Aceh dan Toleransi Umat Yang Gagal

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 12 Juni 2016

Sumber Foto: Buku Gebyar Muktamar Muhammadiyah Ke 43

Beberapa bulan yang lalu, tepatnya pada Februari 2016, saya mendapatkan satu eks salinan (copian) surat yang ditandatangi oleh Camat Juli, Drs. Munir. Salinan surat dan sejumlah lampiran tersebut saya peroleh dari seorang informan di Kabupaten Bireuen. Hal ini tidaklah aneh, karena saya sendiri adalah warga Kabupaten Bireuen. Surat tersebut berisi Hasil Rapat Musyawarah Rencana Pembangunan Mesjid At-Taqwa Muhammadiyah di Kecamatan Juli.


Dalam surat yang ditandatangani oleh Camat Juli pada 03 Januari 2016 tersebut, pada poin (a) tertulis: “Bahwa Keputusan Masyarakat Juli menolak dan tidak menerima atas Rencana Pembangunan Mesjid At-Taqwa Muhammadiyah di Dusun Teungoh Gampong Juli Keude Dua Kemukiman Juli Utara Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen, karena mesjid yang akan dibangun tersebut merupakan Mesjid Kelompok dan bukan Mesjid Ahlul Sunnah Waljama’ah”.

Dalam Notulen Rapat yang terlampir dalam surat Camat tersebut, terdapat saran dari Tgk. Saifuddin yang merupakan utusan MPU untuk Kecamatan Juli. Tgk. Saifuddin berpendapat bahwa “Dalam hal rencana mendirikan Mesjid At-Taqwa Muhammadiyah adalah merupakan pendirian mesjid kelompok (ormas). Sesuai dengan Al-Quran surat At-Taubah menjelaskan bahwa mendirikan Mesjid kelompok dilarang karena dapat memecah belah umat…” Dalam tanggapan peserta rapat (masih dalam Notulen), seorang mantan kombatan GAM, Keuchiek Malek mengatakan: “…81% penduduk setempat menolak pembangunan mesjid tersebut…

Sementara itu, dalam berita yang dirilis sangpencerah.com, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bireuen, Athaillah A. Latief mengatakan bahwa pihak Muhammadiyah telah mendapatkan donator yang siap membangun mesjid, tempat wudhu, rumah imam dan dua kelas untuk program tahfidhul Quran. Menurut Athaillah, semua persyaratan pembangunan mesjid sudah dipenuhi, termasuk dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan penyerahan foto copy KTP sejumlah 150 orang. Kemudian IMB juga sudah didapatkan dari keuchik kampung, camat dan Sekda Kabupaten Bireuen. Namun, masih menurut Athaillah, rekomendasi pembangunan mesjid mulai tersendat di Kantor Kementrian Agama Bireuen.

Uniknya lagi, dalam keterangan yang dirilis oleh republika.co.id, Atthailah menyebut bahwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) menyamakan mesjid yang akan dibangun Muhammadiyah dengan Mesjid Dhirar sehingga berdasarkan surat At-Taubah ayat 107, mesjid tersebut boleh dirusak, dibakar dan dihancurkan. Selain itu, Atthailah mengatakan bahwa Kemenag Bireuen menolak memberikan rekomendasi pembangunan mesjid atas dasar surat yang dikirimkan oleh kecamatan dan Polres Bireuen.

Setelah menyimak uraian di atas, kira-kira apa yang terpikir oleh kita? Tentunya sulit bagi kita, khususnya sebagai seorang muslim untuk memahami fenomena ini. Pembangunan mesjid dilarang (ditolak) di daerah yang mayoritas penduduknya muslim. Anehnya lagi, pelarangan tersebut didasarkan pada argumen rapuh dan bahkan irrasional. Pembangunan Mesjid Muhammadiyah ditolak oleh “segelintir” orang dengan alasan akan terjadi perpecahan dalam masyarakat. Ditinjau dari sudut pandang manapun, alasan ini tentunya tidak dapat diterima dan terkesang mengada-ngada. Jika argumen ini disederhanakan, maka hampir dapat disimpulkan bahwa pihak yang menolak pembangunan mesjid tersebut secara tidak langsung telah menganggap bahwa Muhammadiyah adalah biang perpecahan. Lantas benarkah demikian?

Secara tidak langsung mereka (penolak mesjid) telah mengkhinati sejarah. Tidakkah mereka tahu bahwa Muhammadiyah punya kontribusi besar terhadap negeri ini? Tidakkah mereka paham bahwa Muhammadiyah telah beramal untuk bangsa ini jauh sebelum Republik Indonesia lahir? Tidakkah mereka sadar bahwa lahirnya pendidikan modern seperti sekarang ini juga tidak terlepas dari usaha-usaha Muhammadiyah? Bahkan mungkin sebagian anak-anak mereka adalah lulusan sekolah dan kampus-kampus Muhammadiyah. Apa mungkin mereka lupa? Atau pura-pura tidak tahu? Wallahu A’lam. 

Beberapa Catatan

Saat ini, kita dihadapkan pada kenyataan yang benar-benar tidak masuk akal. Seandainya aksi penolakan mesjid ini terjadi di daerah minoritas muslim, mungkin masih bisa dipahami. Tetapi anehnya, penolakan pembangunan mesjid justru terjadi di Serambi Mekkah. Miris memang, tapi apa hendak dikata, ini adalah fakta yang harus “ditelan.”

Terkait penolakan pembangunan Mesjid Muhammadiyah di Kabupaten Bireuen, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian kita semua. Pertama, penyebutan Mesjid Muhammadiyah sebagai mesjid kelompok. Dari sisi bahasa penyebutan ini sah-sah saja, mengingat Muhammadiyah adalah sebuah ormas. Yang namanya ormas sudah tentu kelompok. Jika yang dimaksudkan bahwa mesjid tersebut dibangun oleh kelompok Muhammadiyah, maka dapat dibenarkan. Tetapi jika yang dimaksudkan bahwa mesjid tersebut hanya dikhususkan untuk kelompok Muhammadiyah, maka ini keliru besar. Buktinya, ketika saya shalat di mesjid At-Taqwa Muhammadiyah Bireuen, para pengurus mesjid tidak pernah meminta saya untuk menunjukkan kartu anggota Muhammadiyah. Saya bukan anggota Muhammadiyah, tapi saya bisa shalat di Mesjid Muhammadiyah tanpa kena “sweeping.” Dengan demikian, tudingan Mesjid Muhammadiyah sebagai mesjid kelompok hanya “bualan” belaka.

Kedua, pembangunan Mesjid Muhammadiyah di Kecamatan Juli dilarang karena mesjid tersebut bukan mesjid Ahlussunnah Waljama’ah. Jika yang dimaksudkan sebagai Ahlussunnah Waljama’ah adalah khutbah Jumat pegang tongkat, selesai shalat zikir berjamaah, atau shalat tarawih dua puluh rakaat, maka tudingan ini mungkin saja benar, karena di mesjid-mesjid Muhammadiyah tidak ada praktik semacam itu. Tetapi jika yang dimaksud dengan Ahlussunnah Waljama’ah adalah orang-orang yang konsisten terhadap Alquran dan Sunnah serta anti kepada segala bentuk kesyirikan, sekecil apa pun, maka Muhammadiyah adalah Ahlussunnah Waljama’ah yang paling “orisinil”. Dengan demikian, tudingan mesjid Muhammadiyah sebagai bukan mesjid Ahlussunnah Waljama’ah harus dikaji kembali dengan merujuk kepada literatur keilmuan yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Artinya, pendefinisian Ahlussunnah harus terbebas dari “ego mazhab” tertentu.

Ketiga, tudingan pihak MPU yang menyatakan mesjid Muhammadiyah sama dengan mesjid Dhirar, seperti dikatakan Atthaillah – merupakan klaim yang tidak bertanggung jawab dan justru bisa merusak wibawa MPU di mata umat. Semestinya pihak yang mewakili MPU harus melakukan kajian secara mendalam sebelum mengeluarkan statemen yang membingungkan semacam ini. Sampai saat ini belum ditemukan fatwa resmi dari MPU Aceh yang menyebut mesjid Muhammadiyah sama dengan mesjid Dhirar. Hal ini harus disikapi dengan serius oleh MPU, jangan sampai ada pihak-pihak yang ingin mencermarkan nama MPU melalui pernyataan-pernyataan destruktif-provokatif. Selain itu, sampai saat ini Majelis Ulama Indonesia juga tidak pernah mengeluarkan statemen bahwa mesjid Muhammadiyah sama dengan mesjid Dhirar. Lagi pula, Majelis Ulama Indonesia juga pernah dipimpin oleh kader-kader Muhammadiyah.

Keempat, terkait dengan kekhawatiran akan adanya pertumpahan darah jika pembangunan mesjid Muhammadiyah dilakukan, maka hal ini menjadi tugas tokoh agama dan juga tokoh-tokoh masyarakat untuk memberikan pemahaman kepada umat bahwa Islam menganjurkan toleransi dan saling menghargai. Tidak ada alasan untuk menumpahkan darah kaum muslimin. Alquran dan Sunnah secara terang benderang telah menjelaskan dan menegaskan bahwa haram hukumnya menumpahkan darah kaum muslimin tanpa hak (alasan syar’i). Sebagai muslim kita tentu paham akan hal ini.

Kelima, pihak kecamatan (Camat Juli) selaku perpanjangan tangan Pemerintah harus mampu bersikap arif, bijaksana dan tidak diskriminatif dalam melayani warga negara. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama. Terkait dengan pelarangan pembangunan mesjid Muhammadiyah oleh sebagian warga di Juli – Camat selaku pemerintah harus mampu memberi pencerahan kepada masyarakat bahwa Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam terbesar juga berhak hidup di seluruh jengkal tanah Indonesia. Artinya, seorang camat tidak serta-merta harus menuruti keinginan sebagian pihak dan mengabaikan hak pihak-pihak lain. Mesjid adalah tempat ibadah umat Islam. Dengan demikian, melarang umat Islam mendirikan mesjid sama saja dengan melarang umat Islam untuk beribadah. Terkait adanya perbedaan praktik ibadah tidaklah menjadi alasan untuk melakukan pelarangan, karena UUD 1945 menjamin kebebasan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing.

Keenam, sebagaimana dikemukakan oleh Atthaillah bahwa pihak Kementrian Agama Kabupaten Bireuen juga terkesan mempersulit (tidak memberikan rekomendasi) pembangunan mesjid At-Taqwa Muhammadiyah di Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen. Dalam hal ini, tentu patut dipertanyakan “kualitas” kepala Kemenag Bireuen yang jelas-jelas tidak mampu mengendalikan situasi sehingga terkesan “mengikuti arus.” Adalah sangat naïf jika seorang kepala Kemenag tidak mengenal Muhammadiyah. Tidak tegasnya kepala Kemenag Bireuen dalam menangani kasus ini, secara tidak langsung telah “mencoreng” kewibawaan Kementerian Agama di mata masyarakat Indonesia. Semoga saja Kemenag Bireuen tidak terjebak dalam “kepentingan pragmatis.” 

Di akhir tulisan ini, sebagai sesama muslim, saya mengajak kita semua untuk saling menghargai satu sama lain. Semoga saja, dalam bulan Ramadhan tahun ini kita dapat memaksimalkan ibadah kepada Allah Swt dan juga mampu menebar kasih sayang sesama kita. Mari hilangkan “ego mazhab” dan saling menahan diri dalam menyikapi segala perbedaan. Semoga saja kita benar-benar menjadi insan yang bertaqwa. Wallahu Waliyut Taufiq.

Artikel ini sudah diterbitkan di Republika Online
loading...

No comments