"Kekalnya" Kekerasan di Aceh

Oleh: Khairil Miswar 

Banda Aceh, 10 Maret 2017

Ilustrasi
Sumber Foto: toonsonline.net

Sudah menjadi semacam aksioma, bahwa rentetan kekerasan yang terus terjadi di Aceh pasca damai, dianggap sebagai sebuah kewajaran. Argumen yang diajukan cukup klasik, di mana kondisi tersebut dianggap sebagai ekses konflik yang terjadi puluhan tahun. Alasan-alasan serupa inilah yang terus dipertahankan sebagai satu-satunya tawaran jawaban sehingga memberi kesan bahwa rupa-rupa kekerasan yang terus bermunculan di Aceh hanyalah fenomena biasa. 

Baru-baru ini, Aceh kembali dibuat geger dengan aksi penembakan membabi-buta terhadap dua orang masyarakat di Aceh Timur pada Minggu, 5 Maret 2017. Belum lagi kasus Aceh Timur terungkap, masyarakat Aceh kembali dikejutkan dengan pemberondongan posko calon bupati/ wakil bupati Pidie, Roni Ahmad-Fadhullah pada Senin, 6 Maret 2017. Dan bukan tidak mungkin aksi barbarian ini akan terus berulang di tempat-tempat lainnya di Aceh.

Terlepas apa yang menjadi motif dari perilaku kejahatan kemanusiaan tersebut, yang jelas tindakan tersebut dalam jangka panjang akan merusak suasana damai di Aceh. Tindakan barbar tersebut akan kembali menyemai ketakutan di tengah masyarakat Aceh. Dan kondisi ini tentunya akan sangat mengganggu tatanan kehidupan sosial, politik, keamanan dan perekonomian di Aceh.

Senjata Api Ilegal

Salah faktor yang membuat kekalnya kekerasan di Aceh adalah kepemilikan senjata api ilegal oleh oknum masyarakat, dan “gagalnya” pihak Kepolisian Aceh dalam menertibkan senjata api. Disebut “gagal” karena persoalan senjata api ilegal ini bukan persoalan yang muncul baru-baru ini. Tidak diketahui apa yang menjadi penyebab senjata api ilegal masih bebas beredar di Aceh, padahal Aceh telah berada dalam suasana damai selama dua belas tahun. Masih bebasnya peredaran senjata api ilegal adalah faktor utama yang mempermulus tindak kekekerasan menggunakan senjata di Aceh.

Kekerasan menggunakan senjata api bukan hal baru di Aceh. Sudah banyak sekali darah yang tumpah akibat maraknya senjata api pasca damai. Seharusnya, pihak kepolisian selaku pemegang otoritas keamanan di Aceh mampu menuntaskan keberadaan senjata api ilegal demi kekalnya damai Aceh. Terbunuhnya mantan Panglima GAM Wilayah Batee Iliek, Saiful Cage dan pemberondongan pekerja asal Jawa di Kabupaten Bireuen beberapa tahun lalu adalah contoh kekerasan paling sadis yang terjadi pasca damai. Bercermin dari beberapa kasus kekerasan dengan senjata api yang kembali terjadi baru-baru ini, sudah saatnya pihak kepolisian terus berkejaran dengan waktu guna menertibkan penggunaan senjata api di Aceh. 

Gerakan Bersama

Persoalan senjata api adalah persoalan serius yang membutuhkan perhatian semua pihak. Meskipun kontrol keamanan merupakan domain pihak kepolisian, namun pihak-pihak lainnya juga harus terlibat secara aktif dalam menutup akses penggunaan senjata api ilegal di Aceh. Di antara pihak-pihak yang dimaksud adalah, para pimpinan partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, akademisi dan juga eleman masyarakat lainnya secara luas.

Keterlibatan pimpinan partai politik setidaknya dapat ditunjukkan dengan mengingatkan seluruh kadernya agar tidak menyimpan dan menggunakan senjata api ilegal dengan alasan apa pun. Jika diketahui ada kader partai politik yang menyimpan senjata api, maka pimpinan partai harus bersikap tegas dan tidak segan-segan mengeluarkan kader bandel tersebut dari kepengurusan partai politik. Seluruh kader partai politik harus bebas dari kepemilikan senjata api, baik legal maupun ilegal. Jika ada kader partai politik yang teridentifikasi memiliki senjata api, maka orang pertama yang harus diminta pertanggungjawaban oleh pihak kepolisian adalah pimpinan partai politik.

Tokoh masyarakat sebagai sosok yang memiliki peran strategis dalam komunitas masyarakat juga harus mampu menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat di lingkungannya agar tidak menjadikan senjata api sebagai “mainan.” Tokoh masyarakat seperti kepala desa, anggota tuha peut, imum mukim dan tokoh sepuh masyarakat harus senantiasa melakukan sosialisasi, baik formal maupun informal terkait efek negatif kepemilikan senjata api oleh masyarakat. Aparat desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah juga harus sigap dalam memantau kepemilikian senjata api di daerahnya masing-masing. 

Tokoh agama yang memiliki otoritas keilmuan untuk membina umat juga harus mengambil peran dalam meminimalisir penggunaan senjata api ilegal di Aceh. Keterlibatan tokoh agama dalam menyikapi maraknya penggunaan senjata api ilegal dapat dilakukan melalui ceramah-ceramah keagamaan, khutbah jumat dan juga melalui majelis-majelis pengajian. Tokoh agama harus memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa kepemilikan senjata api ilegal akan membawa mudharat bagi pemiliknya dan juga bagi orang lain. Kepemilikan senjata api secara tidak sah akan mempermudah masyarakat melakukan kekerasan terhadap orang lain.

Peran lainnya untuk membasmi penggunaan senjata api ilegal di Aceh dapat dimainkan oleh para akademisi di kampus-kampus. Kaum akademisi sebagai intelektual, dalam setiap kesempatan harus memberi pemahaman kepada mahasiswa dan juga masyarakat terkait bahaya kepemilikan senjata api. Mahasiswa sebagai agen perubahan juga harus mengambil peran dengan cara menumbuhkan kesadaran dalam diri masyarakat terkait bahayanya kepemilikian senjata api ilegal. Sosialisasi terkait dampak negatif kepemilikan senjata api oleh mahasiswa dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan kemahasiswaan di kampus-kampus dan juga di luar kampus.

Harus Serius

Kedamaian yang telah terajut selama dua belas tahun ini tidak akan sempurna jika pengguna senjata api ilegal masih berkeliaran di Aceh. Kondisi ini harus ditanggapi secara serius oleh segenap elemen masyarakat Aceh dan juga pihak keamanan, dalam hal ini kepolisian. Membiarkan pengguna senjata api ilegal berkeliaran secara bebas di Aceh pada pada hakikatnya hampir serupa dengan membiarkan rayap memakan dinding-dinding rumah yang akhirnya akan membuat rumah itu laupuk, rubuh dan hancur. Para pengguna senjata api ilegal adalah “rayap” yang secara perlahan akan merusak pondasi damai yang telah kokoh berdiri selama dua belas tahun.

Harus ada tindakan tegas terhadap “perusak-perusak” damai agar kedamaian ini tetap kekal di Aceh. Namun demikian, dalam melakukan penertiban terhadap kepemilikan senjata api, pihak kepolisian harus bekerja secara profesional sehingga tidak menimbulkan gejolak baru dalam masyarakat. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments