Saudi Vs Iran; Bagaimana Sikap Kita?

Oleh: Khairil Miswar 

Bireuen, 15 Januari 2016

Ilustrasi. Sumber foto: www.youtube.com
Pemerintah Arab Saudi beberapa waktu lalu dikabarkan telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Pemerintah Republik Islam Iran. Aksi pemutusan hubungan ini dilakukan oleh Saudi setelah terjadinya penyerbuan terhadap Kedutaan Saudi di Teheran pada Minggu (3/1/2016). Republika mengabarkan bahwa masyarakat Iran melakukan unjuk rasa menyerbu Kedutaan Besar Arab Saudi di Teheran dengan menghancurkan barang-barang di kantor tersebut.

Sikap Saudi yang memutuskan hubungan diplomatik degan Iran kemudian diikuti oleh beberapa negara seperti Bahrain dan Sudan. Sementara Uni Emirat Arab dikabarkan telah menurunkan status hubungannya dengan Iran dengan membatasi jumlah diplomat Iran di negara tersebut. Djibouti yang merupakan salah satu negara kecil dari Afrika juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Kemudian Somalia dan Komoros menurut beberapa riwayat juga turut memutuskan hubungan diplomasi mereka dengan Iran. Sementara Kuwait disebut-sebut juga telah memanggil pulang duta besarnya di Iran.

Media mengabarkan bahwa Iran telah menunjukkan reaksi berlebihan dalam menanggapi hukuman mati tokoh Syiah Ali Muhammad Al-Nimr oleh pemerintahan Arab Saudi yang kabarnya terkait dengan aksi terorisme. Seperti dilansir bbc.com, Pemimpin Agung Iran Ayatullah Khamenei mengunggah foto yang mengisyaratkan bahwa eksekusi tersebut dapat disamakan dengan tindakan kelompok ISIS. Sementara Korps Garda Revolusi Iran sebagaimana diriwayatkan oleh republika.co. id mengatakan bahwa balas dendam keras akan dilancarkan atas eksekusi ulama Syiah. 

Menanggapi sikap Iran tersebut, wartawan dan analis politik Arab, Sharif Nashashibi sebagaimana dikutip hidayatullah.com menyebut bahwa Iran telah bersikap hiprokrit. Menurut Sharif, jumlah orang yang dieksekusi Arab Saudi tidak sebanding dengan jumlah orang yang dieksekusi oleh Pemerintah Iran. Arab Saudi mengeksekusi 158 orang di tahun 2015 yang merupakan rekor tertinggi dalam setahun sejak 1995. Masih menurut Sharif yang mengutip laporan Amnesty Internasional mengatakan bahwa pada bulan Juli, sepanjang 2015 Iran justru telah mengeksekusi lebih dari 1.000 orang. Lantas kenapa Iran dengan “gagahnya” mengkritik Saudi terkait eksekusi Al-Nimr? Saya rasa tidaklah berlebihan jika kita menyebut bahwa Iran bersikap ambigu. 

Saudi Sombong?

Dalam tulisannya yang dimuat Harian Waspada (08/01/16) halaman A9, saudari saya Nurhayati Baheramsyah (NB) menulis:
“Pemutusan hubungan diplomatik yang dilakukan Arab Saudi terhadap Iran menunjukkan kesombongan dan kegalauan negara kerajaan itu…Arab Saudi tidak mencari solusi terbaik dari masalahnya dengan Iran. Tapi malah memutuskan hubungan silaturrahim dengan tetangga dan saudaranya sendiri”.
Saya menilai klaim yang dilakukan oleh saudari NB dalam tulisannya tersebut tidak memiliki alasan yang kuat dan terkesan tidak objektif. Ketidakobjektifan ini terlihat dari pernyataan NB yang seolah menutup mata terhadap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan tersebut. Dalam hal ini saya menilai klaim NB terlalu tendensius dan jauh dari tradisi ilmiah karena tidak melihat akar persoalan secara komprehensif.

NB juga membandingkan hubungan Saudi dengan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya yang menurut NB sangat mesra, tapi dengan tetangganya Iran tidak bisa rukun. Lagi-lagi NB telah membuat kesimpulan yang keliru. Bukankah dalam hal hubungan dengan Eropa, Pemerintah Iran juga begitu “mesra” dengan Rusia? Penting pula diingat bahwa sebelum Revolusi 1979, Iran dan Amerika juga pernah bersekutu. Di luar itu, Indonesia juga memiliki “hubungan mesra” dengan Eropa dan Amerika? Sedangkan di saat yang sama, Indonesia juga pernah beberapa kali bersitegang dengan Malaysia yang notabene adalah tetangganya. Lantas patutkah kita menyebut Indonesia tidak rukun dengan tetangga? 

Anehnya lagi, dalam tulisannya tersebut NB juga memaparkan sebab-sebab terjadinya ketegangan antara Saudi dan Iran. Hal ini menandakan bahwa NB sebenarnya memahami akar konflik kedua negara tersebut, sehingga menjadi aneh ketika secara tergesa-gesa NB memojokkan Saudi dan memposisikan Iran sebagai “yang tak pernah salah”. Menurut saya, NB telah melakukan penghakiman yang tidak adil dan cenderung subjektif dengan menafikan fakta-fakta yang ada. 

Selanjutnya NB menulis:
“Saudi selama ini seolah-olah menciptakan dirinya menjadi motor penggerak untuk menahan lajunya pengaruh Iran dan berkembangnya paham Syiah di Timur Tengah.”
Saya melihat pernyataan ini justru kontradiktif dan terlalu dipaksakan. Perseteruan Saudi dan Iran bukanlah fenomena baru, tapi sudah berlangsung sejak lama. Saya sepakat saja jika NB menyebut bahwa Saudi telah melakukan berbagai upaya untuk menahan laju pengaruh Iran di Timur Tengah. Tapi bukankah Iran juga melakukan hal yang sama dengan maksud merebut pengaruh itu dari tangan Saudi? Seolah-olah NB ingin mengatakan bahwa Iran boleh melebarkan pengaruhnya di Timur Tengah, sedangkan Saudi tidak boleh. Apakah ini tidak kontradiktif? 

NB melanjutkan:
“Sekarang pengaruh Iran semakin besar di Timur Tengah seperti di Lebanon, Syria, Yaman, Bahrain dan beberapa kelompok Palestina. Berkembangnya pengaruh ini bisa saja karena efek psikologi umat Islam yang menilai pemimpin negara-negara mayoritas Sunni seperti Arab Saudi, negara-negara Teluk dan Mesir terlalu akrab dengan AS dan Barat untuk mempertahankan kekuasaan mereka.” 
Dalam pernyataan ini, secara tidak langsung NB telah mempertentangkan persoalan teologis yang pada prinsipnya tidak memiliki relevansi terkait baik buruknya sebuah negara. Secara tidak sadar, NB ingin mengatakan bahwa kepemimpinan Sunni telah melakukan berbagai cara untuk mempertahankan kekuasaanya dan secara tidak langsung kepemimpinan ideal (sesuai dengan Islam) menurut NB hanya ada pada pemimpin-pemimpin negara berhaluan teologis Syi’ah. Menurut saya, ini adalah konsklusi yang keliru dan bertentangan dengan fakta-fakta historis.

Tidakkah kita melihat bahwa Syi’ah telah melakukan berbagai kejahatan dalam sejarah Islam di masa lalu. Bukankah aksi demonstrasi terhadap Khalifah Ar-Rasyid Sayyidina Usman bin Affan Radhiallahu 'anhu yang berakhir dengan syahidnya beliau dimotori oleh Syi’ah? Bukankah syahidnya Sayyidina Husein Radhiallahu 'anhu di Karbala yang oleh Syi’ah dianggap sebagai Imam juga disebabkan oleh aksi provokasi dan tipuan dari Syi’ah? Demikian juga dalam sejarah Syi’ah di abad modern juga tidak terlepas dari catatan hitam. Bahkan Revolusi Iran tahun 1979 juga tidak terbebas dari noda memalukan. Alan Woods (dalam Zayar, 2002) menyebut bahwa revolusi 1979 adalah revolusi proletar yang dikhianati oleh para pemimpinnya, di mana para Mullah Syi’ah telah merampas kekuasaan dengan mengisi kekosongan kekuasaan. Ini hanya sekedar contoh untuk membuktikan bahwa Syi’ah tidak lebih baik dari Sunni dalam hal kepemimpinan politik.

Dalam tulisan ini, saya tidak dalam posisi membela Saudi secara membabi buta, tetapi mengajak kita semua untuk melihat sebuah fenomena secara objektif dengan meninggalkan paradigma tendensius dalam membuat satu kesimpulan atas tragedi-tragedi politik yang terjadi di Timur Tengah. Sebagai seorang “ilmuan” kita dituntut untuk bersikap adil dalam menilai konflik yang saat ini mengguncang Timur Tengah. Persoalan Timur Tengah adalah persoalan yang kompleks dan tidak hanya dilatari oleh persoalan teologi Sunni versus Syi’ah.

Di luar itu, tindakan Saudi yang melakukan eksekusi terhadap An-Nimr harus dilihat sebagai bentuk kedaulatan hukum Saudi yang bebas dari intervensi asing. Hal serupa pernah terjadi di negara kita beberapa waktu lalu di mana Myuran Sukumaran dan Andrew Chan yang tergabung dalam jaringan narkotika Bali Nine divonis mati oleh pemerintah Indonesia. Saat itu, Tony Abbott selaku PM Australia mengkritik keras vonis mati tersebut, tetapi toh Pemerintah Indonesia tetap saja mengeksekusi mereka. Lantas pantaskah kita menyebut Indonesia sombong? Tentu tidak.

Namun demikian, di akhir tulisan ini saya memberikan apresiasi kepada saudari NB yang telah melemparkan wacana menarik untuk didiskusikan. Perbedaan pandangan adalah hal biasa asalkan saja diiringi oleh bukti-bukti ilmiah, dan bukan hanya sekedar klaim. Untuk menutup tulisan ini, izinkan saya mengutip pernyataan Hamka dalam bukunya Tasauf Modern: “Berlainan pendapat karena berlainan pengetahuan, pendidikan dan berlainan pula bumi tempat tegak”. Wallahu A’lam.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

1 comment: