Sampai Kapan Kita Harus Lebay?

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 22 Desember 2016

Sumber Foto: T. A. Talsya

Dalam beberapa hari terakhir ini, nama Cut Nyak Meutia terus disebut-sebut. Media sosial pun tumpah-ruah dengan komentar terkait pahlawan wanita Aceh ini. Semua bicara tentang Cut Nyak Meutia. Tentu tidak ada yang aneh ketika Cut Nyak Meutia ini terus dibicarakan, sebab beliau adalah sosok berani yang telah berjuang mengusir kaphe Belanda dari tanah Aceh. Namun, diskursus tentang Cut Nyak Meutia yang berlangsung dalam beberapa hari ini tidak terkait sama sekali dengan aktivitas perjuangan beliau di masa lalu. Tapi, hanya sebuah ekspresi kekesalan sebagian anak negeri karena menurut mereka Cut Nyak Meutia telah “dilecehkan.”

Menurut sebagian kalangan, kehadiran Cut Nyak Meutia dalam uang kertas baru adalah sebuah “pelecehan” sebab wujud Cut Nyak Meutia ditampilkan tanpa jilbab. Faktor inilah yang kemudian mendorong sebagian kalangan di Aceh melancarkan aksi protes. Berbagai argumen pun dihembus guna mendukung keyakinan masing-masing. Sebagian kalangan beranggapan bahwa penampilan Cut Nyak Meutia tanpa jilbab di lembaran uang kertas baru tersebut dapat mencederai semangat penegakan syariat Islam di Aceh. Sementara sebagian kalangan lainnya dengan semangat taqlidismenya mengajukan logika yang sulit dinalar, bahwa “tidak boleh tidak, Cut Nyak Meutia harus berjilbab.”

Mencederai Syariat Islam 

Dua pendapat di atas terus digulir dengan harapan berubahnya persepsi publik. Pendapat yang menyebut bahwa terpampangnya wajah Cut Meutia tanpa jilbab dapat mencederai semangat syariat Islam sepintas memang dapat diterima mengingat Aceh sedang gencar-gencarnya menerapkan syariat Islam. Di sisi lain, pendapat ini juga menandakan bahwa si empunya pendapat tersebut, seperti kata HAMKA, masih memiliki ghirah keagamaan. Dalam hal ini, harus kita apresiasi. Artinya, yang bersangkutan tidak ingin syariat Islam di Aceh tercederai hanya karena penampilan Cut Meutia tanpa penutup kepala. Tapi, kita juga harus tersadarkan, bahwa syariat Islam tidak hanya tercederai dengan uang kertas tersebut.

Adalah aneh, ketika kita begitu bersemangat melancarkan aksi protes terhadap munculnya wajah Cut Meutia tanpa jilbab dalam uang kertas, tetapi sebaliknya kita bersikap dingin terhadap beredarnya sejumlah VCD lagu Aceh yang jelas-jelas mengundang syahwat. Sampai saat ini, VCD yang menampilkan perempuan Aceh tanpa jilbab plus pakaian ketat sembari melenggak-lenggok pinggul masih saja bebas beredar. Hebatnya lagi, VCD lagu-lagu Aceh tersebut ditayangkan secara bebas di kedai-kedai kopi, bahkan sangat digemari oleh sebagian masyarakat.

Kita sepakat bahwa penampilan Cut Meutia tanpa jilbab dalam uang kertas tidak sesuai dengan spirit syariat Islam, tetapi saya yakin bahwa penampilan Cut Meutia tanpa jilbab dalam uang kertas tersebut tidak akan mengundang syahwat bagi siapa pun, khususnya bagi insan-insan yang masih waras. Kondisi ini tentu berbeda dengan penampakan sebagian penyanyi Aceh yang tampil bahenol dan seksi dalam VCD yang beredar. Saya yakin, siapa pun yang menonton goyangan mereka akan terangsang syahwatnya, kecuali bagi mereka-mereka yang syahwatnya telah mati. Dengan demikian, sebelum kita memboikot foto Cut Meutia dalam uang kertas, tentu kita harus terlebih dulu memboikot “goyangan maut” sebagian penyanyi Aceh. 

Taklidisme 

Pendapat kedua mengatakan bahwa Cut Meutia memang berjilbab sehingga foto Cut Meutia yang ditampilkan dalam uang kertas baru tersebut adalah tidak pantas dan bahkan “melecehkan” Cut Meutia.

Akibat terlalu degil, malah ada netizen yang menulis statemen tak etis via status facebook: dipike Cut Meutia lagee nek jih, jilhon dikeu Belanda (dia pikir Cut Meutia seperti neneknya, telanjang di depan Belanda). Ini adalah kalimat paling “tololet” abad ini. Ketika sikap taqlidisme telah memuncak, maka yang lahir adalah apologi-apologi dha’if yang justru membunuh nalar. Orang serupa ini hendak memaksakan agar kenyataan sejarah haruslah sesuai harapannya sehingga tanpa sadar dia justru telah mengkhianati sejarah itu sendiri. Ini adalah sikap frustasi!

Sebenarnya, jika kita merujuk pada foto-foto perempuan Aceh tempo dulu, umumnya memang tidak menggunakan jilbab sebagaimana jilbab yang dikenal saat ini di Aceh (jilbab syar’i). Secara umum, wanita Aceh tempo dulu hanya menggunakan kain penutup kepala, di mana rambut dan tubuh bagian depan (leher) tidak tertutup dengan sempurna. Demikian pula dengan Cut Meutia dan wanita Aceh lainnya, tidak ditemukan bukti-bukti bahwa mereka menggunakan jilbab layaknya model Iran atau pun Saudi. 

Kondisi sebagian wanita Aceh yang tidak menutup kepala secara sempurna adalah kenyataan sejarah. Namun demikian, kita tidak memungkiri bahwa ada pula sebagian wanita Aceh yang menutup kepala secara sempurna dengan jilbab syar’i pada era 1920-an. Tapi secara umum wanita Aceh sampai dengan kemerdekaan Indonesia memang tidak memakai jilbab syar’i, apalagi pada masa itu sedang ngetrend boh langgoi (sanggul rambut). 

Tidak hanya isteri masyarakat awam, bahkan sebagian isteri ulama-ulama di Aceh tempo dulu pun tidak menutup kepala dengan sempurna, hanya ija sawak. Kenyataan ini dapat kita saksikan sendiri dari foto-foto yang beredar. Sebagai contoh, isteri dari Teungku Haji Hasan Krueng Kalee pada masa mudanya juga tidak menutup kepala. Demikian pula dengan isteri Abuya Mudawali Al-Khalidi yang mudah kita temukan dalam sebagian foto juga hanya memakai ija sawak dengan sebagian rambut tampak keluar. Pemandangan ini dapat pula kita lihat dalam foto-foto lasykar wanita pejuang kemerdekaan di Aceh seperti lasykar Pocut Baren yang juga tanpa penutup kepala. Sekali lagi, ini adalah kenyataan sejarah.

Kenyataan bahwa sebagian wanita tempo dulu tidak menutup kepala dengan jilbab syar’i tidak hanya terjadi di Aceh, tetapi juga di Indonesia pada umumnya. Bahkan sampai dengan tahun 1999, masih ramai wanita Aceh yang sama sekali tidak menggunakan jilbab dengan rambut dikepang dua.

Kenyataan Sejarah

Idealnya kita memang berharap agar foto Cut Meutia tersebut berjilbab syar’i, bahkan jika perlu model jilbab Iran atau Saudi. Tapi, kita tentunya harus cerdas memilah-milah antara kenyataan sejarah dengan harapan. Cut Meutia tidak menggunakan jilbab syari’i adalah kenyataan sejarah, demikian pula dengan isteri sebagian ulama di Aceh memakai ija sawak pun kenyataan sejarah yang tidak bisa kita ubah.

Kita boleh marah, boleh degil dengan menuduh nenek orang lain telanjang, tapi kita tidak akan mampu mengubah kenyataan sejarah yang sudah berlaku. Mengakui kenyataan sejarah adalah lebih baik daripada menabur khayal tanpa bukti. Mengakui bahwa Cut Meutia memang tidak terbukti menggunakan jilbab syar’i tidak akan pernah merendahkan kehormatan beliau.

Kita yakin dan percaya, bahwa Cut Meutia, Cut Nyak Dhien dan juga isteri ulama-ulama Aceh tempo dulu adalah orang-orang yang ‘alim dan taat. Mereka adalah muslimah sejati meskipun hanya memakai kain penutup kepala sekedarnya. Bisa saja, pada zaman itu ija sawak telah dianggap sebagai sesuatu yang sangat syar’i. Bahkan dalam sebagian literatur disebutkan bahwa penggunaan jilbab syar’i seperti kita kenal hari ini baru merambah Indonesia pasca Revolusi Iran 1979.

Tersebab itu, kita tidak perlu lebay dalam menyikapi foto Cut Meutia dalam uang kertas yang akan beredar tersebut. Jika memang kita tidak ridha foto tanpa jilbab tersebut dipampang, maka solusinya adalah meminta kepada pemerintah untuk tidak mencantumkan foto Cut Meutia. Baiknya foto Cut Meutia diganti dengan foto Teuku Umar atau Panglima Polim tanpa melibatkan pahlawan wanita. Dengan demikian persoalan akan selesai. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments