Bireuen Tanah Kita!

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 20 Februari 2017

Sumber Foto: TA. TAlsya, 1990

Sebagaimana telah lazim kita amati, bahwa politik selalu saja menghadirkan hal-hal yang tidak terduga dan cenderung di luar prediksi. Dalam politik, para peramal pun harus menutup muka ketika ramalannya meleset jauh. Kemenangan Saifannur di Bireuen misalnya, adalah sesuatu yang berada di luar dugaan. Kemenangan Abu Syik di Pidie pun demikian, meskipun telah terjadi berbagai upaya “penggagalan”, tapi kenyataannya Abu Syik menjadi jawara. Demikian pula dengan aura kemenangan Irwandi pun berada di luar prediksi, di mana struktur politik Partai Aceh nampak lebih lengkap dan merata di seluruh Aceh, tapi nyatanya Irwandi mampu mendominasi perolehan suara. Mawardi Ismail menyebut fenomena ini sebagai silent power, dan sebagai orang kampung saya lebih suka menyebutnya “gunung berapi.”

Terlepas siapa yang menjadi pemenang, yang jelas pemilu adalah pesta demokrasi, pesta rakyat. Dan lazimya sebuah pesta sudah selayaknya menghadirkan kegembiraan, bukan kemurungan. Pesta adalah media untuk saling tegur sapa dan mengikat persahabatan, bukan sebaliknya saling hujat dan caci maki. Dan di Aceh, khususnya di Bireuen, pesta demokrasi itu telah pun usai. Yang menang tak perlu gok-gok droe dan yang kalah pun tak perlu poh-poh droe.

Satu hal yang amat disayangkan adalah ketika pesta demokrasi menyisakan “kotoran” yang “menjijikkan.” “Kotoran itu berupa caci-maki dan hujatan yang sambung menyambung tidak berkesudahan. Munculnya laqab Bireuen sebagai Kota Uang dan Kabupaten Seratus Ribu adalah salah satu contoh “kotoran” yang sangat mengganggu harga diri dan marwah masyarakat Bireuen. Ironisnya lagi, laqab ini justru dimunculkan oleh orang Bireuen sendiri.

Kita paham, dan bahkan sangat paham bahwa munculnya laqab dimaksud tentu tidak terlepas dari kondisi politik di Kabupaten Bireuen yang baru saja melaksanakan pesta demokrasi lima tahunan. Laqab tersebut dimaksudkan sebagai sebuah curahan kekecewaan sebagian masyarakat terhadap kondisi politik praktis di Bireuen yang kononnya sarat dengan permainan money politik. Tapi sayangnya, curahan kekecewaan tersebut dilakukan dengan cara yang sama sekali tidak bijak – untuk tidak menyebut “keji.” Terkait adanya pasangan calon Bupati Bireuen yang menurut “kabar burung” melakukan money politik, itu adalah kesalahan personal, sehingga sangat tidak bijak jika kesalahan personal kemudian dibebankan kepada jama’ah (masyarakat Bireuen secara umum) dengan melakukan pola generalisasi.

Laqab Bireuen Kota Uang yang diplesetkan dari Kota Juang merupakan tindakan penistaan terhadap tanah tempat kita dilahirkan dan dibesarkan. Dan bahkan laqab tersebut adalah penistaan terhadap sejarah, di mana gelar Kota Juang tidak diperoleh secara gratis, tapi dengan pengorbanan besar para pendahulu sehingga plesetan Kota Juang menjadi Kota Uang adalah tindakan penistaan terhadap para pendahulu. Seharusnya, jika ada masyarakat luar Bireuen yang menuding Bireuen sebagai Kota Uang, kita sebagai masyarakat Bireuen sudah semestinya mengajukan keberatan sebagai tanda bahwa marwah itu masih ada.

Jika pun money politik itu benar adanya, maka langkah yang harus dilakukan adalah upaya hukum bukan justru memproduksi isu “menjijikkan” yang merugikan masyarakat Bireuen secara umum. Adalah tidak pada tempatnya Bireuen disebut sebagai Kota Uang hanya karena ada kandidat yang diduga melakukan praktik money politik, sebab tidak semua orang Bireuen sepakat dengan money politik. Penyelesaian praktik money politik secara beradab semestinya dilakukan melalui jalur hukum, bukan justru menabur garam di atas luka dengan melakukan generalisasi terhadap mayoritas masyarakat Bireuen yang notabene menolak praktik money politik. Menyebut Bireuen sebagai Kota Uang atau Kota Seratus Ribu sama saja kita telah menuduh seluruh masyarakat Bireuen bisa dibeli dengan uang. Dan tuduhan ini tentunya bertentangan dengan kenyataan.

Seandainya seluruh masyarakat Bireuen sepakat dengan money politik, maka perolehan suara kandidat yang disebut-sebut “bermain uang” akan mencapai angka 100% atau setidaknya 80%. Tapi kenyataannya tidak demikian. Artinya tidak ada satu pun pasangan calon Bupati Bireuen yang memperoleh suara di atas 50%. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hanya sebagian kecil masyarakat Bireuen yang tergoda dengan money politik. Jika demikian adanya, lantas argumen apa yang digunakan untuk memberi laqab Bireuen sebagai Kota Uang atau Kota Seratus Ribu?

Dengan memberi laqab Bireuen sebagai Kota Uang dan Kota Seratus Ribu berarti kita telah menumpuk kesalahan personal ke pundak seluruh masyarakat Bireuen yang mayoritasnya menolak praktik money politik. Bagi yang telah telanjur menyebut Bireuen sebagai Kota Uang dan Kota Seratus Ribu silahkan berapologi bahwa tindakan tersebut sebagai gerakan melawan money politik, tapi tanpa disadari gerakan tersebut justru terkesan menuduh seluruh rakyat Bireuen menerima money politik.

Tentu sangat tidak bijak, jika kita menyebut Mesir sebagai negeri terkutuk hanya karena Fir’aun seorang, padahal kita tahu bahwa di sana juga ada Musa. Demikian pula dengan penyebutan Bireuen sebagai Kota Uang dan Kabupaten Seratus Ribu adalah tindakan salah jeb ubat dan bahkan “keji”, karena kita tahu bahwa mayoritas masyarakat Bireuen menolak dan bahkan anti kepada money politik.

Bireuen adalah tanah kita, jangan dinistakan hanya karena kepentingan politik praktis yang sesaat itu! Mari tolak money politik dengan cara-cara beradab, bukan biadab. Wallahul Musta’an[]

Artikel ini sudah diterbitkan di AcehTrend

loading...

No comments