MUI dan Para “Pecundang”

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 19 Oktober 2016

Prof. Dr. HAMKA, Ketua MUI Pertama
Sumber Foto: Buku Rusydi Hamka

Pernyataan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta Ahok diproses hukum karena telah menghina Alquran dan ulama akhirnya menuai protes dari insan-insan latah dan para “pecundang” agama. Republika Online (18/10/16) mengabarkan bahwa sebuah petisi agar MUI dibubarkan telah mencuat di laman chage.org. Dalam petisi dimaksud, MUI dituding sebagai provokator yang telah memicu keresahan di tengah masyarakat. MUI juga dituduh sebagai lembaga yang menebarkan kebencian, permusuhan dan teror terhadap sesama.

Sebagai manusia yang telah dianugerahi akal, kita tentu tidak dapat menerima begitu saja segala tuduhan yang dilancarkan terhadap MUI seperti provokator, penebar kebencian, permusuhan dan penebar teror. Dalam banyak kasus, justru provokasi dilakukan oleh golongan minoritas – meskipun saya tidak sepakat dengan istilah ini. Lihat saja dalam beberapa kasus kekerasan antar umat beragama, hampir semuanya berawal dari provokasi-provokasi pihak minoritas. Kasus terbaru adalah pembakaran gereja di Singkil dan juga pembakaran vihara di Tanjung Balai. Siapa yang memulai provokasi? MUI-kah?

Kita juga patut bertanya kepada insan-insan latah dan pecundang agama, apakah benar MUI telah menebar kebencian? Kepada siap kebencian itu ditebar? Kepada non muslim? Apakah menyatakan sebuah pendapat dan sikap itu bisa disebut menebar kebencian? Apakah pernah MUI berfatwa bahwa seluruh non muslim harus diusir dari Indonesia? Bukankah menuduh tanpa data dan fakta adalah lebih rendah dari takhayul?

Insan-insan latah dan pecundang agama juga menyebut MUI menebar permusuhan. Bisakah tuduhan ini dibuktikan? Pernahkah MUI mengumumkan perang terhadap non muslim? Sebaliknya, justru MUI dalam setiap pernyataanya selalu saja meminta kepada umat Islam agar tidak melakukan tindakan anarkhis. Jika pun terjadi kekerasan dalam sebagian kasus, tentu tidak bisa dijadikan dalil bahwa MUI telah menebar permusuhan. Jika benar MUI menebar permusuhan, tentunya keberagaman agama akan lenyap di Indonesia. Tapi kenyataannya tidak demikian. Bahkan intelektual-intelektual “nyeleneh” pun bisa enjoy saja tanpa diusik.

Demikian pula dengan tuduhan insan-insan latah dan pecundang agama yang menyebut MUI sebagai penebar teror adalah tuduhan paling sadis dan menjijikkan. Sebenarnya, mudah saja bagi MUI untuk menebar teror, tinggal umumkan jihad akbar. Tapi apakah MUI pernah melakukan hal tersebut? Jika MUI mengumumkan jihad tentunya insan-insan latah dan pecundang agama akan lenyap dari Indonesia. Tapi sekali lagi, ini adalah tuduhan yang sama sekali tidak didukung oleh fakta dan data. 

Anehnya lagi sebagaimana dilansir bbc.com (17/10/16) bahwa ada pula segelintir pihak yang menyebut MUI telah terlibat politik praktis. Hal ini didasarkan pada pernyataan MUI yang menyebut Gubernur DKI, Ahok, telah menistakan Alquran dan ulama. Tudingan tersebut tentunya sangat naïf. Pernyataan MUI terhadap tindakan Ahok tentunya tidak bisa serta merta diterjemahkan sebagai bentuk politik praktis. Persoalan ada oknum dari lawan politik Ahok yang kemudian memanfaatkan pernyataan MUI tersebut adalah persoalan lain – yang tentunya di luar tanggung jawab MUI.

Republika Online melansir keterangan dari wakil sekjen MUI, Tengku Zulkarnain, bahwa bukan MUI yang memasuki ranah politik, tetapi Gubernur DKI, Ahok, yang memasuki wilayah agama yang bukan agamanya.

Apa yang disampaikan oleh Tengku Zulkarnain telah memperjelas bahwa MUI tidak masuk dalam ranah politik praktis. Adapun Ahok telah secara nyata kita saksikan sendiri melalui video yang beredar telah berlagak layaknya “mufassir akbar”. Seorang muslim saja tidak dibenarkan menafsirkan Alquran sesuka hatinya, apalagi Ahok!

Pada prinsipnya kita menghargai perbedaan penafsiran ayat-ayat Alquran, asalkan dilakukan oleh ahlinya, bukan oleh insan-insan latah dan pecundang agama. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Republika Online

loading...

No comments