Perbedaan Bukan Untuk Saling Menindas!

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 05 September 2016

Mesjid Muhammadiyah Bireuen

Kita dilahirkan dari rahim berbeda. Kita hidup dan dibesarkan di lingkungan yang berbeda. Kita belajar dari guru yang berbeda. Kita memiliki tingkat kecerdasan berbeda. Kita memiliki emosi yang berbeda. Dan segudang perbedaan telah melingkar, tidak ada pintu keluar. Lantas kenapa kita risih dengan perbedaan? Kenapa tidak kita nikmati saja perbedaan itu? Bukankah perbedaan itu satu keniscayaan? Karena perbedaan itulah kita dituntut untuk saling mengenal – mengenal sesuatu yang berbeda dari diri kita.

Term aku dan kita dihadapkan dengan term dia dan mereka adalah satu penandasan bahwa term itu lahir tersebab adanya perbedaan. Sekiranya perbedaan itu tidak ada, maka sungguh hanya ada “aku”, tanpa kita, kami, dia dan mereka. Tentu ini mustahil! Kita adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Untuk bisa lahir saja kita membutuhkan seorang ibu. Tanpa “bantuan” ayah, ibu pun tidak akan mampu melahirkan kita. Tersebab itu tidak ada “Aku” yang absolut, kecuali Tuhan.

Perbedaan dan Toleransi

Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Saya yakin kita semua sepakat dengan statemen ini – bahkan Alquran “bersaksi” akan “kredo” ini. Dengan demikian, adalah naif ketika ada muslim yang menjadikan Islam sebagai alat untuk “merusak” sekalian alam. Jika pun ada, maka entitas Keislamannya wajib dipertanyakan. Mungkin saja dia hanya menjadi muslim simbolik yang dalam waktu bersamaan sedang mengaburkan substansi Islam itu sendiri. Jika sudah begini, maka term munafik adalah satu-satunya gelar yang layak disandang. Betapa tidak, dia telah menujukkan wajah muslim, tetapi berperilaku mulhid.

Sejarah telah membuktikan bahwa Islam yang dibawa oleh Rasulullah dan para sahabatnya adalah Islam yang damai. Kota Madinah menjadi saksi bagaimana bangunan Islam yang penuh perdamaian itu disemai oleh Rasulullah. Di Negara Madinah, seluruh komunitas masyarakat, baik muslim maupun non muslim (Yahudi dan Nasrani) disatukan menjadi satu ummah yang saling menguatkan satu sama lain. Artinya, dalam kehidupan duniawi, muslim dan non muslim hidup berdampingan. Adapun dalam kehidupan keagamaan, setiap masyarakat Madinah diberi kebebasan untuk menganut dan beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Tidak ada pemaksaan dalam agama. Toleransi antar umat beragama sudah tertata rapi di Madinah dengan batasan lakum dinukum waliyadin.

Sebelum membentuk ummah yang terdiri dari masyarakat lintas agama, Rasulullah terlebih dahulu mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Anshar. Upaya untuk mengikat persaudaraan ini adalah salah satu agenda pertama yang dilakukan oleh Rasulullah ketika berada di Madinah. Praktik yang dilakukan oleh Rasulullah ini menandaskan bahwa persaudaraan sesama muslim adalah pondasi penting yang tidak bisa diabaikan. Dengan adanya persaudaraan ini maka umat Islam akan kuat. Hal ini dibuktikan dengan kesuksesan Rasulullah dalam membangun Negara Madinah yang dalam perkembangan selanjutnya telah mengantarkan umat Islam pada puncak kejayaan.

Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin sangat menekankan kepada para pemeluknya agar bisa hidup rukun, saling menghargai dan juga bersikap toleran kepada pemeluk agama lain, terlebih lagi kepada sesama muslim itu sendiri. Perbedaan mazhab dan praktik ibadah tidak bisa dijadikan “dalil” untuk saling serang, saling sikut, saling sikat – apalagi saling bunuh sesama muslim. Orang-orang beriman itu – sebagaimana diwahyukan dalam Alquran dan juga disabdakan melalui lisan RasulNya – adalah bersaudara, ibarat satu tubuh dan bagaikan satu bangunan – saling menyayangi dan saling menguatkan. Jika sesama saudara itu berselesih, maka tugas kita adalah mendamaikan mereka. Bukan sebaliknya, “memanas-manasi”, apalagi sampai memprovokasi.

Dalam hadih maja (pepatan) orang Aceh, terdapat satu pesan yang layak untuk dihayati dan dipraktikkan: yang rayeuk tapeu ubit, yang ubit tapeugadoh (yang besar kita kecilkan dan yang kecil kita hilangkan). Hadih maja tersebut mengajarkan kita semua bahwa dalam menyikapi perselisihan sesama muslim haruslah dengan cara-cara yang bijak. Jika bisa diredam maka ia harus diredam, jika bisa dihilangkan maka ia harus dihilangkan. Demikian pula jika perselisihan itu sudah pada tahap kronis, maka harus dicari titik temu guna merajut kembali benang-benang yang putus sehingga bangunan ukhuwah tetap kokoh. 

Dalam kehidupan bernegara, ukhuwah Islamiyah ini harus tetap dipertahankan demi terciptanya keharmonisan sesama muslim. Dan yang terpenting ini adalah pesan dari Allah dan juga wasiat dari Rasulullah. Demi terjaganya stabilitas negara dan kerukunan antar umat beragama, ukhuwah wathaniyah pun harus terus digalakkan. Dalam menggalakkan ukhuwah wathaniyah ini dibutuhkan kesadaran individual guna menumbuhkan sikap toleransi antar umat beragama. Demikian pula dengan ukhuwah basyariyah (insaniyah) pun harus terus dipupuk agar ketertiban dunia dapat terlaksana.

Dulu, ketika bencana gempa dan tsunami menimpa Aceh, tidak hanya masyarakat Indonesia – masyarakat dunia pun ikut menunjukkan simpatinya kepada Aceh. Ini adalah sebuah wujud ukhuwah basyariyah yang mesti dijadikan tradisi. Ketika negara-negara Islam dilanda perang dan tragedi kemanusiaan, kita pun dituntut untuk mengulurkan tangan sebagai manifestasi dari ukhuwah Islamiyah. Demikian pula ketika negara kita terancam oleh invasi asing ataupun tragedi disintegrasi domestik, kita juga berkewajiban bahu-membahu dan saling membantu untuk secara bersama-sama menghadapi persoalan tersebut sebagai bentuk ukhuwah wathaniyah.

Jangan “Menindas”

Akhir-akhir ini, bangunan toleransi di Indonesia sering dihantam oleh berbagai ujian. Dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi berbagai insiden yang sangat kita sayangkan. Sikap intoleran yang ditunjukkan oleh segelintir anak negeri telah berbuah bencana. Insiden pembakaran mesjid di Tolikara, pembakaran gereja di Singkil dan baru-baru ini insiden Tanjung Balai adalah sebuah potret muram yang sungguh miris dan memalukan. Ketidaksigapan pemerintah dalam mencegah aksi-aksi semacam ini juga sangat disesalkan. Namun demikian, kewajiban untuk merawat toleransi ini tidak hanya berada di pundak pemerintah, tapi juga dibutuhkan kesadaran dari masyarakat.

Beberapa waktu lalu “bencana toleransi” kembali terjadi di Aceh, tepatnya di Kabupaten Bireuen. Sejumlah pihak yang “mengatasnamakan” diri sebagai masyarakat melakukan penolakan terhadap rencana pembangunan mesjid Taqwa Muhammadiyah di Kecamatan Juli, Kabupaten Bireuen. Dalam perkara ini, negara terlihat diam atau bahkan membiarkan. Buktinya Kepala Kementerian Agama Kabupaten Bireuen saat itu sempat menunda surat rekomendasi untuk pembangunan Mesjid Muhammadiyah tanpa alasan yang jelas. Demikian pula dengan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Bireuen sampai saat ini pun masih mengulur waktu dan belum mengeluarkan surat rekomendasi untuk Muhammadiyah. Ini adalah penindasan! Dalam hal ini, Muhammadiyah adalah pihak “tertindas.”

NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas besar yang telah berkontribusi terhadap Republik ini, baik pra maupun pasca kemerdekaan. Jika ada pihak yang masih mempertentangkan NU dan Muhammadiyah, maka pola pikirnya terlambat satu abad. Khususnya di Aceh, pengaruh Muhammadiyah sudah masuk ke Aceh sejak 1923 dan menjadi organisasi resmi pada tahun 1928. Ketika revolusi fisik pada awal-awal kemerdekaan, seluruh ulama dan masyarakat Aceh dari berbagai aliran pemikiran bersatu padu untuk melaksanakan jihad fi sabilillah guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Mari Saling Menghargai 

Sebagaimana telah diulas di awal tulisan ini, bahwa perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Tugas kita adalah bagaimana menjadikan perbedaan itu sebagai media untuk saling memahami. Sejatinyanya perbedaan menjadi rahmat dan perselisihan adalah laknat, terlebih lagi perselisihan sesama muslim. Untuk “memindahkan” suasana kebersamaan dan toleransi di Negara Madinah yang dibangun oleh Nabi Saw mungkin sangat sulit, atau bahkan terkesan utopis. Tapi setidaknya, spirit dan ruh Islam yang telah ditancapkan di Negara Madinah dapat kita semai kembali di negeri ini.

Cukuplah Rasulullah Saw, para sahabatnya dan para Imam kaum muslimin menjadi teladan bagi kita guna mempertahankan substansi Islam yang rahmatan lil ‘alamin demi tercapainya Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur di Republik Indonesia tercinta ini. Perbedaan bukan untuk saling menindas, tapi perbedaan adalah media untuk saling memahami! Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Qureta

loading...

No comments