Guru dan Kekerasan

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 02 April 2016 

Ilustrasi. Sumber Foto: www.altkia.com

Akhir-akhir ini, kita sering membaca berita di media, baik media lokal maupun nasional terkait beberapa dugaan kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa di sekolah. Ada media yang mengabarkan bahwa seorang siswa ditampar atau pun ditendang oleh guru, bahkan uniknya ada yang dipukul pakai palu. Membaca berita semacam ini tentu akan melahirkan perasaan miris. Bahkan tidak sedikit kalangan yang “panik”, khususnya dari kalangan orang tua siswa – yang dengan menggebu-gebu melempar kritikan pedas kepada guru. Dalam kondisi ini, guru yang diduga melakukan kekerasan tersebut berada pada posisi “terhukum”, “tercaci” dan “terpojok”. Aksi “bully” semacam ini tidak hanya dilakukan oleh orang tua siswa dan masyarakat luas, tetapi terkadang juga melibatkan Dinas Pendidikan tempat para guru bernaung, di mana mereka juga ikut “mengecam.” Hampir tidak ada seorang pun yang menaruh simpati kepada guru ketika mereka berada dalam posisi sulit seperti ini. Demikian pula, ketika guru – akibat dugaan kekerasan harus berhadapan dengan hukum, juga sepi dari advokasi, padahal organisasi “pembela guru” hampir tak terhitung jumlahnya. Tapi semuanya diam membisu. Jika pun ada yang bersuara hanya satu dalam berjuta dan bisa dihitung dengan jari. Buktinya ramai guru yang akhirnya dibui. Tidak percaya, silahkan googling!

Mungkin sebagian kita akan berargumen bahwa guru-guru semacam itu patut dihukum karena telah melakukan kekerasan. Atau mungkin pula sebagian kita akan bergumam bahwa guru-guru itu adalah penjahat sehingga haram hukumnya untuk dibela. Kadang-kadang, sebagai upaya melepas diri, Dinas Pendidikan dan Organisasi Guru akan berkata: “kami sudah ingatkan semua guru untuk tidak melakukan kekerasan”, satu kalimat yang sangat-sangat “normatif.” Begitulah.

Guru dan Kekerasan

Pada prinsipnya saya, dan mungkin kita semua sepakat untuk menolak dengan tegas segala bentuk kekerasan terhadap anak didik. Kekerasan dalam bentuk apapun harus dihentikan. Kita tentu tidak ingin melahirkan anak didik yang brutal, bengis dan bringas. Pola pendidikan “otoriter” dan suasana belajar yang tidak “demokratis” tentunya akan melahirkan generasi yang tidak toleran. Dalam konteks yang lebih luas, kekerasan akan merusak peradaban. Tersebab itulah agama juga melarang kekerasan.

Saat ini, dengan keberadaan Undang-Undang Perlindungan Anak maka larangan mempraktekkan kekerasan dalam dunia pendidikan sudah semakin tegas. Sebagai bangsa beradab, tentunya kita mendukung penuh penerapan Undang-Undang ini. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita menerjemahkan kekerasan itu? 

Di satu sisi, kelahiran UU Perlindungan Anak beberapa taun lalu merupakan sebuah kemajuan dalam dunia pendidikan, di mana setiap kita dituntut untuk menjaga hak-hak anak. Lebih tegasnya UU tersebut menyelip pesan agar kita semua mampu “memanusiakan” anak. Namun di sisi lain, UU Perlindungan Anak justru menempat guru dalam posisi dilematis. Guru dihadapkan pada posisi sulit, serba salah dan salah tingkah.

Mungkin apa yang saya sampaikan ini bersifat kasuistik dan tidak bisa digeneralisasi. Lihat saja ketika media menyajikan kisah-kisah “kekerasan” yang diduga dilakukan oleh oknum guru, kecaman pun mengalir deras hanya bermodalkan “sepotong” kisah di surat kabar. Sangat jarang pihak yang bersikap arif untuk melihat persoalan secara komprehensif, sebagian kita cenderung melakukan punishment dengan pengamatan parsial. Setiap membaca berita seorang guru melakukan “kekerasan,” mata kita hanya tertuju pada hasil (kekerasan) dengan guru sebagai “tersangka” utama, tetapi kita cenderung mengabaikan proses (kenapa itu terjadi).

Sebenarnya kita semua harus memahami bahwa guru bukanlah psikolog walaupun mereka sudah dibekali ilmu psikologi pendidikan. Artinya, guru juga manusia yang bisa saja terpancing amarahnya ketika menghadapi siswa yang mengidap “bandel ekstrim.” Kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa tersebut umumnya bersifat insidentil (spontanitas), bukan kekerasan yang direncanakan. Saya yakin bahwa tidak ada seorang pun guru yang ketika berangkat dari rumah bertujuan untuk memukul siswa. Sebaliknya, tujuan mereka adalah untuk mendidik siswa menjadi manusia yang cerdas dan berakhlak. Jika pun ada siswa yang dipukul, dicubit dan sebagainya, maka itu bukanlah kekerasan (selama dalam batas kewajaran), tapi salah satu bentuk punishment agar siswa tidak lagi mengulang kesalahannya.

Pukulan mendidik dalam batas-batas yang wajar bukanlah kekerasan, dan bahkan agama pun mengizinkannya. Namun demikian, pukulan bukanlah satu-satunya bentuk hukuman dan lebih baik dihindari, tetapi dalam kondisi tertentu pukulan dalam batas yang wajar ini tetap dibutuhkan.

Dilematis

Berdasarkan riset kecil-kecilan yang saya lakukan, saya berkesimpulan bahwa UU Perlindungan Anak, jika ditafsirkan secara keliru justru akan menjadikan guru bersikap abai terhadap perilaku anak. Sebuah kasus yang mungkin relevan untuk diangkat adalah aksi tawuran antar siswa, di mana banyak guru yang berusaha mencari titik aman. Pernah suatu ketika terjadi perkelahian antar siswa, ketika guru mencoba untuk melerai – yang dalam prosesnya guru juga terpaksa bersikap keras (seperti mencubit atau menjewer telinga, kadang-kadang menampar), oleh sebagian pihak, khususnya orang tua – justru menyalahkan guru karena dianggap ikut melakukan kekerasan. Padahal semua orang paham bahwa dalam kasus-kasus semacam ini, sangat tidak mungkin bagi guru untuk melerai perkelahian dengan hanya berteriak-teriak pakai toa.

Di beberapa sekolah terdapat siswa yang memang mengidap bandel ekstrim, di mana segala pendekatan tidak akan mempan untuk membuat siswa tersebut berubah. Di sebuah sekolah, ketika seorang guru honorer sedang mengajar, ada beberapa siswa yang mengangkat kaki ke atas meja, kaki tersebut tertuju ke arah guru (ada dokumentasinya). Berbagai pendekatan telah digunakan untuk mengingatkan siswa tersebut, tetapi tidak ada perubahan sama sekali. Akhirnya, karena kesal dipukullah kaki siswa tersebut pakai penggaris. Mendapat pukulan, siswa langsung berontak dan melapor kepada orang tua. Keesokan harinya orang tua siswa tersebut justru mengamuk di sekolah.

Akhirnya karena takut terjerat hukum, guru akan membiarkan siswa melakukan apa saja tanpa upaya pencegahan. Demikian pula dengan perilaku sebagian siswa yang kurang adab akan dibiarkan saja. Ketika terjadi tawuran guru juga akan “santai” saja, karena pencegahan akan diartikan sebagai kekerasan, dan kekerasan akan berujung pada penjara. Dan jika kondisi ini benar-benar terjadi, guru pula yang akan “dicaci” karena dianggap tidak becus mendidik siswa menjadi manusia yang berakhlak. Inilah yang saya sebut dilematis. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Serambi Indonesia

loading...

No comments