Politik Burȏng Boh Leuping

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 11 Maret 2016 

Ilustrasi. Sumber Foto: www.geishabar.com

Saya dan anda pasti pernah merasakan masa kecil, masa di mana kita hidup tanpa beban. Kerja kita cuma makan, bernyanyi dan berlari-lari. Jika terjadi masalah, tinggal lapor ayah ibu. Ini adalah kondisi umum, meskipun ada sebagian saudara kita yang merasakan pengalaman berbeda.

Pada masa kecil ini pula berbagai mitos, dongeng dan aneka khurafat “ditanamkan” oleh orang-orang di sekitar kita. Di antara mitos itu adalah tentang burȏng boh leuping yang saat itu menjadi salah satu senjata paling ampuh untuk menakuti anak kecil. Namun dalam prakteknya, tidak hanya anak kecil, tapi mitos ini juga berhasil menakuti orang besar. Di Aceh, ada banyak cerita mistis yang berguna membuat anak berhenti menangis. Selain burong boh leuping, ada pula burong tujoeh dan hantu blau. Dan dua lagi yang lumayan menakutkan adalah ma’op dan geunteut.

Untuk kali ini, kita hanya akan mengupas tentang burȏng boh leuping, sedangkan aneka burȏng yang lain akan dibahas pada waktunya. Dalam Kamus Bahasa Aceh-Indonesia, kata burȏng diterjemahkan sebagai hantu dalam bentuk wanita (Aboe Bakar dkk, 1985: 109). Adapun Boh leuping adalah kelapa tua yang jatuh karena dimakan tupai (561). Di sebagian daerah di Aceh, boh leuping terkadang juga disebut boh keuteupong (421). Jika kata burȏng disanding dengan boh leuping jadilah ia hantu wanita dalam kelapa tua. Ini dari segi etimologis. Adapun secara terminologis, burȏng boh leuping sering dipahami sebagai hantu yang berwujud boh leuping. Menurut versi cerita yang saya dengar sewaktu kecil, tidak ada penyebutan jenis kelamin, apakah burȏng boh leuping tersebut wanita atau laki-laki.

Cerita burȏng boh leuping adalah cerita paling angker yang membuat orang-orang takut berjalan sendiri di malam hari, khususnya malam Jumat. Menurut riwayat, jika bertemu dengan burȏng boh leuping kita diminta untuk terus berjalan. Kita dilarang keras untuk menyepak atau pun menendang burȏng boh leuping tersebut. Menurut ahli riwayat, burȏng boh leuping itu berwarna merah dan berbentuk seperti bola api. Jika dibiarkan, dia tidak akan mengganggu, bahkan bisa menjadi tontonan menarik, karena bola api itu bisa meloncat sendiri. Jika kita memaksakan menendang burȏng boh leuping tersebut maka dia akan hancur seperti percikan api, kemudian dia bersatu dan bulat kembali seperti boh leuping. Pada saat itulah dia akan mengejar kita. Begitulah riwayat yang berkembang. Di zaman modern seperti sekarang ini, sebagian masyarakat Aceh masih percaya bahwa mitos burȏng boh leuping itu memang benar-benar ada.

Burȏng Boh Leuping dalam Politik

Kisah burȏng boh leuping sebagaimana telah diurai di atas, meskipun hanya berupa mitos (setidaknya menurut keyakinan saya), namun setidaknya kisah itu telah memberi inspirasi bagi sebagian penulis untuk meramu berbagai cerita bernuansa horor yang memang sangat diminati oleh masyarakat kita. Dalam kaitannya dengan dunia politik, perilaku burȏng boh leuping ini juga tercermin dalam sikap politik sebagian mayarakat di Aceh.

Dalam beberapa artikel tentang politik lokal di Aceh, para penulis cenderung melemparkan kritikan kepada politisi. Ada keyakinan bahwa politisilah yang membuat masyarakat menderita. Politisi mengumbar sejumlah janji yang kemudian diingkari sehingga rakyat harus gigit jari. Tersebab itu, kritikan banyak ditujukan kepada politisi yang sebagiannya memang doyan menipu. Dalam berbagai tulisan, politisi diposisikan sebagai “penjahat”, sedangkan rakyat sebagai “aneuk muda.” Memang tidak ada yang salah, tapi sesekali kita juga harus “mendidik” rakyat melalui kritik, agar mereka punya prinsip sehingga tidak mudah dihipnotis oleh janji-janji manis politisi.

Tulisan ini mungkin kurang populis karena mencoba mengkritik rakyat. Dalam praktik politik sekarang ini, rakyat selalu saja menjadi bulan-bulanan dari politisi. Lihat saja ketika pemilu, baik Pileg maupun Pilkada, rakyat “dipaksa” menjadi sahabat politisi guna mengantar mereka ke tampuk kekuasaan. Tetapi setelah prosesi pemilu selesai, rakyat pun ditinggalkan begitu saja. Tapi anehnya rakyat kita ramai yang batat (bandel).

Pada saat mendekati pemilu, setelah dirayu dengan berbagai jurus, rakyat pun memilih si politisi. Setelah pemilu berakhir, si politisi pun hilang entah kemana. Akhirnya rakyat kita pun merasa kesal karena tidak satu pun janji kampanye dipenuhi oleh si politisi yang sudah dipilihnya. Kemudian si rakyat bertekad bahwa dalam pemilu selanjutnya dia tidak akan memilih lagi si politisi yang telah menipunya. Namun pada kenyataannya, pada pemilu berikutnya, si rakyat justru memilih kembali si politisi penipu dengan alasan sige teuk (sekali lagi). Sama seperti sebelumnya, setelah terpilih, si politisi kembali mengingkari janjinya. Untuk kedua kalinya, si rakyat kembali marah-marah dan bersumpah tidak akan memilih lagi si politisi yang sudah dua kali menipunya. Tapi anehnya, ketika musim pemilu datang, si rakyat kembali terlena dan akhirnya kembali mencoblos si politisi penipu. Dan uniknya, kejadian ini terus terulang, entah disengaja atau tidak.

Jika dicermati, perilaku yang dilakukan oleh sebagian rakyat kita persis akai burȏng boh leuping, ketika disepak dia hancur, tapi tidak lama kemudian dia bersatu kembali. Kemudian ditendang lagi ia kembali pecah seperti percikan api, tapi setelah itu kembali menjadi boh leuping. Berapa kali pun ditendang burȏng boh leuping akan terus melakukan hal yang sama. Demikian pula rakyat kita, terus saja melakukan kesalahan yang sama di musim pemilu, tapi pasca pemilu selalu saja marah-marah. Hal inilah yang membuat para politisi semakin tergoda untuk menipu rakyat. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AceHTrend
loading...

No comments