Toleransi Hanya di Bibir!

(Pelarangan Mesjid Muhammadiyah di Bireuen)

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 10 September 2016

Foto HAMKA bersama Tokoh Muhammadiyah Aceh
Sumber: Majalah Pedoman Masjarakat No. 11 Thn Ke IV, 16 Maret 1938
(Koleksi Pribadi Kamaroezzaman Abdullah Musa)

Sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, Islam telah mengenal konsep toleransi (tasamuh) jauh sebelum konsep tersebut dikampanyekan oleh Barat. Islam juga sudah mempraktikkan Hak Azasi Manusia ketika Eropa masih “tertidur.” Islam adalah agama yang syumul (sempurna) yang tidak hanya mengatur tentang hubungan manusia dengan Rabbnya, tetapi juga mengandung sejumlah pedoman terkait hubungan antar sesama manusia, baik hubungan seagama maupun lintas pemeluk agama. Islam juga menyediakan azas-azas yang menyangkut dengan politik dan tata negara serta segudang konsep lainnya.

Dalam Islam, konsep toleransi tidak hanya bersifat teoritik, tetapi telah dipraktekkan sendiri oleh Nabi Saw ketika membangun Negara Madinah. Di antara agenda penting yang dilakukan oleh Rasulullah di Madinah adalah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar yang merupakan landasan bagi tegaknya ukhuwah Islamiyah. Untuk menjaga stabilitas negara Nabi Saw juga mempersatukan masyarakat lintas agama di Madinah (Islam, Yahudi dan Nasrani) menjadi satu ummah sebagai wujud dari ukhuwah wathaniyah. Adapun landasan tentang HAM dalam Islam tercermin dalam khutbah Nabi Saw pada haji wada’ – di mana Nabi Saw menegaskan bahwa seluruh manusia memiliki derajat dan hak yang sama di mata Allah. Perbedaan manusia hanyalah pada ketaqwaannya, bukan pada status sosial, suku dan warna kulit.

Pelarangan Mesjid Muhammadiyah 

Di Indonesia, akhir-akhir ini kembali muncul berbagai insiden intoleransi, baik yang melibatkan pemeluk antar agama seperti insiden Tolikara, Singkil dan Tanjung Balai – maupun antar sesama pemeluk agama seperti parade Aswaja di Aceh pada tahun 2015, aksi perebutan mesjid dan terakhir aksi pelarangan pembangunan Mesjid Muhammadiyah di Bireuen. Sebagai negara yang mengakui pluralitas agama (bukan pluralisme), seharusnya “tragedi” serupa ini tidak terjadi di Indonesia. Meskipun masyarakat Indonesia menganut agama yang berbeda, namun ukhuwah wathaniyah tetap harus dipupuk agar stabilitas negara dapat terjaga. Demikian pula antar sesama pemeluk agama, khususnya Islam – meskipun menganut mazhab yang berbeda, ukhuwah Islamiyah harus tetap dipertahankan.

Aksi pelarangan Mesjid Muhammadiyah di Kabupaten Bireuen adalah salah satu bentuk “tragedi” yang sangat memalukan. Mungkin ini adalah kejadian pertama di Indonesia, di mana pembangunan mesjid ditolak oleh sekelompok orang yang mengaku dirinya sebagai muslim. Menurut berbagai sumber, aksi penolakan ini awalnya dilakukan oleh sebagian masyarakat setempat. Kemudian aksi ini berlanjut dengan tertahannya rekomendasi pembangunan mesjid di Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Bireuen yang notabene adalah lembaga negara. Setelah “hambatan” di Kemenag Bireuen selesai, rekomendasi pembangunan Mesjid Muhammadiyah kembali tertahan di Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bireuen. Anehnya lagi ketua FKUB Bireuen juga berstatus sebagai muslim.

Parahnya lagi, Bupati Bireuen selaku kepala daerah juga terkesan tidak melakukan apa, apa untuk menyelesaikan masalah ini. Hal ini terbukti dengan semakin “molornya” rekomendasi dari FKUB. Sebagai wilayah yang dihuni oleh mayoritas muslim, seharusnya insiden ini tidak terjadi. FKUB memiliki peran penting untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama. FKUB harus mampu bersikap adil dan bijaksana terhadap semua pemeluk agama, apalagi kepada muslim yang merupakan penduduk mayoritas. Jangan sampai FKUB “dikendalikan” oleh oknum-oknum yang tidak ingin masyarakat hidup rukun. FKUB harus bebas dari intervensi pihak manapun. Seharusnya, FKUB memberi pencerahan kepada pihak yang menolak pembangunan mesjid, bukan sebaliknya menahan rekomendasi dengan alasan yang membuat non muslim tertawa, bahkan “terbahak.”

Sekilas tentang Muhammadiyah di Aceh

Hasballah Thaib dalam kata sambutannya terhadap buku Said Ali bin Habib Chik Alaydrus, menyebut bahwa Muhammadiyah sudah berdiri di Aceh pada tahun 1928. Konsul pertama Muhammadiyah di Aceh berasal dari keluarga uleebalang. Aslamnur dkk (2015) dalam buku Jelang Satu Abad Muhammadiyah di Aceh, dengan mengutip Rusdi Sufi menyatakan bahwa Muhammadiyah berdiri di Aceh pada tahun 1927. Pengaruh dari Muhammadiyah sudah masuk ke Aceh beberapa tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 1923. Sampai dengan tahun 1942, masih menurut Aslamnur dkk, Muhammadiyah sudah menjangkau seluruh Aceh dengan 8 cabang. Teuku Muhammad Hasan Glumpang Payong sebagaimana disebut Rusdi Sufi (1989) dalam buku Pendidikan Sebagai Faktor Dinamisasi dan Integrasi Sosial adalah konsulat Muhammadiyah Aceh yang pertama.

Aboebakar Atjeh (1970) dalam bukunya Gerakan Salafijah di Indonesia, menulis bahwa dalam bidang kemasyarakatan, Muhammadiyah adalah salah satu organisasi yang mempopulerkan penanggalan dan tahun hijrah. Di masa lalu, Muhammadiyah juga telah berhasil menghidupkan salam secara Islam, baik dengan perseorangan maupun dalam rapat dan sidang-sidang; memisahkan tempat antara laki-laki dan wanita (dalam forum) dan mendirikan sejumlah mesjid untuk umum. Dalam bidang pendidikan, Muhammadiyah mendirikan berbagai sekolah yang berazaskan Islam. Dalam bidang kemanusiaan, masih menurut Aboebakar Atjeh, Muhammadiyah mendirikan panti asuhan untuk anak yatim dan orang miskin; balai-balai kesehatan dan pengobatan; persatuan juru rawat dan berbagai lembaga kemanusiaan untuk membantu korban bencana alam.

Dalam skala nasional sebagaimana dirilis muhammadiyah.or.id, saat ini amal usaha Muhammadiyah terdiri dari: 4623 TK/TPQ; 2604 SD/MI; 1772 SMP/MTs; 1143 SMA/MA/SMK; 67 pesantren; 172 Perguruan Tinggi; 457 RS/ Rumah Bersalin; 318 Panti Asuhan; 54 Panti Jompo; 82 Rehabilitasi Cacat; 71 SLB; 6118 mesjid; 5080 mushalla; dan 20.945.5004 M luas tanah. Dalam usianya yang sudah lebih dari satu abad, tentunya amal usaha Muhammadiyah ini akan terus berkembang dari masa ke masa.

Di Aceh, sampai dengan tahun 2010, seperti dicatat Aslamnur, Muhammadiyah telah mendirikan sejumlah lembaga pendidikan yang tersebar di berbagai kabupaten: 20 Taman Kanak-Kanak; 10 Sekolah Dasar dan MI; 12 Madrasah Tsanawiyah/ Sekolah Menengah Pertama; 11 Sekolah Menengah Atas dan satu Universitas dengan 8 Prodi dan 13 Program Studi. Muhammadiyah di Aceh juga sudah mendirikan sejumlah panti asuhan dan rumah bersalin/ balai pengobatan.

Di Kabupaten Bireuen sendiri Muhammadiyah sudah lama berkiprah untuk umat dengan didirikannya beberapa lembaga pendidikan, seperti: SMKK Muhammadiyah Bireuen, Akper Muhammadiyah Bireuen, MTs Muhammadiyah Bireuen dan SDIT Muhammadiyah Bireuen. Beberapa tahun lalu, pengurus Muhammadiyah Bireuen juga sudah mendirikan Mesjid Taqwa Muhammadiyah di Kecamatan Kota Juang.

Ulasan singkat di atas setidaknya telah memberi gambaran kepada kita semua bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi asing di Aceh, khususnya di Bireuen. Dengan demikian, ditinjau dari sudut pandang manapun, aksi penolakan mesjid Muhammadiyah di Juli oleh sekelompok orang adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Demikian pula halnya dengan sikap FKUB Bireuen yang “mengulur waktu” untuk mengeluarkan rekomendasi pembangunan mesjid adalah sikap yang “dicela” oleh Undang-Undang (tentang kebebasan beragama) dan juga ditentang oleh syara’. Tersebab itu negara jangan menutup mata. Toleransi jangan hanya di bibir! Wallahul Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments