Ahok dan Alquran

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 29 Oktober 2016

Ahok. Sumber Foto: Benteng NKRI

Kalau boleh jujur, saya melihat Ahok tak ubahnya pelawak yang sedang naik daun. Selama kepemimpinannya di Jakarta, entah sudah berapa banyak lawakan yang dilakoninya. Setiap lawakan yang dilakukan oleh Ahok kerap kali menuai kritik dari publik, baik dari masyarakat Jakarta, atau pun masyarakat Indonesia pada umumnya.

Di sisi lain, Ahok juga sangat populer dengan gaya kepemimpinannya yang tempramental. Dalam beberapa liputan media, kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana Ahok berteriak-teriak seperti orang kerasukan dengan mata membelalak lebar. Ahok juga dikenal dengan mulutnya yang rajin “komat-kamit” dan sering kebablasan.

Bagi penggemar Ahok, gaya kepemimpinan model tersebut adalah gaya kepemimpinan paling bahenol seIndonesia. Gaya kepemimpinan “kasar” yang dilakoni Ahok sering dinterpretasikan oleh para penggemarnya sebagai bentuk ketegasan, kedisiplinan dan “merakyat.” Sedangkan bagi masyarakat yang tidak pro Ahok, pola kepemimpinan Ahok dianggap sebagai model kepemimpinan anak kecil – yang rajin mengamuk hanya karena persoalan permen.

Sejak awal memimpin Jakarta, mayoritas rakyat Indonesia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap Ahok. Saya melihat ketidaksetujuan ini tidak didasarkan pada persoalan etnis, tetapi lebih kepada alasan-alasan teologis. Mayoritas umat Islam, sesuai dengan petunjuk Alquran sepakat menolak kepemimpinan non muslim. Indonesia – tanpa bermaksud menafikan keberadaan agama lain, adalah negara yang dihuni oleh mayoritas muslim. Dengan demikian, sudah sepatutnya suara muslim lebih dihargai dan didengar.

Namun demikian, kita tentu tidak bisa serta menyalahkan Ahok hanya karena posisinya sebagai Gubernur DKI. Mengapa? Karena Ahok, yang saat itu menjadi wakil Jokowi (sekarang Presiden) terpilih secara demokratis. Jokowi dan Ahok ketika itu memperoleh dukungan yang luar biasa dari masyarakat Jakarta sehingga mengantarkan mereka ke kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI. Lantas siapa yang hendak disalahkan? Tentunya sebagian umat Islam (warga Jakarta) juga terlibat mengantarkan Ahok ke “puncak mahligai.” 

Sementara itu, ada sebagian pendukung Ahok – sering diistilahkan dengan Ahoker, merasa risih dengan berbagai kritikan yang datang dari masyarakat luar Jakarta dengan dalih itu urusan masyarakat Jakarta. Terhadap orang serupa ini, kita patut beranggapan bahwa dia sebenarnya tidak paham tentang posisi Jakarta dalam rangkaian Negara Republik Indonesia. Berbeda dengan provinsi lain di Indonesia, Provinsi DKI Jakarta memiliki peran sentral dalam mencerminkan citra Indonesia pada umumnya. Dengan demikian – tidak hanya bagi masyarakat Jakarta, tapi seluruh masyarakat Indonesia berhak memberi penilaian terhadap “kehidupan” Jakarta yang saat ini dikendalikan oleh Ahok.

Pelecehan terhadap Umat Islam

Baru-baru ini Ahok kembali membuat ulah sehingga umat Islam Indonesia berang. Lawakan yang dipertontonkan Ahok kali ini benar-benar tidak lucu. Lawakan Ahok terhadap surat Al-Maidah ayat 51 telah mengguris hati kaum muslimin. Ahok telah menabur garam di atas luka yang menganga. Terlepas dari khilafiyah, apakah Ahok telah menghina Alquran secara langsung atau pun melecehkan argumen umat Islam yang mendasarkan pendapatnya pada Alquran, yang jelas komentar Ahok telah membuat kaum muslimin “terhina” di negerinya sendiri.

