Ujian Atau Hukuman?

(Refleksi 12 Tahun Gempa Tsunami Aceh)

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 19 Desember 2016

Khairil Miswar di depan Mesjid Ulee Lheu Banda Aceh  Awak Tahun 2005

Rabu pagi (07/12/2016) menjelang subuh sekira pukul 05.00 Wib, Aceh kembali diguncang gempa berkekuatan 6,5 SR. Puluhan bangunan toko, rumah warga dan beberapa rumah ibadah pun ambruk. Korban pun berjatuhan, sampai saat ini dilaporkan bahwa korban sudah mencapai sekitar 102 orang masyarakat meninggal dunia dan ratusan lainnya luka-luka. Pemandangan yang tak kalah menyedihkan adalah rubuhnya sejumlah mesjid di Kabupaten Pidie Jaya. Kerusakan juga menimpa dayah Mudi Mesra Samalanga dan juga Kampus STAI Al-Aziziyah, pusat pendidikan para santri di Kabupaten Bireuen.

Sebelum gempa Rabu pagi di Pidie Jaya, pada tahun 2013 Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah pun sempat dihentak oleh gempa yang juga menimbulkan kerusakan di beberapa tempat dan juga mengakibatkan sejumlah orang meninggal dunia.

Sehari sebelum gempa Pidie Jaya, pada Selasa (11/12/16) masyarakat Aceh juga sempat dikejutkan dengan aksi penembakan terhadap salah seorang warga di Idi Aceh Timur yang ditembak secara sadis dan biadab di depan anaknya yang masih kecil. Media mengabarkan bahwa korban meninggal sambil memeluk erat anaknya yang menangis keras. Sungguh sadis, dan biadab.

Beberapa bulan sebelumnya, Aceh pun sempat dihebohkan dengan aksi pembunuhan akibat masalah keluarga di Kabupaten Bener Meriah. Aksi pembunuhan keji tersebut dilakukan oleh seorang istri muda terhadap istri tua dan keluarganya. Akibatnya, tiga korban meninggal dengan kondisi yang menggenaskan. Menyedihkan. Kesucian “negeri Syariat” telah dikotori oleh tangan-tangan jahil yang tidak manusiawi.

Selain itu, gempa pada Rabu pagi tersebut juga turut mengingatkan masyarakat Aceh akan bencana dahsyat yang terjadi dua belas tahun lalu, tepatnya pada 26 Desember 2004, di mana Aceh luluh lantak dihantam gempa tsunami yang memakan korban ratusan ribu orang. Kala itu, Aceh pun berduka. Bantuan berdatangan dari berbagai penjuru tanah air, dan bahkan dari dunia internasional. Bencana kemanusiaan pada 26 Desember 2004 terjadi dalam kondisi politik Aceh yang sangat memprihatinkan, di mana GAM dan RI masih bersitegang. Namun dalam perkembangan selanjutnya, berkat bencana kemanusiaan ini, tepatnya pada 15 Agustus 2005, kedua pihak pun berdamai.

Muhasabah

Dalam surat Asy-Syuraa ayat 30, Allah berfirman: Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu). Ayat ini menjelaskan bahwa sebenarnya manusialah yang mengundang datangnya musibah melalui perbuatan-perbuatan mereka yang tidak diridhai Allah. Artinya, segala bentuk kemaksiatan, kesyirikan dan kezaliman adalah salah satu sebab datangnya bencana dari Allah.

Bencana gempa tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 dan juga gempa Pidie Jaya baru-baru ini harus menjadi media bagi kita untuk melakukan muhasabah guna meningkatkan ketakwaan kepada Allah. Hal terpenting yang harus dilakukan ketika musibah adalah bersabar dan memperbaiki kualitas keimanan, bukan meratap. 

Gempa Pidie Jaya baru-baru ini telah melahirkan berbagai komentar dari sebagian masyarakat. Dilihat secara kasat mata, ada perbedaan mencolok antara bencana tsunami pada 26 Desember 2004 dengan bencana gempa Pidie Jaya 7 Desember 2016. Dalam bencana gempa tsunami tahun 2004 sangat sedikit jumlah mesjid yang rusak. Mesjid Baiturrahman misalnya, justru menjadi tempat berlindung masyarakat dari terjangan gelombang. Bahkan yang lebih fenomenal adalah mesjid di kawasan Ulee Lheu Banda Aceh yang tetap kokoh berdiri meskipun lingkungan di sekitarnya telah rata dengan tanah. Kondisi ini berbeda dengan gempa baru-baru ini di Pidie Jaya yang menyebabkan banyak mesjid rubuh dan hancur.

Sebagian pihak, khususnya melalui media sosial menafsirkan fenomena ini sebagai salah satu bentuk hukuman Tuhan dengan “dalil” banyak rumah Allah yang roboh. Ada yang menyatakan bahwa robohnya mesjid menjadi pertanda bahwa selama ini umat Islam tidak pernah memakmurkan mesjid sehingga Allah memberi teguran melalui bencana. Ada pula segelintir kalangan yang berkeyakinan bahwa rubuhnya sejumlah mesjid dalam gempa Pidie Jaya disebabkan oleh kelakuan sebagian oknum masyarakat yang terlibat “konflik mazhab” beberapa waktu lalu di Aceh, seperti halnya insiden “perebutan” mesjid.

Tetapi, dalam perspektif ilmu pengetahuan, bencana tersebut bisa pula ditafsirkan dengan penjelasan-penjelasan logis, baik terkait penyebab (gempa) seperti kuatnya guncangan, atau pun terkait parahnya kerusakan seperti rendahnya kualitas bangunan (termasuk mesjid) sehingga mudah rubuh. Demikian pula dengan selamatnya sejumlah mesjid pada bencana 2004 pun bisa saja dijelaskan melalui penjelasan ilmiah.

Namun demikian, sebagai insan beriman, tentunya kita harus meyakini bahwa bencana yang terjadi tersebut tidak terlepas dari kekuasaan Tuhan yang dipenuhi dengan hikmah yang tidak semuanya mampu kita pahami. Allah berfirman dalam surat At-Taghabun ayat 11: tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali denga izin Allah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya.

Kita bisa saja menafsirkan gempa Pidie Jaya sebagai bentuk hukuman Tuhan dengan berlandaskan beberapa indikator seperti menjamurnya maksiat, maraknya pembunuhan atau pun sebab-sebab lain. Tetapi memastikan bencana tersebut sebagai sebuah hukuman bukanlah hak kita, karena kita tidak punya otoritas untuk itu.

Demikian pula penafsiran yang menyebut gempa Pidie Jaya sebagai bentuk ujian (cobaan) pun sah-sah saja dengan alasan-alasan tersendiri. Tetapi memastikan tragedi kemanusiaan tersebut sebagai hanya sebuah ujian belaka juga bukan kewenangan kita sebagai seorang hamba.

Tanpa perlu berspekulasi, hanya dua hal yang penting diyakini. Jika selama ini kita hidup dalam ketaatan kepada Allah, maka yakinlah bencana yang kita hadapi adalah sebuah ujian untuk menguji kualitas keimanan kita. Sebaliknya, jika selama ini kita hidup bergelimang maksiat, maka bencana yang datang tersebut adalah hukuman Tuhan sebagai sebuah koreksi atas perilaku kita selama ini. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments