjadilah perkawinan mereka dengan bangsa Mante. Akhirnya, karena percampuran perkawinan dengan pendatang asing, bangsa Mante lenyap menjadi bangsa campuran baru yang kemudian dikenal dengan bangsa Atja. Dalam bukunya Singa Atjeh (Biografi Seri Sultan Iskandar Muda), Zainuddin (1957) juga pernah menulis bahwa di Aceh dikenal Sukee lhee reutoeh (suku tiga ratus) yang disebut berasal dari Mante Batak.

Versi lainnya dikemukakan Mohammad Said dalam Ungkapan Sejarah Aceh bahwa kerajaan Aceh terdiri dari tiga periode di bawah kepemimpinan tiga dinasti, yaitu Kerajaan Manteu yang berpusat di Seumileuk, Kerajaan Lamuri yang dipimpin Dinasti Po Liang dan Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Said, Dinasti Manteu adalah dinasti tertua yang bermukim di Aceh. Kata Manteu (Mante) itu sendiri berasal dari Mantenia atau Mantinea yang merupakan nama sebuah kota di Yunani, di mana penduduknya dikenal dengan Mantinean. Mereka, masih menurut Said berasal dari pegunungan Alpen. Dalam Encyclopedi Indonesia dinyatakan mereka berasal dari Eropa Timur Laut, sedangkan dalam Encyclopedi Americana seperti dikutip Said, mereka berasal dari lembah Donau yang merupakan ras Indo-Jerman.

Namun sangat disayangkan, sebagaimana diakui Said, raja-raja Manteu yang pernah menguasai Aceh tidak semuanya berhasil diketahui. Di antara raja Manteu paling awal yang berhasil dilacak menurut Said adalah Maharaja Po Tuah Meuri yang kemudian dilanjutkan anak cucunya, yaitu: Maharaja Ok Meugumbak, Maharaja Jagat dan Maharaja Dumet. Dinasti Manteu berakhir pada masa pemerintahan Maharani Putro Budian, setelah putri Mante tersebut kawin dengan Maharaja Po Liang yang kemudian mendirikan Kerajaan Lam Uri.

Sementara dalam buku Aceh Sepanjang Abad, Said (1981) menyatakan bahwa nama yang mirip Manteu ini dikenal di Malaysia dengan sebutan Mantra yang diyakini sebagai keturunan zaman batu pertengahan berdasarkan temuan perkakas mereka di Aceh Utara. Keberadaan Suku Mante di Aceh juga pernah disebut-sebut Yahya Harun (1995), Denys Lombard (1996) dan Said Abubakar (1995) dalam buku-buku mereka.

Bagaimana Sikap Kita?

Uraian di atas setidaknya bisa memberikan gambaran kepada kita semua tentang keberadaan suku Mante di Aceh. Artinya, banyak literatur yang mengakui eksistensi suku ini dan bahkan ada kalangan yang meyakini suku tersebut sebagai penduduk Aceh asli. Namun demikian, untuk memastikan apakah suku ini masih benar-benar ada di Aceh, tentunya bukan pekerjaan mudah karena membutuhkan energi serta biaya yang tidak sedikit. Sampai saat ini belum ada penelitian antropologis yang serius meneliti jejak Mante di Aceh.

Di satu sisi upaya pencarian Mante yang digagas oleh pemerintah memang patut diapresiasi. Namun di sisi lain, saya menilai upaya dari Pemerintah Aceh dan Menteri Sosial untuk melakukan pencarian suku Mante justru dapat merusak habitat Mante itu sendiri. Dalam praktiknya nanti, usaha pencarian Mante akan memunculkan kerusakan baru di hutan Aceh. Jika memang suku Mante itu benar ada, maka membiarkan mereka hidup di rimba Aceh adalah lebih baik demi kelestarian mereka dan menghindari kepunahan. Seperti kita saksikan sendiri, bahwa campur tangan manusia dengan alasan penelitian cenderung melahirkan kerusakan alam.

Yang harus didorong sekarang adalah bagaimana agar kelestarian hutan dijaga dan praktik illegal logging dihentikan sehingga Mante dan juga spesies langka lainnya akan tetap terlindungi dengan sendirinya.

Artikel ini sudah diterbikan di Tabloid Pikiran Merdeka

loading...

No comments