Jangan Seperti Lembu

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 16 April 2017

Ilustrasi
Sumber Foto: strangehistory.net

Bek lage leumo (jangan seperti lembu). Demikian kata-kata yang diucapkan oleh orang tua dulu ketika kita meledakkan petasan di waktu magrib. Pada waktu kecil, sebagian kita juga mungkin pernah mandi bareng dalam kulah mesjid (bak wudhu). Jika aksi ini diketahui pak bilal, maka stempel lagee leumo pun akan segera tertancap di jidat kita. Demikian pula ketika disuruh mengaji, sebagian kita mungkin ada yang berpura-pura ke dayah, tapi tembus ke belakang, ke kolam, menangkap bace (gabus). Pada saat aksi kita digrebeg oleh teungku, lagi-lagi kita dianugerahkan pujian eksotis, bit keuneuk jeut keu leumo (benar-benar mau jadi lembu). 

Demikianlah kehidupan masa kecil yang unik, menyenangkan dan bahkan cukup membahagiakan. Meskipun dituduh sebagai leumo, kita senantiasa menyambutnya dengan senyuman. Bahkan mungkin ada sebagian kawan-kawan kita di waktu kecil yang lebih memilih menjadi leumo daripada duduk melingkar di balai sambil menghafal huruf peunasab isem peurafa’ khabar di bawah ancaman rante kunyet (sejenis pecut tradisional).

Laqab lagee leumo yang disematkan ke pundak kita ketika masih kecil mungkin terbilang wajar, karena pada saat itu kita memang masih “setengah lembu.” Bangsa lembu, sampai dengan saat ini masih bebas ‘eek dan ‘iik di sepanjang jalan tanpa harus permisi dan melihat kiri kanan disebabkan ketiadaan akal. Ini adalah kodrat mereka yang memang tidak dianugerahkan akal oleh Tuhan. Adapun kita, ketika masih kecil juga dilanda minus akal (kurang akal) sehingga sebagian kita juga meniru lembu.

Namun demikian kita berbeda dengan lembu, karena lembu tetap pada keadaannya dari semula diciptakan sampai saat ini. Artinya, teori evolusi Darwin terbukti tidak mampu mengubah lembu-lembu tradisional menjadi lembu modern. Sebaliknya, kita terus berubah seiring perjalanan waktu dan bertambahnya usia. Kejahilan-kejahilan lama yang melekat di waktu kecil satu persatu lekang melalui pendidikan dan akhirnya kita pun menjadi manusia seutuhnya yang telah meninggalkan tradisi-tradisi kelembuan di masa lalu.

Jika ditilik, penggunaan istilah lagee leumo adalah bentuk stempel metaforis guna menggambarkan sebuah perilaku minus akal yang kita lakoni di waktu kecil. Dengan demikian, ketika usia beranjak dewasa sudah sepatutnya kita meninggalkan setiap bentuk perilaku yang meniru lembu.

Baru-baru ini, media Serambi Indonesia mengabarkan bahwa dua pengendara sepeda motor meninggal dunia tergilas mobil box colt di depan Markas Polsek Lembah Seulawah pada 13/04/17. Menurut informasi yang dilansir Serambi Indonesia, sepeda motor yang dikendarai Salamiah dan Salmah menabrak kawanan lembu di depan Mako Lamtamot, Lembah Seulawah. Akibat tabrakan tersebut, Salamah terpental dan terbanting ke badan jalan sisi kanan sehingga korban langsung tergilas oleh mobil box dari arah berlawanan. Akhirnya dua nyawa melayang.

Ketika membaca berita ini, pikiran saya langsung tertuju kepada lembu yang saban hari melakukan parade di jalan raya, tidak hanya di Seulawah, tetapi juga di berbagai daerah di Aceh. Melihat fenomena ini, tentu tidak salah jika ada pihak yang menyindir bahwa di Aceh terdapat kandang lembu terbesar di dunia. Sampai saat ini, di beberapa daerah di Aceh, kita bisa menyaksikan sendiri lembu dan saudara-saudaranya seperti kambing dan keubiri bebas melenggak-lenggok ria di jalan raya.

Dapat dipastikan bahwa para lembu yang berkonvoi di jalan raya adalah lembu-lembu profesional dan sudah terlatih. Buktinya, mereka (para lembu) tidak pernah didampingi oleh tuannya. Dan bahkan tuan-tuan (pemilik) lembu ini akan tetap menjadi sosok misterius. Para pemilik lembu ini baru kelihatan berteriak-teriak ketika ada lembunya yang hilang di jalan raya. Sebaliknya, ketika lembunya tewas dan menjadi bangkai di jalan, si pemilik tetap berada dalam misteri.

Terlepas, sepakat atau pun tidak, saya berkesimpulan bahwa siapa pun dia, yang membiarkan lembu, kambing dan keubiri berparade di jalan raya, maka dia (si pemilik) belum berhasil meninggalkan masa kecilnya sehingga sampai saat ini dia masih meniru lembu alias lagee leumo. Jika anak kecil hanya meniru lembu (karena minus akal), maka si pemilik lembu justru telah benar-benar menjadi lembu. Bayangkan, sudah berapa nyawa melayang di jalan raya akibat gerombolan lembu, kambing dan keubiri? Sudah berapa banyak pengguna jalan yang cacat dan patah-pate akibat menabrak lembu?

Kita tentu tidak bisa menyalahkan lembu, karena lembu memang tidak memiliki akal sehingga mereka bebas saja bercanda ria di jalan raya. Tapi yang menjadi pertanyaan sekarang, di mana akal para pemilik lembu? Saya tidak menyalahkan pemerintah karena tidak berhasil menertipkan lembu. Menurut saya, pihak yang paling bertanggung jawab atas kematian orang-orang tak berdosa di jalan raya adalah para pemilik lembu. Bukan persoalan aturan, tapi persoalan kesadaran pemilik lembu.

Sebagian kita mungkin bisa berapologi bahwa sebagian lembu-lembu itu milik orang miskin yang tidak memiliki dana untuk membuat kandang. Tapi, perlu ditegaskan bahwa siapa pun yang melakukan kezaliman, baik miskin atau kaya adalah sama saja di hadapan Tuhan. Para pemilik lembu yang membiarkan lembunya berkeliaran adalah agen-agen kapitalis yang cuma menghendaki keuntungan dengan membuat kerusakan di muka bumi.

Kita senantiasa berdoa semoga Allah memberikan mereka petunjuk. Kita juga berharap kepada agen-agen kapitalis ini untuk segera bertaubat dan meninggalkan “tradisi” kelembuan mereka demi keamanan jalan raya. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments