Dayahisme Vs Acehisme dalam Pilkada Bireuen

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 04 Oktober 2016



Sebagian masyarakat Bireuen beberapa waktu lalu terhebohkan dengan keputusan tim dokter RSUZA yang menyatakan bahwa salah seorang bakal calon Bupati atas nama Saifannur tidak lulus tes kesehatan. Kabar duka ini berkembang cepat dengan bantuan media sosial. Saifannur sebagaimana dirilis oleh beberapa media menyatakan menolak hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh tim dokter tersebut. Aksi penolakan ini kemudian berlanjut dengan “serbuan” tim sukses Saifannur ke Panwaslih Aceh. Nasib serupa (tidak lulus tes kesehatan) juga dialami oleh sejumlah bakal calon lainnya di beberapa daerah di Aceh.

Sebelumnya, Saifannur terlihat sangat gencar dalam melakukan sosialisasi dan gerakan ta’aruf guna memperkenalkan diri kepada publik. Spanduk dan baliho milik yang bersangkutan telah tersebar hampir di seluruh pelosok Bireuen. Bahkan sebagian kalangan menyebut bahwa elektabilitas Saifannur semakin menanjak. Namun apa hendak dikata, takdir berkata lain. Saifannur layu sebelum berkembang.

Jika nantinya Saifannur benar-benar dinyatakan gugur oleh KIP, maka hanya tertinggal lima pasangan kontestan yang akan bertarung pada pilkada 2017 mendatang. Dan jika melihat “gerak-gerik alam”, pasangan Husaini-Azwar pun akan “tersungkur” – atau setidaknya akan menarik diri dari pentas pertarungan. Asumsi ini lahir dari gelagat yang terlihat bahwa pasangan ini nampak “layu” dalam perbincangan publik, di tambah lagi dengan elektabilitasnya yang lumayan “rendah.” Jika pun pasangan ini nantinya masuk ke arena, hampir bisa dipastikan posisinya hanya sebagai “rombongan intan linto.”

Akhirnya yang menjadi petarung di pentas 2017 hanyalah empat pasangan calon (paslon); Ruslan M. Daud-Jamaluddin Idris, Khalili-Yusri, M. Yusuf A. Wahab-Purnama dan Amiruddin Idris-Ridwan Khalid. Dari empat paslon ini, tiga di antaranya akan “mempropagandakan” isu seksi, yaitu isu Acehisme dan Dayahisme. Tiga pasangan dimaksud adalah Ruslan-Jamaluddin, Khalili-Yusri dan M.Yusuf-Purnama. Paslon Khalili-Yusri dapat dipastikan akan menggunakan isu Acehisme. Hal ini dibuktikan dengan slogan “roh perjuangan.” Sedangkan pasangan M. Yusuf-Purnama kuat dugaan akan memikat publik dengan isu Dayahisme. Adapun paslon Ruslan-Jamaluddin justru memiliki nilai lebih dengan mengkombinasikan berbagai isu, baik Acehisme, Dayahisme dan juga isu-isu pembangunan. Sementara paslon Amiruddin-Ridwan dapat dipastikan tidak memiliki isu yang layak jual.

Berdasarkan ulasan di atas, ditinjau dari manajemen isu, maka dapat dikerucutkan bahwa pemain yang sebenarnya pada pilkada Bireuen 2017 hanyalah tiga pasangan calon; Ruslan-Jamaluddin, Khalili-Yusri dan M. Yusuf-Purnama.

Dayahisme Vs Acehisme 

Jika didasarkan pada lembaga pendidikan, maka corak pemikiran keagamaan di Aceh dapat diklasifikasikan kepada dua bentuk; tradisionalis dan modernis. Kelompok tradisionalis sering diidentikkan dengan lembaga pendidikan dayah yang umumnya memiliki sanad keilmuan seperti diajarkan Syaikh Mudawali Labuhan Haji dan Tgk. H. Hasan Krueng Kalee. Adapun kelompok modernis lazim dikaitkan dengan lulusan kampus atau yang terkadang sering disebut sebagai awak Darussalam. Masuk juga dalam katagori ini (modernis) adalah kader-kader Muhammadiyah. Adapun pemahaman Salafi yang juga berkembang di Aceh, jika ditinjau dari praktik keagamaan juga dapat diklasifikasikan dalam kelompok modernis.

Tgk. M. Yusuf A. Wahab (Tu Sop) yang merupakan salah satu bakal calon Bupati Bireuen berasal dari kelompok tradisionalis (dayah). Dalam sosialisasi yang dilakukan selama ini, terlihat jelas bahwa pasangan ini sering menggunakan isu agama untuk menarik simpati masyarakat. Bahkan beberapa waktu lalu sempat beredar selebaran (tidak jelas sumbernya) yang mengajak masyarakat untuk memilih ulama sebagai pemimpin. Melalui media sosial juga dapat disaksikan bahwa para pengagum Tu Sop juga menggunakan isu agama dengan berbagai variannya.

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penyebaran isu adalah pendekatan Dayahisme. Hal ini dapat dimengerti karena dayah dalam paradigma masyarakat Aceh umumnya adalah pusat pendidikan keagamaan yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai lembaga yang paling otoritatif dalam bidang keagamaan. Ketika slogan “saatnya ulama memimpin” diluncurkan ke udara, tentunya yang dimaksud adalah ulama dayah, bukan ulama modernis atau pun ulama Muhammadiyah. Tersebab itulah saya memakai istilah dayahisme, bukan “politisasi agama.”

Isu dayahisme yang saat ini sudah mulai merebak di sekeliling Tu Sop nantinya akan berbenturan dengan isu Acehisme yang pastinya akan digunakan oleh Khalili. Penggunaan isu Acehisme oleh Khalili dan pasangannya Yusri pun dapat dipahami karena kedua pasangan ini diusung oleh Partai Aceh yang selama ini beranggapan bahwa merekalah yang paling berhak “menerjemahkan” Aceh. Partai Aceh sendiri adalah “metamorfosis” dari Gerakan Aceh Merdeka yang dideklarasikan oleh Hasan Tiro. Acehisme atau dalam istilah Damanik, etno-nasionalisme adalah isu yang hanya bisa digunakan oleh Partai Aceh yang disebut-sebut sebagai “pewaris tunggal” konsep-konsep yang pernah dibangun Hasan Tiro.

Sementara itu, pasangan Ruslan-Jamaluddin memiliki kesempatan untuk memenej isu yang lebih kompleks, mulai dari Acehisme, Dayahisme dan juga isu-isu pembangunan. Saat ini Ruslan M. Daud adalah sosok incumbent yang pernah diusung oleh Partai Aceh pada pilkada sebelumnya. Meskipun Ruslan tidak lagi mendapat dukungan formal dari Partai Aceh, tetapi sebagaimana telah kita ketahui bahwa ada sebagian faksi Partai Aceh di Bireuen yang tetap setia memberi dukungannya kepada Ruslan. Meskipun tidak begitu maksimal, isu Acehisme – melalui tim suksesnya – masih saja bisa dimainkan oleh Ruslan M. Daud.

Di samping itu, dengan kedudukannya sebagai incumbent, Ruslan M. Daud juga memiliki kesempatan besar untuk mengkampanyekan beberapa keberhasilan yang pernah dicapainya dalam lima tahun terakhir. Seperti kita saksikan bersama bahwa akhir-akhir ini Ruslan M. Daud terlihat sangat giat melaksanakan “politik pencitraan” yang tentunya memiliki pengaruh signifikan yang dapat menunjang elektabilitasnya.

Seperti disebut di atas, bahwa Ruslan dapat memainkan isu yang kompleks dalam pilkada kali ini. Untuk isu Dayahisme nampaknya akan digelorakan oleh calon wakilnya Jamaluddin Idris yang saat ini juga menjabat sebagai Imam Besar Mesjid Agung Bireuen. Jamaluddin Idris yang juga pejabat teras Kementerian Agama Bireuen adalah salah satu tokoh yang dihormati di lingkungan Komunitas Dayah Darussa’dah. Dalam hal ini, posisi Jamaluddin Idris sebagai salah seorang petinggi Darussa’dah akan memuluskan jalan baginya untuk mengkampanyekan isu Dayahisme.

Jika dicermati, konsentrasi dayah di Kabupaten Bireuen saat ini terpecah dan tidak solid. Namun demikian, masing-masing pasangan akan tetap menggunakan isu Dayahisme guna mendongkrak elektabilitas mereka. Pasangan Khalili-Yusri meskipun kuat dugaan hanya menggunakan isu Acehisme, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada sebagian kecil faksi dayah yang tetap melabuhkan dukungannya kepada mereka. Kuat dugaan bahwa dukungan dayah akan mengalir deras kepada pasangan Ruslan-Jamaluddin, disusul Tu Sop-Purnama dan terakhir Khalili-Yusri.

Namun demikian, sejauh mana efektivitas isu Dayahisme dan Acehisme ini dalam pilkada Bupati Bireuen 2017, tentu sulit ditebak mengingat kondisi masyarakat yang semakin tercerdaskan akibat segudang pengalaman pahit di masa lalu. Akhirnya, kita hanya bisa bermunajat kepada Allah agar Pilkada 2017 mendatang berlangsung aman, tanpa teror dan intimidasi. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di Tabloid Pikiran Merdeka

loading...

No comments