Mayoritas Yang Tertindas

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 03 April 2017

Sumber Foto: thefix.com

Akhir-akhir ini, pemerintah RI di bawah kendali Jokowi yang dikenal humanis dan merakyat terkesan sedang berupaya mengulang sejarah rezim otoriter, di mana stigmatisasi terhadap “gerakan koreksi” yang dilakukan oleh jumhur umat Islam terlihat semakin meningkat. Pola stigmatisasi terhadap tokoh-tokoh umat Islam sebagai “pelaku makar” semakin intens dilakukan oleh pemerintah guna meredam “gerakan perlawanan” mayoritas yang merasa diperlakukan tidak adil di negerinya sendiri. Secara sosiologis, ketidakpuasan dari kalangan muslim selama ini yang notabene adalah penduduk mayoritas di negeri ini disebabkan oleh penegakan hukum yang dinilai setengah hati.

Kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok beberapa waktu lalu adalah pemicu “kemarahan” mayoritas – yang kemudian menjadi bola panas dan terus menggelinding dalam wujud gerakan massa. Aksi-aksi massa yang dimotori umat Islam terus berlangsung masif sebagai sebuah tindakan protes atas penerapan hukum yang lamban terhadap pelaku penistaan agama. Sikap pemerintah, yang seolah memposisikan Ahok sebagai anak emas telah melahirkan kekecewaan kolektif di kalangan umat Islam. Hanya karena Ahok seorang, energi bangsa terus terkuras melalui aksi massa dari satu episode ke episode lainnya – yang sampai saat ini tidak menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. 

Sampai dengan detik ini, pemerintah terkesan lebih memilih “menyelamatkan” seorang Ahok dan “mengorbankan” stabilitas nasional yang terus bergerak ke titik nadir. Bukannya menuntaskan penegakan hukum terhadap penista agama, tapi pemerintah justru berupaya melakukan “pembungkaman” terstruktur terhadap umat Islam melalui stigmatisasi dan strategi labeling guna merusak konsentrasi umat Islam yang sedang memperjuangkan hak-haknya.

Upaya stigmatisasi dan strategi labeling ini setidaknya terlihat dari aksi-aksi penangkapan terhadap beberapa tokoh yang dituding akan melakukan makar terhadap pemerintah. Baru-baru ini, beberapa tokoh aksi 313 juga ditangkap oleh pihak kepolisian dengan dalih akan melakukan makar. Ironisnya, aksi penangkapan terhadap beberapa tokoh, di antaranya Muhammad Al-Khaththath dilakukan beberapa jam sebelum aksi umat Islam dimulai. Kabid Humas Polri, sebagaimana dilansir kompas.com (01/04/17) menyebut bahwa aksi penangkapan tersebut dilakukan karena mereka terlibat dalam pertemuan yang akan menggulingkan pemerintah. Namun sangat disayangkan dalam keterangannya pihak kepolisian tidak memberikan penjelasan rinci terkait lokasi pertemuan para tokoh dimaksud.

Di sisi lain, dilihat dari beberapa tuntutan yang disampaikan massa 313 pada prinsipnya merupakan kelanjutan dari tuntutan sebelumnya yang tetap fokus pada penegakan hukum terhadap Ahok – dan sama sekali tidak terdapat indikasi bahwa umat Islam akan melakukan makar terhadap pemerintah yang sah. Umat Islam hanya meminta agar aksi kriminalisasi terhadap ulama segera dihentikan agar tidak menimbulkan kekecewaan baru di kalangan umat Islam. Adapun tuntutan lainnya masih seputar kasus penistaan agama – di mana massa meminta agar Ahok diberhentikan dari Gubernur DKI yang telah menyandang status terdakwa.

Hentikan Stigmatisasi dan Labeling 

Belum lagi tudingan makar terhadap Rachmawati Soekarnoputri dan Sri Bintang Pamungkas terbukti, pihak kepolisian telah “menghadiahkan” label makar kepada tokoh aksi 313. Strategi labeling ini nampaknya akan menjadi senjata ampuh bagi pemerintah untuk mengekang kebebasan umat Islam dalam menyampaikan aspirasinya. Banyak pihak menduga bahwa aksi penangkapan terhadap sekjend FUI beberapa hari lalu adalah sebuah upaya untuk mengembosi aksi 313.

Tanggapan terkait penangkapan sekjend FUI juga disampaikan oleh Wakil Ketua MUI, Zainut Tauhid Saadi yang meminta pihak kepolisian untuk membuktikan tuduhan tersebut agar citra kepolisian tidak tercoreng di mata publik. Anggota Komnas HAM Manager Nasution bahkan menyebut tindakan penangkapan terhadap tokoh-tokoh Islam sebagai bentuk sikap panik pemerintah, di mana kebebasan berpendapat berada pada titik paling rendah pasca reformasi. Secara lebih tegas, anggota Komnas HAM tersebut menyatakan bahwa rezim saat ini tidak berbeda dengan rezim terdahulu yang takut pada kebebasan berpendapat masyarakat sipil.

Secara psikologis, penyematan stigma-stigma buruk dan strategi labeling terhadap tokoh-tokoh umat Islam sebagai “pelaku makar”, jika nantinya tidak dapat dibuktikan, maka akan berkonsekwensi pada lahirnya kesadaran kolektif umat mayoritas yang merasa tertindas. Sebagai pihak yang merasa “tertindas”, kita tentunya harus sepakat dengan pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmon Junaidi Mahesa – bahwa Kapolri Jenderal Tito Karnavian harus mendur dari jabatannya jika tidak mampu membuktikan tudingan makar yang selama ini dihembuskannya.

Sebagai umat mayoritas yang merasa hak-haknya “terkebiri”, kita juga “terpaksa” sepakat dengan statemen Indonesia Police Watch (IPW) bahwa aksi penangkapan terhadap Sekjend Forum Umat Islam beberapa waktu lalu adalah tindakan arogan yang coba dipertontonkan oleh pihak kepolisian. Di sisi lain, sebagaimana dikemukakan Desmon, aksi penangkapan dengan tuduhan makar juga terkesan aneh karena ditujukan kepada umat Islam. Bahkan, menurut Desmon sebagaimana dirilis Republika.co,id, aksi demonstrasi yang dilakukan non muslim justru tidak pernah dituding sebagai makar. Aneh!

Untuk itu kita berharap kepada pemerintah untuk mampu bersikap bijak dalam menyikapi gelora aspirasi umat Islam agar stabilitas nasional tetap terjaga. Berbagai bentuk penekanan dan upaya “pembungkaman” yang diterima oleh umat Islam saat ini bukan tidak mungkin suatu saat akan membuncah sehingga kesadaran kolektif “mayoritas tertindas” akan terus tersemai di setiap benak kaum muslimin. Jika ini terjadi, maka kepercayaan umat Islam kepada rezim saat ini akan lenyap seketika. Pada titik ini, stabilitas negara tentunya akan terus terguncang sehingga berdampak pada rusaknya tatanan keharmonisan antara mayoritas dan minoritas. Adalah tidak mungkin membangun harmonisasi mayoritas-minoritas jika hak-hak mayoritas terus dikebiri oleh penguasa. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments