Kepemimpinan Ulama di Aceh

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 06 Mei 2016

Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh
Sumber Foto: thpardede.wordpress.com

Tidak lama lagi Aceh akan kembali berhadapan dengan pesta demokrasi untuk memilih para pemimpin yang akan duduk di tampuk kekuasaan, baik gubernur, bupati dan juga walikota. Para politisi dan tim sukses di Aceh sudah mulai tersibukkan dengan berbagai aktivitas untuk menghadapi prosesi Pemilukada yang akan digelar pada 2017 mendatang. Dalam beberapa hari terakhir ini, para politisi, pihak legislatif dan eksekutif di Aceh juga tersibukkan dengan polemik persyaratan calon Independen – yang sampai saat ini belum mencapai kata sepakat.

Tidak hanya itu, “dawa-dawi” terkait bendera Aceh (Bintang Bulan) sampai dengan detik ini juga belum tuntas – di mana kedua belah pihak ingin tampil sebagai “pemenang,” saling ngotot dan tidak bersedia mengalah. Hebatnya, oleh sebagian politisi, berbagai “permasalahan” dan “kerumitan politik” yang terjadi di Aceh saat ini semisal kasus bendera – justru “dipoles” sebagai mantera untuk meraih dukungan publik. Singkatnya, dalam “kegalauan politik” ada pencitraan, tentunya ada yang “terinjak” dan ada pula yang “terangkat” – tergantung sehebat mana para politisi tersebut memenej isu yang berkembang.

Sampai saat ini, telah muncul beberapa nama bakal calon yang akan ikut bertarung pada Pemilukada 2017, baik dari Parpol maupun independen, di antaranya Zaini Abdullah (incumbent), Muzakkir Manaf (incumbent), Irwandi Yusuf (mantan Gubernur Aceh 2006-2011), Tarmizi Karim (mantan PJ Gubernur), Zakarian Saman (mantan petinggi GAM) dan sejumlah nama lainnya yang belum begitu populis. Beberapa nama dimaksud telah mulai melakukan berbagai manuver untuk mendapat perhatian publik di Aceh.

Ulama dalam Ruang Demokrasi 

Hal menarik lainnya – di tengah hiruk pukuk menjelang Pemilukada 2017, muncul pula gagasan dari “segelintir” kalangan yang menginginkan ulama untuk kembali ke panggung politik di Aceh. Meskipun tidak menjadi topik perbincangan khusus di media massa, namun isu ini menjadi kajian menarik yang dikupas secara berantai oleh para pengguna media sosial di Aceh. Dari wacana yang muncul dapat diduga bahwa memang ada sejumlah pihak yang nampaknya “merindukan” kepemimpinan ulama di Aceh. Ada sejenis harapan bahwa Aceh akan bangkit jika dipimpin oleh ulama. Namun saya melihat hal ini masih sebatas wacana sehingga ruang diskusi masih terbuka lebar. Secara prinsip, kita sepakat. Tapi, siapa, kenapa dan bagaimamana kriteria ulama yang diharapkan memimpin Aceh? Kemudian, di era demokrasi yang serba bebas seperti sekarang ini, apakah mungkin seorang ulama akan memenangkan pertarungan di pentas politik? Bagaimana pula perasaan hati kita ketika seorang ulama harus bersaing dengan seorang “koruptor” misalnya, kemudian ulama tersebut kalah?

Dalam konteks Aceh, apakah ada parpol yang bersedia mengusung ulama yang dalam kenyataannya “miskin” pengalaman politik (praktis)? Demikian pula dengan jalur independen, apakah kita akan mendapatkan dukungan yang cukup untuk mengusung seorang ulama? Apakah ada jaminan bahwa proses pengumpulan KTP akan berjalan sebagaimana mestinya tanpa ada kecurangan sedikit pun? Pada saat kampanye nantinya, apakah kita juga akan mendorong sosok ulama tersebut untuk menebar janji-janji politik kepada publik? Bagaimana jika janji-janji itu tidak terpenuhi? Beberapa pertanyaan ini memang terkesan pesismistis, tapi pada prinsipnya hal ini merupakan sebuah realitas yang harus mendapat perhatian kita semua.

Di sebalik itu, kondisi akan semakin runyam jika kita menelisik persoalan teologis di Aceh, di mana masih terdapat jurang yang lebar antara ulama dari kalangan tradisionalis dan modernis, di tambah lagi dengan faksi salafi yang semakin berkembang di Aceh. Ulama mana yang akan diusung untuk memenuhi harapan rakyat Aceh? Tradisionalis, modernis atau salafi? Tentunya untuk menentukan sosok tunggal yang benar-benar representatif dalam rangka mewakili ulama dalam pentas politik Aceh tidaklah mudah. Begitu pula halnya jika ketiga faksi ini (tradisionalis, modernis dan salafi) mengusung calonnya masing-masing, maka konsekwensi selanjutnya adalah terjadinya persaingan antara ulama dan ulama di pentas politik. Jika hal ini terjadi tentunya akan membuka pintu “fitnah” yang berpotensi menciptakan konflik sosial di tengah masyarakat.

Di samping itu, adalah sebuah realitas bahwa Aceh saat ini kekurangan figur ulama yang layak “dijual” di panggung politik. Beberapa tokoh ulama kharismatik dari lingkungan tradisionalis (dayah) yang ada di Aceh saat ini – hanya memiliki pengaruh dalam bidang keagamaan, di mana tokoh-tokoh dimaksud selama ini lebih memilih netral dalam politik. Dengan kata lain, beberapa tokoh kharismatik tradisionalis tersebut hanyalah pemimpin agama, bukan politisi, sehingga mereka hampir-hampir tidak punya pengaruh dalam dunia politik. Demikian pula dengan beberapa tokoh dari kalangan modernis yang nampaknya lebih memilih menjadi “pendekar” di kampus daripada melibatkan diri dalam kancah politik praktis. Sama halnya dengan tokoh-tokoh tradisionalis, para tokoh modernis di Aceh pada umumnya juga tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam dunia politik praktis.

Kepemimpinan PUSA; Sebuah Kenangan

Pada masa-masa revolusi fisik dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia di masa lalu, ulama Aceh telah berhasil mengukir prestasi yang gemilang di panggung sejarah. Beberapa nama dapat disebut di antaranya Teungku Muhammad Dawud Beureue-eh, Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri dan Teungku Hasan Krueng Kalee adalah sosok yang tidak hanya punya pengaruh dalam bidang keagamaan, tetapi juga tampil sebagai pemimpin politik yang punya basis massa.

Lahirnya Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di Matangglumpangdua pada 1939 merupakan satu pertanda bahwa ulama Aceh pada saat itu memiliki semangat untuk bersatu. Menurut Anthony Reid (1987), hanya beberapa ulama dayah konservatif di Aceh Besar dan Aceh Barat yang tidak sepakat dengan PUSA. Namun demikian, menjelang tahun 1941 sebagaimana disebut Reid, PUSA dapat diakui sebagai organisasi yang mewakili suara rakyat Aceh. 

Keterangan yang disampaikan Reid ini mengindikasikan bahwa PUSA di bawah kepemimpinan Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh benar-benar memperoleh kejayaan di panggung politik masa itu. Kondisi tersebut tentunya berbeda dengan realita kekinian, di mana tidak ada satu pun organisasi ulama di Aceh yang mampu menentukan arah politik, apalagi untuk memimpin Aceh. Diakui atau pun tidak, Aceh pasca PUSA krisis pemimpin dari kalangan ulama. Sampai saat ini nampaknya belum ada tokoh ulama di Aceh yang mampu menyaingi kharisma integratif seorang Dawud Beureu-eh yang tidak hanya punya pengaruh dalam bidang kegamaan, tetapi juga berhasil menjadi pemimpin di panggung politik.

Prospek Kepemimpinan Ulama di Aceh

Mencermati kondisi ulama Aceh dalam konteks kekinian, di mana tokoh-tokoh dimaksud umumnya masih minus pengalaman politik, dan lebih memilih eksis di dunia masing-masing, baik dayah maupun kampus, maka sangat sulit kiranya untuk “mengarak” mereka dalam arena politik praktis. Saya melihat belum saatnya ulama Aceh diusung sebagai cagub, cabup atau pun cawalkot. Jika pun para ulama “dipaksa” untuk terjun dalam dunia politik praktis, ditakutkan akan memberikan dampak negatif terhadap sosok ulama itu sendiri tersebab kedewasaan politik masyarakat Aceh belum masuk katagori mumtaz alias masih “galau.” Kita tentu tidak ingin para ulama kita diremehkan, dicemooh, dilecehkan dan dicaci maki hanya karena janji-janji politik mereka yang tidak terealisasi nantinya. Sebagaimana telah kita saksikan sendiri bahwa janji politik merupakan hutang yang akan terus ditagih oleh publik.

Namun demikian, bukan berarti kita menghalangi peran ulama dalam membangun daerah, tetapi wujud dari peran tersebut harus diberi interpretasi sesuai perkembangan zaman. Untuk membangun daerah, ulama tidak harus menjadi gubernur, bupati atau pun walikota, tetapi cukup menjadi mitra pemerintah dalam rangka mengawal pelaksanaan pembangunan. Ulama harus diberi peran strategis, baik di dalam maupun di luar pemerintahan sehingga mereka bisa menuangkan ide-ide brilian yang kemudian dapat diadopsi oleh penguasa. Dengan demikian, kewibawaan ulama di mata umat akan tetap terjaga. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments