“Monopoli Mazhab” di Aceh

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 30 Mei 2016

Penulis di Mesjid Al-Izzah Cot Seurani, Aceh Utara
Jumat, 27 Mei 2016
Dengan dikeluarkannya Maklumat Perang 1873 oleh Belanda, Aceh memasuki perang panjang dengan para penjajah kulit putih. Perang Aceh-Belanda ini berlangsung lama dan memakan banyak korban di kedua belah pihak. Satu versi menyebut perang ini berlangsung selama 30 tahun (1873-1903), sedangkan versi yang lain menyebut 69 tahun (1873-1942), yaitu sampai datangnya Jepang ke Aceh. Tidak lama setelah Belanda pergi, Aceh kembali menggempur Jepang sampai akhirnya Jepang pun menyerah atas tekanan pihak sekutu. Pertumpahan darah di Aceh tidak berhenti di sini. Pada awal-awal kemerdekaan RI, tragedi berdarah kembali terjadi di Aceh dengan meletusnya Perang Cumbok, antara pihak ulama dan masyarakat – berhadapan dengan Ulee Balang yang berlanjut pada Revolusi Sosial yang sangat “menyedihkan” itu.

Pada tahun 1953, tersebab tidak terealisasinya janji-janji Soekarno dan juga didorong oleh sebab-sebab lain, Aceh kembali bergolak di bawah pimpinan Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh yang didukung oleh ulama Aceh. Setelah merasa aman beberapa pasca kembalinya Dawud Beureu-eh ke pangkuan Ibu Pertiwi, perang baru pun dimulai di Aceh dengan diproklamirkannya Gerakan Aceh Merdeka oleh Hasan Tiro pada 1976. Kekacauan politik dan gerakan bersenjata yang digagas Hasan Tiro ini berlangsung selama kurang lebih 29 tahun. Selanjutnya Aceh ditimpa musibah besar yang mengakibatkan ratusan ribu orang meninggal akibat gempa dan tsunami. Musibah gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 telah mengantarkan kedua belah pihak (RI-GAM) dengan difasilitasi CMI – di mana sebelumnya telah mengalami beberapa kali perundingan, untuk menandatangani nota kesepahaman pada 15 Agustus 2005 (MoU Helsinky) sehingga damai pun tercipta di Aceh.

Rentetan konflik (perang dan ketegangan politik) yang telah disenaraikan di atas jika dikalkulasikan, maka dapat disimpulkan bahwa terhitung sejak Maklumat Perang 1873 sampai dengan MoU Helsinky 2005, masyarakat Aceh telah hidup dalam ketegangan, ketakutan dan perang selama kurang lebih 106 tahun – lebih satu abad!

Pasca MoU Helsinky, khususnya dalam beberapa tahun terakhir aroma konflik Aceh nampaknya telah mulai bermetamorfosis dari konflik politik menuju “konflik mazhab.” Memang dugaan ini masih sebatas asumsi awal yang masih butuh kajian serius sehingga menghasilkan jawaban yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Di luar itu, “konflik mazhab” ini, tentunya juga sangat terkait dengan perkembangan politik kekinian di Aceh. Saya melihat ada dua kepentingan yang sedang menjalin “kemesraan” untuk mewujudkan tujuan masing-masing. Pihak pertama bermain di domain politik – di mana mereka memanfaatkan isu-isu keagamaan yang notabenenya cukup sensitif guna mempertahankan kekuasannya. Adapun pihak kedua berada di area keagamaan – yang juga berafiliasi dengan kekuatan politik demi mempertahankan posisinya sebagai “penerjemah tunggal” teks-teks keagamaan. Dua pihak ini saling berpimpin tangan “seayun-selangkah” dalam memainkan perannya masing-masing. Namun demikian, seperti ditegaskan di atas, pola ini masih sebatas asumsi belaka.

Kudeta Mesjid dan “Monopoli Mazhab” 

Diakui atau pun tidak, upaya “monopoli mazhab” di Aceh sudah berlangsung sekian lama. Upaya ini dilakukan melalui minbar-minbar Jumat, ceramah-ceramah keagamaan dan juga forum-forum pengajian. Indikasi “monopoli” ini terlihat jelas ketika seorang pendakwah, khatib atau ustaz (di Aceh disebut teungku) dalam pengajian, khutbah atau ceramah secara terang benderang menyampaikan kepada masyarakat bahwa tata cara laksana ibadah harus sesuai dengan mazhab fulan. 

Upaya “monopoli mazhab” ini pada perkembangan selanjutnya berkembang dalam aksi-aksi yang melibatkan massa, semisal Parade Aswaja yang pernah menyita perhatian publik di Aceh. Dalam parade dimaksud para peserta yang terdiri dari ratusan santri dan teungku membawa spanduk dan poster yang bertuliskan: “usir wahabi”, “wahabi harus keluar dari Aceh”, “masyarakat Aceh menolak wahabi” dan kalimat-kalimat serumpun lainnya. Namun sayangnya, sampai dengan saat ini tidak diketahui siapa wahabi yang mereka maksud.

Tidak hanya parade, gerakan “monopoli mazhab” di Aceh juga terbaca pada saat pihak-pihak yang menamakan dirinya Aswaja melakukan aksi “kudeta mesjid” di beberapa tempat di Aceh. Jika ditelisik, aksi “kudeta mesjid” bukanlah hal baru di Aceh dan sudah terjadi sekian lama, namun sayang tidak semuanya terliput media. Upaya “kudeta” yang paling menghebohkan terjadi di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh pada Jumat 12 Juni 2015. Aksi pada 12 Juni tersebut tidak membuahkan hasil dan kemudian dilanjutkan pada Jumat 19 Juni 2015. Aksi 19 Juni ini terbilang “sukses.”

Pasca “insiden” Mesjid Raya, aksi “kudeta” ini terus berlanjut di tempat-tempat lain. Di antara upaya “kudeta” paling heboh pada 2016 terjadi di Mesjid Al-Izzah Cot Seurani di Krueng Manee Aceh Utara. Aksi tersebut terjadi pada Jumat 20 Mei 2016, di mana Mesjid Al-Izzah didatangi oleh sejumlah jamaah yang menamakan dirinya sebagai Aswaja. Dalam prosesi Jumat hari itu terjadi kericuhan dan keributan yang dilakukan oleh “jamaah pendatang” yang menghendaki khutbah diulang karena dianggap tidak muwalat. Akan tetapi, khatib, imam dan bilal tidak merespon permintaan tersebut. Selesai khutbah, langsung dilaksanakan iqamah dan shalat Jum’at. Dalam rekaman video yang beredar tampak keributan, di mana terjadi saling dorong dan juga suara keras dari “jama’ah Aswaja.” Sayangnya, aksi “kudeta” pada hari itu gagal dan tidak mencapai hasil. Pada Jumat selanjutnya, 27 Mei 2016, prosesi Jumat di Mesjid Al-Izzah tersebut berjalan lancar dan aman dengan pengawalan personil Polri dan TNI. 

Beberapa aksi “kudeta’ sebagaimana disebut di atas dimaksudkan untuk menerapkan tata laksana ibadah sesuai dengan mazhab Syafi’i. Oleh sebagian kalangan yang menamakan dirinya Aswaja mendasarkan aksinya pada hasil Muzakarah Ulama Aceh yang mereka tafsirkan secara “keliru.” Padahal, hasil muzakarah ulama tersebut tidak pernah memberi sinyal kepada pihak manapun untuk melakukan tindakan-tindakan “anarkis” di rumah Allah. Tidak ada satu pasal pun dalam hasil muzakarah tersebut yang menganjurkan berteriak-teriak di dalam mesjid ketika jamaah lainnya sedang melaksanakan shalat Jumat. Bahkan, jika ditilik lebih jauh, tindakan membuat “rusuh” di mesjid pada hakikatnya bertentangan dengan hasil Muzakarah Ulama yang justru menganjurkan toleransi.

Perang Mazhab

Jika dikerucutkan, secara umum hanya ada dua model praktek keagamaan yang berkembang di Aceh, yaitu model Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Model disebut pertama umumnya berkembang di kalangan dayah dan juga masyarakat yang berhaluan “tradisionalis.” Adapun model kedua dipraktekkan oleh kader-kader Muhammadiyah dan juga sebagian masyarakat yang “berwawasan modernis.”

Secara khusus, tidak ada konflik antar dua ormas ini di Aceh. Namun dalam praktik di lapangan sering terjadi persinggungan dalam persoalan-persoalan furu’iyah antar masyarakat dari dua kubu yang berbeda. Kubu tradisionalis yang didominasi oleh kalangan dayah beranggapan bahwa merekalah Ahlussunnah Waljama’ah yang sering mereka singkat sendiri dengan Aswaja. Kemudian, ada segelintir dari kalangan tradisionalis yang menganggap kubu modernis semisal Muhammadiyah sebagai “bukan” Ahlussunnah Waljamaah. Di sinilah pangkal ketegangan itu yang akhirnya bermuara pada tindakan-tindakan intoleran, seperti “kudeta mesjid.”

Jika klaim-klaim kebenaran ini terus dipertahankan, maka bukan tidak mungkin Aceh akan memasuki “perang baru,” yaitu “perang mazhab” yang tentunya akan membuat umat Islam di Aceh tercerai-berai. Untuk menjaga keharmonisan antar kaum muslimin di Aceh sudah semestinya ditumbuhkan kembali sikap saling menghargai dan tidak merasa diri sebagai paling benar.

Untuk ke depan kita berharap tidak ada lagi “kudeta mesjid” dan tindakan-tindakan anarkis lainnya yang dapat merusak ukhuwah Islamiyah. Usia konflik di Aceh sudah terlalu panjang. Jangan diperpanjang lagi! Mari menyambut Ramadhan dengan semangat persatuan. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

10 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sedikit berbagi pengalaman siapa tau bermanfaat
      Sudah berkali-kali saya mencari tempat yang menyediakan pesugihan, mungkin lebihdari 15 kali saya mencari paranormal mulai dari daerah jawa Garut, Sukabumi, cirebon, semarang, hingga pernah sampai ke bali , namun tidak satupun berhasil, suatu hari saya sedang iseng buka-buka internet dan menemukan website ustad.hakim
      www.pesugihan-islami88.blogspot.co.id
      sebenarnya saya ragu-ragu jangan sampai sama dengan yang lainnya tidak ada hasil juga, saya coba konsultasikan dan bertanya meminta petunjuk pesugihan apa yang bagus dan cepat untuk saya, nasehatnya pada saya hanya di suruh YAKIN dan melaksanakan apa yang di sampaikan pak.ustad, Semua petunjuk saya ikuti dan hanya 1 hari Alhamdulilah akhirnya 5M yang saya tunggu-tunggu tidak mengecewakan, yang di janjikan cair keesokan harinya, kini saya sudah melunasi hutang-hutang saya dan saat ini saya sudah memiliki usaha sendiri di jakarta, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya sering menyarankan untuk menghubungi ustad.hakim bawazier di 085210335409 agar di berikan arahan

      Delete
  2. Sangat mencerahkan... syukran kanda.. Semoga mereka yang intoleran terhadap Muhammadiyah segera terbuka hatinya... menerima perbedaan sebagai sebuah khazanah dalam Islam

    ReplyDelete
  3. Sangat mencerahkan... syukran kanda.. Semoga mereka yang intoleran terhadap Muhammadiyah segera terbuka hatinya... menerima perbedaan sebagai sebuah khazanah dalam Islam

    ReplyDelete
  4. Sangat mencerahkan... syukran kanda.. Semoga mereka yang intoleran terhadap Muhammadiyah segera terbuka hatinya... menerima perbedaan sebagai sebuah khazanah dalam Islam

    ReplyDelete
  5. Sangat mencerahkan... syukran kanda.. Semoga mereka yang intoleran terhadap Muhammadiyah segera terbuka hatinya... menerima perbedaan sebagai sebuah khazanah dalam Islam

    ReplyDelete
  6. Sangat mencerahkan... syukran kanda.. Semoga mereka yang toleran terhadap Muhammadiyah segera terbuka hatinya... menerima perbedaan sebagai sebuah khazanah dalam Islam

    ReplyDelete
  7. Sangat mencerahkan... syukran kanda.. Semoga mereka yang toleran terhadap Muhammadiyah segera terbuka hatinya... menerima perbedaan sebagai sebuah khazanah dalam Islam

    ReplyDelete
  8. Sejarah Kelam Akidah Bangsa Aceh, Awal Masuknya Wahabi ke Negeri Seuramoe Mekkah

    Mudhiatulfata.com - LINTASAN sejarah Aceh tempo dulu, mencatat betapa kelamnya bangsa Aceh dengan rusaknya akidah para tokoh dan generasi Aceh. Semenjak tahun 1953 kehidupan umat lslam Aceh yang Ahlussunnah Waljamaah Syafi'iah telah diganggu dan diusik. Ada pihak-pihak yang ingin merubah pemahaman yang dianut masyarakat Aceh. Mereka yang datang dan menyusup kedalam tubuh pemerintahan militer saat itu.
    Karena tak berhasil mengubah langsung ke tengah-tengah masyarakat maka datang ia kepada pemerintah dengan pahaman lslam Pembaharuan yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh seorang penganut bebas mazhab berasal dari Mesir. Sedangkan ajaran yang dibawa Muhammad Abduh adalah hasil dari pengembangan pahaman liberal (mu'tazilah yang dipadukan dengan pahaman Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab).

    Disebut pihak-pihak yang mengusik itu berani muncul dengan berbekal sebuah surat "maklumat - bersama" adalah dari kalangan yang tidak suka melihat masyarakat Aceh dengan cara beramaliahnya sehari-hari, seperti bermaulidan, bertawassulan, bertabarrukan, bertahlilan dan sebagainya hingga mereka mempengaruhi pemerintahan militer saat itu yang ingin menarapkan Syariat lslam. Untuk itu keinginan mereka berupaya memberlakukan system mazhab yang dipadukan dengan mazhab lainnya (pencampuran mazhab).

    Padaha sebelumnya di Mesjid Raya Baiturrahman (MRB) justru telah dipimpin oleh ulama-ulama Sunni dari kalangan dayah Salafiah tradisinonal seperti Abu Chiek Hasan Kureng Kale.
    Para ulama Aceh saat itu telah menerapkan pula mesjid dengan pengamalan cara Assyafi’iyah, bahkan di seluruh Aceh pun dahulu dari masa kesultanan Aceh hingga masa sebelum tiba masa kepemimpinan Tgk Daud Beureueh. Sebabnya di masa Tgk Daud Beureueh ini pihak-pihak yang ingin merubah pemahaman masyarakat Aceh sesuai dengan apa yang ditinggalkan oleh ulama-ulama sebelumnya.

    Tapi setelah lndonesia merdeka dari tahun 1953 hingga seterusnya, Aceh telah dipimpin oleh kalangan yang berpahaman lslam Pembaharuan. Banyak masyarakat tertipu dengan gerakan lslam Pembaharuan tersebut karena ajaran yang dibawanya justru ingin menghapus segala hal amaliah yang sering dilakukan oleh rakyat Aceh, di antaranya;

    - Melarang kenduri (makan-makan),
    - Melarang maulid Nabi,
    - Kenduri orang mati,
    - Kenduri di kuburan,
    - Kenduri Sawah,
    - Kenduri Laot,
    - Dan lain-lain.

    Intinya pihak-pihak itu ingin mengubah setiap amaliah yang telah lama masyarakat Aceh yakini selama itu benar. Di masa DI/TII sendiri yang brutal dan kejamnya, adalah masa di mana ada beberapa ulama dayah diburu oleh kalangan bersenjata DI/TII hingga ada yang dibunuhnya dan ada yang menyelamatkan diri keluar Aceh.

    (Baca juga : Sisi Hitam DI/TII Aceh Terhadap Ulama Dayah Dalam Sejarah)

    Menurut beberapa sumber dari ulama-ulama dayah bahwa di antara ulama yang ingin dibunuh mereka tapi dengan berkat karamah yang Allah berikan hingga selamat dari peristiwa pembantaiannya, di antaranya;

    - Abu Wahab Seulimuem (Ayah Abon Seulimuem),
    - Abuya Muda Waly (Ayah Abuya Dajamaluddin Waly)
    - Dan lain-lain.

    Aceh yang dikenal sebagai penganut kental Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) Assyafi’iyah masa itulah dicoba untuk disamar-samarkan oleh mereka sebagai pihak penjilat pada penguasa. Dan mereka itulah intelektual muda (berakidah lslam Pembaruan ala Wahabi) serta beberapa cendekiawan yang berafiliasi dengan penguasa Aceh, bahkan keberadaan PUSA yang telah dibentuk pada tahun 1939 telah dijadikan sebagai wadah tempat berkumpulnya para ulama-ulama yang telah terkontaminasi Wahabi, anti kepada ulama-ulama dayah.

    ReplyDelete
  9. Khairil miswar menulis tentang wahabi, sedangkan Hendri saifullah menanggapi tentang Muhammadiyah, padahal wahabi dan Muhammadiyah, jelas2 beda... Wahabi Mekah sampai saat ini masih mempertahankan shalat tarawih 20 rakaat

    ReplyDelete