Pemimpin Jubun

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 06 November 2016


Sumber Foto: Pixabay


Idealnya, seorang pemimpin itu dicintai oleh rakyatnya, dan ia pun mencintai rakyatnya. Kondisi ini hanya akan terjadi jika hubungan keduanya berada dalam harmoni. Dan harmoni itu sendiri baru tercapai jika pemimpin itu mampu mengayomi, melindungi dan berpihak kepada kepentingan rakyat. Adapun rakyat menunjukkan sikap taatnya kepada si pemimpin. Jika keseimbangan ini mampu dibangun, maka keharmonisan itu akan hadir dengan sendirinya.

Di sisi lain, seorang pemimpin juga identik dengan keberanian, rasa percaya diri dan kharisma. Tentunya akan sangat aneh jika ada pemimpin yang “loyo” dan bersikap pengecut. Pemimpin serupa ini dapat dipastikan tidak akan mampu mengurus rakyatnya. Kita tentu pernah mendengar bahwa negara kambing yang dipimpin oleh singa akan kuat, sebaliknya negara singa yang dipimpin oleh kambing akan lemah. Pameo ini mengajarkan kita akan pentingnya sebuah keberanian bagi seorang pemimpin.

Namun demikian, kita tentunya harus mampu membedakan antara keberanian dengan gila. Seseorang disebut berani ketika seseorang itu mampu bersikap dan bertindak dengan perangkat dan kekuatan yang dimilikinya. Adapun seseorang yang nekad melakukan sesuatu tanpa didukung oleh fasilitas dan kekuatan yang memadai, maka orang tersebut bukan berani, tapi gila. Sebagai ilustrasi, seseorang disebut berani apabila dia membunuh harimau menggunakan pedang atau senapan. Adapun orang yang nekad membunuh harimau dengan tangan kosong, maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut gila.

Hamka, dalam bukunya Tasauf Modern, menulis: “Sifat syaja’ah memiliki dua pinggir, pinggir sebelah ke atas terlalu panas, itulah yang bernama tahawwur, yaitu berani babi. Pinggir ke sebelah bawah terlalu dingin, itulah yang bernama jubun (pengecut).” Dari penjelasan Hamka ini dapat dipahami bahwa ada dua titik ekstrim yang harus dijauhi, yaitu berani babi dan pengecut. Idealnya posisi kita berada di tengah, tidak berani babi dan tidak pula pengecut.

Sikap pengecut adalah sikap paling hina dan bahkan dikecam oleh agama sebagaimana dikecamnya orang-orang yang lari dari medan perang. Seorang pemimpin dituntut untuk berani dan menghindari sikap pengecut (jubun). Sikap jubun itu sendiri akan menghilangkan kewibawaan dan kharisma seorang pemimpin. Di sisi lain, seorang pemimpin tidak hanya pandai bersuka ria ketika rakyatnya gembira, tapi pemimpin juga harus mampu berduka cita ketika rakyatnya sengsara.

Pemimpin dihormati, Rakyat dihargai 

Idealnya rakyat itu harus menghormati pemimpin, demikian pula dengan pemimpin juga harus mampu menghargai rakyatnya. Inilah yang disebut dengan harmoni, di mana terdapat keseimbangan antara pemimpin dan rakyat. Adalah naïf, jika seorang pemimpin menuntut rakyat untuk sami’na wa atha’na, tetapi si pemimpin justru tidak menghargai rakyatnya. Seperti telah disinggung di atas bahwa hanya pemimpin berani yang akan dihormati oleh rakyat. Sebaliknya, pemimpin jubun akan ditinggalkan rakyatnya.

Sebagai contoh, sikap pemimpin kita pada saat aksi umat Islam 4 November lalu di Jakarta tentunya sangat menarik untuk di analisis. Kita telah saksikan sendiri bagaimana bersemangatnya rakyat dari berbagai pelosok tanah air yang datang berduyun-duyun ke Ibu Kota dengan harapan bisa bertemu dan mengadu kepada pemimpinnya. Tapi apa yang terjadi? Pemimpin yang dinantinya itu tidak kunjung tiba. Anehnya lagi, si pemimpin sudah jauh-jauh hari mengetahui bahwa rakyat akan mengunjunginya pada 4 November. Lantas masihkah pantas si pemimpin berkelit bahwa jalanan macet sehingga menghalanginya untuk menjumpai rakyat?

Di sinilah terkadang terjadi anomali. Dulu, ketika masa kampanye sebagian kita terkadang menghabiskan banyak uang untuk mengumpulkan massa. Tujuannnya hanya satu, agar rakyat mendengar segudang janji yang kita tabur melalui orasi politik. Anehnya, ketika massa berkumpul sendiri, menggunakan biaya sendiri, tanpa dibayar – tetapi kita justru lari dan meninggalkan rakyat termenung sendiri. Padahal tujuan rakyat hanya satu, ingin menyampaikan aspirasinya secara langsung kepada pemimpinnya tanpa wasilah dan tanpa hijab, sebagaimana dulu ia menjumpai calon pemimpinnya itu di masa kampanye. Kalau sudah begini, tentunya terserah rakyat untuk menafsirkan sikap pemimpinnya itu, apakah masuk katagori pemimpin berani atau jubun. 

Secara psikologis, setiap orang ingin dihargai, meskipun terkadang ia sendiri sulit untuk menghargai. William James seperti dikutip Mufid (2009) mengatakan bahwa “prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai.” Kita tentu bisa menyimpulkan sendiri apakah pada 4 November lalu rakyat dihargai oleh pemimpinnya atau tidak. Ketika pemimpin sudah tidak mampu menghargai rakyatnya, maka jangan harap rakyat akan menghormati pemimpin.

Bukan hanya tidak menghargai rakyatnya yang telah apoh-apah (bersusah payah), tetapi sang pemimpin bahkan “menuding” bahwa aksi massa muslim itu telah ditunggangi oleh aktor politik. Tudingan ini tentunya sangat menyakitkan dan membuat rakyat semakin kecewa. Hanya karena kerusuhan kecil lalu dengan mudahnya menuding bahwa aksi tersebut ditunggangi. Dengan mengutip Marthi Arthisari, saya ingin katakan bahwa kerusuhan kecil itu seperti halnya “jalan rusak di pedalaman.” Apakah kita akan menghukum seorang kontraktor (rekanan) hanya karena dua centimeter jalan yang rusak dari ribuan kilometer yang telah dibangunnya? Demikian pula dengan sejuta damai yang ditabur oleh para demonstran pada 4 November, apakah kerusuhan kecil itu dapat dijadikan alasan untuk mencari kambing hitam?

Akhirnya, saya mengajak kita semua untuk senantiasa berdoa agar kita dianugerahi pemimpin berani, bukan pemimpin jubun. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di Republika Online

loading...

No comments