Dosen Bek Sok, Mahasiswa Bek Ulok

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 22 Oktober 2016

Dr. Hisyami Yazid, Lc, M. Ag
Salah Seorang Dosen Favorit Penulis di PPs UIN Ar-Raniry

Saat ini netizen Aceh sedang larut dalam keasyikan apologis dalam menyikapi kasus mahasiswa versus dosen di Universitas Negeri Malikussaleh (Unimal). Sebagian kalangan dengan berbagai rupa kampanye emosional terlihat begitu bersemangat menggalang dukungan untuk si mahasiswi. Sedangkan sebagian kalangan lagi dengan segala daya dan upaya juga melakukan “jihad argumen” guna membela sang dosen. Ketika kabar kontroversial ini bergulir, saya berusaha menyimak setiap argumen yang saling berbenturan di media sosial.

Saya sangat bersyukur kepada Allah Swt karena saya tidak mengenal kedua sosok yang sedang “naik daun” itu. Kondisi ini tentu akan menjadi modal utama bagi saya untuk menjaga netralitas sehingga saya tidak terperosok ke dalam salah satu lubang yang sedang menganga. Menjaga agar tidak terperosok ke dalam lubang-lubang gelap adalah sangat penting, karena kita tidak tahu lubang mana yang berisi ular dan lubang mana berisi telur ayam. Jangan sampai semangat yang menyala-nyala itu menghalangi pandangan kita sehingga meubalek cak meutuka cok. Niat hati hendak mengambil telur, akhirnya tangan dipatuk ular. Sial, bukan?

Dalam tulisan ini, saya tidak akan masuk dalam ruang konflik antara mahasiswi vs dosen yang saat ini sedang berkecamuk hebat. Biarlah konflik tersebut difasilitasi oleh mereka-mereka yang paham masalah dan mampu bersikap bijak. Tulisan ini hanya akan mengulas sekilas tentang maqam-maqam dosen dan maqam-maqam mahasiswa (i) serta usaha guna menciptakan hubungan yang harmonis antara keduanya. Penjelasan ini penting guna menghindari konflik antara dosen dan mahasiswa. Kita tentu sangat yakin bahwa konflik itu tidak menyenangkan.

Maqam-maqam Dosen

Pemilihan kata maqam dalam tulisan ini hanya untuk mempermudah kita dalam mengingat, karena istilah ini lazim dipakai dalam kajian Sufisme, di mana para sufi itu memiliki maqam yang berbeda satu sama lain. Ada yang berada di maqam bawah, maqam sedang (pertengahan) dan maqam puncak. Adapun nama dari maqam-maqam itu pun berbeda-beda pula.

Penting pula diingatkan bahwa tulisan tidak berdasarkan penelitian ilmiah, tapi hanya didasarkan pada pengamatan parsial dan pengalaman yang sangat terbatas, sehingga tidak bisa dijadikan acuan untuk melakukan penilaian terhadap pihak-pihak dimaksud. Dengan demikian, tulisan ini tentunya tidak kebal terhadap kritik tersebab lemahnya kerangka metodologis.

Untuk penyederhanaan, saya membagi maqam dosen ke dalam tiga tingkatan. Pertama, Dosen Ideal. Dosen serupa ini tentunya sangat sulit ditemukan, meskipun tidak utopis. Dosen ini memiliki kemampuan akademik yang mumpuni – tentunya di atas kemampuan rata-rata mahasiwa. Selain otak yang cemerlang, dosen ini juga memiliki akhlak yang mulia, di mana tidak seorang mahasiwa (i) pun yang dizaliminya, baik persoalan nilai maupun perkara administratif lainnya.

Selanjutnya, dosen ideal mampu menghargai setiap mahasiswanya dan tidak merasa takut disaingi. Setiap pendapat dan kritikan mahasiswa akan didengarnya dengan pikiran terbuka dan setiap keluhan akan ditampung semampunya. Meskipun dia memiliki kecerdasan tinggi, tapi dia tidak memposisikan diri sebagai “paling tahu” yang dengan sendirinya akan menjadikan mahasiswa sebagai pihak yang paling tidak tahu. Yang jelas, dosen ideal akan menjadi idola bagi para mahasiswa (i).

Kedua, Dosen Abangan alias sedang-sedang saja. Dosen model ini tidak identik dengan kemampuan akademik yang tinggi. Bisa saja kemampuan akademiknya “rendah” atau setara mahasiswa, tetapi dia tidak berlagak sok tahu di hadapan mahasiswanya. Dia juga tidak memposisikan dirinya sebagai pusat informasi atau pemangku kebenaran tunggal. Tapi, dosen tipe ini sering menzalimi mahasiswa (i) nya tanpa sengaja. Mahasiswa yang cerdas dan aktif bisa saja memperoleh nila B minus, sebaliknya, mahasiswa tukang bolos, beuo seuiet (malas kuadrat) dan teungak-ngak alias suka ngorok di kelas tidak tertutup kemungkinan untuk mendapatkan nilai A plus. Dosen model ini meskipun sikapnya demokratis dan ramah, namun dia kurang perhatian terhadap mahasiswanya. Baginya mengajar hanyalah sebuah rutinitas semata. Dosen serupa ini tetap dihormati oleh mahasiswa karena sikapnya yang humanis. Adapun kekesalan dan kekecewaan kecil yang dialami oleh si mahasiswa akan pudar seiring perjalanan masa.

Ketiga, Dosen Sok Mok. Istilah sok mok sulit dicari padanan katanya dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar. Secara bebas, kata sok mok dapat diterjemahkan sebagai sikap merasa diri paling pintar, paling benar dan sederatan “kepalingan” lainnya. Di hadapan mahasiswanya, dosen model ini akan mencitrakan dirinya sebagai “Imam Mujtahid Agung” yang tidak bisa dibantah sedikit pun. Di ruang kuliah ia juga berlagak layaknya panglima tentara, dan mahasiswanya diposisikan sebagai prajurit berpangkat “balok merah.”

Dosen sok mok, dalam melakukan interaksi dengan mahasiswa sering menggunakan kata-kata yang kurang indah didengar, di antaranya: “keluar kamu”, “kamu belum paham”, “kamu kurang update”, “kamu terlalu egois”, “saya sudah berpengalaman”, “saya sudah mempelajari ini puluhan tahun”, “saya sudah biasa mengajar di kelas internasional”, “penelitian saya sudah banyak” dan segudang kalimat lainnya yang bernada merendahkan mahasiswa dan meninggikan dirinya.

Ketika dikritik, dosen sok mok ini sangat mudah tersinggung. Demikian pula ketika mahasiswa mengajukan pendapatnya, dia hanya bersikap dingin sambil tersenyum sinis. Bahayanya lagi, dosen model ini akan melakukan kezaliman secara sengaja terhadap mahasiswa dengan cara “menyederhanakan” nilai yang diperoleh mahasiswa dalam perkuliahan. Kontrak belajar yang dibuat di ruang kuliah hanya berlaku bagi mahasiswa, sedangkan si dosen bisa sesuka hatinya. Kalau ada mahasiswa yang terlambat masuk, dia tidak segan-segan menutup pintu kelas. Tetapi giliran dia yang tidak masuk, mahasiswalah yang “terpenjara” dan harus tetap menunggu di kelas. Untuk masalah nilai, dosen sok mok ini lebih suka melakukan penyeragaman. Biasanya seluruh mahasiswa akan diberi nilai B minus, tanpa pandang bulu. Adapun nilai C plus akan dihadiahkan kepada mahasiwa yang sering berbeda pendapat dengannnya.

Dosen sok mok memiliki kemampuan akademik yang berbeda-beda. Sebagiannya memiliki otak yang memang benar-benar cerdas, sedangkan sebagian yang lain justru memiliki kemampuan akademik yang rendah. Misalnya, dalam penelitian lapangan, dia menyuruh mahasiswanya untuk mewawancarai buku.

Bagi mahasiswa, dosen sok mok akan dikenang sepanjang masa. Kata-katanya akan membekas di ingatan dan perilakunya akan selalu terbayang di mata.

Maqam Mahasiswa

Sama halnya seperti dosen, mahasiwa juga memiliki maqam tersendiri. Maqam mahasiswa juga akan disederhanakan menjadi tiga tingkatan. Pertama, mahasiswa kharismatik. Dia memiliki kemampuan akademik yang luar biasa dan sering disebut dengan “tukang kuliah.” Cita-cita terbesar mahasiswa ini adalah mendapatkan IPK 4,5. Di ruang kelas, mahasiswa model ini biasanya selalu mendapat sanjungan dari dosen sebagai mahasiswa “uswatun hasanah.”

Jika terjadi ketegangan antara mahasiswa dan dosen, mahasiswa kharismatik ini selalu saja menjadi penengah dengan cara membela dosennya. Jika ada mahasiswa lain yang “kurang beres” dengan secepat kilat mahasiswa kharismatik tersebut membuat laporan kepada dosennya. Mahasiswa kharismatik dengan segala daya dan upaya akan selalu memperjuangkan kepentingannya sendiri tanpa peduli kepada nasib kawan-kawannya. Ciri khas lainnya dari mahasiswa kharismatik adalah kegemarannya dalam “menjilat” dosen.

Kedua, mahasiwa Ulok. Mahasiswa ini kebalikan dari mahasiswa kharismatik. Dia sangat jarang masuk kuliah dengan berbagai alasan. Biasanya dia akan menujuk mahasiswa lain sebagai “asistennya” untuk teken absen. Jika pun dia masuk kuliah, kerjanya hanya tidur, keluar masuk ruang atau main game via android. Mahasiswa Ulok sering mendebat dan merendahkan dosennya di ruang kelas.

Pada saat ujian mata kuliah digelar, mahasiswa ulok biasanya tidak hadir dengan alasan macam-macam. Parahnya, ketika nilainya tidak keluar, dia akan memaki-maki dosennya dan mengarang cerita-cerita palsu untuk menjatuhkan kewibawaan dosen. Kadang-kadang mahasiswa ulok juga bersikap sok aktivis, sok orator ulung, sok konseptor dan berbagai jenis sok lainnya.

Ketiga, mahasiswa keren. Mahasiswa tipe ini nampak biasa-biasa saja, tidak terlalu cerdas dan tidak pula terlalu “lelet.” Mahasiswa model ini mampu menjaga keseimbangan dalam setiap tindakannya. Di ruang kelas, dia menghormati dosennya sebagai seorang guru yang telah menyingkap tabir gelap di pikirannya. Jika pun hendak mengkritik dia akan melakukannya dengan santun sehingga wibawa dosennya tetap terjaga. Di luar kelas, mahasiswa keren juga akan tetap menjaga komunikasi dan silaturrahim dengan dosennya. Umumnya, mahasiswa model inilah yang akan memperoleh kesuksesan di kemudian hari, karena ia telah berada di maqam tertinggi.

Menjaga Keharmonisan

Setelah menyimak uraian di atas, setidaknya kita sudah tahu di mana posisi kita, baik sebagai dosen maupun sebagai mahasiswa. Dosen dan mahasiswa harus mampu menjaga keharmonisan sehingga hubungan keduanya tidak terbatas di ruang kelas, tetapi bisa berlanjut dalam hubungan yang lebih luas. Walau bagaimana pun, dosen adalah seorang guru, seorang “teungku” dan seorang “mursyid” yang harus kita hormati. Adapun seorang mahasiswa, sehebat dan secerdas apa pun, kita adalah seorang murid dan anak didik yang harus siap dibimbing dan dicerdaskan.

Untuk menjaga keharmonisan antara dosen dan mahasiswa sebenarnya sangat mudah dan tidak membutuhkan biaya. Kuncinya hanya dua, dosen bek sok, mahasiswa bek ulok. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend

loading...

No comments