Berebut “Paling GAM”

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 29 Oktober 2016

Foto Para Pendukung PA pada Kampanye Pilkada 2012

Guru saya, Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, dalam salah satu artikelnya dengan tajuk Menyoal Eskalasi Konflik Keagamaan di Harian Serambi Indonesia beberapa waktu lampau telah mengupas satu topik menarik terkait fenomena keagamaan di Aceh. Gejala sosial kegamaan yang sedang melanda Aceh itu menurut guru saya telah melahirkan paradigma baru dalam beragama: “berebut paling siap mati.” Dalam artikel itu, guru saya mengupas tentang berbagai problem keagamaan dan juga kasus-kasus intoleransi antar umat beragama di Aceh. Sebelumnya, juga pernah muncul berbagai tulisan dari penulis lainnya, terkait gejala sosial keagamaan dengan topik dan tajuk hampir serupa: “Berebut Paling Saleh.” 

Karena kata “berebut” ini lumayan seksi, maka saya pun “merebut” tajuk di atas untuk kemudian saya “blender” sehingga lahirlah tulisan ini dengan tajuk “Berebut Paling GAM.” Saya terpaksa “menjiplak” tajuk dan pola yang telah dipatenkan itu, tersebab redaksi semacam itulah yang paling sesuai dengan maksud tulisan ini. Jika beberapa tajuk artikel sebelumnya membidik persoalan keagamaan, maka tulisan ini sama sekali tidak terkait dengan persoalan kegamaan. Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk membidik GAM, sebuah kekuatan politik bersenjata – yang sejak 15 Agustus 2005 telah bermetamorfosis menjadi partai politik di bawah “ketiak” Republik.

GAM yang kita bicarakan di sini adalah GAM yang dulunya di era 1976-2004 memproklamirkan diri sebagai “pejuang kemerdekaan Aceh” dan saat ini telah seayun selangkah membangun Aceh bersama Republik guna menciptakan kedamaian, kesejahteraan, kemakmuran, kekayaan, kesehatan, kecerdasan, kenikmatan, dan “ke-an-ke-an” lainnya di Aceh.

Kemesraan antara GAM dan RI yang telah memasuki usia sebelas tahun ini tentunya tidak terlepas dari iktikad baik kedua belah pihak yang difasilitasi oleh awak luwa, sebuah istilah keren yang sampai saat masih sering disebut-sebut. Oleh sebagian kalangan istilah awak luwa masih dikeramatkan sampai dengan saat ini. Kita tentu masih ingat dengan kasus Din Minimi yang juga meminta keterlibatan awak luwa ketika hendak menyerahkan diri kepada Sutiyoso.

Kembalinya GAM ke pangkuan Ibu Pertiwi telah memberikan ruang kepada mantan kombatan untuk kemudian melibatkan diri dalam ajang politik praktis di Aceh. Pra damai, ide-ide perjuangan yang dihembuskan oleh GAM hanya berupa semboyan semu dan tidak menemukan wujudnya. Pasca damai, kondisi ini berubah, semboyan yang dulunya dikampanyekan ke sana ke mari telah menemukan ruangnya. Tapi apakah mereka berhasil mewujudkan mimpinya itu? Wallahu A’lam adalah jawaban paling aman.

Siapa Paling GAM? 

Empat dari enam pasangan calon gubernur yang telah ditetapkan oleh KIP Aceh adalah mantan GAM. Mereka adalah Zaini Abdullah, Zakaria Saman, Muzakkir Manaf dan Irwandi Yusuf. Di masa konflik, keempat tokoh ini saling dukung, saling sokong dan sama-sama meneriakkan kata-kata“merdeka.” Dalam organisasi GAM pra damai, Zaini Abdullah dan Zakaria Saman menduduki posisi penting sebagai petinggi GAM, masing-masing menduduki jabatan Menteri Kesehatan dan Menteri Pertahanan GAM. Selain menduduki posisi “sakral”, keduanya juga orang terdekat Hasan Tiro, pelopor GAM itu sendiri. Ketika perang berkecamuk di Aceh, kedua tokoh ini memilih menetap di luar Aceh, sehingga mereka aman dari incaran peluru.

Dua tokoh lainnya, Muzakkir Manaf dan Irwandi Yusuf yang ketika konflik sedang memuncak, mereka memilih bertahan di Aceh sehingga tidak pernah aman dari incaran musuh. Keduanya memainkan peran strategis dalam konflik Aceh, masing-masing sebagai Panglima Perang dan juru propaganda GAM. Meskipun memiliki kontribusi besar dalam “perjuangan”, dapat dipastikan bahwa keduanya tidak terlalu dekat dengan Hasan Tiro, jika dibandingkan dengan Zaini Abdullah dan Zakaria Saman. Zaini Abdullah dan Zakaria Saman adalah generasi tua di tubuh GAM yang dididik langsung oleh Hasan Tiro. Adapun Muzakkir Manaf dan Irwandi Yusuf adalah generasi muda GAM.

Walaupun mereka menduduki posisi yang berbeda dalam struktur GAM, namun keempatnya adalah tokoh GAM yang punya pengaruh. Dalam perkembangannya, akibat lemahnya sistem komando di tubuh GAM (sekarang KPA) pasca damai, mengakibatkan keempat tokoh ini “bercerai” di arena politik. Kondisi ini tentunya juga sangat dipengaruhi oleh mulai tumbuhnya “ketegangan” internal dalam tubuh KPA.

Dalam beberapa waktu ke depan, keempat tokoh ini akan terjun ke arena dan melakukan berbagai usaha guna mendulang suara pada Pilkada 2017 nantinya. Selain berlomba dalam adu visi, misi dan program, nampaknya keempat tokoh ini juga akan berlomba mencitrakan diri sebagai “yang paling GAM.” Setidaknya, strategi ini akan dimainkan oleh para tim sukses mereka melalui berbagai wasilah seperti media sosial. Bagi sebagian kalangan, mencitrakan diri sebagai paling GAM adalah sangat penting guna meraih kedudukan sebagai “pewaris Tiro” yang sebenarnya.

Bagi sebagian kalangan, citra sebagai pewaris Tiro memiliki arti penting guna melanjutkan perjuangan di masa damai. Bagi mereka, visi, misi dan program hanyalah bumbu dan pemanis semata. Yang terpenting adalah siapa “yang paling GAM” di antara mereka. Kedudukan sebagai “yang paling GAM” akan menjadi penentu apakah mereka bisa mengawal MoU Helsinky atau tidak. Setidaknya, begitulah yang dipahami oleh sebagian kalangan di Aceh, khususnya di kampung-kampung.

Mencermati kondisi politik saat ini, saya melihat pencitraan diri sebagai “yang paling GAM” adalah sangat tidak penting dan bahkan tidak akan berdampak pada perolehan suara. Kondisi ini dipengaruhi oleh pemahaman masyarakat yang sudah semakin tercerdaskan dalam beberapa tahun terakhir. Yang paling penting ke depan bukan siapa yang paling GAM, tapi siapa yang paling siap mewujudkan cita-cita GAM. Bukan justru menabur khayal kepada publik. Selamat bertarung!

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend.

loading...

No comments