Jurus Meu-angen Zaini Abdullah

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 13 Maret 2017

Ilustrasi
Sumber Foto: pinterest.com

Ada beragam rasa dan komentar yang bermunculan di media sosial ketika tiba-tiba saja Gubernur Zaini Abdullah memainkan jurus “mematikan” menjelang akhir jabatannya. Sebuah jurus yang membuat sebagian kalangan terkejut-kejut dan sebagian lagi tersenyum-senyum sambil terpingkal-pingkal. Pihak yang terkejut adalah mereka yang pada awalnya tidak pernah menduga bahwa Zaini Abdullah akan melakukan aksi nekat karena telah ada larangan dari Mendagri. Adapun pihak yang tersenyum adalah mereka-mereka yang berada di belakang Zaini Abdullah, karena “mantera” yang disembur telah berhasil dan sukses.

Bagi pihak-pihak yang dilantik pada Jumat 10/03/17 tentu akan tertawa riang atau setidaknya tersenyum sendiri karena mendapat hadiah “boh manok mirah.” Sebaliknya, pihak yang kena “lantak” terpaksa mengerutkan dahi dan tepuk jidat karena “kue bohlu” diambil orang. Munculnya dua sikap dari dua kalangan berbeda nasib ini adalah sebuah kewajaran. Tentu sangat jarang seorang pejabat yang menangis terisak ketika disodorkan “boh manok mirah” (jabatan). Demikian pula sungguh sangat langka seorang pejabat yang tersenyum riang ketika “kue bohlu”nya diambil orang.

Ada pun mereka-mereka yang berada di luar lingkaran “terlantik” dan “terlantak” bebas saja menyampaikan tanggapannya, mengingat tidak ada beban yang mereka pikul. Yang memiliki hubungan emosional atau pun hubungan lainnya dengan Zaini Abdullah selaku Gubernur tentu harus menyebut keputusan tersebut sebagai sebuah prestasi gemilang. Sebaliknya, bagi pihak-pihak yang selama ini bertentangan atau kurang syur kepada Zaini Abdullah, dengan penuh semangat akan menyebut tindakan mutasi tersebut sebagai menabrak aturan, tindakan orang pikun, balas dendam, stress dan sebutan-sebutan serumpun lainnya.

Akibat tindakannya tersebut Zaini Abdullah pun menjadi “bulan-bulanan” di media sosial dan memunculkan berbagai perbincangan di kedai-kedai kopi. Beberapa pengamat menyebut tindakan Zaini Abdullah merombak kabinet pejabat SKPA sebagai perbuatan melawan hukum dan bahkan menurut si pengamat, Zaini Abdullah bisa diberhentikan dari jabatannya. Dalam pengakuannya kepada media, Zaini justru menyebut tindakannya sebagai upaya membersihkan jentik nyamuk.

Sejumlah pejabat yang diberhentikan alias “dilantak” mengaku sangat tersinggung dengan pernyataan Zaini Abdullah karena mereka ditamsilkan sebagai jentik-jentik nyamuk, yang jika tidak dibersihkan akan menetas menjadi nyamuk dewasa dan akhirnya akan menggigit. Hebatnya lagi, berkat usaha Zaini Abdullah, istilah jentik-jentik nyamuk ini pun berhasil menemukan popularitasnya melalui puluhan atau mungkin ratusan komentar dan status netizen via facebook.

Tidak puas disebut sebagai nyentik nyamuk, seorang pejabat yang kena “lantak” pun berkomentar bahwa jika mereka disebut sebagai jentik nyamuk, maka induk nyamuknya adalah Gubernur Zaini sendiri. Secara tidak langsung pernyataan ini terkesan menegaskan bahwa para pejabat yang kena “lantak” memang jentik nyamuk dan induknya nyamuk adalah Gubernur Zaini sebagai tukang “lantak.” Dengan demikian aksi debat istilah sudah adil.

Uniknya, seorang pejabat yang “terlantak” mengatakan bahwa ia membuka kartu semasa masih menjabat sebagai “jentiknya” Zaini. Si pejabat tersebut mengaku pernah menolak beberapa perintah Gubernur Zaini yang menurutnya akan berdampak pada masalah hukum di kemudian hari. Aksi jujur semacam ini tentunya patut diapresiasi, meskipun baru muncul sekarang ketika kue bohlu diambil orang. Di satu sisi, tindakan “melantak” yang dilakukan Gubernur Zaini juga memiliki hikmah tersendiri, di mana kartu-kartunya mulai terbuka perlahan. Seandainya Zaini menunda “melantak” tentunya kartu ini akan tersimpan rapi dan bahkan mungkin akan dibawa mati.

Tapi, kejujuran buka kartu tersebut tentunya akan lebih berharga jika dilakukan pada saat “boh manok mirah” masih di tangan. Artinya, jika memang benar Zaini pernah memberikan beberapa perintah yang tidak sesuai aturan, maka sungguh elok rasanya jika si pejabat tersebut dengan gagah berani menyatakan mundur dari jabatannya. Bukankah kejujuran itu lebih penting dari sebutir ”boh manok mirah”? 

Jurus Meuangen 

Namun demikian, jika kita mau jujur, tindakan Zaini Abdullah merombak kabinetnya baru-baru ini memang sedikit aneh. Pasalnya, ketika beberapa waktu lalu tersebar informasi terkait akan adanya mutasi, sang Gubernur justru menepis dengan menyebutnya sebagai berita angen. Kalimat berita angen ini tentunya bisa melahirkan berbagai penafsiran. Bisa saja kalimat berita angen tersebut dimaksudkan bahwa berita tersebut bukan berasal darinya sehingga disebutlah angen. Bisa pula istilah berita angen tersebut sebagai bentuk penegasan dari Zaini Abdullah bahwa dalam beberapa waktu ke depan dia akan menabur angin dan memainkan jurus meuangen.

Akhirnya, penafsiran berita angen telah terjawab dengan tindakan “melantik” dan “melantak” yang dilakukan Gubernur Zaini beberapa hari lalu. Artinya, Zaini Abdullah benar-benar sudah “meuangen” sehingga terpaksa mengeluarkan jurus meuangen yang berdampak pada menetasnya “boh manok mirah” bagi sebagian pejabat dan hilangnya “kue bohlu” dari pejabat lainnya.

Akibatnya, para pejabat yang kena “lantak” kononnya akan melaporkan tindakan Gubenur Zaini kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KSAN) di Jakarta dengan dalih ingin mencari kebenaran. Kita sebagai masyarakat, tentu harus mendukung para pejabat yang hendak melapor ke Jakarta, karena setiap tindakan untuk mencari kebenaran tentunya harus kita dukung dan bahkan kita apresiasi. Cuma terkadang terlintas sebuah pertanyaan di benak kita semua, “seandainya pada Pilkada lalu Zaini Abdullah berhasil menjadi jawara, apakah para pejabat kita ini juga akan melapor tindakan Zaini ke Jakarta?” Tentu hanya para pejabat dimaksud yang bisa menjawab.

Di sisi lain, kejadian ini juga memiliki hikmah tersendiri bagi masyarakat kita dan khususnya bagi jawara Pilkada 2017 yang akan memimpin Aceh pada periode mendatang. Bukan tidak mungkin kejadian yang sama juga akan menimpa Gubernur baru nantinya, khususnya menjelang akhir jabatan. Bukankah orang kuat itu disegani dan ditakuti karena kekuatannya, dan ketika kekuatan itu hilang, hilanglah ketakutan orang di sekelilingnya. Oleh sebab itu berhati-hatilah. Jangan sampai lahir Gubernur jentik dan pejabat jentik di kemudian hari. Wallahu Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments