Raja Salman, Aceh dan Wahabi

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 03 Februari 2017



Dua tahun lalu, tepatnya pada 28 Februari 2015, saya pernah menulis artikel singkat di kompasiana dengan tajuk “Wahabi, Wahabi, dan Wahabi.” Artikel tersebut adalah jawaban singkat saya kepada salah seorang santri Aceh yang terlihat begitu resah dan gelisah dengan “Wahabi.” Pada saat itu, seorang yang mengaku sebagai santri Aceh menulis sebuah surat terbuka kepada Kapolda Aceh yang pada saat itu akan mendatangkan seorang penceramah dari Arab Saudi, Syaikh Adil Al-Kalbani. Sayangnya surat terbuka santri tersebut tidak mendapat respon dari Kapolda saat itu dan tetap mendatangkan Syaik Al-Kalbani ke Aceh.

Gelombang penolakan terhadap Wahabi di Aceh terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada 10 September 2015 dengan digelarnya sebuah “demonstrasi” besar-besaran yang dikenal dengan Parade Aswaja. Aksi Parade Aswaja ini melibatkan berbagai ormas keagamaan, seperti FPI, MUNA, Inshafuddin dan HUDA. Aksi ini juga dihadiri oleh ribuan massa yang datang dari berbagai daerah lengkap dengan karton dan spanduk yang bertuliskan tolak Wahabi.

Pasca Parade Aswaja, gerakan penolakan terhadap Wahabi terus berlanjut dengan beberapa aksi “pengambil-alihan” mesjid yang dituding dikuasai oleh Wahabi. Di antara mesjid yang coba direbut adalah Mesjid Al-Izzah Krueng Mane, tetapi usaha tersebut gagal. Gerakan anti Wahabi, sedikit banyaknya juga turut mempengaruhi kebijakan pemerintah yang pada tahun 2016 sempat menghambat izin pembangunan Mesjid Muhammadiyah di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen.

Sampai saat ini, gerakan anti Wahabi di Aceh juga marak dilakukan melalui media sosial. Bagi sebagian kalangan, memusuhi Wahabi adalah salah satu bentuk “jihad” sehingga mereka terus bergerak tanpa kenal lelah. Bahkan ada segelintir kalangan yang berkeyakinan bahwa mencaci Wahabi akan mendapat pahala dan bernilai ibadah.

Kunjungan Raja Salman

Saya menangkap beberapa fenomena aneh ketika King Salman bin Abdul Aziz Alu Saud berkunjung ke Indonesia baru-baru ini. Keanehan dimaksud terlihat jelas di kalangan pengguna media sosial di Aceh. Hal ini saya temukan setelah saya melakukan observasi maya melalui status-status yang diposting oleh sebagian netizen Aceh. Setelah merangkum beberapa status yang nampak senada dan seirama tersebut, saya menyimpulkan bahwa ada aroma kekecewaan dari beberapa netizen terkait kunjungan King Salman ke Indonesia.

Kononnnya kekecewaan tersebut muncul karena tidak ada catatan agenda bahwa King Salman akan berkunjung ke Aceh. Menurut mereka, seharusnya Aceh adalah daerah pertama yang harus dikunjungi Salman. Aceh semestinya lebih diprioritaskan dari Bali yang penuh dengan aroma “gimana gitu.” Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam. Dan bahkan Aceh wilayah pertama masuknya agama Islam ke Indonesia sehingga dijuluki sebagai serambi Mekkah. Tapi kenapa King Salman tidak singgah ke Aceh? Kira-kira demikian bentuk guratan kekecewaan sebagian netizen.

Jawaban paling “normatif” dan terkesan “klasik” yang coba ditawarkan oleh beberapa kalangan adalah tidak siapnya Pemerintah Aceh menampung jumlah rombongan King Salman yang kononnya mencapai 1.500 orang. Ketidaksiapan ini diduga akibat minimnya fasilitas yang dimiliki oleh Pemerintah Aceh. Saya tidak tahu apakah tawaran jawaban semacam ini cukup memuaskan atau tidak.

Mengingat belum adanya jawaban final dan konkrit kenapa Salman tidak ke Aceh, maka saya akan mencoba memberikan beberapa jawaban alternatif. Pertama, Aceh dikenal dengan Serambi Mekkah. Sebutan Serambi Mekkah ini tentunya memiliki sejarah tersendiri dan tidak muncul dengan sendirinya. Dari sebutan ini dapat diduga bahwa Aceh memiliki hubungan yang sangat kuat dengan Mekkah, baik di masa lalu maupun masa sekarang. Hal ini dibuktikan dengan masih “kekalnya” gelar Serambi Mekkah yang disandang oleh Aceh. Artinya gelar Serambi Mekkah yang diberikan kepada Aceh tidak mengenal istilah expired (kadaluarsa). Akibat sudah sangat akrabnya Aceh dan Mekkah, maka ada kemungkinan Raja Salman merasa tidak perlu lagi berkunjung ke Aceh, karena telah kuatnya hubungan batin antara Mekkah dan Aceh.

Kedua, Raja Salman tidak ingin menyusahkan orang lain. Mungkin ada yang membisikkan kepada Raja Salman jika dirinya berkunjung ke Aceh akan membuat sebagian kalangan menjadi resah dan gelisah. Artinya kunjugan Raja Salman akan mendapat protes melalui surat terbuka seperti yang terjadi terhadap Syaikh Al-Kalbani dua tahun lalu. Tentunya, Raja Salman tidak ingin menyusahkan pihak-pihak yang anti kepada Wahabi untuk bersusah payah menulis surat terbuka kepada beliau. Jika Syaikh Al-Kalbani diprotes melalui satu surat terbuka di sebuah Koran terkemuka di Aceh, maka kehadiran King Salman tentunya akan disambut dengan ribuan surat terbuka. Dan bahkan koran-koran di Aceh akan penuh dengan surat terbuka. Dan jika ini terjadi, tentunya akan membuat perusahan Koran harus tutup, karena tidak ada lagi kolom yang tersedia untuk berita dan iklan.

Ketiga, Raja Salman cinta ketenangan. Sebagai seorang Raja yang memimpin negeri Arab, beliau tentu sangat paham arti sebuah ketenangan dan ketertiban. Dulu, ketika Mekkah masih dikuasai oleh Syarif Husein, kondisi Mekkah sangat “kacau balau” dengan banyaknya perampok yang mengganggu perjalanan haji kaum muslimin. Kondisi tanah Arab saat itu juga penuh ketegangan dengan terjadinya perang antar suku padang pasir yang dikenal keras. Ketertiban di Mekkah baru tercipta kembali ketika Tanah Arab berhasil dikuasai oleh King Abdul Aziz bin Abdurrahman Alu Saud, Raja pertama Arab Saudi. Dan ketenangan serta persatuan antar suku-suku padang pasir terus berlanjut sampai saat ini dibawah kendali King Salman.

Lantas apa hubungannya dengan kunjungan King Salman ke Aceh? Tentu ada hubungannya, kalau tidak ada hubungan tidak mungkin saya menulis seperti ini. Kita tentu masih ingat dengan Parade Aswaja dua tahun lalu. Ada kemungkinan Raja Salman sudah mengetahui informasi ini melalui orang-orang terdekatnya. Dengan demikian, Raja Salman tidak mau mengambil resiko untuk berkunjung ke Aceh. Tentu yang menjadi alasan beliau bukanlah faktor “ketakutan”, karena sejarah telah mencatat bahwa keberanian orang-orang Arab padang pasir jauh lebih tinggi dari keberanian orang-orang kita. Tapi saya menduga, bahwa keputusan Raja Salman untuk tidak berkunjung ke Aceh disebabkan faktor ketenangan sebagaimana disinggung di atas. Artinya, beliau tidak ingin jika kunjungannya nanti disambut dengan demo anti Wahabi yang tentunya akan membuat jalan-jalan menjadi macet serta menyusahkan banyak orang untuk membeli karton dan spanduk.

Logikanya sangat sederhana. Pada saat Parade Aswaja tahun 2015, ribuan massa saat itu menyatakan menolak dan akan mengusir Wahabi dari bumi Aceh, padahal pada saat itu tidak ada Wahabi di Aceh, yang ada cuma tersangka-tersangka Wahabi. Nah, bagaimana jadinya jika King Salman datang ke Aceh, sedangan beliau (semoga Allah menjaganya) adalah “The King of Wahabi”? Tentu tuha adoe nibak aduen. Jika Salman benar-benar berkunjung ke Aceh, bukan tidak mungkin akan disambut dengan Parade yang jauh lebih besar dan dahsyat.

Demikian beberapa jawaban alternatif yang bisa saya tawarkan terkait pertanyaan kenapa Raja Salman tidak berkunjung ke Aceh. Namun seperti telah ditegaskan di awal, bahwa tawaran jawaban tersebut hanyalah asumsi-asumsi belaka. Jika ingin jawaban yang pasti, silahkan hubungi sendiri King Salman, atau coba tanya kepada pria tinggi tegap berkepala plontos yang setia mendampingi King Salman, mungkin dia tahu. Selamat mencoba. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Serambi Indonesia

loading...

1 comment: