Mari Buat “Bom” di Kedai Kopi!

Oleh: Khairil Miswar 

Banda Aceh, 23 Maret 2016

Ilustrasi. Sumber Foto: news.liputan6.com
“Di dunia ini hanya di Aceh yang 80 persen generasi muda menghabiskan waktu di warung kopi siang dan malam. Ini musibah yang lebih besar dari bom atom di Jepang.”

Kutipan di atas adalah potongan komentar guru saya, Profesor Farid Wajdi, Rektor UIN Ar-Raniry di surat kabar Serambi Indonesia (22/03/16). Pasca terbitnya komentar tersebut – seperti biasa – dengan menggunakan pisau analisis yang berbeda para pengguna media sosial pun terlibat dalam pro kontra. Ada sebagian kalangan yang mendukung komentar tersebut dengan berbagai argument yang terkadang irrasional tapi dipaksa menjadi rasional. Sementara pihak yang kontra juga tidak tinggal diam, dengan berbagai gaya mereka menggunakan kesempatan tersebut untuk melempar kritikan balik kepada sang Rektor. Di luar itu, ada pula sebagian kecil yang berusaha netral dengan cara menakwilkan statemen Pak Rektor dengan berbagai “ilmu alat” yang dimilikinya sehingga si penafsir pun berada di arena abu-abu alias tidak jelas “kakinya” berada di mana.

Sebagai salah seorang generasi kedai kopi, tentunya saya juga punyak hak untuk mengomentari pernyataan pak Rektor. Dari satu sisi, pernyataan Prof Farid tentunya bernilai positif, di mana beliau mengajak generasi muda untuk tidak lalai. Dalam hal ini, “kedai kopi” yang beliau maksud bisa ditakwilkan sebagai sebuah bentuk kelalaian. Artinya, duduk di kedai kopi sama dengan lalai, malas, tidak kreatif dan sebagainya. Artinya, kedai kopi yang dipahami oleh Prof Farid bersifat negatif. Dari sudut pandang ini, pernyataan Prof Farid bisa dibenarkan dalam tanda kutip. Artinya beliau berharap agar generasi muda tidak lalai dan bermalas-malasan.

Namun demikian di sisi lain, dalam statemen tersebut Prof Farid menggunakan perumpamaan yang sudah “kadaluarsa.” Kedai kopi pasca tsunami tentu berbeda dengan kedai kopi tahun 90-an, di mana pada waktu itu kedai kopi mirip “bioskop kecil”, tempat berkumpulnya orang-orang untuk nonton film-film terbaru atau pun nonton bola (kaki). Pasca tsunami, kedai kopi telah berevolusi sehingga menjadi multi fungsi, tidak hanya sekedar tempat nonton. Dengan adanya berbagai fasilitas seperti internet (wifi) dan ruang rapat, kedai kopi telah menjadi sarana untuk menembus dunia. Banyak ide-ide kreatif yang muncul di kedai kopi – bahkan ada satu slogan menarik entah siapa penemunya - jep kupi nak bek pungo (minum kopi agar tidak gila).

Jika diteliti dengan cermat hampir dapat disimpulkan bahwa banyak hal positif yang lahir di kedai kopi. Tentang fungsi kedai kopi pasca tsunami, mungkin uraian dalam tulisan Muhajir Juli sudah cukup detil. Singkatnya, orang-orang yang duduk di kedai kopi adalah orang-orang yang kreatif dan bahkan cerdas. Namun di sebalik itu ada pula segelintir aneuk manyak (anak kecil) – dengan fasilitas wifi – yang mungkin melakukan hal-hal negatif semisal judi online atau pun nonton video “si Unyil” di kedai kopi. Tapi hal ini tidak menjadi dalil untuk menyebut generasi kedai kopi sebagai musibah layaknya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Ini analogi yang tidak tepat.

Istilah bom atom Jepang yang digunakan oleh Prof Farid dalam statemennya adalah tidak pada tempatnya. Justru – seperti diurai oleh banyak penulis – Jepang bangkit dan menjadi bangsa maju bermula pasca bom atom. Artinya kehancuran jepang akibat bom atom hanya sementara saja, di mana kemudian mereka bangkit dan maju. Berdasarkan pengalaman ini, jika memang kedai kopi diibaratkan sebagai bom atom, maka saya mengajak siapa pun untuk beramai-ramai membuat “bom atom” di kedai kopi, agar kita bisa maju seperti Jepang. Mari mengaji di kedai kopi, mari membaca di kedai kopi, mari dikusi di kedai kopi, mari menulis di kedai kopi, mari kita ledakkan “bom atom” di kedai kopi agar kebodohan itu hancur berkeping-keping. Yang penting jangan melakukan rapat tikus di kedai kopi untuk menguras uang rakyat, ini adalah bom hydrogen – bahayanya melebihi bom atom.

Terakhir, dalam statemennya Prof Farid menyatakan bahwa 80 persen generasi muda menghabiskan waktu di kedai kopi. Terkait angka ini saya menilai pernyataan tersebut sangat “tidak akademis”, apalagi pak Prof tidak mencantumkan nama lembaga survei yang melahirkan angka tersebut. Tentunya akan lebih baik jika penyebutan angka atau pun persentase disertai dengan data yang lengkap sehingga publik tidak terkejut dan terheran-heran. Artinya dalam persoalan angka kita “dilarang” main tebak-tebakan. Namun demikian, seperti diulas di atas, selama kedai kopi digunakan dalam hal positif, jangankan 80 persen, angka 100 persen pun masih kurang. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di AcehTrend
loading...

No comments