Mari Selamatkan Indonesia, Tuan Presiden!

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 11 November 2016

Sumber Foto: Poskota News

Sungguh di luar dugaan bahwa aksi 4 November 2016 (411) yang melibatkan sejumlah komponen Umat Islam di tanah air berlangsung damai, aman dan tertib. Jumlah massa yang kabarnya jutaan telah berhasil menebar damai di hari yang berkah, hari Jumat. Mereka melakukan aksi damai setelah sebelumnya bermunajat kepada Tuhannya melalui shalat berjamaah – dengan kondisi berdesak-desakan. Dengan jumlah massa yang membludak itu, jika mereka mau, mereka bisa saja menurunkan Presiden dari tahtanya, tapi kenyataannya tidak mereka lakukan. Hal ini membuktikan bahwa kaum muslimin itu setia pada tujuannya – mereka ingin hukum ditegakkan seadil-adilnya.

Aksi damai 411 telah membuat setiap mata terkesima dan terkagum-kagum sehingga mampu melunturkan stereotip usang bahwa demo itu identik dengan anarkhis, merusak, membakar dan suasana kacau. Yang terjadi pada 411 adalah sebaliknya, tidak ada keributan yang berarti, kecuali ketika aparat negara menembakkan gas air mata. Aksi 411 juga memberi pesan kepada dunia internasional, bahwa umat Islam Indonesia sudah cukup dewasa dalam menyampaikan aspirasinya.

Namun amat disayangkan, massa aksi damai yang melimpah ruah itu tidak mendapat sambutan selayaknya dari pemimpin negeri ini. Hal ini dibuktikan dengan sikap Presiden RI yang dengan berbagai alasan memilih untuk menolak menemui massa muslim yang notabene adalah rakyatnya sendiri. Sikap “tak bijak” ini tentunya membuat rakyatnya itu semakin kecewa. Padahal orang-orang yang ingin menjumpai Presiden itu bukanlah preman, bukan pembakar gereja, tetapi orang-orang terhormat – para ulama. Dan massa muslim tersebut sama sekali tidak bermaksud melakukan kudeta terhadap Presiden sehingga tidak ada alasan untuk “bersembunyi.”

Anehnya lagi, dalam kondisi yang sangat terkendali itu, Presiden justru mengutus Wakil Presiden untuk menemui massa. Ini adalah tradisi klasik yang kembali dipertontonkan. Namun demikian, kita patut bersyukur karena kharisma yang dimiliki Jusuf Kalla mampu memberi sedikit ketenangan kepada massa. Tapi di lubuk hati yang paling dalam, rasa kecewa itu tetap membara. Kenapa pemimpin yang selama ini dielu-elukan tidak menunjukkan “kejantanannya” seperti halnya Jusuf Kalla yang tampil percaya diri menghadapi massa muslim.

Dalam keterangannya Jusuf Kalla berjanji akan menuntaskan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok dalam tempo dua minggu. Apa yang disampaikan oleh Jusuf Kalla ini adalah sebuah janji yang harus ditepati. Jika janji ini nantinya diingkari, bukan tidak mungkin massa dengan jumlah yang lebih besar akan kembali melakukan aksinya sampai keadilan itu benar-benar ditegakkan.

Komunikasi Politik Presiden 

Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa massa muslim sudah sedikit tenang setelah mendengar keterangan Wakil Presiden, Jusuf Kalla. Tapi ketenangan ini ternyata tidak berlangsung lama. Presiden RI, entah sengaja atau tidak telah mengeluarkan pernyataan yang tidak sepatutnya. Dalam keterangannya, Presiden RI menyebut bahwa aksi massa muslim tersebut telah ditunggangi.

Pernyataan ini tentunya sangat menyakitkan dan tidak pada tempatnya. Pernyataan ini secara tidak langsung akan “merendahkan” wibawa ulama yang menjadi penggerak aksi damai. Tentunya sungguh naïf jika ulama mampu ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik pragmatis pihak tertentu. Muncul pula pertanyaan, ditunggangi untuk apa?

Tudingan Presiden ini, meskipun katanya berbasis data sangat tidak layak dihembuskan di hadapan publik. Kalimat “ditunggangi” ini tentunya akan melahirkan penafsiran yang bias. Secara tidak langsung, kalimat ini juga menunjukkan bahwa pola komunikasi politik Presiden sangat lemah. Seharusnya sebelum mengeluarkan pernyataan, Presiden harus mampu menganalisis dampak yang akan terjadi sehingga tidak kalang-kabut dalam menhadapi serangan balik.

Netralitas Polri 

Pihak Kepolisian Republik Indonesia adalah lembaga yang bertanggung jawab dalam mewujudkan janji Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa kasus dugaan penistaan agama tersebut akan selesai dalam dua minggu. Untuk mewujudkan janji ini, tentunya Polri harus benar-benar profesional dalam melaksanakan tugasnya.

Namun sayangnya, pernyataan Kapolri tentang polemik kata “pakai” telah menganggu konsentrasi dan bahkan merusak persepsi publik tentang netralitas Polri dalam penegakan hukum. Kecaman terhadap pernyataan Kapolri pun beredar luas di media sosial. Menyikapi ini, beredar informasi bahwa Presiden sudah menegur Kapolri. Kita berharap kejadian serupa tidak lagi terulang sehingga netralitas polri menjadi taruhan.

Selain itu, kita juga sangat menyayangkan penangkapan terhadap beberapa aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) oleh pihak kepolisian karena dianggap melakukan kerusuhan pada saat aksi 411. Seharusnya pihak kepolisian lebih bijak dalam melakukan penegakan hukum. Aksi bentrok tersebut tidak akan terjadi dengan sendirinya tanpa pemicu. Artinya, kepolisian jangan hanya mampu menangkap tetapi juga harus mampu melacak kenapa aksi itu terjadi.

Jika polisi tidak bersikap bijak, bukan tidak mungkin aksi penangkapan ini justru akan memicu gerakan perlawanan baru dari mahasiswa yang tentunya akan membuat kondisi semakin runyam. Publik, khususnya umat Islam sudah terlanjur kecewa. Dengan demikian Polri dituntut untuk benar-benar profesional.

Selamatkan Indonesia

Pasca aksi damai 411, dikabarkan bahwa Presiden RI mengundang sejumlah ormas Islam ke istana. Tetapi hal yang sangat disayangkan, Presiden “melupakan” Front Pembela Islam (FPI) yang juga merupakan salah satu motor yang menggerakkan aksi 411. Demikian juga sikap Presiden sebelum aksi 411 yang melakukan pertemuan hanya dengan dua ormas Islam, NU dan Muhammadiyah. Kebijakan Presiden yang tidak mengundang FPI ini tentunya akan memunculkan berbagai spekulasi dari publik.

Selain itu, dalam keterangannya yang dilansir beberapa media, Presiden sering mengulang kalimat yang sama bahwa dirinya adalah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata. Secara normatif, memang tidak ada yang salah dengan kalimat ini. Tapi dalam konteks sosiologis, jika kalimat ini terus diulang-ulang tentu akan melahirkan kesan tersendiri dalam persepsi publik. Bisa saja kalimat itu sengaja dipertegas agar angkatan bersenjata tetap loyal kepada Presiden selaku panglima tertinggi.

Demikian pula dengan safari militer yang dilakukan oleh Presiden dengan mengunjungi satu persatu korps, baik di institusi TNI maupun Polri. Seperti halnya kalimat di atas, safari ini juga akan memunculkan penafsiran bias dari masyarakat, apalagi safari tersebut dilakukan pasca aksi damai 411.

Di akhir tulisan ini, kita berharap agar penegakan hukum terhadap pelaku dugaan penistaan Alquran yang telah menyita perhatian publik dalam beberapa waktu terakhir dapat segera dituntaskan sehingga keresahan umat Islam bisa kembali padam. Kita juga berharap kepada seluruh aparat negara, khususnya Presiden RI agar lebih bijak dalam menyikapi aspirasi umat Islam yang merupakan penghuni mayoritas di Republik ini. Kita tentu tidak ingin negara ini goncang akibat tidak bijaknya pemerintah. Kita juga tidak berharap aksi protes terus berlangsung di negeri ini sehingga menguras energi anak bangsa. Mari selamatkan Indonesia, Tuan Presiden!

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments