“Senandung Jampoek”

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 08 Januari 2016

Ilustrasi. Sumber: www.kembangpete.com
Dalam keterangannya di media, Zaini Abdullah alias Abo Doto menegaskan bahwa beliau akan kembali mencalonkan diri sebagai cagub pada 2017 mendatang. Dengan adanya pernyataan tersebut telah mempertegas keingian Abu Doto untuk kembali “berkuasa” – yang awalnya dianggap hanya sebagai kabar angin, sekarang berubah menjadi kabar betul. Menurut pengakuannya kepada media (Serambi Indonesia), banyak kalangan yang meminta beliau (Abu Doto) untuk kembali maju guna meneruskan program-program yang sudah digagas dalam kepemipinannya selama ini. Kononnya, akibat dorongan inilah Abu Doto memutuskan untuk maju kembali. Benar tidaknya pengakuan ini wallahu a’lam, kita tidak tahu karena kita tidak ikut beliau turun ke daerah, dan beliau tidak pula memperdengarkan rekamannya kepada kita. Tapi kita berhusnu dhan sajalah.

Menariknya, keputusan Abu Doto untuk maju kembali sebagai cagub, mendapat respon dan komentar dari kandidat lainnya. Kalau menurut sahabat saya Bung Alkaf, komentar yang cerdas cuma datang dari Irwandi yang menurut Alkaf paling lugas dan mantap, sedang yang lain, kata Alkaf, agak meukabom meunan (sulit dicari padanan kata untuk diterjemahkan). Kita ambil contoh komentar dari Zakaria Saman yang dikenal dengan sebutan Apa Karya. Menurut Apa Karya, kalau dirinya (Zakaria Saman) tidak terpilih tidak ada masalah, tapi kalau Abu Doto tidak terpilih sangat disayangkan, karena Abu Doto adalah orang tua kita (SI). Namun, kita sulit menafsirkan, makna “orang tua” yang dimaksud oleh Apa Karya. Apakah tua umurnya, pengalamannya, atau tua dalam Partai Aceh? Kalau yang dimaksud tua dalam PA, maka sama saja dengan Apa Karya yang juga telah dipeutuha selama ini. Sama-sama disayangkan apabila nantinya tidak terpilih. 

Serambi Indonesia juga memuat komentar dari Muzakkir Manaf yang mewanti-wanti Abu Doto agar tidak menjelek-jelekkan cagub lain dalam mencari simpati rakyat (SI). Membaca statemen ini, kita semua tentunya harus bergembira hati dan mengangkat “tabik” kepada Muallem. Ini adalah kabar baik. Kita berharap dalam pilkada mendatang tidak ada lagi yang mengancam akan mengusir orang di Aceh, tidak ada lagi cap pengkhianat untuk lawan politik, tidak ada lagi “peribahasa” awak pueblo bangsa, lhab darah, dll terhadap orang-orang yang berseberangan pandangan politik dengan kita. Sekali lagi “tabik!”

Komentar menarik lainnya muncul dari Irwandi Yusuf yang menyebut bahwa ada fenomena lucu antara dua pilgub di Aceh, di mana pada tahun 2012 mereka (PA) mengharamkan jalur independen (SI). Setelah membaca komentar Irwandi, saya justru menilai Irwandi juga lucu, karena pada saat dilakukan Judicial Review pasal 256 UUPA pada tahun 2011, Irwandi juga tidak memberikan dukungan kepada para “penggugat” pasal tersebut. Atas dasar ini, saya terpaksa tidak sepakat dengan pendapat Alkaf di statusnya facebooknya yang menyebut komentar Irwandi paling lugas dan mantap. 

Ketika itu, Mukhlis Mukhtar SH sebagaimana dicatat oleh Harian Aceh (18/04/11) mengatakan bahwa Irwandi Yusuf tidak layak dan pantas maju melalui jalur independen Aceh disebabkan sejak awal Irwandi tidak mendukung proses Judicial Review pasal 256 UUPA. Menurut Mukhlis Mukhtar, dari aspek proses, Irwandi tidak pantas menggunakan jalur independen pada Pemilukada 2011. Kalau dipaksakan, berarti jalur independen sekarang telah dibajak oleh monster politik oportunis yang haus kekuasaan, demikian kata Mukhlis Mukhtar kepada Harian Aceh kala itu.

Setelah mencermati dan menyimak ragam senandung para politisi kita, sekarang terserah kita untuk memberi penilaian. Bagi saya, itu hanya senandung jampok yang hanya mampu melihat kelemahan orang lain dan selalu memposisikan diri sendiri pada derajat tinggi. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di AcehTrend
loading...

No comments