Bireuen dalam “Rebutan”

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 21 Agustus 2016

Khairil Miswar: Lukisan Budi Azhari
Bireuen, uteun ubeut, tapi rimueng jai that”
(Bireuen, hutannya kecil, tapi harimaunya banyak). Kalimat ini dan yang serumpun dengannya sudah sangat sering saya dengar dari mulut para politisi di Bireuen, baik secara langsung maupun dirawikan oleh orang lain. Entah kapan kalimat ini pertama kali muncul, wallahu a’lam – belum ada penelitian serius yang coba menyelidik. Masyarakat Bireuen (tentu tidak semuanya) sepertinya sudah akrab dengan kalimat ini. Setiap menjelang Pilkada (Pilbub) kalimat ini kembali ramai diucapkan dari mulut ke mulut. Tanpa butuh pemancar, kalimat ini terus menyebar menembus lorong-lorong kecil di perkampungan dan tidak ketinggalan gang-gang di perkotaan.

Lantas, bagaimana kita memaknai dan menafsirkan kalimat bahwa di Bireuen banyak harimau, sedangkan hutannya kecil?Tentunya tidak ada penafsiran tunggal dan tidak ada satu pun “pakar” yang benar-benar otoritatif yang bisa memonopoli makna kalimat tersebut. Setiap orang bebas saja menafsirkan dan memaknai menurut versinya masing-masing. Pemaknaan kalimat tersebut bisa saja berlabuh pada kesimpulan positif, dan sebaliknya juga bisa dipahami sebagai sesuatu yang negatif, tergantung dari sudut mana ia melihat.

Jika kalimat tersebut berdiri sendiri secara mandiri tanpa dikaitkan dengan politik, maka dapat dimaknai bahwa Bireuen adalah tempat berkumpulnya insan-insan kreatif. Artinya “lahan” yang kecil tidak menghambat kreativitas masyarakat untuk melakukan yang terbaik untuk dirinya dan daerahnya. Istilah “harimau” dalam kalimat itu, secara positif dapat saja diterjemahkan sebagai pengusaha sukses, masyarakat yang rajin, pejabat-pejabat berprestasi atau pun pemuda-pemuda kreatif. Dengan demikian, kalimat Bireuen hutannya kecil, tetapi harimau banyak dapat dideskripsikan sebagai sebuah kondisi yang membanggakan, di mana keterbatasan lahan, lapangan kerja dan kurangnya sumber daya alam tidak membuat masyarakat Bireuen bermalas-malasan dan hidup dalam keterpurukan. Artinya, segala bentuk keterbatasan itu telah mendorong masyarakat Bireuen untuk menjadi “harimau-harimau” yang kreatif. Banyaknya “harimau” di Bireuen menjadi salah satu indikator bahwa kreativitas dalam berpikir, bekerja, beramal dan cita-cita untuk bangkit telah tumbuh di Bireuen. Meskipun terkesan apologis, tapi penafsiran semacam ini bisa menjadi salah satu tawaran pemaknaan yang tidak melukai siapa pun, termasuk saya – dan penguasa khususnya.

Berbeda dengan ulasan di atas, jika kalimat tadi dikaitkan dengan politik, maka akan melahirkan penafsiran yang negatif atau mungkin pemaknaannya akan berbentuk peyoratif. Artinya, dalam perspektif politik kalimat itu hendak menggambarkan suatu kondisi yang serba pelik, di mana telah terjadinya benturan “keangkuhan” demi merebut pengaruh. Secara khusus, jika dikaitkan dengan praktik politik praktis, dapat dipahami bahwa para harimau yang dalam pengertian positif ditafsirkan sebagai insan kreatif – mengalami pergeseran makna menjadi para politisi yang haus kuasa. Tegasnya, banyak “harimau” yang ingin menguasai “hutan” Bireuen – entah karena hasil “hutannya” yang kaya, atau hanya karena ingin dipanggil dengan sebutan “raja.”

Harimau-harimau politik ini tentunya memiliki segudang argumen untuk kemudian digunakan sebagai modal dalam rangka meraih simpati publik. Harimau-harimau yang rakus ketika berkuasa nantinya akan menggunakan segenap kekuatannya untuk menguras hasil hutan – dan bahkan tidak segan-segan melenyapkan lawan-lawannya. Sebaliknya, harimau-harimau terhormat akan melindungi hutan yang dikuasainya demi kesejahteraan para penghuni hutan.

Para “Harimau” Menjelang Pilkada 2017

Jika dihubungkan dengan kondisi saat ini, maka kalimat Bireuen, uteun ubeut, tapi rimueng jai that adalah sesuai dengan kenyataan. Saat ini setidaknya sudah muncul enam pasangan bakal calon bupati yang akan bertarung pada pilbub mendatang. Di antara “harimau” yang telah muncul adalah Khalili-Yusri; Ruslan-Jamaluddin; Amiruddin Idris-Ridwan Khalid; Yusuf A. Wahab-Purnama; Saifannur-Muzakkar dan Husaini-Azwar.

Dari keenam bakal calon yang telah muncul tersebut hampir dapat dipastikan bahwa kesemuanya masuk dalam katagori “harimau”, di mana mereka punya kekuatan yang nyaris sama. Saya tidak melihat ada “singa” dari calon-calon tersebut. Artinya, dari calon-calon yang telah muncul tidak terlihat ada kekuatan yang domiman. Semuanya berpotensi untuk menang dan pastinya juga berpotensi untuk kalah.

Namun demikian, sebagai salah satu penghuni “hutan” tentunya saya dan siapa pun punya hak untuk menebak “harimau” mana yang akan berkuasa nantinya. Jika dilihat dari struktur organisasi politik, maka pasangan Khalili-Yusri adalah pasangan yang memiliki struktur paling lengkap di Bireuen, di mana kekuatan Partai Aceh tentunya akan bekerja maksimal untuk memenangkan pasangan ini. Tetapi, sebagaimana telah sama-sama kita ketahui bahwa konsentrasi dukungan kader Partai Aceh (khususnya mantan GAM) nantinya juga akan terbelah ke dalam tiga penjuru. Adapun ketiga penjuru itu adalah Khalili, Ruslan M. Daud dan Husaini alias Teungku Batee.

Selain pasangan Khalili-Yusri, pasangan Ruslan M. Daud-Jamaluddin juga memiliki kekuatan yang tidak bisa diremehkan – bahkan cukup kuat. Sebagai incumbent, tentunya Ruslan akan menggerakkan segenap kekuatannya untuk meraih kemenangan. Dalam hal ini, semua “perangkat” yang dimilikinya akan bekerja maksimal. Selain itu, diakui atau tidak Ruslan juga mendapat dukugan dari sebagian kader PA (mantan GAM). Kekuatan lainnya yang bisa diandalkan oleh Ruslan adalah kekuatan santri. Saya punya dugaan kuat bahwa mayoritas santri di wilayah “Barat” akan melabuhkan dukungannya kepada Ruslan. Kekuatan santri ini juga akan datang dari kubu Jamaluddin yang saat ini menjadi pasangan Ruslan di tambah lagi kedudukan Jamaluddin sebagai mantan “petinggi” di Kemenag Bireuen. Bukan tidak mungkin jalur ini juga akan “dimainkan.”

Pasangan lainnya yang juga patut diperhitungkan adalah Yusuf A. Wahab-Purnama. Kaum santri juga akan menjadi basis utama dari pasangan ini ditambah lagi dengan majelis-majelis pengajian yang selama ini diisi oleh Tgk. Yusuf A. Wahab. Kekuatan lain dari pasangan ini adalah “anak-anak muda” yang selama ini berada di belakang Purnama.

Menurut tebakan awam saya, ketiga pasangan inilah yang akan menjadi “pemain” di pentas Pilbub 2017 nantinya. Adapun tiga pasangannya lainnya nampaknya tidak akan mampu menyaingi kekuatan yang dimiliki oleh tiga pasangan yang disebut pertama. Namun demikian, kondisi ini akan terus berubah sesuai perjalanan waktu. Artinya, bukan tidak mungkin pasangan Saifannur-Muzakkar akan mampu melampaui kekuatan-kekuatan tersebut. Sementara pasangan Husaini-Azwar dan Amiruddin-Ridwan Khalid nampaknya masih jauh dari harapan.

Di akhir tulisan ini, saya hendak menegaskan bahwa apa yang telah diuraikan di atas hanyalah dugaan-dugaan semata dan bukan hasil survey sehingga jauh dari kesan ilmiah. Apa yang saya tulis ini hanyalah hasil diskusi cilet-cilet di kedai kopi. Akhirnya kita hanya bisa berharap agar Bireuen ke depan dipimpin oleh “harimau” terhormat, bukan “harimau” rakus. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AcehTrend

loading...

No comments