Menjemput Mante

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 01 April 2017

Ilustrasi
Sumber Foto: viral.kincir.com

Kiranya perlu ditegaskan bahwa saya tidak dalam posisi membenarkan keberadaan Suku Mante dan tidak pula berkepentingan untuk menafikan eksistensi suku tersebut. Terlepas apakah suku tersebut benar ada atau hanya sekedar mitos, yang jelas pemberitaan terkait suku Mante telah melahirkan kehebohan baru, tidak hanya di Aceh, tetapi informasi tersebut juga telah menjalar dalam pemberitaan media nasional. Dan bahkan media asing pun turut mengulas tentang penemuan Mante di pedalaman Aceh. Akhirnya kita pun larut dalam Mante.

Baru-baru ini, tersiar kabar bahwa Pemerintah Aceh di bawah kendali Abu Doto juga telah membentuk tim khusus untuk melakukan penelitian terhadap keberadaan suku Mante di pedalaman Aceh. Kita tentunya patut memberikan apresiasi kepada Abu Doto, meskipun dirinya dalam kondisi “terombang-ambing” dan “digoyang” akibat aksi lantak dan lantik beberapa waktu lalu, namun Abu Doto tetap tegar dan bahkan masih sempat memikirkan Mante. 

Menurut riwayat, salah satu pihak yang diandalkan oleh Abu Doto untuk mencari keberadaan Mante adalah ulama. Menurut Abu Doto sebagaimana dilansir detik.com (30/03/17), pencarian Mante akan dilakukan dengan pendekatan gaib melalui ulama. Namun sayangnya, Abu Doto tidak memberikan penjelasan yang memadai terkait alasannya melibatkan ulama dalam pencarian Mante.

Sebagai masyarakat awam, saya menilai pelibatan ulama dalam pencarian Mante adalah sebuah usaha sia-sia. Alasan utama menyebut tindakan ini sebagai sia-sia karena gerakan mencari Mante bukanlah domain ulama. Melibatkan ulama dalam pencarian Mante secara tidak langsung akan memberi kesan kepada masyarakat awam bahwa ulama memiliki hubungan khusus dengan Mante. Kesan ini tentunya akan sangat merugikan ulama dan bahkan bisa menjatuhkan martabat ulama di mata umat.

Jika pun hendak dipaksakan pelibatan ulama dalam pencarian Mante, maka Abu Doto harus terlebih dahulu mengirimkan tim investigasi ke pedalaman Aceh guna melacak apakah dalam komunitas Mante ada ulamanya. Jika memang hasil investigasi melaporkan bahwa dalam komunitas Mante ada ulama, maka melibatkan ulama non Mante dalam pencarian adalah tindakan yang tepat. Artinya, ulama non Mante dapat memainkan perannya sebagai negosiator untuk kemudian berunding dengan ulama Mante agar komunitas Mante bersedia berbaur dengan masyarakat Aceh. 

Adapun terkait penggunaan ilmu gaib dalam gerakan mencari Mante, sebagaimana disebut Abu Doto, masih perlu ditinjau ulang dan jika perlu diseminarkan dengan melibatkan pakar-pakar ilmu gaib sehingga nantinya kita akan menemukan jawaban apakah penggunaan ilmu gaib dalam pencarian Mante akan benar-benar efektif atau tidak. Jika pun hasil seminar menyimpulkan bahwa penggunaan ilmu gaib sangat efektif, namun pelibatan ulama dalam pencarian Mante tetap saja tidak bisa dibenarkan.

Jika memang hendak dipaksakan penggunaan ilmu gaib, maka akan lebih elok rasanya jika Abu Doto melibatkan dukun dalam pencarian Mante. Pelibatan dukun dalam gerakan “berburu” Mante via ilmu gaib tentunya lebih minim resiko jika dibanding dengan pelibatan ulama yang notabene guru umat. Untuk itu, baiknya Abu Doto tidak mengorbankan ulama dalam pencarian Mante, karena tugas ulama adalah membebaskan umat dari “ritual-ritual” gaib yang bertentangan dengan teks-teks agama.

Di sisi lain, jika memang Mante itu ada, maka bukan tugas kita untuk mengusik kehidupan mereka. Toh selama ini mereka bisa hidup nyaman di hutan yang bebas dari praktik-praktik merusak yang lazim kita lakukan di luar hutan. Tidak ada satu riwayat pun yang menyebut Mante telah melakukan korupsi atau pun tindakan teror terhadap masyarakat Aceh.

Meskipun sebagian kalangan menyebut mereka sebagai penduduk Aceh asli, tapi tidak ada riwayat yang mengabarkan bahwa Mante akan melakukan demonstrasri dan makar terhadap penduduk non Mante. Mereka juga tidak pernah berdesak-desakan di kantor gubernur dan tidak pernah membuat kegaduhan agar proposal mereka dicairkan. Ketika anak-anak mereka sakit, mereka juga tidak pernah menyerbu rumah sakit dengan membawa kartu berobat gratis.

Mante juga tidak pernah menuntut agar mereka diberikan bendera sebagai simbol indentitas “Kemantean” mereka. Mante juga tidak pernah bercita-cita untuk menjadi anggota DPR dan tidak pula bermimpi jadi gubernur, apalagi wali nanggroe. Mereka sudah merasa cukup dengan apa yang ada. Mereka hidup terasing dan bebas dari kebisingan politik yang terkadang merusak kewarasan. Tersebab itu, biarkanlah Mante dengan kehidupannya.

Jangan lagi mengusik Mante, tapi marilahlah kita menjadi “Mante” yang mampu hidup tanpa mengusik, merusak, menipu, membunuh dan meneror.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments