Mimbar Politik dan Politik Mimbar

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 24 Januari 2017



Aceh Nanggroe Teuleubeh Ateuh Rueng Donya” (Aceh negeri terlebih di muka bumi). Kalimat ini tentu tidak asing bagi telinga masyarakat Aceh. Kalimat ini terus diulang-ulang dari waktu ke waktu, dari satu tempat ke tempat lain. Dari mana kalimat ini berasal, siapa yang meriwayatkannya, dan sejak kapan kalimat ini muncul, bukanlah persoalan penting bagi masyarakat kita. Buktinya, kalimat ini terus berpindah dari satu bibir ke bibir lainnya, tanpa pernah diketahui siapa yang pertama sekali mengucapkannya.

Sudah menjadi kebiasaan, nalar kita akan mati ketika berhadapan dengan sesuatu yang dianggap menguntungkan. Sebaliknya, ketika kita dihadapkan pada sesuatu yang merugikan, nalar kritis pun menggelora tak terbendung. Kalimat “Aceh Nanggroe Teuleubeh Ateuh Rueng Donya” adalah kalimat yang menguntungkan sehingga ia luput dari kritik. Sampai dengan detik ini, belum ada penjelasan yang memuaskan terhadap klaim tersebut!

Sepintas, jika dikorelasikan dengan kehidupan sosial masyarakat Aceh, kalimat di atas dalam kondisi tertentu ada benarnya. Ada banyak kejadian-kejadian unik yang mungkin hanya terjadi di Aceh. Kita tentu masih ingat dengan aksi rebut tongkat pada prosesi shalat Jumat di Nagan Raya (2013). Kita juga belum lupa dengan aksi peuplueng Mimbar (menculik Mimbar) di Simpang Mamplam Kabupaten Bireuen (2013). Demikian pula dengan aksi “hajar khatib” di Pidie (2011) juga masih terbayang-bayang di mata. Baru-baru ini, di Aceh Utara kembali digelar “sinema” berebut jadi khatib (2017).

Mencermati beberapa praktik “aneh” di atas, maka saya sepakat kalau Aceh disebut sebagai nanggroe teuleubeh, sebab kejadian-kejadian unik ini hanya terjadi di Aceh. Penyerangan mesjid di Palestin misalnya, tidak bisa dijadikan sebagai pembanding, karena mereka (orang-orang Palestin) berhadapan dengan Israil. Adapun beberapa kasus yang terjadi di Aceh adalah fenomena “kita” melawan “kita”, bukan “kita” melawan “mereka” sebagaimana di Palestin.

Mimbar Politik

Dalam perspektif sekular, politik cenderung melenggang bebas tanpa nilai. Bicara politik adalah bicara tentang dunia yang benar-benar profan. Paradigma politik sekular secara tegas menutup diri dari pengaruh sakralitas. Dengan demikian, baik tidaknya gagasan, konsep dan gerakan politik sekular berada di bawah otoritas si pelaku politik. Neraca agama sama sekali tidak laku di sini. Sudut pandang serupa ini memberi kebebasan kepada pelaku politik untuk bertindak sebebas-bebasnya. Agama dilarang bicara!

Mimbar politik dalam paradigma sekular harus dimaknai seluas-luasnya. Dalam Mimbar ini pelaku politik boleh bicara apa saja dan dilarang menyebut-nyebut nama Tuhan. Sebagaimana diakui sendiri oleh Nurcholis Madjid (1998) bahwa puncak sekularisme adalah atheisme, sebuah dunia tanpa Tuhan. Atau, “Tuhan telah mati” seperti kata Nietszshe (Levine, 2013). Tegasnya, agama dan Tuhan dilarang berada dalam ruang politik.