Sebagai tokoh publik plus pejabat pemerintah, Ahok telah melanggar batas-batas etika. Menjadikan ayat Alquran sebagai bahan senda-gurau adalah tindakan yang sangat tidak etis, apalagi tindakan tersebut dilakukan di negara yang mayoritas penduduknya muslim. Alquran adalah kitab suci umat Islam, menghina (melecehkan) Alquran sama dengan menghina umat Islam. Jika memang statemen Ahok itu ditujukan kepada pihak-pihak yang melakukan politisasi agama, lantas siapa yang melakukan politisasi? Apakah setiap umat Islam, khususnya ulama yang menyampaikan isi Alquran dapat disebut sebagai tindakan politisasi? 

Pada prinsipnya, ketidaksetujuan Ahok terhadap surat Al-Maidah ayat 51 memang dapat dimengerti, mengingat status Ahok sebagai non muslim. Artinya, bagi Ahok, surat Al-Maidah ayat 51 adalah “duri” yang dapat menghalanginya untuk meraih dukungan dari umat Islam. Sama halnya seperti penjual babi yang dagangannya tidak laku, kemudian si penjual tersebut dengan segala daya dan upaya mengatakan kepada pembeli bahwa yang dilarang Alquran itu babi Arab, bukan babi Indonesia, jadi jangan mau ditipu.

Jika dirinci, memang banyak sekali ayat Alquran yang merugikan pihak-pihak tertentu, khususnya non muslim, seperti larangan berjudi, larangan minum minuman keras (mabuk), larangan zina dan larangan riba. Tapi apakah pantas kemudian, para pelacur misalnya, menggugat Alquran dengan alasan aksi “cari makannya” terganggu? Demikian pula dengan Ahok, karena ayat 51 surat Al-Maidah merugikan dirinya, maka dengan congkaknya “melecehkan” ajaran Alquran?

Sikap umat Islam

Thomas Hobbes seperti dikutip Madung (2013) dalam bukunya Filsafat Politik, menyebut bahwa “lidah manusia adalah alarm perang dan sekaligus terompet provokasi.” Jika dicermati, secara tidak langsung, statemen Ahok terkait surat Al-Maidah ayat 51adalah salah satu bentuk “alarm perang” yang membuat umat Islam “terprovokasi.” Tapi sayang, Ahok tidak sadar.

Sayangnya, di tengah kontroversi statemen Ahok terkait surat Al-Maidah ayat 51, ada pula segelintir umat Islam yang mencoba melakukan pembelaan buta terhadap Ahok. Membiarkan Ahok melecehkan Alquran bukanlah tindakan toleran, tapi lebih tepat disebut sebagai tindakan salah jep ubat (salah minum obat). Memang ada segelintir orang yang sengaja membela kebatilan agar disebut intelek dan moderat, padahal tanpa sadar dia telah menggadaikan kehormatannya. Orang semacam ini, kata Hamka (1982), harus ditakbirkan empat kali, dikocongkan kafannya dan dimasukkan ke liang lahat, karena pada prinsipnya dia sudah mati – mati akal sehatnya.

Apa yang telah dilakukan Ahok adalah tindakan yang tidak dapat dimaafkan, kecuali yang bersangkutan minta maaf secara terbuka kepada umat Islam. Namun demikian, tindakan minta maaf yang kononnya sudah dilakukan oleh Ahok tidak serta merta menggugurkan penegakan hukum. Gerakan yang mendesak agar Ahok ditangkap sudah semakin massif dan tersebar di berbagai daerah. Oleh sebab itu, pihak Kepolisian harus segera mengambil sikap.

Kita akan melihat apakah hukum itu benar-benar tegak di negeri ini? Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Arrahmah

loading...

No comments