Kembalinya Din Minimi

Oleh: Khairil Miswar 

Banda Aceh, 02 Januari 2016

Din Minimi
Sumber Foto: www.acehterkini.com
“Kelompok Din Minimi Turun Gunung”, demikianlah judul berita di halaman muka Harian Waspada Medan edisi 30 Desember 2015. Sebelumnya, artikel tentang Din Minimi juga pernah saya tulis di media ini (Harian Waspada) pada 5 Juni 2015 dengan tajuk “Si Pitung dan Din Minimi”. Kabar terkait menyerahnya Din Minimi pada 28 Desember 2015 lalu berhembus dengan cepat via media online. Bahkan pemberitaan tersebut menjadi topik hangat di media sosial. Din Minimi dan anggota kelompoknya, dijemput langsung oleh Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Letjen TNI (Purn) Sutiyoso. Selain itu, Juha Christensen yang merupakan mantan penasihat politik Ketua Aceh Monitoring Mission (AMM) yang juga pernah aktif di Crisis Management Initiative (CMI) Finlandia dan Interpeace juga turut hadir dalam penjemputan itu (waspada.co.id). Kelompok Din Minimi juga menyerahkan 15 pucuk senjata api (senpi) yang terdiri dari 13 pucuk AK-47, sepucuk jenis SS1 dan sepucuk pistol FN bersama tabung pelontar dan amunisi.

Aksi turun gunung yang dilakukan oleh Din Minimi telah memunculkan berbagai spekulasi dari publik. Ragam komentar pun bermunculan di media sosial. Sebagian pihak mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Din Minimi, ada juga pihak yang terheran-heran dengan keputusan Din Minimi untuk turun gunung. Bahkan ada sebagian kecil komentator di media sosial yang “mencibir” tindakan Din Minimi tersebut dengan menyebutnya sebagai “pecundang”. Selain itu, Aryos Nivada (pengamat politik dan keamanan di Aceh) sebagaimana dilansir viva.co.id justru menilai adanya kejanggalan dalam proses menyerahnya Din Minimi.

Pasca turun gunung, kelompok Din Minimi juga dikabarkan mendapat amnesti (pengampungan) dari pemerintah. Artinya mereka tidak akan diproses secara hukum meskipun mereka selama ini terlibat dalam tindak pidana. Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso dalam konferensi pers di Hotel Lido Graha Lhokseumawe (tribunnews.com, 30/12/15). Sayangnya rencana pemberian amnesti terhadap kelompok Din Minimi mendapat kritik dari beberapa pihak, di antaranya anggota Komisi I DPR RI, Effendi Simbolon yang menyebut bahwa pemberian amnesti tersebut dikhawatirkan justru menyuburkan praktik separatisme di daerah (aceh.tribunnews.com, 30/12/15). Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti juga menyatakan bahwa penyerahan diri Kelompok Din Minimi tidak membebaskan mereka dari proses hukum (nasional.republika.co.id, 29/12/15). Lebih unik lagi, Kapolda Aceh juga masih menganggap kelompok Din Minimi sebagai DPO. Kesimpulannya, aksi turun gunung yang dilakukan oleh Din Minimi telah melahirkan “khilafiyah” antar lembaga negara, dalam hal ini Kepolisian dan BIN.

Beberapa Pertanyaan

Aksi turun gunung Din Minimi beberapa hari lalu memang telah mengundang banyak pertanyaan dari publik, mulai dari motif sampai dengan proses yang terkesan tiba-tiba. Padahal, sebelumnya Din Minimi telah menyatakan bahwa dia akan terus berjuang di hutan sampai tuntutannya terpenuhi, tapi tiba-tiba saja dia memutuskan untuk turun gunung menjelang akhir tahun 2015. Semenjak kemunculannya setahun lalu, berbagai tindakan kriminal dan bahkan pembunuhan dua orang anggota TNI di Nisam juga disangkakan kepada kelompok mereka, meskipun Din Minimi sendiri membantah sangkaan tersebut. Namun kononnya pihak Kepolisian sudah memiliki bukti-bukti atas berbagai tuduhan yang dialamatkan kepada Din Minimi.

Sementara itu, jika dicermati, dalam menjalankan “perjuanganya”, Din Minimi tidak sekali pun mengangkat isu untuk melawan negara atau pun ingin memisahkan diri dari NKRI. Dalam berbagai keterangannya, Din Minimi juga mengulang-ulang statemen yang sama bahwa mereka tidak bermusuhan dengan TNI-Polri. Sasaran mereka hanyalah Pemerintah Aceh yang menurut Din Minimi belum mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat Aceh, khususnya anak yatim dan janda korban konflik. Mungkin faktor inilah yang mendorong Sutiyoso untuk mengusulkan amnesti kepada kelompok tersebut di samping faktor-faktor politis lainnya. Namun demikian, masih tersisa pertanyaan besar, apa yang mendorong Sutiyoso untuk terjun langsung ke lapangan dan menemui Din Minimi untuk kemudian melakukan negosiasi agar Din Minimi turun gunung? Padahal Din Minimi hanyalah kelompok kecil, dan gerakan mereka juga tidak berdampak pada terganggunya keamanan Aceh secara umum. Lagi pula, secara geografis, keberadaan kelompok tersebut hanya terkonsentrasi di beberapa tempat saja. Dan kenapa baru sekarang BIN melakukan negosiasi? Kenapa tidak dari dulu ketika kelompok itu baru muncul sehingga tidak ada nyawa yang dikorbankan? 

Pertanyaan lainnya, apa yang menyebabkan Din Minimi bersedia meletakkan senjata, padahal selama melakukan “perjuangan” beberapa anggotanya sudah tertangkap dan bahkan ada yang “gugur”? Jaminan apa yang diberikan oleh Sutiyoso sehingga Din Minimi tersentuh hatinya dan kemudian mengakhiri “perjuangan”? Apabila dalam perkembangan selanjutnya tuntutan dari Din Minimi tidak terpenuhi dengan baik, apakah dia akan naik gunung lagi? Apa pula yang akan terjadi jika pihak Kepolisian memaksakan diri untuk menangkap Din Minimi karena dianggap masih DPO? Apabila amnesti benar-benar diberikan kepada kelompok tersebut, maka proses penegakan hukum dengan sendirinya akan berhenti, lantas bagaimana caranya membuktikan pernyataan Din Minimi bahwa mereka tidak terlibat aksi kejahatan selama ini? Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya yang membutuhkan jawaban sehingga aksi turun gunung Din Minimi tidak lagi menjadi “misteri”.

Harus Disambut Positif

Namun lepas dari semua itu, aksi turun gunung Din Minimi patut diapresiasi oleh semua pihak, meskipun ada segudang pertanyaan yang belum terjawab. Sebagai masyarakat yang cinta damai, kita juga mesti memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kepala BIN yang telah “sukses” membuat Din Minimi kembali pulang. Dan sudah seharusnya pendekatan persuasif semacam ini juga dipraktekkan oleh BIN dalam merayu dan membujuk beberapa kelompok separatis yang masih ada di Indonesia semisal Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Di sisi lain, kita juga berharap bahwa dengan kembalinya Din Minimi maka berakhir pula gerakan kelompok-kelompok sempalan di Aceh. Kita juga berharap kepada BIN untuk terus melakukan “penyisiran” dengan pendekatan persuasif sehingga Aceh bebas dari kelompok bersenjata sehingga tidak ada lagi senjata ilegal yang beredar di Aceh. Kepada Pemerintah Aceh kita harapkan jangan hanya “duduk manis” dan “ketawa-ketiwi”, tetapi juga harus pro aktif dalam menyikapi segala persoalan yang terjadi dalam masyarakat, khususnya terkait kesejahteraan yang telah dijanjikan pada masa kampanye dulu. Semoga saja Din Minimi adalah kelompok terakhir, untuk ke depan semoga tidak muncul kelompok lain semisal Din Granat, Din Bazoka, Di Meriam dan Din-Din yang lain. Wallahul Musta’an.

Artikel ini sudah diterbitkan di Harian Waspada Medan

loading...

No comments