Politik Teror Itu Seperti Pedang

Oleh: Khairil Miswar 

Banda Aceh, 06 Januari 2017

Khairil Miswar (Pakai Peci) Pada saat Verifikasi Faktual Partai SIRA Kabupaten Bireuen
 Oleh Kanwil Depkumham Aceh Tahun 2007

Pemilu Legislatif 2009 adalah pemilu pertama pasca MoU Helsinky untuk memilih calon legislator yang akan duduk di kursi parlemen. Ketika Pileg tersebut digelar, konflik Aceh dengan Pemerintah Pusat baru saja berakhir. Tahun 2009 adalah tahun keempat terciptanya kedamaian di Aceh. Kedamaian dimaksud adalah damai tanpa perang, bukan damai tanpa gaduh. Artinya, meskipun Aceh kala itu berada dalam kondisi damai, namun kegaduhan-kegaduhan politik masih saja berlangsung di hampir seluruh pelosok Aceh. 

Sebelumnya, penting dipertegas bahwa tulisan ini tidak berbasis riset ilmiah, dan bukan pula klaim buta tanpa bukti. Tulisan ini adalah penggalan-penggalan pengalaman yang penulis lihat, dengar dan rasa sendiri. Meskipun tulisan ini nantinya jauh dari tradisi ilmiah, namun tidak berarti bahwa tulisan ini hanya bualan belaka. Apa yang akan diuraikan dalam tulisan ini adalah fakta yang “sekalian alam” mengetahuinya.

MoU Helsinky yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 dalam salah satu poinnya telah memberikan hak kepada segenap masyarakat Aceh untuk membentuk partai-partai politik lokal di Aceh. Sayangnya, oleh kekuatan politik dominan saat itu, pasal ini diterjemahkan secara keliru, entah sengaja atau tidak – sehingga lahirlah penafsiran bahwa MoU Helsinky hanya mengizinkan lahirnya satu partai politik lokal tunggal. Penafsiran tentang partai politik lokal tunggal ini kemudian dianggap oleh sebagian kalangan sebagai penafsiran mu’tabar dan mu’tamad sehingga penafsiran lainnya dianggap sebagai “menyimpang.” Kondisi inilah yang kemudian mendorong kekuatan politik dominan saat itu yang diikuti oleh sebagian masyarakat muqalidin melahirkan satu stigma kurang sedap yang ditujukan terhadap sesama anak bangsa sebagai “pengkhianat.”

Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) yang didirikan oleh aktivis Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) pada tahun 2007 adalah partai lokal pertama di Aceh yang disebut sebagai partai “pengkhianat” oleh segelintir pihak dari kekuatan politik dominan saat itu. Ada dugaan penyebutan Partai SIRA sebagai partai “pengkhianat” disebabkan oleh kenyataan bahwa SIRA juga lahir dari rahim perjuangan. SIRA adalah gerakan sipil Aceh yang menginginkan penyelesaian konflik Aceh dengan cara-cara beradab.

Dalam perkembangan selanjutnya, stigma pengkhianat tersebut tidak hanya disematkan kepada SIRA, tetapi stigma tersebut terus beranak-pinak dan menyasar kubu-kubu politik lainnya di Aceh. Karena berbeda sikap politik, Irwandi Yusuf pun pernah dicap sebagai “pengkhianat.” Jika dirunut secara kronologis, Irwandi Yusuf bersama Partai Nasional Aceh (PNA) adalah “pengkhianat” kedua setelah SIRA. Dulu, ada sebagian kalangan yang menganggap bahwa selain kelompok politik dominan adalah pengkhianat. Namun, seiring perjalanan waktu dan tumbuhnya kedewasaan politik, stigma pengkhianat ini sudah mulai ditinggalkan. Hal ini terbutkti, ketika Zaini Abdullah dan Zakaria Saman memilih keluar dari kubu politik dominan, stigma pengkhianat sudah tidak lagi terdengar, seperti halnya pada pemilu legislatif 2009 dan pemilukada 2012.

Teror 

Tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut pemilu legislatif 2009 adalah pemilu paling “panas” pasca damai. Seingat penulis, ketika itu partai SIRA mengalami tekanan yang luar biasa, sehingga partai tersebut nyaris tidak memperoleh kursi di parlemen, kecuali di beberapa kabupaten. Untuk level provinsi (DPRA), SIRA sama sekali “gagal” menempatkan wakilnya. 

Pemilu legislatif 2009 penuh dengan aksi teror, di mana ada beberapa calon legislatif dari Partai SIRA yang diteror sehingga membuat daya juang mereka menjadi lemah. Beberapa unit kantor sekretariat Partai SIRA saat itu juga terbakar (atau dibakar?). Beberapa atribut dan kenderaan (mobil) juga menjadi sasaran teror. Bahkan beberapa kader Partai SIRA juga mengalami tindakan intimidasi. Sebagian dari aksi teror ini terekam dengan baik melalui beberapa media saat itu. Sayangnya berbagai bentuk tindakan teror tersebut nyaris tidak mampu diungkap oleh pihak keamanan.

Pada pemilukada 2012, aksi teror dan intimidasi ini masih berlangsung di beberapa daerah dan sebagian besar kasus-kasus tersebut juga direkam oleh media. Namun seiring perjalanan waktu aksi teror dan intimidasi ini terus berkurang. Hal ini setidaknya dapat kita saksikan pada pemilu legislatif 2014, di mana ketegangan-ketegangan sudah mulai hilang secara perlahan.

Menurut penulis ada beberapa faktor yang menyebabkan berkurangnya aksi teror dan intimidasi dalam praktik politik praktis di Aceh. Pertama, tumbuhnya kedewasaan politik di kalangan politisi Aceh. Dengan tumbuhnya kedewasaan politik ini, maka akan berdampak pada terbangunnya peradaban politik, sehingga aksi-aksi primitif seperti teror dan aksi kheun keu gop dengan stigma pengkhianat akan hilang dengan sendirinya. Namun apakah para politisi Aceh sudah cukup dewasa? Pertanyaan ini tentu masih sulit untuk dijawab. Tapi setidaknya jalan ke arah tersebut sudah mulai terbuka.

Kedua, para peneror dan pelaku intimidasi telah menyadari bahwa aksi teror yang digunakan selama ini sudah tidak lagi efektif alias hana lagoet le (tidak laku lagi), sehingga strategi ini mau tidak mau harus ditinggalkan. Mereka tentu sangat paham bahwa menggunakan strategi yang telah terbukti gagal adalah sebuah “kejahilan.” Dalam redaksi yang lebih religious, mungkin dapat diduga bahwa para peneror sudah mulai bertaubat kepada Allah. Dengan adanya “taubat massal” dari para peneror ini maka secara otomatis praktik teror dan intimidasi ini akan hilang dengan sendirinya.

Ketiga, munculnya “perlawanan” dari rakyat. Jika dikomparasikan, maka akan terlihat adanya perbedaan mencolok dalam pemilu legislatif 2009 dan pemilukada yang akan digelar pada 2017. Suasana pemilu legislatif 2009 dan juga pemilukada 2012 penuh dengan ketegangan, di mana hegemoni kekuatan politik dominan terlihat cukup kuat. Kondisi tersebut berbeda dengan suasana hari ini, di mana telah munculnya berbagai aksi perlawanan dari pihak-pihak yang dulunya “tertindas.” Jika dalam pemilu sebelumnya kekuatan politik dominan masih dianggap sebagai satu-satunya singa, maka pada hari ini kondisi telah mulai berubah dengan lahirnya singa-singa baru yang lebih “buas.” 

Dengan berubahnya kondisi politik dan semakin cerdasnya rakyat, maka aksi teror yang di masa lalu menjadi senjata ampuh telah kehilangan fungsinya. Di masa lalu, ketika menghadapi teror masyarakat akan berkata “ampun” sebagai simbol ketakutan, tetapi sekarang ketika teror datang, masyarakat akan berkata “awas” sebagai bentuk perlawanan.

Akhirnya, penulis ingin membuat satu kesimpulan sederhana, bahwa teror itu seperti pedang, semakin dipakai maka dia akan semakin tumpul. Dan sejarah telah membuktikan itu. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHtrend

loading...

No comments