Dalam pengertian yang lebih luas, segala bentuk penipuan (janji palsu) melalui mimbar politik dan juga segala tindakan “anarkhis” dalam praktik politik adalah manifestasi dari ideologi sekular, seperti kata Madjid, sekularisme adalah sumber dari segala imoralitas. Demikian juga dengan rupa-rupa black campaign dan money politic pun dapat dikatagorikan sebagai wujud dunia politik tanpa Tuhan, meskipun dilakukan oleh orang-orang beragama. Orang-orang serupa itu bibirnya beriman, tapi lakunya “atheis.”

Dengan beberapa pengecualian, panggung-panggung kampanye, di mana pun ia berada, siapa pun oratornya, apa pun topiknya, dan bagaimana pun dikemas adalah mimbar-mimbar politik yang cenderung mengadopsi gaya-gaya sekular. Praktek kheun keu gop dan pelestarian teumeunak di beberapa panggung kampanye semakin mempertegas pengadopsian dari gaya-gaya sekular. 

Politik Mimbar

Ada sebagian pihak yang menduga bahwa “tragedi mimbar” yang terjadi baru-baru ini di Aceh Utara sebagai bagian dari politik mimbar. Dugaan ini bisa benar dan bisa salah. Untuk menentukan sebuah tindakan masuk katagori politik mimbar atau tidak, sangat ditentukan oleh posisi si pelaku. Namun demikian, untuk tragedi Aceh Utara, sulit dikomentari sebab masih tebalnya “hijab” dan kacaunya informasi.

Bagi yang sepakat agama dan politik tidak terpisahkan, maka penggunaan mimbar sebagai corong kampanye politik adalah sah-sah saja. Sebaliknya, bagi pihak yang menganggap agama tidak boleh masuk ruang politik, maka penggunaan mimbar sebagai fasilitas kampanye adalah sebuah pelanggaran. Di sini, para empunya pendapat dituntut untuk konsisten.

Lantas bagaimana dengan politisasi mimbar? Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa praktik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi keseharian si pelaku. Memang sudah menjadi semacam epidemi, ketika musim kampanye tiba, banyak politisi yang tiba-tiba menjadi saleh dan bahkan sangat saleh. Namun demikian, kita harus benar-benar cermat dalam menilai. Artinya, ada kesalehan semu yang cuma muncul di musim kampanye, dan ada pula kesalehan hakiki. Kesalehan semu sifatnya sementara (musiman), sedangkan kesalehan hakiki ia abadi (dalam pengertian insani).

Cara mendeteksi “penyakit” ini cukup mudah. Sebagai contoh, ada politisi yang kesehariannya seperti (maaf) “beulaga”, tetapi ketika musim politik tiba, ia pun “berubah” menjadi imam yang setia memimpin shalat lima waktu. Dan sesekali menjadi khatib musiman di beberapa mesjid, tentunya setelah “main mata” dengan pengurus mesjid. Di hadapan publik dia terus bertakbir “Allahu Akbar”, tapi di belakang melakukan teror. Ketika pemilu usai, ia pun kembali menjelma sebagai (maaf) “beulaga.” Politisi semacam ini dapat dipastkan mengidap epidemi kesalehan semu. Politisi seperti inilah yang sering melakukan politisasi mimbar untuk kepentingan politiknya. 

Adapun politisi yang dalam kesehariannya memang benar-benar saleh (dalam pengamatan empiris), maka dia akan terselamatkan dari praktik politisasi mimbar. Sebagai contoh, seorang politisi yang dalam kesehariannya juga sering menjadi khatib dan imam shalat, ketika musim kampanye tiba ia pun menggunakan mimbar dalam mengisi rutinitas (non musiman), maka tindakannya tersebut bukan bagian dari politisasi mimbar. Bagi politisi ini, agama dan politik benar-benar tidak terpisahkan, karena iman bukan sekedar persoalan “kognitif”, tapi ia harus diwujudkan melalui praktik, termasuk dalam politik. Hal ini dibuktikan ketika pesta politik berakhir, ia tetap konsisten dengan kesalehannya. Sebab itulah kesalehannya disebut kesalehan “abadi” bukan kesalehan semu. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments