Politik Labeling

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 13 Maret 2016

Ilustrasi. Sumber Foto: diversityrules.typepad.com

Mungkin tidak bisa dibayangkan bagaimana jadinya hidup ini jika kita tidak mengenal bahasa. Tentunya kita akan sulit melakukan komunikasi dengan orang lain. Untuk bisa melakukan komunikasi, kita membutuhkan bahasa, baik bahasa verbal, isyarat maupun melalui simbol-simbol tertentu. Namun dalam artikel ini, kajian kita fokus pada bahasa verbal, karena tipe bahasa inilah yang banyak digunakan manusia, khususnya di abad modern.

Tentu sangat sulit untuk menghitung jumlah bahasa yang tumbuh dan berkembang sejak masa Adam ‘Alaihissalam sampai saat ini. Setiap benua, negara dan suku memiliki bahasa yang berbeda satu sama lain dengan karakteristiknya masing-masing. Kadang-kadang satu bahasa mampu “berkembang-biak” dan melahirkan beberapa bahasa lain yang berbeda dari “induknya.”

Dengan bahasa kita bisa saling kenal satu sama lain. Dengan bahasa pula kita bisa bertukar informasi. Melalui bahasa kita menyampaikan pesan dan keinginan. Kita mencurahkan perasaan senang, sedih dan gembira juga menggunakan bahasa. Kita dapat memahami perasaan orang lain juga melalui perantaraan bahasa. Dalam konteks yang lebih luas, bahasa juga bisa menjadi alat pemersatu manusia yang berasal dari latar belakang berbeda. 

Tentang pentingnya bahasa, Hamad mengatakan bahwa tidak ada berita, cerita atau pun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Secara lebih tegas, Luckman mengatakan bahwa bahasa merupakan instrument pokok untuk menceritakan realitas. Sementara Marshall Mc Luhan menyebut bahasa sebagai bentuk kesenian manusia yang paling kaya, yang membedakan manusia dengan binatang (Alex Sobur, 2013). Dari penjelasan ini, tentunya dapat dipahami bahwa bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan. Di sisi lain, bahasa tidak hanya menjadi alat pemersatu, tetapi juga bisa menjelma menjadi alat pemecah belah. Bahasa yang dihasilkan oleh lidah manusia bisa menciptakan kedamaian dan sekaligus melahirkan peperangan. Sebagaimana disebut Hobbes bahwa lidah manusia adalah alarm perang dan sekaligus terompet provokasi (Madung, 2013).

Bahasa dan Politik

Dalam dunia politik, bahasa juga memiliki peran penting dalam mempengaruhi publik guna meraih tujuan politik tertentu. Sebagaimana disebut oleh Nimmo (2005) dalam Political Communication and Public Opinion in America, bahwa orang menggunakan bahasa untuk meraih status dan otoritas. Kita menyaksikan sendiri bahwa dalam meraih simpati publik, para politisi menggunakan bahasa dalam kampanye-kampanye politik mereka. Para orator ulung seperti Soekarno di Indonesia dan Teungku Mohammad Dawud Beureu-eh di Aceh juga menggunakan bahasa dalam menarik hati rakyat.

Dalam kondisi tertentu, bahasa menjadi penentu sukses tidaknya seorang politisi dalam menjalankan aktivitas politiknya. Janji-janji politik selalu saja disampaikan melalui instrumen bahasa. Dalam suasana politik yang demokratis, politisi menggunakan bahasa yang berisi argumen-argumen logis untuk meyakinkan publik bahwa mereka layak dipilih. Sebaliknya, dalam suasana politik yang tidak normal, di mana politisi-politisi tidak bermoral banyak berhamburan, bahasa tidak hanya menjadi alat untuk menyampaikan pesan-pesan politik, tetapi lebih dari itu bahasa menjadi alat untuk mengancam dan menakut-nakuti rakyat – yang karena ketakutan rakyat akhirnya mereka sukses menuju tampuk kekuasaan.

Baik tidaknya penggunaan bahasa oleh politisi dalam kampanye politik sangat tergantung bagaimana mereka memandang politik. Jika politik dipandang hanya sebatas instrumen untuk memperoleh kekuasaan duniawi tanpa mengindahkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai relegius, maka mereka akan cenderung menggunakan bahasa yang dapat merendahkan orang lain dan menonjolkan kelompok sendiri dengan karakter ananiyah (akulah segalanya).

Jika ini mereka lakukan, maka praktik politik mereka tidak jauh dari “ajaran” Machiavelli. Menurut Machiavelli sebagaimana dikutip Mikhael Dua dalam Madung (2013), politik tidak lebih dari seni tipu daya sebagai kunci mendapatkan hasil, di mana kecerdasan menjadi keutamaan politik. Selain itu, dalam pandangan Machiavelli, politik menjadi netral terhadap agama dan norma-norma moral. Dalam praktik politik semacam ini, nilai agama dan moral tidak lagi menjadi rambu-rambu, sehingga mereka bebas melakukan apapun tanpa harus takut kepada aturan negara, apalagi aturan Tuhan. 

Labeling 

Dalam dunia politik, bahasa juga sering digunakan untuk memberi label kepada orang lain, baik label positif maupun negatif. Label-label tersebut dimaksudkan untuk mempengaruhi publik. Dalam kajian komunikasi politik dikenal istilah labeling. Menurut Nimmo (2005), Labeling adalah penerapan kata-kata ofensif kepada individu, kelompok atau kegiatan. Nimmo memberi contoh tentang penyebutan “parasit”, “binatang pengganggu” dan “baksil” terhadap Yahudi di Jerman oleh Nazi. Dalam dunia politik, labeling ini dimaksudkan sebagai bentuk penghinaan dan pelecehan terhadap komunitas politik tertentu. Dengan adanya labeling ini diharapkan rakyat akan memusuhi mereka (pihak yang dilabel) sehingga pemberi label akan menuju kekuasaan tanpa halangan.

Di Indonesia politik labeling ini sering digunakan pada masa-masa revolusi, di mana waktu itu rakyat dipengaruhi dengan kata-kata “kontra revolusi”, “antek-antek asing” dan sejenisnya. Di era reformasi politik labeling tanpa dasar juga sering digunakan kepada aktivis-aktivis Islam seperti sebutan “teroris”, “radikal” dan “intoleran”. Sebagian masyarakat tentunya akan terpengaruh dengan labeling ini sehingga mereka juga akan ikut memusuhi golongan tertentu tanpa mereka ketahui sebab musababnya.

Dalam konteks Aceh, politik labeling yang dilancarkan dengan menggunakan bahasa politik juga lumayan marak. Kita tentu masih ingat, pada masa konflik Aceh banyak beredar istilah-istilah seperti “cu’ak” (informan), “si pa-i” (orang-orang yang pro pemerintah), padahal dalam kenyataannya label tersebut tidak semuanya terbukti. Pasca konflik, politik labeling ini juga masih diperankan dengan sangat baik.

Dalam beberapa prosesi pemilu di Aceh, baik Pileg maupun Pilkada, mulai dari 2006 sampai dengan 2014, kita menyaksikan dan mendengar sendiri bagaimana berhamburannya label yang disematkan kepada lawan-lawan politik, mulai dari “pengkhianat”, “awak lhab darah”, “awak pueblo bangsa” dan sederetan label lainnya yang akan menghabiskan banyak kertas jika ditulis semuanya. Label awak gop yang dilekatkan oleh awak droe terhadap lawan-lawan politik di Aceh telah berhasil mengantarkan pelakunya ke puncak kekuasaan.

Tidak hanya di musim pemilu, Politik labeling juga sering diterapkan oleh pemerintah untuk mempertahankan status quo. Untuk melanggengkan kekuasaan, terkadang pihak penguasa tidak segan-segan melabel rakyat sebagai perusak damai atau pun pengganggu stabilitas hanya karena mereka melemparkan kritik terhadap pemerintah. Dalam kondisi tertentu, diamnya sebagian rakyat terhadap perilaku koruptif penguasa juga disebabkan oleh praktik politik labeling.

Politik labeling adalah cara paling ampuh untuk meredam perlawanan dan membungkam mulut rakyat sehingga mereka patuh secara membuta kepada penguasa. Ketika rakyat telah patuh, maka penguasa bebas melakukan apapun sesuai kehendak hatinya. Akhirnya rakyat hanya bisa gigit jari dan menangis tersedu di kejauhan. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Tabloid Pikiran Merdeka 

loading...

1 comment:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    ReplyDelete