Woe-Woe, “Manifesto” Yang Gagal?

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 02 Maret 2017

Ilustrasi

Pesta demokrasi telah usai dengan berakhirnya prosesi Pilkada 2017. Komisi Independen Pemilihan (KIP), baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota sebagai pihak penyelenggara pilkada juga telah mengetuk palu di sidang pleno sebagai pertanda permainan telah berakhir. Hasil pleno KIP yang digelar beberapa waktu lalu telah menetapkan para pemenang. Tentunya keputusan KIP ini tidak akan mampu memuaskan semua pihak, karena kursi kepala daerah hanya tersedia untuk dua orang; gubernur/ bupati/ walikota dan satu orang wakilnya. Bagi yang belum beruntung tidak perlu gundah dan gelisah, teruslah berusaha dan berdoa. Seperti kata A. Hasan (ulama Persis), jika tidak percaya kepada takdir, maka anggap saja kenyataan ini sebagai giliran.

Meskipun Pilkada 2017 telah berakhir, namun banyak hal unik yang penting dikupas agar ia tidak terbenam dalam lumpur sejarah. Mengupas hal-hal menarik yang pernah muncul di musim pilkada untuk kemudian kita ambil hikmahnya bukanlah perbuatan dosa dan tidak pula terlarang, baik dari sudut pandang undang-undang maupun sudut pandang syara’. Dengan demikian, adalah tidak bijak jika ada pihak-pihak yang menyebut ulasan ini sebagai membuka kembali luka lama atau pun memperparah kesedihan pihak yang kalah, karena di sinilah kesabaran itu diuji. 

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menggunjing pihak yang kalah dan tidak pula memuji pihak yang menang, tapi hanya sebatas kajian dari sudut pandang awam, sebagai pengganti diskusi kedai kopi. Apa yang saya tulis dalam tulisan ini hanyalah hasil perbincangan kedai kopi dan hasil diskusi jambo jaga (pos jaga) yang sampai saat ini masih terus mengalir. Tentunya tidak ada yang aneh jika topik ini terus menjadi perbincangan, karena sudah menjadi semacam tradisi, jika isu-isu politik selalu saja menarik perhatian dan dibahas terus menerus, baik di pusat-pusat perkotaan maupun di pojok-pojok ateung blang (pematang sawah).

Woe-Woe

Salah satu kata-kata “hiburan” yang sempat populer dalam berbagai panggung kampanye Pilkada 2017 adalah woe-woe. Dalam Kamus Aceh-Indonesia yang disusun oleh Aboe Bakar, dkk (1985), Kata woe bermakna “pulang kembali kepada tempat bertolak semula.” Adapun kata wo (tanpa huruf “e”) bermakna sesat atau berkelana. Kata yang hampir serupa adalah wot (dengan tambahan huruf “t”) yang diartikan sebagai mengacau atau mencari kemana-mana. Pemaknaan kata wot sangat ditentutukan oleh kedudukannya dalam kalimat. Kata lainnya yang memiliki kemiripan bunyi adalah won-won yang biasanya dimaknai sebagai perbuatan mengigau secara tidak sadar. Kata won-won juga sering dilekatkan kepada orang-orang yang mengalami sakit pikun. Satu kata lagi yang memiliki kedekatan dalam segi ucapan adalah wet atau wet-wet yang artinya memutar-mutar.

Kembali kepada kata woe. Dalam penggunaanya, kata woe bisa bermakna ajakan, seperti kalimat keuno kawoe, dan bisa pula dimaknai sebagai bentuk penolakan, seperti kajak woe keudeh. Dengan demikian, penggunaan kata woe-woe yang lumayan marak dalam kampanye Pilkada 2017 bisa dimaknai secara berbeda oleh para pendengarnya. Kata woe-woe pada awalnya digunakan oleh pasangan calon yang didukung oleh Partai Aceh dengan maksud mengajak para kadernya yang sudah memihak kepada kandidat lain untuk segera woe (kembali) kepada Partai Aceh. 

Namun dalam perkembangan selanjutnya, kata woe-woe juga digunakan oleh pasangan kandidat lainnya, entah ingin meniru atau meminjam istilah Irwandi Yusuf, kata tersebut hanya sekedar candaan “tingkat dewa.” Yang jelas, penggunaan kata woe-woe sebagai jargon politik tidak hanya terdengar di panggung kampanye Partai Aceh, tetapi kata-kata tersebut juga bergema di beberapa panggung kampanye kandidat lainnya.

Akhirnya, kata woe-woe menjadi semacam maklumat yang ditujukan kepada masyarakat luas untuk kembali kepada sikap politik awal. Dan bahkan kata tersebut telah melahirkan persaingan yang ketat antar kandidat dengan berebut pakat woe (ajak pulang). Karena kata woe-woe bias makna, maka para pendengar kata-kata tersebut pun memaknainya secara berbeda. Bagi mereka yang menafsirkan kata-kata tersebut sebagai ajakan pulang (keuno kawoe), maka mereka pun pulang (woe) ke tempat asal. Sebaliknya, mereka yang memahami kata tersebut sebagai bentuk penolakan (keudeh kawoe) maka tidak ada pilihan lain, mereka pun keluar dari tempat asal untuk kemudian memberikan dukungan politiknya kepada pihak lain.

Dalam beberapa kasus, kata woe-woe (pulang-pulang) justru membuat sebagian masyarakat meu wet-wet (berputar-putar) alias kebingungan. Sebagian lainnya juga ada yang meu wot-wot (mencari kemana-mana) alias tidak tahu kemana harus pulang. Adapun bagi masyarakat yang apatis terhadap politik, ketika mendengar kata woe-woe, mereka justru mengalami won-won (mengigau secara tidak sadar). Kondisi won-won ini tentunya tidak terlepas dari kekecewaan mereka terhadap janji manis para kandidat yang tidak pernah terpenuhi.

Dan, hasil pleno KIP Aceh beberapa waktu lalu telah menjawab semuanya. Masyarakat telah menentukan sendiri, kemana mereka harus woe. Hasil pleno juga memperlihatkan kepada kita, seberapa banyak masyarakat yang meu wet-wet, meu wot-wot dan won-won akibat menerjemahkan kata woe-woe. Akhirnya kita harus sepakat, bahwa seruan woe-woe sebagai manifesto politik telah gagal dengan sendirinya. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments