Saling Tipu Antara Rakyat dan Politisi

Oleh: Khairil Miswar 

Batee Iliek, Samalanga 11 November 2016

Sumber Foto: Enrichment Journa

Agama melarang keras menipu. Banyak sekali teks-teks agama yang menjadi dasar hukum dilarangnya menipu. Perbuatan menipu adalah perbuatan yang keji. Menipu tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga merugikan diri sendiri. Pada dasarnya menipu adalah sebuah perbuatan yang jika terus diulang-ulang maka ia akan menjadi satu sifat yang melekat pada diri seseorang.

Ada banyak faktor yang mendorong seseorang untuk menipu. Sebagian orang menipu karena terpaksa, seperti konsumen barang kredit yang menipu karena belum memiliki uang untuk membayar tagihan. Sebagian yang lain menipu dengan maksud untuk mendapatkan sesuatu, seperti kita yang menyodorkan sejumlah budget kepada orang tua dengan alasan kebutuhan kuliah, padahal untuk traktir cewek di kedai kopi. Ada pula yang menjadikan aksi tipu sebagai hobi, tiada hari tanpa tipu sehingga dia mendapatkan kenikmatan tersendiri ketika aksi tipunya berhasil. Dan masih banyak lagi.

Seorang yang agamis sekalipun sering terjebak dengan aksi tipu ini, baik disadari atau pun tidak. Seorang ‘alim yang mungkin karena kelelahan “terpaksa” menipu tamunya bahwa ia sedang tidak ada di tempat, padahal tidur. Seorang pejabat terkadang harus menipu istrinya bahwa agenda kerja padat, padahal nongkrong. Demikian pula seorang guru yang terkadang terpaksa menipu muridnya untuk menutupi ketidaktahuannya. Demikianlah, aksi tipu ini terus menjadi “sahabat” kita sehari-hari. Terlepas ada tipu yang dibolehkan, yang jelas tipu tetaplah tipu dan sampai selamanya akan menjadi tipu.

Politik Tipu

Bagi sebagian orang, politik dianggap identik dengan menipu. Orang serupa ini tidak sadar bahwa ia telah tertipu oleh kerangka pikirnya sendiri. Namun demikian, lahirnya keyakinan ini juga tidak terlepas dari kondisi sosial yang dialaminya. Kondisi sosial yang penuh tipuan inilah yang kemudian menggiringnya untuk beranggapan demikian. Dan ini adalah gejala yang wajar. Untuk mengubah keyakinan ini tentu sangat sulit, di mana perubahan ini baru akan terjadi jika kita mampu menghadirkan kondisi baru yang berbeda dari kondisi sebelumnya.

Pada prinsipnya politik bukanlah ilmu atau pun alat untuk menipu. Adalah salah jika kita berkeyakinan bahwa politik itu untuk menipu dan beranggapan bahwa politisi adalah penipu. Para politisi juga punya peran besar dalam memerdekakan negeri ini. Orang-orang yang berada di BPUPKI dan PPKI itu politisi semua, meskipun berasal dari berbagai latar belakang. Apakah kemudian kita harus menyebut mereka sebagai penipu?

Siapa Menipu Siapa?

Satu fakta yang tidak dapat diingkari adalah bahwa dulunya, ketika demokrasi diperkenalkan di Indonesia, ada sejumlah politisi (politisi busuk) yang kerjanya hanya menipu dan menipu. Ketika pemilu tiba, si politisi melakukan tour ke sana ke mari guna mengkampanyekan sejuta janji kepada rakyat. Bahkan terkadang janji yang ditaburnya itu telah diyakininya tidak akan mungkin terlaksana, tetapi karena didorong oleh nafsu yang membara maka terpaksa ditaburnya pula dengan harapan rakyat akan memilihnya.

Bagi sebagian politisi, janji adalah senjata yang sangat efektif untuk menyasar kepercayaan rakyat. Akibat janjilah rakyat menaruh harapan dan juga impian kepada para politisi. Tetapi janji yang tidak pernah ditepati itu akhirnya menjadi bumerang bagi si politisi itu sendiri. Semakin ditipu, tentunya rakyat akan semakin cerdas. Kecerdasan ini pun terbagi dua. Pertama, kecerdasan untuk bertahan, di mana rakyat akan menganggap semua politisi itu sebagai penipu sehingga janji-janji itu akan mendapat cibiran dari rakyat. Kondisi ini akan menjadikan rakyat kebal terhadap janji-janji di kemudian hari. Dalam kondisi ini, janji para politisi sudah tidak lagi mampu mempengaruhi rakyat untuk menentukan pilihan politiknya.

Kedua, kecerdasan untuk balik menipu. Ini adalah kecerdasan tertinggi yang dimiliki oleh rakyat, di mana tidak hanya bertahan, tetapi rakyat juga akan melakukan gerakan perlawanan dengan jurus yang serupa, jurus menipu. Jika dulu politisi menipu rakyat, maka sekarang kondisinya berubah, rakyat menipu politisi. Gejala sosial ini sudah mulai muncul di beberapa tempat di Aceh dalam beberapa tahun terakhir. Kita tentu sering mendengar satu “credo” yang berkembang saat ini: dijok peng kacok ju, tapi jih bek katop (kalau diberi uang kamu ambil, tapi kamu jangan pilih dia).

Menipu Politisi

Munculnya perlawanan rakyat terhadap politisi busuk melalui gerakan tipu politisi adalah fenomena yang wajar. Tentunya, politisi tidak bisa menyalahkan sebagian rakyat yang saat ini “gemar” menipu politisi. Kondisi ini tidak lahir dengan sendirinya, tetapi para politisi busuk punya kontribusi besar dalam memprakarsai lahirnya gerakan ini. 

Sudah berpuluh tahun rakyat ditipu oleh politisi busuk. Dengan demikian sudah sepatutnya jika rakyat melakukan aksi balas dendam. Aksi balas dendam ini tentunya sulit dibendung dan akan memakan korban tanpa tebang pilih. Artinya, politisi baik pun tidak luput dari aksi balas dendam ini. 

Jika dulu rakyat menaruh harapan kepada politisi agar janji-janji itu ditepati, sekarang sebaliknya, justru politisi yang menaruh harapan kepada rakyat agar benar-benar memilihnya alias tidak ditipu. Nampaknya gerakan tipu politisi ini akan semakin meluas seiring meningkatnya kecerdasan rakyat dari masa ke masa. Sebagaimana halnya para politisi busuk di masa lalu yang menipu rakyat tanpa beban, sekarang rakyat pun dengan santai saja menipu politisi sembari berucap“cok lieh.” 

Kalau sudah begini mau apa lagi? Walau bagaimana pun ini adalah kenyataan yang harus diterima. Anggap saja ini takdir, kalau pun bukan takdir, maka seperti kata Hasan Bandung, anggap saja giliran. Para politisi busuk sudah kenyang menipu rakyat, sekarang giliran rakyat menipu politisi. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments